"Jadi dosen tamu?"
Fera mengangguk. Ia memang telah mengajar di kampus tempat kami dulu menuntut ilmu.Kini ia menyerahkan selembar undangan padaku. Seminggu lagi tanggal yang tertera di sana."Ilmu jangan disimpan sendiri. Bagi-bagi sama anak-anak kenapa?"Menjadi guru dan berbicara di depan puluhan murid dewasa, masih menjadi momok bagiku.Aku lebih senang di balik layar, seperti selama ini. Mau bikin desain sebanyak apa juga aku sanggup. Tapi kalau di depan orang banyak, nanti dulu."Nanti aku pikirkan lagi. Makasih undangannya, ya, Fera.""Ayolah, berhenti mengurung diri, Mbak Husna. Kami menunggumu."Ia masih belum bosan membujukku, sejak kami lulus kuliah, sampai sekarang.Ini bukan undangan yang pertama ia ajukan."Tak semua orang punya kemampuan seperti yang kamu punya. Pikirkan lagi, ya?"Ia memegang lenganku, sebagai wujud kesungguhan. Aku menghela napas panjang sebelum kIa telah siap dengan kaos berkerah serta celana jeans biru navy. Pakaian yang ia pilih sendiri. Rambut hitamnya telah disisir rapi.Ia terlihat semakin mirip dengan sang ayah kalau seperti ini."Benar, Ibu. Aku mau main robot sama adik Wahyu nanti. Boleh kan, Bu?""Baiklah, Sayang. Jadi anak baik, ya. Nggak boleh merepotkan Om Dirga. Oke?""Oke Ibu. Kakak kan, anak baik," ujarnya, lalu menghujaniku dengan kecupan di seluruh wajahku."Ibu pasti akan kangen sekali sama kamu, Nak," ujarku, lalu memeluknya erat.Kami tak pernah berpisah sebelumnya. Ini kali pertama aku menitipkan ia, pada Kak Dirga pula."Kakak sayang sama Ibu," cetusnya, lalu kembali menciumiku."Terima kasih, Sayang. Kamu manis sekali. Ibu juga sangat sayang sama kamu, Nak. Oke. Sekarang kita berangkat, ya?"Ia mengangguk setuju, lantas membawa mainan yang telah ia siapkan..Rumah Kak Dirga ternyata sedang sangat ramai. Kelu
Arya namanya. Salah satu dosen jurusan Teknik Informatika di kampus ini.Ia hampir selalu mendatangi aku setiap selesai mengikuti mata kuliah, dulu.Tak jarang pura-pura menjadi siswa demi bisa satu kelas denganku. Dipakainya masker sama kacamata, demi melancarkan aksinya. Pernah diusir juga, sebab ketahuan. Kalau dipikir-pikir, konyol juga bapak satu ini.Pelan tapi pasti, teman-teman pun tau kalau beliau menaruh hati padaku."Tolong berhenti, Pak Arya. Aku bukan perempuan yang bebas untuk kau dekati. Aku perempuan yang telah bersuami," ujarku, kala itu."Aku sudah jatuh hati sejak pertama melihatmu, Mbak Husna. Tak peduli kamu telah bersuami, aku tunggu jandamu."Aku terbelalak mendengar ucapannya.Kan ngeselin. Orang pengen rumah tangga utuh bahagia, eh dia malah mendo'akan aku jadi janda. Ya meski sekarang kenyataannya demikian, sih.Ia tak pernah berhenti. Setiap ada kesempatan, ia gunakan untuk mengambil hatiku. Meski sering kuacu
Keesokan harinya, masih jam tujuh pagi, lelaki itu telah muncul di depan pintu pagar. Ia menepati ucapannya kemarin, akan mengirimkan bunga mawar lebih banyak dari sebelumnya.Satu mobil bak terbuka, terisi penuh oleh mawar putih. Jika biasanya ia mengutus kurir, maka kali ini ia sendiri yang mengantar."Kamu ngapain, sih, Pak, bawa bunga banyak amat? Mau jualan apa gimana?""Sudah kukatakan, kalau aku akan mengirim lebih banyak bunga buat kamu, Mbak Husna."Aku menggelengkan kepala, tak mengerti dengan jalan pikiran lelaki ini."Aku taruh mana?" tanyanya, sambil melihat halaman rumah yang tak lagi kosong.Kuhela napas panjang berkali-kali, sampai aku merasa lebih tenang."Oke, ini yang terakhir ya? Setelah ini, tolong biarkan aku hidup dengan tenang, tanpa kiriman bunga-bunga. Apalagi sebanyak ini. Duh, kamu Arya.""Baiklah. Aku hanya mau lihat kamu dikelilingi oleh apa yang membuat hatimu senang, Mbak Husna," ujarnya, dengan tatapan mata yang m
