"Saya terima nikah dan kawinnya Rashida Husna binti Hendri Sanjaya dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."
Ia ucapkan dalam satu kali tarikan napas. Aku merasa Dejavu, kembali ke masa itu."Bagaimana para saksi, sah?""Sah!"Lalu suara serupa memenuhi ballroom ini. Kurasakan pandanganku telah terhalang oleh kaca-kaca bening.Gegas kuambil tangannya, lantas kucium dengan takdzim. Ia membalas dengan memegang ubun-ubun, lalu mengecup keningku lama, sambil membaca do'a.Allahumma inni as aluka khoyrohaa wa khoyro maa jabaltahaa 'alaih. Wa a'udzubika min syarri haa wa min syarri maa jabaltaha 'alaih.Artinya : Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepadaMu kebaikannya dan kebaikan yang Engkau ciptakan atasnya dan aku berlindung kepadaMu dari kejelekan atas yang Engkau ciptakan.Hari ini adalah sesuatu yang pernah aku pikirkan di masa lalu. Menjadi mempelai untuk Kak Dirga, lantas menjalani peran sebagai istrinya."Sepi sekali ya, Kak."Ia yang sedang duduk sambil menikmati segelas cappucino, segera beranjak memangkas jarak."Ge lut yok, biar rame," ujarnya sambil nyengir.Jarak kami hanya tersisa satu jengkal. Ia ikut berdiri di sampingku yang sejak beberapa saat tadi menikmati kerlip lampu dari ketinggian lantai lima gedung ini."Anak-anak, gimana kabarnya ya, Kak?" tanyaku dengan pandangan menerawang.Selama ini, Fajar selalu tidur dengan elusan tanganku di punggungnya, sambil kubacakan cerita di buku yang ia pilih, hingga ia benar-benar terlelap. Tapi sekarang, justru aku berada di sini, bersama seorang lelaki yang belum dua belas jam resmi menjadi suamiku.Tiba-tiba saja aku merasa jadi ibu yang egois, sebab hanya berdua saja di tempat ini.Teringat saat mereka pamit sore tadi."Kakak mau belajar karate, sama Pakdhe.""Adik mau ngasih makan kelinci," seru adiknya, tak mau kalah."Sama main
Kutangkupkan kedua tangan di depan dada, berharap permohonanku dikabulkan."Boleh, asal masih sanggup aja."Ia menghembuskan napas, lalu bibirnya tersenyum. Aku mengangguk menyetujui."Oke, tunggu, ya."Tangan kanannya meraih bahuku, sementara tangan kirinya menekan beberapa nomor, kemudian meraih gagang telepon di atas meja."Hallo. Ya, saya mau pesan salad sayur sama jus alpukat, nggak pakai gula, tapi pakai madu. Ya, masing-masing dua. Kamar nomer, 208. Oke, makasih, saya tunggu, ya."Klik. Gagang telepon telah kembali ke tempatnya. Kini ia meraih daguku dengan ujung jarinya."Udah, ada lagi, Nyonya Dirgantara?" Ditatap lekat wajah ini, hingga aku tersipu sendiri."Terima kasih, Kak. Udah, habis ini udah, deh.""Malem lho, ini, apa nggak papa minum jus?" tanyanya."Nggak tau juga, heran juga kenapa sekarang makanku banyak."Aku menggaruk kepala yang tak gatal. Heran sendir
Hari masih sangat pagi, saat aku membuka mata, dan tak melihat keberadaannya.Beranjak ke kamar anak-anak, terlihat pintu yang terbuka sedikit. Keduanya masih terlelap dengan selimut yang menutupi seluruh badan hingga ke leher.Tak kutemukan juga sosoknya di sana. Kucari ia di balkon, tempat yang ia suka, saat cuaca secerah ini, dengan banyaknya bintang bertaburan menjelang pagi. Ke mana perginya?Rasa ingin tau serta takut kehilangan, membuat langkahku bergerak menuruni tangga. Ini bukan kali pertama ia menghilang ketika aku membuka mata.Bibirku tersenyum seketika, melihat ia tengah berdiri dengan khusyuk di depan kompor yang menyala di kedua tungkunya.Rambut panjangnya disanggul ke atas asal-asalan, hingga memamerkan lehernya yang jenjang.Beberapa anak rambut menjulur di tepi pelipisnya. Ia bahkan masih mengenakan piyama bergambar Doraemon, kartun kesukaannya selain Son Goku.Ia sibuk mengaduk entah apa isi panci di atas kompor. Masih sangat pag
