"Ibu … ibu bicara apa?"Kususut dengan cepat air mata yang mengalir di pipi. "Tetap jadi satu keluarga sama Rahmi, Dirga, juga Wahyu anaknya ya, Nak. Wahyu, sudah jadi anakmu juga, kan?""Iya, Bu, saya sudah menganggap Wahyu sebagai anak saya. Semua penyakit ada obatnya. Saya do'akan semoga ibu lekas pulih. Yakinlah ibu akan sembuh," tambahku lagi. Kuelus lengannya yang menampilkan kerutan serta terlihat urat-uratnya. Beliau tak menjawab. Wajahnya terlihat mendung, meski ia tutupi dengan senyum."Mana cucu ibu, Fajar? Apa boleh ibu bertemu?" tanyanya dengan suara lemah."Baik Bu, tunggu sebentar, ya, Fajar ada di depan."Kuambil alih Fajar dari gendongan sang Ayah, setelah menjelaskan, lalu bergegas membawa kepada Bu Ndari."Salim dulu sama nenek, ya, Nak," ujarku. Dielusnya kening hingga pipi Fajar setelah dicium tangan beliau."Jadi anak sholeh ya, Nak," ujar beliau dengan mata berkaca-kaca. Aku mengaminkan ucapan beliau."Apa ibu mau
POV Hanan"Apaan, sih, Mas!"Ia langsung protes. Tak lama kemudian, pipinya bersemu semburat kemerahan.Melihat ini aku langsung Dejavu, saat pertama kali menjadi suaminya.Semua begitu manis, hingga aku merasa tak mau lagi kehilangan dia. Dia … milikku."Pulang, yuk, kasihan anak ganteng tidurnya di sini, cuma beralas selimut bayi."Ia sudah meraih buah hati kami. Entah sejak kapan ia sudah menempelkan anak itu di dadanya.Aku sibuk dengan pikiranku sendiri, sampai tak memperhatikan kalau anak itu sudah terbangun.Aku membawakan tas berisi perlengkapan bayi. Meski tau ia tertidur, tetap saja harus dibawa, demikian titah ibu negara.Sampai di rumah, ia langsung meletakkan Fajar di atas kasur. Ternyata ia melek."Mas, tolong temani main dulu, ya. Aku harus bersihkan badan dulu sebelum ngasih ASI, kan habis pergi.""Siap, Nyonya."Jawaban ini, entah kenapa selalu membuat ia terl
Kami baru akan menikmati waktu berdua, saat tangisan Fajar terdengar. Ia memang sedang tidur tadi, setelah bermain dan kenyang menyesap ASI."Maaf, anak soleh bangun itu, Mas. Aku lihat dulu, ya," pintanya, menghentikan aktivitas kami."Baiklah, Sayang. Gini amat ya, mau pacaran ada ditangisi anak," selorohku, yang segera disambut dengan derai tawa olehnya.Gegas ia menuju kamar. Aku menyusul. Fajar telah menendang-nendang udara, sementara wajahnya mulai merah, mungkin karena tak segera mendapatkan apa yang ia mau."Anak solehnya Ibu sudah bangun, ya," sapanya, tapi tak segera dipegang. Sang ibu seperti sengaja membiarkan ia menangis sejenak, sambil menciumi seluruh wajah dan lehernya. Tak ketinggalan ketiaknya juga diangkat lalu ia ciumi juga, seperti yang pernah ia lakukan padaku, dulu."Bau surga ini," cetusnya. Dahiku terlipat mendengar ucapannya. Bagaimana bisa ia menyebut bau surga untuk bau bayi yang belum mandi
Lima tahun kemudian ..."Aku istrimu, Mas, harusnya aku yang jadi prioritas kamu, bukan dia sama anaknya!"Deg! Aku yang baru akan melangkah ke teras belakang rumah ibu, menghentikan langkahku seketika."Dia adikku, bukan orang lain. Apa kamu lupa?"Itu suara Mas Dika. Dan suara perempuan tadi, suara Mbak Dewi, istrinya. Astaghfirullah, apa mereka sedang membicarakan aku?"Tentu saja aku tau kalau dia adikmu. Dia telah mengambil sebagian besar waktumu. Lalu penghasilan kamu. Sedangkan dia tidak kekurangan!"Kudengar Mbak Dewi mendengkus kesal. Ada apa ini sebenarnya? "Dia punya hak atas minimarket itu. Kami merintis bersama, dari hanya toko kecil, hingga sebesar sekarang. Yang kuberikan itu haknya," sahut Mas Dika. Suaranya tetap tenang, tak seperti Mbak Dewi yang terdengar meledak-ledak.Jadi ini tentang uang yang Mas Dika berikan padaku tadi. Ia memang selalu memberikan setengah dari omset minimarket setiap b