Jam satu pagi. Aku masih terjaga, sedang melihat foto keluarga kami dari tampilan layar laptop.Rasa rindu, membuatku tak bisa memejamkan mata. Juga permintaan Kak Dirga, supaya aku mau menerima pinangannya.Aku tak pernah berpikir untuk membina rumah tangga baru sebelumnya, meski beberapa kali ibu dan Mama meminta secara halus maupun terang-terangan.Belakangan Mas Dika pun mengatakan hal sama, bahwa anakku butuh sosok ayah."Ayah … ."Lirih kudengar suara Fajar. Gegas aku menoleh ke tempat ia berbaring. Bukankah ia tadi masih terlelap? Benar, kedua matanya terpejam, sementara bibirnya yang mungil itu terus mengucapkan kata yang sama.Nampaknya ia sedang bermimpi, sebab bibirnya tersenyum saat sedang kuamati. Kuelus kepalanya, hingga ia kembali terlelap."Kamu rindu sama ayah ya, Nak? Besok kita ke makam, ya?" ajakku, meski kedua matanya terpejam.Kulabuhkan kecupan, lantas menutup layar yang menampil
"Pakaian bapak? Apa itu artinya, Mbak Husna … .""Iya, Bu. Insya Allah, saya lebih ikhlas sekarang. Saya … tak mau memberatkan bapak, dengan banyaknya barang dan pakaian yang masih saya simpan. Itu pasti akan memberatkan hisabnya.Saya baru menyadari, kalau kenangan itu ada di hati, bukan di barang. Jadi, semalam saya putuskan, untuk menyingkirkan beberapa pakaian bapak yang masih tersisa."Suaraku telah parau saat berkata. Aku harap ini keputusan yang tepat. Aku hanya menyimpan beberapa sekarang.Bertahun-tahun lamanya, aku membiarkan isi lemari itu tetap utuh, hanya mengurangi sedikit saat dibujuk ibu dan Mama.Hingga kusadari, aku terjebak sendiri, dalam kubangan kenangan bersamanya. Bukan aku hendak membuang kenangan, justru ingin membuat hidupku lebih tenang, tanpa adanya banyak barang yang tak lagi terpakai."Alhamdulillah, ibu ikut senang mendengarnya, Mbak Husna. Mbak Husna yang tabah ya, tersenyumlah lagi, Mbak
Ia telah berlutut di depanku, membuat aku bertanya, ia hendak mengatakan apa?"Will you marry me?""Yess, I would," jawabku, tanpa ragu.Lengkungan di bibirnya terbit seketika, lantas diciumnya punggung tanganku."Terima kasih, Husna, terima kasih," ujarnya dengan suara parau.Tiba-tiba saja aku mendapati kalau aku telah berada dalam rengkuhannya, hingga aroma tubuhnya bisa kuhirup."Kak, jangan begini, halalin dulu," ucapku dengan berbisik, lalu berusaha melepaskan diri. Ia patuh, diurainya pelukan ini.Tawanya berderai, sampai kulihat bulir bening meluncur dari sudut matanya."Apa kamu sudah tidak sabar?" ujarnya dengan mengerling padaku.Ada desir-desir halus yang perlahan merambat naik ke pipi. Kurasakan kalau pipiku terasa panas. "Kita ke rumah Ibu, ya?" pintanya. Suaranya kembali terdengar lembut."Sekarang?""Iya. Tadi katanya minta garansi?" tambahnya lagi, lalu menge
"Saya terima nikah dan kawinnya Rashida Husna binti Hendri Sanjaya dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."Ia ucapkan dalam satu kali tarikan napas. Aku merasa Dejavu, kembali ke masa itu."Bagaimana para saksi, sah?""Sah!"Lalu suara serupa memenuhi ballroom ini. Kurasakan pandanganku telah terhalang oleh kaca-kaca bening. Gegas kuambil tangannya, lantas kucium dengan takdzim. Ia membalas dengan memegang ubun-ubun, lalu mengecup keningku lama, sambil membaca do'a.Allahumma inni as aluka khoyrohaa wa khoyro maa jabaltahaa 'alaih. Wa a'udzubika min syarri haa wa min syarri maa jabaltaha 'alaih.Artinya : Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepadaMu kebaikannya dan kebaikan yang Engkau ciptakan atasnya dan aku berlindung kepadaMu dari kejelekan atas yang Engkau ciptakan.Hari ini adalah sesuatu yang pernah aku pikirkan di masa lalu. Menjadi mempelai untuk Kak Dirga, lantas menjalani peran sebagai istrinya.