Adegan yang sama pun terulang. Aku ikut tersenyum melihat itu semua. Betapa kami telah menjadi satu keluarga yang hangat dan saling berterima kasih.Ia bergegas membereskan isi meja. Aku pun telah selesai dengan dua keranjang pakaian yang telah berjejer rapi pada jemuran."Sarapan dulu, ini kerjakan nanti saja, oke?" ajakku, saat ia akan mengambil sabun untuk membersihkan piring dan beberapa perabotan yang lain.Ia patuh lantas kami mulai menikmati sarapan, sambil berbincang ringan."Capek banget, ya?" tanyaku, sambil memeriksa kening dan lehernya dengan punggung tangan. Ia sendiri terlihat memijit pelipis."Udah butuh liburan kalau begini, nanti kita jalan ya, biar fresh lagi. Apalagi mereka berdua makin super-super aktif dan menggemaskan sekarang."Wajahnya yang mulai sedikit membulat itu terlihat pucat. Entah sejak kapan, kenapa aku baru menyadari perubahan ini."Enggak Kak, cuma pus
"Mama malu, Na."Itulah kalimat pertama yang meluncur dari lisan Mama Sekar, begitu duduk berdampingan dengan Husna.Ya, beliau akhirnya datang berkunjung keesokan harinya, setelah mendengar kabar bahwa menantu kesayangannya juga sedang mengandung.Beliau sesenggukan di dada Husna, sedangkan Husna sibuk menepuk punggung demi menenangkan beliau."Ini rejeki, Ma, kenapa mesti malu?" ujar Husna dengan tetap tersenyum."Umur Mama sudah setua ini. Apalagi calon cucu Mama sebentar lagi lahir. Teman-teman Mama bahkan mengolok Mama, mengatakan kalau Mama tua-tua keladi."Husna kembali menghembuskan napas panjang, mendengar penuturan Mama Sekar."Ma, kalau semua omongan mereka dimasukkan ke hati, yang ada bikin Mama tertekan. Bisa berpengaruh sama kehamilan Mama.Biarkan saja, ya. Anggap saja angin lalu. Yang jalani kan, Mama. Lagi pula, mungkin ini jawaban dari do'a Mama selama ini, setelah kehilangan anak kesayangan Mama. Iya kan, Ma?"Pelukan
"Heh? Serius ngidam pizzanya Bu Lisa?" tanyaku tak percaya.Bukannya apa, selama ini ia paling anti makanan dari olahan tepung. Banyak sekali alasannya, yang susah dicerna lah, yang bikin perut begah lah, dan masih banyak lagi.Sampai kucoret daftar rerotian dari daftar belanja kalau kami sedang ke luar. Semua itu menjadi pengecualian kalau si kembar minta, baru ada menu roti, itu pun tak boleh banyak."Iya, dua rius, Kak. Ada cabangnya yang deket sini apa nggak, ya?"Melihat raut serius di wajahnya, membuat aku mengambil ponsel, lantas menghubungi nomer Bu Lisa."Waduh, maaf belum sampai sana Mas Dirga," jawab Mbak Lisa dari seberang telepon. Kulihat wajah ratuku, ia terlihat tak sabar menunggu jawaban."Ya udah, makasih ya, Mbak. Nggak papa, ada yang ngidam ini."Dan akhirnya sambungan telepon itu pun terputus, sebab ada suara yang memanggil Mbak Lisa."Gimana, Kak?"Tuh, kan, nggak sabar dia. Ba
Berkunjung ke rumah Mama, artinya membuka kenangan lama. Tiba-tiba saja aku rindu, melihat kelebat kenangan yang hadir tanpa permisi.Foto pernikahanku terdahulu, bahkan masih terpajang di ruang keluarga rumah ini."Tante kecil," ujar Wahyu. Tangannya telah mulai beraksi, hendak menyentuh pipi dan hidung bayi mungil itu.Melihat bayi Mama yang tengah terlelap, justru menghadirkan kenangan saat Fajar baru hadir di kehidupan kami.Ia telah melakukan banyak sekali hal baik selama hidup bersamaku, tapi, kenapa kenangan buruk itu yang justru muncul di sini?Kutepis pikiran yang hadir, dengan ikut membaur pada kedua anakku yang sibuk dengan Tante barunya. "Iya, Sayang. Hati-hati pegangnya, ya. Coba tanya Oma, siapa nama Tante yang cantik ini?" "Oma, siapa nama Tante kecil ini?" tanyanya patuh."Tante Hapsari, Sayang," jawab Mama, lalu dielus-elusnya kepala Wahyu.Nama yang cantik, untuk bayi dengan wajah bu