"Mas titip anak-anak, ya. Kamu pasti sanggup kan, membersamai mereka? Kamu kan, ibu yang hebat.""Mas, kamu bicara apa?" aku mendengkus kesal. Kami bahkan belum membersihkan diri setelah pertempuran tadi. Kenapa ia bicara seolah akan pergi?"Tidak ada, Sayang. Kita bersihkan diri, yuk. Setelah itu kita sholat."Aku menurut. Lalu kami menghabiskan sepertiga malam berdua di atas sajadah. Dilanjutkan dengan tilawah berdua, seperti hari-hari yang telah lewat.."Ibu, kita akan menjenguk ayah?" tanya Fajar begitu mobil Mas Dika mulai melaju di jalan beraspal."Iya, Sayang. Kamu mau kan, menjenguk ayah?""Mau, Bu. Ayah nggak ada temannya ya, Bu?""Ada, Sayang. Ayah pasti bersama kakak dan adik kamu sekarang," jawabku lirih, serta pandangan yang mulai kabur, sebab terhalang oleh kaca-kaca bening.Tak lama kemudian, mobil Mas Dika telah berhenti sempurna di area parkir pemakaman ini.Tempat yang hampir seti
"Jadi dosen tamu?"Fera mengangguk. Ia memang telah mengajar di kampus tempat kami dulu menuntut ilmu. Kini ia menyerahkan selembar undangan padaku. Seminggu lagi tanggal yang tertera di sana."Ilmu jangan disimpan sendiri. Bagi-bagi sama anak-anak kenapa?" Menjadi guru dan berbicara di depan puluhan murid dewasa, masih menjadi momok bagiku.Aku lebih senang di balik layar, seperti selama ini. Mau bikin desain sebanyak apa juga aku sanggup. Tapi kalau di depan orang banyak, nanti dulu."Nanti aku pikirkan lagi. Makasih undangannya, ya, Fera.""Ayolah, berhenti mengurung diri, Mbak Husna. Kami menunggumu."Ia masih belum bosan membujukku, sejak kami lulus kuliah, sampai sekarang. Ini bukan undangan yang pertama ia ajukan. "Tak semua orang punya kemampuan seperti yang kamu punya. Pikirkan lagi, ya?"Ia memegang lenganku, sebagai wujud kesungguhan. Aku menghela napas panjang sebelum k
Ia telah siap dengan kaos berkerah serta celana jeans biru navy. Pakaian yang ia pilih sendiri. Rambut hitamnya telah disisir rapi.Ia terlihat semakin mirip dengan sang ayah kalau seperti ini."Benar, Ibu. Aku mau main robot sama adik Wahyu nanti. Boleh kan, Bu?""Baiklah, Sayang. Jadi anak baik, ya. Nggak boleh merepotkan Om Dirga. Oke?""Oke Ibu. Kakak kan, anak baik," ujarnya, lalu menghujaniku dengan kecupan di seluruh wajahku."Ibu pasti akan kangen sekali sama kamu, Nak," ujarku, lalu memeluknya erat.Kami tak pernah berpisah sebelumnya. Ini kali pertama aku menitipkan ia, pada Kak Dirga pula."Kakak sayang sama Ibu," cetusnya, lalu kembali menciumiku."Terima kasih, Sayang. Kamu manis sekali. Ibu juga sangat sayang sama kamu, Nak. Oke. Sekarang kita berangkat, ya?"Ia mengangguk setuju, lantas membawa mainan yang telah ia siapkan..Rumah Kak Dirga ternyata sedang sangat ramai. Kelu
Arya namanya. Salah satu dosen jurusan Teknik Informatika di kampus ini.Ia hampir selalu mendatangi aku setiap selesai mengikuti mata kuliah, dulu.Tak jarang pura-pura menjadi siswa demi bisa satu kelas denganku. Dipakainya masker sama kacamata, demi melancarkan aksinya. Pernah diusir juga, sebab ketahuan. Kalau dipikir-pikir, konyol juga bapak satu ini.Pelan tapi pasti, teman-teman pun tau kalau beliau menaruh hati padaku."Tolong berhenti, Pak Arya. Aku bukan perempuan yang bebas untuk kau dekati. Aku perempuan yang telah bersuami," ujarku, kala itu."Aku sudah jatuh hati sejak pertama melihatmu, Mbak Husna. Tak peduli kamu telah bersuami, aku tunggu jandamu."Aku terbelalak mendengar ucapannya.Kan ngeselin. Orang pengen rumah tangga utuh bahagia, eh dia malah mendo'akan aku jadi janda. Ya meski sekarang kenyataannya demikian, sih.Ia tak pernah berhenti. Setiap ada kesempatan, ia gunakan untuk mengambil hatiku. Meski sering kuacu