Ia telah kembali mengenakan kaos putihnya. Aku yang telah selesai, terdiam di tempatku. Pelan tapi pasti, bulir bening itu mengalir begitu saja, lalu isakan itu mulai terdengar, meski aku sudah berusaha sekuat tenaga supaya tak ada suara yang keluar.
Aku merasa asing dengan suamiku sendiri. Ia telah seperti orang asing. Hampir tak ada pembicaraan selama beberapa hari. Memulai bicara pun aku tak berani.Ia yang hendak beranjak dari duduknya, menoleh seketika. Mungkin terdengar olehnya isakanku ini. Direngkuhnya badan ini. Lalu tangis itu pun pecah tanpa bisa dicegah."Kamu kenapa?"Ia mengusap air yang mengalir di pipiku. Ia bahkan lupa menambahkan kata 'sayang' yang selalu ia sebut saat memanggilku.Aku tak bisa menjawab sebab sibuk dengan pikiranku sendiri..Hampir jam 12 malam saat aku terbangun oleh rengekannya. Gegas aku membuka mata, lalu memberikan ASI untuk ia sesap segera."Aku tak mau ia menangis saat malamRumah telah kembali sepi, setelah kepulangan Mama, dan juga ibu.Acara akikah sekaligus khitan Fajar telah dilaksanakan. Kini, menyisakan kami bertiga, setelah rangkaian acara selesai. "Mama harus kembali, sebab tak bisa meninggalkan Papa lebih lama lagi. Nanti kalau waktunya longgar, Mama ke sini lagi," pamit Mama sore tadi.Ibu juga baru saja dijemput Mas Dika, sebab ada tetangga yang meninggal."Ibu pulang dulu ya, Na. Nggak enak kalau nggak datang. Belakang rumah ini," ujar ibu. Aku mengiyakan."Besok atau lusa ibu ke sini lagi. Nggak tega ibu lihat kamu nggak ada keluarga habis lahiran," tambahnya lagi.Meski berat, beliau pulang juga. Tak lupa memberi banyak wejangan, nggak boleh ini nggak boleh itu. Harus begini harus begitu.Aku patuh pada nasehat beliau. Selama aku nyaman, ya kukerjakan, seperti saat beliau berada di rumah ini.Kini, nyaris tak ada suara, selain detak jarum jam di kamar ini, di mana ak
Kondisi baik ini mulai stabil, sejak hari itu. Ia telah kembali menjadi suami dan ayah yang hangat dan peduli.Ibu datang lagi keesokan harinya, tapi tak lama, sebab masih perlu bantu-bantu di rumah tetangga yang baru kehilangan anggota keluarga.Beliau seakan memastikan kalau aku bisa mengurus cucunya dengan baik.Mama masih sering berkunjung. Tak jarang datang seorang diri, kadang juga datang berdua bersama Papa.Beliau menawarkan untuk menambah satu asisten lagi untuk menjaga bayiku, tapi aku tak setuju. Bagiku, anak ini tanggung jawabku, dan akan kubersamai tumbuh kembang Fajar dengan penuh cinta dan kasih sayang."Baiklah. Tapi kalau kamu berubah pikiran, jangan sungkan beritahu Mama, ya," jawab beliau menanggapi penolakanku. Aku mengangguk tanda setuju.Tak terasa tiga bulan berlalu. Aku sedang mengajak putraku bermain sambil menunggu kepulangan sang ayah sore itu. Lalu bergegas beranjak saat mendengar deru mesin mobil mema
Hari masih terang benderang, meski matahari telah bergeser ke arah barat.Terdengar deru mesin mobil memasuki halaman, lalu berhenti sempurna di garasi. Pintu depan dibuka, diikuti langkah tergesa memasuki rumah."Ayah pulang itu, Nak," ujarku. Dan benar saja, wajah lelah itu muncul kemudian."Apa kabar kesayangan Ayah?" sapanya, lalu mendaratkan kecupan di kening kami bergantian."Sehat, Yah. Ayah mandi dulu, ya," jawabku, mewakili bocah kecil yang berada dalam gendonganku.Kuambil tas laptop warna hitam yang ia jinjing, lalu meletakkannya di meja kamar.Ia sendiri bergegas mengambil handuk dan segera berlalu ke kamar mandi.Kini aku melakukan tugasku, menyiapkan pakaian untuk sang Ayah. Fajar kuletakkan di atas baby bouncer. Ia akan bermain di sana dengan sang ayah sebentar lagi."Mana anak ayah yang ganteng. Sini, main dulu ya?"Ia ciumi pipi sang anak dengan penuh sayang. Jiwa kebapakannya selalu t
