Kondisi baik ini mulai stabil, sejak hari itu. Ia telah kembali menjadi suami dan ayah yang hangat dan peduli.
Ibu datang lagi keesokan harinya, tapi tak lama, sebab masih perlu bantu-bantu di rumah tetangga yang baru kehilangan anggota keluarga.Beliau seakan memastikan kalau aku bisa mengurus cucunya dengan baik.Mama masih sering berkunjung. Tak jarang datang seorang diri, kadang juga datang berdua bersama Papa.Beliau menawarkan untuk menambah satu asisten lagi untuk menjaga bayiku, tapi aku tak setuju. Bagiku, anak ini tanggung jawabku, dan akan kubersamai tumbuh kembang Fajar dengan penuh cinta dan kasih sayang."Baiklah. Tapi kalau kamu berubah pikiran, jangan sungkan beritahu Mama, ya," jawab beliau menanggapi penolakanku. Aku mengangguk tanda setuju.Tak terasa tiga bulan berlalu. Aku sedang mengajak putraku bermain sambil menunggu kepulangan sang ayah sore itu. Lalu bergegas beranjak saat mendengar deru mesin mobil memaHari masih terang benderang, meski matahari telah bergeser ke arah barat.Terdengar deru mesin mobil memasuki halaman, lalu berhenti sempurna di garasi. Pintu depan dibuka, diikuti langkah tergesa memasuki rumah."Ayah pulang itu, Nak," ujarku. Dan benar saja, wajah lelah itu muncul kemudian."Apa kabar kesayangan Ayah?" sapanya, lalu mendaratkan kecupan di kening kami bergantian."Sehat, Yah. Ayah mandi dulu, ya," jawabku, mewakili bocah kecil yang berada dalam gendonganku.Kuambil tas laptop warna hitam yang ia jinjing, lalu meletakkannya di meja kamar.Ia sendiri bergegas mengambil handuk dan segera berlalu ke kamar mandi.Kini aku melakukan tugasku, menyiapkan pakaian untuk sang Ayah. Fajar kuletakkan di atas baby bouncer. Ia akan bermain di sana dengan sang ayah sebentar lagi."Mana anak ayah yang ganteng. Sini, main dulu ya?"Ia ciumi pipi sang anak dengan penuh sayang. Jiwa kebapakannya selalu t
Jarum jam menunjuk angka sebelas, saat terdengar suara sepeda motor memasuki halaman rumah.Aku yang sedang menemani fajar bermain di teras rumah, sontak menoleh ke arah datangnya suara. Bibirku tersenyum melihat siapa yang datang. Mas Dika duduk manis di atas motornya, tapi ia tak sendiri. Ia datang dengan seorang wanita berkerudung warna salem, serta gamis warna senada.Ada tahi lalat kecil di ujung bibir sebelah kanan. Dua buah cekungan kecil di kedua pipinya saat ia tersenyum padaku, menambah kesan manis pada wajahnya. Jika tak salah ingat, rasanya aku pernah melihat wajah ini sebelumnya. Tapi, di mana?"Pakdhe datang, Sayang," ujarku, lantas kuambil ia ke dalam dekapanku."Hallo anak ganteng," sapanya, begitu turun dari atas motor. Wanita tersebut, menyusul di belakangnya.Fajar segera diambil alih oleh Mas Dika, seperti sebelumnya jika ia berkunjung ke sini. "Hallo Pakdhe. Masuk, yuk," ajakku.
"Sayang, siap-siap, ya. Sebentar lagi Mas jemput."Suara di seberang telepon, membuatku mengernyitkan kening. Masih jam dua siang. Ia akan menjemput untuk membawaku ke mana?"Mau ke- ."Sambungan telepon telah terputus. Aku tak bisa bertanya lagi sekarang. Baiklah, aku akan bersiap. Dia hanya ingin aku taat kan?Kuganti pakaian anakku dengan yang lebih baik. Kuperiksa juga tas yang selalu dibawa saat kami bepergian bertiga. Masih komplit, tinggal angkut.Anakku telah siap, tinggal aku yang belum. Cuaca panas hari ini membuat badanku terasa gerah. Kurasa aku harus mandi sekarang.Kupanggil Bu Siti untuk menemani Fajar sementara aku mandi dan berganti pakaian."Mbak, ada yang ngirim paket," ujar Bu Siti di depan pintu kamarku. Aku baru saja selesai mengenakan kerudungku."Paket apa, Bu? Dari siapa?" tanyaku bingung. Aku tak merasa memesan apa pun dalam waktu dekat ini."Saya kurang tau. Cuma kardusnya besar. Ayo Mbak, ditunggu Pak kurir di