"Ibu, gendong."Semakin dekat dengan hari persalinan, semakin bertambah juga kemanjaan kedua anakku.Bergantian mereka berdua mengulurkan kedua tangan meminta aku menggendongnya.Aku pun tak bisa menolak, selain menuruti keinginan mereka. Kapan lagi bisa kugendong, sedangkan mereka sudah tumbuh semakin besar."Gendong sama ayah, ya, Nak, kasihan dong, adik kegencet, kamu kan sudah besar sekarang," tawar sang ayah, jika kebetulan melihat dan mendengar permintaan sang anak."Nggak mau, mau sama ibu aja," jawabnya selalu. "Nggak papa, Yah," jawabku, mencoba menenangkan. Mereka baru mau lepas setelah lama dibujuk.Pagi selepas Subuh, persis seperti saat kelahiran Fajar, bayi itu lahir dengan persalinan normal.Ia bergegas mengadzankan anak itu, dengan suara parau. Lantas kecupan penuh cinta ia labuhkan di kening bayi suci tersebut, sebelum akhirnya diletakkan di dadaku, untuk menikmati ASI pertama."Alhamd
Aku dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar, serta memiliki peralatan yang lengkap. Di sana aku mendapat perawatan yang lebih baik."Aku akan cacat, Dam!" raungku, lalu suaraku menggema di ruang pemeriksaan."Kamu pergilah, aku sudah tak pantas lagi untukmu. Sudahlah nggak kunjung hamil, sekarang harapan mata kiriku … ."Ia telah melintangkan telunjuknya di bibirku."Sudah, jangan diteruskan. Aku tak akan ke mana-mana, Mei. Kamu istriku, apa pun kondisimu, aku akan tetap di sisimu. Tetap semangat, ya, nanti aku usahakan cari pengobatan yang terbaik. Kalau perlu kita cari donor mata buat kamu."Tergugu aku dalam dekapannya. Aku hampir putus asa, sebab harapan untuk pulih hanya sedikit. Hal ini tentu berpengaruh besar pada penampilanku nanti.Aku terus bertanya-tanya, kenapa harus menerima ini? Aku menolak takdir, bahwa mata kiriku tak bisa pulih seperti sedia kala.Sementara itu, Husna dan Hanan justru memberikan dukungan
Masih jam sepuluh pagi, saat kuselesaikan laporan penjualan bulan ini.Seorang office boy memasuki ruanganku dengan membawa kotak nasi. "Dari siapa," tanyaku saat kotak tersebut diletakkan di meja sesuai titahku."Dari Pak Hanan, Bu," jawabnya, lalu pamit ke luar.Dahiku mengernyit, lalu menghirup aroma ayam bakar yang menguar.Kedua mataku membola saat membaca nama yang tertera pada selembar kertas yang menyertai nasi kotak tersebut.Yang berbahagia, Rashida Husna dan Hanan Wijaya.Tanganku meremas kertas tersebut hingga tak berbentuk. Terbayang senyuman Husna atas kelahiran buah hati yang mereka nantikan. Sekali lagi aku kalah olehnya. .Hanan semakin mempesona di mataku, terlebih ia telah memiliki seorang bayi yang lucu. Meski cemburu pada Husna, aku tetap menyapa anak itu setiap kali bertemu.Bagaimana aku bisa melewatkannya, anak itu sungguh menggemaskan. Lehernya hampir tak te