Jarum jam menunjuk angka sebelas, saat terdengar suara sepeda motor memasuki halaman rumah.Aku yang sedang menemani fajar bermain di teras rumah, sontak menoleh ke arah datangnya suara. Bibirku tersenyum melihat siapa yang datang. Mas Dika duduk manis di atas motornya, tapi ia tak sendiri. Ia datang dengan seorang wanita berkerudung warna salem, serta gamis warna senada.Ada tahi lalat kecil di ujung bibir sebelah kanan. Dua buah cekungan kecil di kedua pipinya saat ia tersenyum padaku, menambah kesan manis pada wajahnya. Jika tak salah ingat, rasanya aku pernah melihat wajah ini sebelumnya. Tapi, di mana?"Pakdhe datang, Sayang," ujarku, lantas kuambil ia ke dalam dekapanku."Hallo anak ganteng," sapanya, begitu turun dari atas motor. Wanita tersebut, menyusul di belakangnya.Fajar segera diambil alih oleh Mas Dika, seperti sebelumnya jika ia berkunjung ke sini. "Hallo Pakdhe. Masuk, yuk," ajakku.
"Sayang, siap-siap, ya. Sebentar lagi Mas jemput."Suara di seberang telepon, membuatku mengernyitkan kening. Masih jam dua siang. Ia akan menjemput untuk membawaku ke mana?"Mau ke- ."Sambungan telepon telah terputus. Aku tak bisa bertanya lagi sekarang. Baiklah, aku akan bersiap. Dia hanya ingin aku taat kan?Kuganti pakaian anakku dengan yang lebih baik. Kuperiksa juga tas yang selalu dibawa saat kami bepergian bertiga. Masih komplit, tinggal angkut.Anakku telah siap, tinggal aku yang belum. Cuaca panas hari ini membuat badanku terasa gerah. Kurasa aku harus mandi sekarang.Kupanggil Bu Siti untuk menemani Fajar sementara aku mandi dan berganti pakaian."Mbak, ada yang ngirim paket," ujar Bu Siti di depan pintu kamarku. Aku baru saja selesai mengenakan kerudungku."Paket apa, Bu? Dari siapa?" tanyaku bingung. Aku tak merasa memesan apa pun dalam waktu dekat ini."Saya kurang tau. Cuma kardusnya besar. Ayo Mbak, ditunggu Pak kurir di
"Ibu … ibu bicara apa?"Kususut dengan cepat air mata yang mengalir di pipi. "Tetap jadi satu keluarga sama Rahmi, Dirga, juga Wahyu anaknya ya, Nak. Wahyu, sudah jadi anakmu juga, kan?""Iya, Bu, saya sudah menganggap Wahyu sebagai anak saya. Semua penyakit ada obatnya. Saya do'akan semoga ibu lekas pulih. Yakinlah ibu akan sembuh," tambahku lagi. Kuelus lengannya yang menampilkan kerutan serta terlihat urat-uratnya. Beliau tak menjawab. Wajahnya terlihat mendung, meski ia tutupi dengan senyum."Mana cucu ibu, Fajar? Apa boleh ibu bertemu?" tanyanya dengan suara lemah."Baik Bu, tunggu sebentar, ya, Fajar ada di depan."Kuambil alih Fajar dari gendongan sang Ayah, setelah menjelaskan, lalu bergegas membawa kepada Bu Ndari."Salim dulu sama nenek, ya, Nak," ujarku. Dielusnya kening hingga pipi Fajar setelah dicium tangan beliau."Jadi anak sholeh ya, Nak," ujar beliau dengan mata berkaca-kaca. Aku mengaminkan ucapan beliau."Apa ibu mau
POV Hanan"Apaan, sih, Mas!"Ia langsung protes. Tak lama kemudian, pipinya bersemu semburat kemerahan.Melihat ini aku langsung Dejavu, saat pertama kali menjadi suaminya.Semua begitu manis, hingga aku merasa tak mau lagi kehilangan dia. Dia … milikku."Pulang, yuk, kasihan anak ganteng tidurnya di sini, cuma beralas selimut bayi."Ia sudah meraih buah hati kami. Entah sejak kapan ia sudah menempelkan anak itu di dadanya.Aku sibuk dengan pikiranku sendiri, sampai tak memperhatikan kalau anak itu sudah terbangun.Aku membawakan tas berisi perlengkapan bayi. Meski tau ia tertidur, tetap saja harus dibawa, demikian titah ibu negara.Sampai di rumah, ia langsung meletakkan Fajar di atas kasur. Ternyata ia melek."Mas, tolong temani main dulu, ya. Aku harus bersihkan badan dulu sebelum ngasih ASI, kan habis pergi.""Siap, Nyonya."Jawaban ini, entah kenapa selalu membuat ia terl
