Ia telah siap dengan kaos berkerah serta celana jeans biru navy. Pakaian yang ia pilih sendiri. Rambut hitamnya telah disisir rapi.
Ia terlihat semakin mirip dengan sang ayah kalau seperti ini."Benar, Ibu. Aku mau main robot sama adik Wahyu nanti. Boleh kan, Bu?""Baiklah, Sayang. Jadi anak baik, ya. Nggak boleh merepotkan Om Dirga. Oke?""Oke Ibu. Kakak kan, anak baik," ujarnya, lalu menghujaniku dengan kecupan di seluruh wajahku."Ibu pasti akan kangen sekali sama kamu, Nak," ujarku, lalu memeluknya erat.Kami tak pernah berpisah sebelumnya. Ini kali pertama aku menitipkan ia, pada Kak Dirga pula."Kakak sayang sama Ibu," cetusnya, lalu kembali menciumiku."Terima kasih, Sayang. Kamu manis sekali. Ibu juga sangat sayang sama kamu, Nak. Oke. Sekarang kita berangkat, ya?"Ia mengangguk setuju, lantas membawa mainan yang telah ia siapkan..Rumah Kak Dirga ternyata sedang sangat ramai. KeluArya namanya. Salah satu dosen jurusan Teknik Informatika di kampus ini.Ia hampir selalu mendatangi aku setiap selesai mengikuti mata kuliah, dulu.Tak jarang pura-pura menjadi siswa demi bisa satu kelas denganku. Dipakainya masker sama kacamata, demi melancarkan aksinya. Pernah diusir juga, sebab ketahuan. Kalau dipikir-pikir, konyol juga bapak satu ini.Pelan tapi pasti, teman-teman pun tau kalau beliau menaruh hati padaku."Tolong berhenti, Pak Arya. Aku bukan perempuan yang bebas untuk kau dekati. Aku perempuan yang telah bersuami," ujarku, kala itu."Aku sudah jatuh hati sejak pertama melihatmu, Mbak Husna. Tak peduli kamu telah bersuami, aku tunggu jandamu."Aku terbelalak mendengar ucapannya.Kan ngeselin. Orang pengen rumah tangga utuh bahagia, eh dia malah mendo'akan aku jadi janda. Ya meski sekarang kenyataannya demikian, sih.Ia tak pernah berhenti. Setiap ada kesempatan, ia gunakan untuk mengambil hatiku. Meski sering kuacu
Keesokan harinya, masih jam tujuh pagi, lelaki itu telah muncul di depan pintu pagar. Ia menepati ucapannya kemarin, akan mengirimkan bunga mawar lebih banyak dari sebelumnya.Satu mobil bak terbuka, terisi penuh oleh mawar putih. Jika biasanya ia mengutus kurir, maka kali ini ia sendiri yang mengantar."Kamu ngapain, sih, Pak, bawa bunga banyak amat? Mau jualan apa gimana?""Sudah kukatakan, kalau aku akan mengirim lebih banyak bunga buat kamu, Mbak Husna."Aku menggelengkan kepala, tak mengerti dengan jalan pikiran lelaki ini."Aku taruh mana?" tanyanya, sambil melihat halaman rumah yang tak lagi kosong.Kuhela napas panjang berkali-kali, sampai aku merasa lebih tenang."Oke, ini yang terakhir ya? Setelah ini, tolong biarkan aku hidup dengan tenang, tanpa kiriman bunga-bunga. Apalagi sebanyak ini. Duh, kamu Arya.""Baiklah. Aku hanya mau lihat kamu dikelilingi oleh apa yang membuat hatimu senang, Mbak Husna," ujarnya, dengan tatapan mata yang m
Jam satu pagi. Aku masih terjaga, sedang melihat foto keluarga kami dari tampilan layar laptop.Rasa rindu, membuatku tak bisa memejamkan mata. Juga permintaan Kak Dirga, supaya aku mau menerima pinangannya.Aku tak pernah berpikir untuk membina rumah tangga baru sebelumnya, meski beberapa kali ibu dan Mama meminta secara halus maupun terang-terangan.Belakangan Mas Dika pun mengatakan hal sama, bahwa anakku butuh sosok ayah."Ayah … ."Lirih kudengar suara Fajar. Gegas aku menoleh ke tempat ia berbaring. Bukankah ia tadi masih terlelap? Benar, kedua matanya terpejam, sementara bibirnya yang mungil itu terus mengucapkan kata yang sama.Nampaknya ia sedang bermimpi, sebab bibirnya tersenyum saat sedang kuamati. Kuelus kepalanya, hingga ia kembali terlelap."Kamu rindu sama ayah ya, Nak? Besok kita ke makam, ya?" ajakku, meski kedua matanya terpejam.Kulabuhkan kecupan, lantas menutup layar yang menampil