Hanan kian sering memuji desainnya, serta hasil jadi berupa perhiasan siap pakai yang memang laku keras di pasaran.Kulihat matanya selalu berbinar setiap menyebut nama itu. Karir Husna pun kian bersinar. Hatiku dibakar cemburu. Hanan tak pernah seperti ini sebelumnya. Namun, jauh di lubuk hati, aku tak mengingkari peran Husna di sini. Siapa sangka, perempuan biasa itu memiliki kecerdasan luar biasa, hingga dapat membaca selera pasar dalam waktu singkat. Tak jarang kudapati ia mengenakan beberapa hasil desainnya meski hanya sebentar. Memang dasar mis kin. Kalau pengen kan tinggal beli, ngapain dipakai lalu dilepas lagi.Kesejahteraan karyawan kian ditambah. Setelah kenaikan gaji, kini ganti uang makan yang dinaikkan, bahkan nasi bungkus serta nasi kotak pun sering datang lebih awal, hingga para karyawan tak perlu jauh ke luar saat istirahat.Itu semua imbas dari omset penjualan yang melejit berkat desain Husna, sebab peranku d
POV MeisyaAku telah sangat percaya diri, bahwa mudah bagiku menaklukan seorang Hanan. Desakan sebab usia menjadi salah satu sebabnya.Akulah perempuan di ambang usia tiga puluh. Usia yang menjadi momok bagi perempuan untuk segera mengakhiri masa lajang.Demikian halnya dengan aku. Orang tuaku telah semakin gelisah memikirkan jodoh untukku. Sementara aku tak ambil pusing, kecuali saat satu kata dilontarkan, yakni perjodohan.Aku mulai mencari seseorang yang tepat, setidaknya, sebelum usiaku genap tiga puluh, aku telah memiliki calon ke jenjang pernikahan. Karirku bagus, penjualan tak pernah turun sejak kupegang. Wajahku pun terhitung menarik, tubuhku juga ramping. Tak ada yang kurang di hidupku, kecuali satu, pasangan hidup. Bukan karena aku tak laku, hanya saja aku pemilih. Beberapa kali aku menjalin hubungan, sebanyak itu pula harus kuakhiri sebab aku merasa lebih tinggi.Berbeda dengan Hanan. Ia tak seperti lelaki k
Ia menepati ucapannya untuk membawa kami jalan-jalan, tepat setelah bukan kembar pulang sekolah.Ia membayar waktunya dengan membawa aku ke salon untuk perawatan seluruh badan. Sementara itu, anak-anak ia bawa ke arena bermain, tak jauh dari salon ini berada. Aku segera menyusul begitu selesai dan kembali merasa rileks."Masya Allah, cantiknya istriku," sambutnya, begitu aku telah sampai. Aku tersipu, lantas mengucapkan terima kasih. Si bungsu segera kuambil alih, untuk kuberi ASI. Kedua kakaknya melanjutkan bermain.Setelah menghabiskan waktu seharian, kami dibawa ke rumah orang tuaku. Rumah ibu kian riuh dengan suara anak-anakku, juga anak-anak Mas Dika.Wahyu dan Fajar terlihat antusias saat Mas Dika mengajari gerakan membela diri. Ya, meski mereka telah dimasukkan ke kegiatan yang sama di dekat tempat kami tinggal, tetap saja mereka terkesan dengan gerakan baru dari Mas Dika."Na, mumpung kamu di sini, ibu mau kasih kabar," ujar Ibu, saat aku s
Tangan kecil itu membingkai wajahku, lalu menghujani wajah dengan kecupan tanpa henti."Aku sayang Ibu. I love you, Ibu," cetusnya lagi.Mata kukerjapkan beberapa kali, saat kurasai telapak tangan yang menempel di pundak."Mbak Husna, bangun, Mbak."Suara Bu Ratna mengiringi gerakan tangannya yang terhenti.Terlihat di depanku, Fajar yang sedang terlelap. Sebuah buku yang terbuka di atas selimut yang menutupi sebagian tubuhnya, menandakan aktifitas sebelum ia benar-benar memejamkan mata.Jika ia sedang terlelap sedamai ini, lalu ulah siapa beberapa saat tadi?"Mbak, pindah ke kamar, ya. Tidur sambil duduk begini, Mbak Husna bisa capek, nanti," ujar Bu Ratna lagi.Kuamati diri sendiri. Duduk bertumpu di lantai, dengan tangan bersandar pada sisi ranjang di samping Fajar. Kurasai kalau lututku mulai terasa sulit digerakkan.Di seberang tempatku duduk, Wahyu pun terlihat tak jauh berbeda dengan sang kakak.