Kami baru akan menikmati waktu berdua, saat tangisan Fajar terdengar. Ia memang sedang tidur tadi, setelah bermain dan kenyang menyesap ASI."Maaf, anak soleh bangun itu, Mas. Aku lihat dulu, ya," pintanya, menghentikan aktivitas kami."Baiklah, Sayang. Gini amat ya, mau pacaran ada ditangisi anak," selorohku, yang segera disambut dengan derai tawa olehnya.Gegas ia menuju kamar. Aku menyusul. Fajar telah menendang-nendang udara, sementara wajahnya mulai merah, mungkin karena tak segera mendapatkan apa yang ia mau."Anak solehnya Ibu sudah bangun, ya," sapanya, tapi tak segera dipegang. Sang ibu seperti sengaja membiarkan ia menangis sejenak, sambil menciumi seluruh wajah dan lehernya. Tak ketinggalan ketiaknya juga diangkat lalu ia ciumi juga, seperti yang pernah ia lakukan padaku, dulu."Bau surga ini," cetusnya. Dahiku terlipat mendengar ucapannya. Bagaimana bisa ia menyebut bau surga untuk bau bayi yang belum mandi
Aku dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar, serta memiliki peralatan yang lengkap. Di sana aku mendapat perawatan yang lebih baik."Aku akan cacat, Dam!" raungku, lalu suaraku menggema di ruang pemeriksaan."Kamu pergilah, aku sudah tak pantas lagi untukmu. Sudahlah nggak kunjung hamil, sekarang harapan mata kiriku … ."Ia telah melintangkan telunjuknya di bibirku."Sudah, jangan diteruskan. Aku tak akan ke mana-mana, Mei. Kamu istriku, apa pun kondisimu, aku akan tetap di sisimu. Tetap semangat, ya, nanti aku usahakan cari pengobatan yang terbaik. Kalau perlu kita cari donor mata buat kamu."Tergugu aku dalam dekapannya. Aku hampir putus asa, sebab harapan untuk pulih hanya sedikit. Hal ini tentu berpengaruh besar pada penampilanku nanti.Aku terus bertanya-tanya, kenapa harus menerima ini? Aku menolak takdir, bahwa mata kiriku tak bisa pulih seperti sedia kala.Sementara itu, Husna dan Hanan justru memberikan dukungan
Masih jam sepuluh pagi, saat kuselesaikan laporan penjualan bulan ini.Seorang office boy memasuki ruanganku dengan membawa kotak nasi. "Dari siapa," tanyaku saat kotak tersebut diletakkan di meja sesuai titahku."Dari Pak Hanan, Bu," jawabnya, lalu pamit ke luar.Dahiku mengernyit, lalu menghirup aroma ayam bakar yang menguar.Kedua mataku membola saat membaca nama yang tertera pada selembar kertas yang menyertai nasi kotak tersebut.Yang berbahagia, Rashida Husna dan Hanan Wijaya.Tanganku meremas kertas tersebut hingga tak berbentuk. Terbayang senyuman Husna atas kelahiran buah hati yang mereka nantikan. Sekali lagi aku kalah olehnya. .Hanan semakin mempesona di mataku, terlebih ia telah memiliki seorang bayi yang lucu. Meski cemburu pada Husna, aku tetap menyapa anak itu setiap kali bertemu.Bagaimana aku bisa melewatkannya, anak itu sungguh menggemaskan. Lehernya hampir tak te
