Kami baru akan menikmati waktu berdua, saat tangisan Fajar terdengar. Ia memang sedang tidur tadi, setelah bermain dan kenyang menyesap ASI.
"Maaf, anak soleh bangun itu, Mas. Aku lihat dulu, ya," pintanya, menghentikan aktivitas kami."Baiklah, Sayang. Gini amat ya, mau pacaran ada ditangisi anak," selorohku, yang segera disambut dengan derai tawa olehnya.Gegas ia menuju kamar. Aku menyusul. Fajar telah menendang-nendang udara, sementara wajahnya mulai merah, mungkin karena tak segera mendapatkan apa yang ia mau."Anak solehnya Ibu sudah bangun, ya," sapanya, tapi tak segera dipegang.Sang ibu seperti sengaja membiarkan ia menangis sejenak, sambil menciumi seluruh wajah dan lehernya. Tak ketinggalan ketiaknya juga diangkat lalu ia ciumi juga, seperti yang pernah ia lakukan padaku, dulu."Bau surga ini," cetusnya.Dahiku terlipat mendengar ucapannya. Bagaimana bisa ia menyebut bau surga untuk bau bayi yang belum mandiLima tahun kemudian ..."Aku istrimu, Mas, harusnya aku yang jadi prioritas kamu, bukan dia sama anaknya!"Deg! Aku yang baru akan melangkah ke teras belakang rumah ibu, menghentikan langkahku seketika."Dia adikku, bukan orang lain. Apa kamu lupa?"Itu suara Mas Dika. Dan suara perempuan tadi, suara Mbak Dewi, istrinya. Astaghfirullah, apa mereka sedang membicarakan aku?"Tentu saja aku tau kalau dia adikmu. Dia telah mengambil sebagian besar waktumu. Lalu penghasilan kamu. Sedangkan dia tidak kekurangan!"Kudengar Mbak Dewi mendengkus kesal. Ada apa ini sebenarnya? "Dia punya hak atas minimarket itu. Kami merintis bersama, dari hanya toko kecil, hingga sebesar sekarang. Yang kuberikan itu haknya," sahut Mas Dika. Suaranya tetap tenang, tak seperti Mbak Dewi yang terdengar meledak-ledak.Jadi ini tentang uang yang Mas Dika berikan padaku tadi. Ia memang selalu memberikan setengah dari omset minimarket setiap b
"Mas titip anak-anak, ya. Kamu pasti sanggup kan, membersamai mereka? Kamu kan, ibu yang hebat.""Mas, kamu bicara apa?" aku mendengkus kesal. Kami bahkan belum membersihkan diri setelah pertempuran tadi. Kenapa ia bicara seolah akan pergi?"Tidak ada, Sayang. Kita bersihkan diri, yuk. Setelah itu kita sholat."Aku menurut. Lalu kami menghabiskan sepertiga malam berdua di atas sajadah. Dilanjutkan dengan tilawah berdua, seperti hari-hari yang telah lewat.."Ibu, kita akan menjenguk ayah?" tanya Fajar begitu mobil Mas Dika mulai melaju di jalan beraspal."Iya, Sayang. Kamu mau kan, menjenguk ayah?""Mau, Bu. Ayah nggak ada temannya ya, Bu?""Ada, Sayang. Ayah pasti bersama kakak dan adik kamu sekarang," jawabku lirih, serta pandangan yang mulai kabur, sebab terhalang oleh kaca-kaca bening.Tak lama kemudian, mobil Mas Dika telah berhenti sempurna di area parkir pemakaman ini.Tempat yang hampir seti
"Jadi dosen tamu?"Fera mengangguk. Ia memang telah mengajar di kampus tempat kami dulu menuntut ilmu. Kini ia menyerahkan selembar undangan padaku. Seminggu lagi tanggal yang tertera di sana."Ilmu jangan disimpan sendiri. Bagi-bagi sama anak-anak kenapa?" Menjadi guru dan berbicara di depan puluhan murid dewasa, masih menjadi momok bagiku.Aku lebih senang di balik layar, seperti selama ini. Mau bikin desain sebanyak apa juga aku sanggup. Tapi kalau di depan orang banyak, nanti dulu."Nanti aku pikirkan lagi. Makasih undangannya, ya, Fera.""Ayolah, berhenti mengurung diri, Mbak Husna. Kami menunggumu."Ia masih belum bosan membujukku, sejak kami lulus kuliah, sampai sekarang. Ini bukan undangan yang pertama ia ajukan. "Tak semua orang punya kemampuan seperti yang kamu punya. Pikirkan lagi, ya?"Ia memegang lenganku, sebagai wujud kesungguhan. Aku menghela napas panjang sebelum k
Ia telah siap dengan kaos berkerah serta celana jeans biru navy. Pakaian yang ia pilih sendiri. Rambut hitamnya telah disisir rapi.Ia terlihat semakin mirip dengan sang ayah kalau seperti ini."Benar, Ibu. Aku mau main robot sama adik Wahyu nanti. Boleh kan, Bu?""Baiklah, Sayang. Jadi anak baik, ya. Nggak boleh merepotkan Om Dirga. Oke?""Oke Ibu. Kakak kan, anak baik," ujarnya, lalu menghujaniku dengan kecupan di seluruh wajahku."Ibu pasti akan kangen sekali sama kamu, Nak," ujarku, lalu memeluknya erat.Kami tak pernah berpisah sebelumnya. Ini kali pertama aku menitipkan ia, pada Kak Dirga pula."Kakak sayang sama Ibu," cetusnya, lalu kembali menciumiku."Terima kasih, Sayang. Kamu manis sekali. Ibu juga sangat sayang sama kamu, Nak. Oke. Sekarang kita berangkat, ya?"Ia mengangguk setuju, lantas membawa mainan yang telah ia siapkan..Rumah Kak Dirga ternyata sedang sangat ramai. Kelu