"Sepi sekali ya, Kak."Ia yang sedang duduk sambil menikmati segelas cappucino, segera beranjak memangkas jarak."Ge lut yok, biar rame," ujarnya sambil nyengir.Jarak kami hanya tersisa satu jengkal. Ia ikut berdiri di sampingku yang sejak beberapa saat tadi menikmati kerlip lampu dari ketinggian lantai lima gedung ini."Anak-anak, gimana kabarnya ya, Kak?" tanyaku dengan pandangan menerawang.Selama ini, Fajar selalu tidur dengan elusan tanganku di punggungnya, sambil kubacakan cerita di buku yang ia pilih, hingga ia benar-benar terlelap. Tapi sekarang, justru aku berada di sini, bersama seorang lelaki yang belum dua belas jam resmi menjadi suamiku.Tiba-tiba saja aku merasa jadi ibu yang egois, sebab hanya berdua saja di tempat ini.Teringat saat mereka pamit sore tadi."Kakak mau belajar karate, sama Pakdhe.""Adik mau ngasih makan kelinci," seru adiknya, tak mau kalah."Sama main
Aku dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar, serta memiliki peralatan yang lengkap. Di sana aku mendapat perawatan yang lebih baik."Aku akan cacat, Dam!" raungku, lalu suaraku menggema di ruang pemeriksaan."Kamu pergilah, aku sudah tak pantas lagi untukmu. Sudahlah nggak kunjung hamil, sekarang harapan mata kiriku … ."Ia telah melintangkan telunjuknya di bibirku."Sudah, jangan diteruskan. Aku tak akan ke mana-mana, Mei. Kamu istriku, apa pun kondisimu, aku akan tetap di sisimu. Tetap semangat, ya, nanti aku usahakan cari pengobatan yang terbaik. Kalau perlu kita cari donor mata buat kamu."Tergugu aku dalam dekapannya. Aku hampir putus asa, sebab harapan untuk pulih hanya sedikit. Hal ini tentu berpengaruh besar pada penampilanku nanti.Aku terus bertanya-tanya, kenapa harus menerima ini? Aku menolak takdir, bahwa mata kiriku tak bisa pulih seperti sedia kala.Sementara itu, Husna dan Hanan justru memberikan dukungan
Masih jam sepuluh pagi, saat kuselesaikan laporan penjualan bulan ini.Seorang office boy memasuki ruanganku dengan membawa kotak nasi. "Dari siapa," tanyaku saat kotak tersebut diletakkan di meja sesuai titahku."Dari Pak Hanan, Bu," jawabnya, lalu pamit ke luar.Dahiku mengernyit, lalu menghirup aroma ayam bakar yang menguar.Kedua mataku membola saat membaca nama yang tertera pada selembar kertas yang menyertai nasi kotak tersebut.Yang berbahagia, Rashida Husna dan Hanan Wijaya.Tanganku meremas kertas tersebut hingga tak berbentuk. Terbayang senyuman Husna atas kelahiran buah hati yang mereka nantikan. Sekali lagi aku kalah olehnya. .Hanan semakin mempesona di mataku, terlebih ia telah memiliki seorang bayi yang lucu. Meski cemburu pada Husna, aku tetap menyapa anak itu setiap kali bertemu.Bagaimana aku bisa melewatkannya, anak itu sungguh menggemaskan. Lehernya hampir tak te