"Pakaian bapak? Apa itu artinya, Mbak Husna … .""Iya, Bu. Insya Allah, saya lebih ikhlas sekarang. Saya … tak mau memberatkan bapak, dengan banyaknya barang dan pakaian yang masih saya simpan. Itu pasti akan memberatkan hisabnya.Saya baru menyadari, kalau kenangan itu ada di hati, bukan di barang. Jadi, semalam saya putuskan, untuk menyingkirkan beberapa pakaian bapak yang masih tersisa."Suaraku telah parau saat berkata. Aku harap ini keputusan yang tepat. Aku hanya menyimpan beberapa sekarang.Bertahun-tahun lamanya, aku membiarkan isi lemari itu tetap utuh, hanya mengurangi sedikit saat dibujuk ibu dan Mama.Hingga kusadari, aku terjebak sendiri, dalam kubangan kenangan bersamanya. Bukan aku hendak membuang kenangan, justru ingin membuat hidupku lebih tenang, tanpa adanya banyak barang yang tak lagi terpakai."Alhamdulillah, ibu ikut senang mendengarnya, Mbak Husna. Mbak Husna yang tabah ya, tersenyumlah lagi, Mbak
Ia telah berlutut di depanku, membuat aku bertanya, ia hendak mengatakan apa?"Will you marry me?""Yess, I would," jawabku, tanpa ragu.Lengkungan di bibirnya terbit seketika, lantas diciumnya punggung tanganku."Terima kasih, Husna, terima kasih," ujarnya dengan suara parau.Tiba-tiba saja aku mendapati kalau aku telah berada dalam rengkuhannya, hingga aroma tubuhnya bisa kuhirup."Kak, jangan begini, halalin dulu," ucapku dengan berbisik, lalu berusaha melepaskan diri. Ia patuh, diurainya pelukan ini.Tawanya berderai, sampai kulihat bulir bening meluncur dari sudut matanya."Apa kamu sudah tidak sabar?" ujarnya dengan mengerling padaku.Ada desir-desir halus yang perlahan merambat naik ke pipi. Kurasakan kalau pipiku terasa panas. "Kita ke rumah Ibu, ya?" pintanya. Suaranya kembali terdengar lembut."Sekarang?""Iya. Tadi katanya minta garansi?" tambahnya lagi, lalu menge
"Saya terima nikah dan kawinnya Rashida Husna binti Hendri Sanjaya dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."Ia ucapkan dalam satu kali tarikan napas. Aku merasa Dejavu, kembali ke masa itu."Bagaimana para saksi, sah?""Sah!"Lalu suara serupa memenuhi ballroom ini. Kurasakan pandanganku telah terhalang oleh kaca-kaca bening. Gegas kuambil tangannya, lantas kucium dengan takdzim. Ia membalas dengan memegang ubun-ubun, lalu mengecup keningku lama, sambil membaca do'a.Allahumma inni as aluka khoyrohaa wa khoyro maa jabaltahaa 'alaih. Wa a'udzubika min syarri haa wa min syarri maa jabaltaha 'alaih.Artinya : Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepadaMu kebaikannya dan kebaikan yang Engkau ciptakan atasnya dan aku berlindung kepadaMu dari kejelekan atas yang Engkau ciptakan.Hari ini adalah sesuatu yang pernah aku pikirkan di masa lalu. Menjadi mempelai untuk Kak Dirga, lantas menjalani peran sebagai istrinya.
"Sepi sekali ya, Kak."Ia yang sedang duduk sambil menikmati segelas cappucino, segera beranjak memangkas jarak."Ge lut yok, biar rame," ujarnya sambil nyengir.Jarak kami hanya tersisa satu jengkal. Ia ikut berdiri di sampingku yang sejak beberapa saat tadi menikmati kerlip lampu dari ketinggian lantai lima gedung ini."Anak-anak, gimana kabarnya ya, Kak?" tanyaku dengan pandangan menerawang.Selama ini, Fajar selalu tidur dengan elusan tanganku di punggungnya, sambil kubacakan cerita di buku yang ia pilih, hingga ia benar-benar terlelap. Tapi sekarang, justru aku berada di sini, bersama seorang lelaki yang belum dua belas jam resmi menjadi suamiku.Tiba-tiba saja aku merasa jadi ibu yang egois, sebab hanya berdua saja di tempat ini.Teringat saat mereka pamit sore tadi."Kakak mau belajar karate, sama Pakdhe.""Adik mau ngasih makan kelinci," seru adiknya, tak mau kalah."Sama main
Kutangkupkan kedua tangan di depan dada, berharap permohonanku dikabulkan."Boleh, asal masih sanggup aja."Ia menghembuskan napas, lalu bibirnya tersenyum. Aku mengangguk menyetujui."Oke, tunggu, ya."Tangan kanannya meraih bahuku, sementara tangan kirinya menekan beberapa nomor, kemudian meraih gagang telepon di atas meja."Hallo. Ya, saya mau pesan salad sayur sama jus alpukat, nggak pakai gula, tapi pakai madu. Ya, masing-masing dua. Kamar nomer, 208. Oke, makasih, saya tunggu, ya."Klik. Gagang telepon telah kembali ke tempatnya. Kini ia meraih daguku dengan ujung jarinya."Udah, ada lagi, Nyonya Dirgantara?" Ditatap lekat wajah ini, hingga aku tersipu sendiri."Terima kasih, Kak. Udah, habis ini udah, deh.""Malem lho, ini, apa nggak papa minum jus?" tanyanya."Nggak tau juga, heran juga kenapa sekarang makanku banyak."Aku menggaruk kepala yang tak gatal. Heran sendir