Hanan kian sering memuji desainnya, serta hasil jadi berupa perhiasan siap pakai yang memang laku keras di pasaran.Kulihat matanya selalu berbinar setiap menyebut nama itu. Karir Husna pun kian bersinar. Hatiku dibakar cemburu. Hanan tak pernah seperti ini sebelumnya. Namun, jauh di lubuk hati, aku tak mengingkari peran Husna di sini. Siapa sangka, perempuan biasa itu memiliki kecerdasan luar biasa, hingga dapat membaca selera pasar dalam waktu singkat. Tak jarang kudapati ia mengenakan beberapa hasil desainnya meski hanya sebentar. Memang dasar mis kin. Kalau pengen kan tinggal beli, ngapain dipakai lalu dilepas lagi.Kesejahteraan karyawan kian ditambah. Setelah kenaikan gaji, kini ganti uang makan yang dinaikkan, bahkan nasi bungkus serta nasi kotak pun sering datang lebih awal, hingga para karyawan tak perlu jauh ke luar saat istirahat.Itu semua imbas dari omset penjualan yang melejit berkat desain Husna, sebab peranku d
POV MeisyaAku telah sangat percaya diri, bahwa mudah bagiku menaklukan seorang Hanan. Desakan sebab usia menjadi salah satu sebabnya.Akulah perempuan di ambang usia tiga puluh. Usia yang menjadi momok bagi perempuan untuk segera mengakhiri masa lajang.Demikian halnya dengan aku. Orang tuaku telah semakin gelisah memikirkan jodoh untukku. Sementara aku tak ambil pusing, kecuali saat satu kata dilontarkan, yakni perjodohan.Aku mulai mencari seseorang yang tepat, setidaknya, sebelum usiaku genap tiga puluh, aku telah memiliki calon ke jenjang pernikahan. Karirku bagus, penjualan tak pernah turun sejak kupegang. Wajahku pun terhitung menarik, tubuhku juga ramping. Tak ada yang kurang di hidupku, kecuali satu, pasangan hidup. Bukan karena aku tak laku, hanya saja aku pemilih. Beberapa kali aku menjalin hubungan, sebanyak itu pula harus kuakhiri sebab aku merasa lebih tinggi.Berbeda dengan Hanan. Ia tak seperti lelaki k
Ia menepati ucapannya untuk membawa kami jalan-jalan, tepat setelah bukan kembar pulang sekolah.Ia membayar waktunya dengan membawa aku ke salon untuk perawatan seluruh badan. Sementara itu, anak-anak ia bawa ke arena bermain, tak jauh dari salon ini berada. Aku segera menyusul begitu selesai dan kembali merasa rileks."Masya Allah, cantiknya istriku," sambutnya, begitu aku telah sampai. Aku tersipu, lantas mengucapkan terima kasih. Si bungsu segera kuambil alih, untuk kuberi ASI. Kedua kakaknya melanjutkan bermain.Setelah menghabiskan waktu seharian, kami dibawa ke rumah orang tuaku. Rumah ibu kian riuh dengan suara anak-anakku, juga anak-anak Mas Dika.Wahyu dan Fajar terlihat antusias saat Mas Dika mengajari gerakan membela diri. Ya, meski mereka telah dimasukkan ke kegiatan yang sama di dekat tempat kami tinggal, tetap saja mereka terkesan dengan gerakan baru dari Mas Dika."Na, mumpung kamu di sini, ibu mau kasih kabar," ujar Ibu, saat aku s
Tangan kecil itu membingkai wajahku, lalu menghujani wajah dengan kecupan tanpa henti."Aku sayang Ibu. I love you, Ibu," cetusnya lagi.Mata kukerjapkan beberapa kali, saat kurasai telapak tangan yang menempel di pundak."Mbak Husna, bangun, Mbak."Suara Bu Ratna mengiringi gerakan tangannya yang terhenti.Terlihat di depanku, Fajar yang sedang terlelap. Sebuah buku yang terbuka di atas selimut yang menutupi sebagian tubuhnya, menandakan aktifitas sebelum ia benar-benar memejamkan mata.Jika ia sedang terlelap sedamai ini, lalu ulah siapa beberapa saat tadi?"Mbak, pindah ke kamar, ya. Tidur sambil duduk begini, Mbak Husna bisa capek, nanti," ujar Bu Ratna lagi.Kuamati diri sendiri. Duduk bertumpu di lantai, dengan tangan bersandar pada sisi ranjang di samping Fajar. Kurasai kalau lututku mulai terasa sulit digerakkan.Di seberang tempatku duduk, Wahyu pun terlihat tak jauh berbeda dengan sang kakak.