"Ibu … ibu bicara apa?"Kususut dengan cepat air mata yang mengalir di pipi. "Tetap jadi satu keluarga sama Rahmi, Dirga, juga Wahyu anaknya ya, Nak. Wahyu, sudah jadi anakmu juga, kan?""Iya, Bu, saya sudah menganggap Wahyu sebagai anak saya. Semua penyakit ada obatnya. Saya do'akan semoga ibu lekas pulih. Yakinlah ibu akan sembuh," tambahku lagi. Kuelus lengannya yang menampilkan kerutan serta terlihat urat-uratnya. Beliau tak menjawab. Wajahnya terlihat mendung, meski ia tutupi dengan senyum."Mana cucu ibu, Fajar? Apa boleh ibu bertemu?" tanyanya dengan suara lemah."Baik Bu, tunggu sebentar, ya, Fajar ada di depan."Kuambil alih Fajar dari gendongan sang Ayah, setelah menjelaskan, lalu bergegas membawa kepada Bu Ndari."Salim dulu sama nenek, ya, Nak," ujarku. Dielusnya kening hingga pipi Fajar setelah dicium tangan beliau."Jadi anak sholeh ya, Nak," ujar beliau dengan mata berkaca-kaca. Aku mengaminkan ucapan beliau."Apa ibu mau
POV Hanan"Apaan, sih, Mas!"Ia langsung protes. Tak lama kemudian, pipinya bersemu semburat kemerahan.Melihat ini aku langsung Dejavu, saat pertama kali menjadi suaminya.Semua begitu manis, hingga aku merasa tak mau lagi kehilangan dia. Dia … milikku."Pulang, yuk, kasihan anak ganteng tidurnya di sini, cuma beralas selimut bayi."Ia sudah meraih buah hati kami. Entah sejak kapan ia sudah menempelkan anak itu di dadanya.Aku sibuk dengan pikiranku sendiri, sampai tak memperhatikan kalau anak itu sudah terbangun.Aku membawakan tas berisi perlengkapan bayi. Meski tau ia tertidur, tetap saja harus dibawa, demikian titah ibu negara.Sampai di rumah, ia langsung meletakkan Fajar di atas kasur. Ternyata ia melek."Mas, tolong temani main dulu, ya. Aku harus bersihkan badan dulu sebelum ngasih ASI, kan habis pergi.""Siap, Nyonya."Jawaban ini, entah kenapa selalu membuat ia terl
Kami baru akan menikmati waktu berdua, saat tangisan Fajar terdengar. Ia memang sedang tidur tadi, setelah bermain dan kenyang menyesap ASI."Maaf, anak soleh bangun itu, Mas. Aku lihat dulu, ya," pintanya, menghentikan aktivitas kami."Baiklah, Sayang. Gini amat ya, mau pacaran ada ditangisi anak," selorohku, yang segera disambut dengan derai tawa olehnya.Gegas ia menuju kamar. Aku menyusul. Fajar telah menendang-nendang udara, sementara wajahnya mulai merah, mungkin karena tak segera mendapatkan apa yang ia mau."Anak solehnya Ibu sudah bangun, ya," sapanya, tapi tak segera dipegang. Sang ibu seperti sengaja membiarkan ia menangis sejenak, sambil menciumi seluruh wajah dan lehernya. Tak ketinggalan ketiaknya juga diangkat lalu ia ciumi juga, seperti yang pernah ia lakukan padaku, dulu."Bau surga ini," cetusnya. Dahiku terlipat mendengar ucapannya. Bagaimana bisa ia menyebut bau surga untuk bau bayi yang belum mandi
Lima tahun kemudian ..."Aku istrimu, Mas, harusnya aku yang jadi prioritas kamu, bukan dia sama anaknya!"Deg! Aku yang baru akan melangkah ke teras belakang rumah ibu, menghentikan langkahku seketika."Dia adikku, bukan orang lain. Apa kamu lupa?"Itu suara Mas Dika. Dan suara perempuan tadi, suara Mbak Dewi, istrinya. Astaghfirullah, apa mereka sedang membicarakan aku?"Tentu saja aku tau kalau dia adikmu. Dia telah mengambil sebagian besar waktumu. Lalu penghasilan kamu. Sedangkan dia tidak kekurangan!"Kudengar Mbak Dewi mendengkus kesal. Ada apa ini sebenarnya? "Dia punya hak atas minimarket itu. Kami merintis bersama, dari hanya toko kecil, hingga sebesar sekarang. Yang kuberikan itu haknya," sahut Mas Dika. Suaranya tetap tenang, tak seperti Mbak Dewi yang terdengar meledak-ledak.Jadi ini tentang uang yang Mas Dika berikan padaku tadi. Ia memang selalu memberikan setengah dari omset minimarket setiap b
"Mas titip anak-anak, ya. Kamu pasti sanggup kan, membersamai mereka? Kamu kan, ibu yang hebat.""Mas, kamu bicara apa?" aku mendengkus kesal. Kami bahkan belum membersihkan diri setelah pertempuran tadi. Kenapa ia bicara seolah akan pergi?"Tidak ada, Sayang. Kita bersihkan diri, yuk. Setelah itu kita sholat."Aku menurut. Lalu kami menghabiskan sepertiga malam berdua di atas sajadah. Dilanjutkan dengan tilawah berdua, seperti hari-hari yang telah lewat.."Ibu, kita akan menjenguk ayah?" tanya Fajar begitu mobil Mas Dika mulai melaju di jalan beraspal."Iya, Sayang. Kamu mau kan, menjenguk ayah?""Mau, Bu. Ayah nggak ada temannya ya, Bu?""Ada, Sayang. Ayah pasti bersama kakak dan adik kamu sekarang," jawabku lirih, serta pandangan yang mulai kabur, sebab terhalang oleh kaca-kaca bening.Tak lama kemudian, mobil Mas Dika telah berhenti sempurna di area parkir pemakaman ini.Tempat yang hampir seti