Arya namanya. Salah satu dosen jurusan Teknik Informatika di kampus ini.Ia hampir selalu mendatangi aku setiap selesai mengikuti mata kuliah, dulu.Tak jarang pura-pura menjadi siswa demi bisa satu kelas denganku. Dipakainya masker sama kacamata, demi melancarkan aksinya. Pernah diusir juga, sebab ketahuan. Kalau dipikir-pikir, konyol juga bapak satu ini.Pelan tapi pasti, teman-teman pun tau kalau beliau menaruh hati padaku."Tolong berhenti, Pak Arya. Aku bukan perempuan yang bebas untuk kau dekati. Aku perempuan yang telah bersuami," ujarku, kala itu."Aku sudah jatuh hati sejak pertama melihatmu, Mbak Husna. Tak peduli kamu telah bersuami, aku tunggu jandamu."Aku terbelalak mendengar ucapannya.Kan ngeselin. Orang pengen rumah tangga utuh bahagia, eh dia malah mendo'akan aku jadi janda. Ya meski sekarang kenyataannya demikian, sih.Ia tak pernah berhenti. Setiap ada kesempatan, ia gunakan untuk mengambil hatiku. Meski sering kuacu
Keesokan harinya, masih jam tujuh pagi, lelaki itu telah muncul di depan pintu pagar. Ia menepati ucapannya kemarin, akan mengirimkan bunga mawar lebih banyak dari sebelumnya.Satu mobil bak terbuka, terisi penuh oleh mawar putih. Jika biasanya ia mengutus kurir, maka kali ini ia sendiri yang mengantar."Kamu ngapain, sih, Pak, bawa bunga banyak amat? Mau jualan apa gimana?""Sudah kukatakan, kalau aku akan mengirim lebih banyak bunga buat kamu, Mbak Husna."Aku menggelengkan kepala, tak mengerti dengan jalan pikiran lelaki ini."Aku taruh mana?" tanyanya, sambil melihat halaman rumah yang tak lagi kosong.Kuhela napas panjang berkali-kali, sampai aku merasa lebih tenang."Oke, ini yang terakhir ya? Setelah ini, tolong biarkan aku hidup dengan tenang, tanpa kiriman bunga-bunga. Apalagi sebanyak ini. Duh, kamu Arya.""Baiklah. Aku hanya mau lihat kamu dikelilingi oleh apa yang membuat hatimu senang, Mbak Husna," ujarnya, dengan tatapan mata yang m
Jam satu pagi. Aku masih terjaga, sedang melihat foto keluarga kami dari tampilan layar laptop.Rasa rindu, membuatku tak bisa memejamkan mata. Juga permintaan Kak Dirga, supaya aku mau menerima pinangannya.Aku tak pernah berpikir untuk membina rumah tangga baru sebelumnya, meski beberapa kali ibu dan Mama meminta secara halus maupun terang-terangan.Belakangan Mas Dika pun mengatakan hal sama, bahwa anakku butuh sosok ayah."Ayah … ."Lirih kudengar suara Fajar. Gegas aku menoleh ke tempat ia berbaring. Bukankah ia tadi masih terlelap? Benar, kedua matanya terpejam, sementara bibirnya yang mungil itu terus mengucapkan kata yang sama.Nampaknya ia sedang bermimpi, sebab bibirnya tersenyum saat sedang kuamati. Kuelus kepalanya, hingga ia kembali terlelap."Kamu rindu sama ayah ya, Nak? Besok kita ke makam, ya?" ajakku, meski kedua matanya terpejam.Kulabuhkan kecupan, lantas menutup layar yang menampil
"Pakaian bapak? Apa itu artinya, Mbak Husna … .""Iya, Bu. Insya Allah, saya lebih ikhlas sekarang. Saya … tak mau memberatkan bapak, dengan banyaknya barang dan pakaian yang masih saya simpan. Itu pasti akan memberatkan hisabnya.Saya baru menyadari, kalau kenangan itu ada di hati, bukan di barang. Jadi, semalam saya putuskan, untuk menyingkirkan beberapa pakaian bapak yang masih tersisa."Suaraku telah parau saat berkata. Aku harap ini keputusan yang tepat. Aku hanya menyimpan beberapa sekarang.Bertahun-tahun lamanya, aku membiarkan isi lemari itu tetap utuh, hanya mengurangi sedikit saat dibujuk ibu dan Mama.Hingga kusadari, aku terjebak sendiri, dalam kubangan kenangan bersamanya. Bukan aku hendak membuang kenangan, justru ingin membuat hidupku lebih tenang, tanpa adanya banyak barang yang tak lagi terpakai."Alhamdulillah, ibu ikut senang mendengarnya, Mbak Husna. Mbak Husna yang tabah ya, tersenyumlah lagi, Mbak