"Ibu, gendong."Semakin dekat dengan hari persalinan, semakin bertambah juga kemanjaan kedua anakku.Bergantian mereka berdua mengulurkan kedua tangan meminta aku menggendongnya.Aku pun tak bisa menolak, selain menuruti keinginan mereka. Kapan lagi bisa kugendong, sedangkan mereka sudah tumbuh semakin besar."Gendong sama ayah, ya, Nak, kasihan dong, adik kegencet, kamu kan sudah besar sekarang," tawar sang ayah, jika kebetulan melihat dan mendengar permintaan sang anak."Nggak mau, mau sama ibu aja," jawabnya selalu. "Nggak papa, Yah," jawabku, mencoba menenangkan. Mereka baru mau lepas setelah lama dibujuk.Pagi selepas Subuh, persis seperti saat kelahiran Fajar, bayi itu lahir dengan persalinan normal.Ia bergegas mengadzankan anak itu, dengan suara parau. Lantas kecupan penuh cinta ia labuhkan di kening bayi suci tersebut, sebelum akhirnya diletakkan di dadaku, untuk menikmati ASI pertama."Alhamd
Berkunjung ke rumah Mama, artinya membuka kenangan lama. Tiba-tiba saja aku rindu, melihat kelebat kenangan yang hadir tanpa permisi.Foto pernikahanku terdahulu, bahkan masih terpajang di ruang keluarga rumah ini."Tante kecil," ujar Wahyu. Tangannya telah mulai beraksi, hendak menyentuh pipi dan hidung bayi mungil itu.Melihat bayi Mama yang tengah terlelap, justru menghadirkan kenangan saat Fajar baru hadir di kehidupan kami.Ia telah melakukan banyak sekali hal baik selama hidup bersamaku, tapi, kenapa kenangan buruk itu yang justru muncul di sini?Kutepis pikiran yang hadir, dengan ikut membaur pada kedua anakku yang sibuk dengan Tante barunya. "Iya, Sayang. Hati-hati pegangnya, ya. Coba tanya Oma, siapa nama Tante yang cantik ini?" "Oma, siapa nama Tante kecil ini?" tanyanya patuh."Tante Hapsari, Sayang," jawab Mama, lalu dielus-elusnya kepala Wahyu.Nama yang cantik, untuk bayi dengan wajah bu
"Heh? Serius ngidam pizzanya Bu Lisa?" tanyaku tak percaya.Bukannya apa, selama ini ia paling anti makanan dari olahan tepung. Banyak sekali alasannya, yang susah dicerna lah, yang bikin perut begah lah, dan masih banyak lagi.Sampai kucoret daftar rerotian dari daftar belanja kalau kami sedang ke luar. Semua itu menjadi pengecualian kalau si kembar minta, baru ada menu roti, itu pun tak boleh banyak."Iya, dua rius, Kak. Ada cabangnya yang deket sini apa nggak, ya?"Melihat raut serius di wajahnya, membuat aku mengambil ponsel, lantas menghubungi nomer Bu Lisa."Waduh, maaf belum sampai sana Mas Dirga," jawab Mbak Lisa dari seberang telepon. Kulihat wajah ratuku, ia terlihat tak sabar menunggu jawaban."Ya udah, makasih ya, Mbak. Nggak papa, ada yang ngidam ini."Dan akhirnya sambungan telepon itu pun terputus, sebab ada suara yang memanggil Mbak Lisa."Gimana, Kak?"Tuh, kan, nggak sabar dia. Ba