"Ibu, gendong."Semakin dekat dengan hari persalinan, semakin bertambah juga kemanjaan kedua anakku.Bergantian mereka berdua mengulurkan kedua tangan meminta aku menggendongnya.Aku pun tak bisa menolak, selain menuruti keinginan mereka. Kapan lagi bisa kugendong, sedangkan mereka sudah tumbuh semakin besar."Gendong sama ayah, ya, Nak, kasihan dong, adik kegencet, kamu kan sudah besar sekarang," tawar sang ayah, jika kebetulan melihat dan mendengar permintaan sang anak."Nggak mau, mau sama ibu aja," jawabnya selalu. "Nggak papa, Yah," jawabku, mencoba menenangkan. Mereka baru mau lepas setelah lama dibujuk.Pagi selepas Subuh, persis seperti saat kelahiran Fajar, bayi itu lahir dengan persalinan normal.Ia bergegas mengadzankan anak itu, dengan suara parau. Lantas kecupan penuh cinta ia labuhkan di kening bayi suci tersebut, sebelum akhirnya diletakkan di dadaku, untuk menikmati ASI pertama."Alhamd
Berkunjung ke rumah Mama, artinya membuka kenangan lama. Tiba-tiba saja aku rindu, melihat kelebat kenangan yang hadir tanpa permisi.Foto pernikahanku terdahulu, bahkan masih terpajang di ruang keluarga rumah ini."Tante kecil," ujar Wahyu. Tangannya telah mulai beraksi, hendak menyentuh pipi dan hidung bayi mungil itu.Melihat bayi Mama yang tengah terlelap, justru menghadirkan kenangan saat Fajar baru hadir di kehidupan kami.Ia telah melakukan banyak sekali hal baik selama hidup bersamaku, tapi, kenapa kenangan buruk itu yang justru muncul di sini?Kutepis pikiran yang hadir, dengan ikut membaur pada kedua anakku yang sibuk dengan Tante barunya. "Iya, Sayang. Hati-hati pegangnya, ya. Coba tanya Oma, siapa nama Tante yang cantik ini?" "Oma, siapa nama Tante kecil ini?" tanyanya patuh."Tante Hapsari, Sayang," jawab Mama, lalu dielus-elusnya kepala Wahyu.Nama yang cantik, untuk bayi dengan wajah bu
"Heh? Serius ngidam pizzanya Bu Lisa?" tanyaku tak percaya.Bukannya apa, selama ini ia paling anti makanan dari olahan tepung. Banyak sekali alasannya, yang susah dicerna lah, yang bikin perut begah lah, dan masih banyak lagi.Sampai kucoret daftar rerotian dari daftar belanja kalau kami sedang ke luar. Semua itu menjadi pengecualian kalau si kembar minta, baru ada menu roti, itu pun tak boleh banyak."Iya, dua rius, Kak. Ada cabangnya yang deket sini apa nggak, ya?"Melihat raut serius di wajahnya, membuat aku mengambil ponsel, lantas menghubungi nomer Bu Lisa."Waduh, maaf belum sampai sana Mas Dirga," jawab Mbak Lisa dari seberang telepon. Kulihat wajah ratuku, ia terlihat tak sabar menunggu jawaban."Ya udah, makasih ya, Mbak. Nggak papa, ada yang ngidam ini."Dan akhirnya sambungan telepon itu pun terputus, sebab ada suara yang memanggil Mbak Lisa."Gimana, Kak?"Tuh, kan, nggak sabar dia. Ba