Hanan kian sering memuji desainnya, serta hasil jadi berupa perhiasan siap pakai yang memang laku keras di pasaran.Kulihat matanya selalu berbinar setiap menyebut nama itu. Karir Husna pun kian bersinar. Hatiku dibakar cemburu. Hanan tak pernah seperti ini sebelumnya. Namun, jauh di lubuk hati, aku tak mengingkari peran Husna di sini. Siapa sangka, perempuan biasa itu memiliki kecerdasan luar biasa, hingga dapat membaca selera pasar dalam waktu singkat. Tak jarang kudapati ia mengenakan beberapa hasil desainnya meski hanya sebentar. Memang dasar mis kin. Kalau pengen kan tinggal beli, ngapain dipakai lalu dilepas lagi.Kesejahteraan karyawan kian ditambah. Setelah kenaikan gaji, kini ganti uang makan yang dinaikkan, bahkan nasi bungkus serta nasi kotak pun sering datang lebih awal, hingga para karyawan tak perlu jauh ke luar saat istirahat.Itu semua imbas dari omset penjualan yang melejit berkat desain Husna, sebab peranku d
POV MeisyaAku telah sangat percaya diri, bahwa mudah bagiku menaklukan seorang Hanan. Desakan sebab usia menjadi salah satu sebabnya.Akulah perempuan di ambang usia tiga puluh. Usia yang menjadi momok bagi perempuan untuk segera mengakhiri masa lajang.Demikian halnya dengan aku. Orang tuaku telah semakin gelisah memikirkan jodoh untukku. Sementara aku tak ambil pusing, kecuali saat satu kata dilontarkan, yakni perjodohan.Aku mulai mencari seseorang yang tepat, setidaknya, sebelum usiaku genap tiga puluh, aku telah memiliki calon ke jenjang pernikahan. Karirku bagus, penjualan tak pernah turun sejak kupegang. Wajahku pun terhitung menarik, tubuhku juga ramping. Tak ada yang kurang di hidupku, kecuali satu, pasangan hidup. Bukan karena aku tak laku, hanya saja aku pemilih. Beberapa kali aku menjalin hubungan, sebanyak itu pula harus kuakhiri sebab aku merasa lebih tinggi.Berbeda dengan Hanan. Ia tak seperti lelaki k
Ia menepati ucapannya untuk membawa kami jalan-jalan, tepat setelah bukan kembar pulang sekolah.Ia membayar waktunya dengan membawa aku ke salon untuk perawatan seluruh badan. Sementara itu, anak-anak ia bawa ke arena bermain, tak jauh dari salon ini berada. Aku segera menyusul begitu selesai dan kembali merasa rileks."Masya Allah, cantiknya istriku," sambutnya, begitu aku telah sampai. Aku tersipu, lantas mengucapkan terima kasih. Si bungsu segera kuambil alih, untuk kuberi ASI. Kedua kakaknya melanjutkan bermain.Setelah menghabiskan waktu seharian, kami dibawa ke rumah orang tuaku. Rumah ibu kian riuh dengan suara anak-anakku, juga anak-anak Mas Dika.Wahyu dan Fajar terlihat antusias saat Mas Dika mengajari gerakan membela diri. Ya, meski mereka telah dimasukkan ke kegiatan yang sama di dekat tempat kami tinggal, tetap saja mereka terkesan dengan gerakan baru dari Mas Dika."Na, mumpung kamu di sini, ibu mau kasih kabar," ujar Ibu, saat aku s
Tangan kecil itu membingkai wajahku, lalu menghujani wajah dengan kecupan tanpa henti."Aku sayang Ibu. I love you, Ibu," cetusnya lagi.Mata kukerjapkan beberapa kali, saat kurasai telapak tangan yang menempel di pundak."Mbak Husna, bangun, Mbak."Suara Bu Ratna mengiringi gerakan tangannya yang terhenti.Terlihat di depanku, Fajar yang sedang terlelap. Sebuah buku yang terbuka di atas selimut yang menutupi sebagian tubuhnya, menandakan aktifitas sebelum ia benar-benar memejamkan mata.Jika ia sedang terlelap sedamai ini, lalu ulah siapa beberapa saat tadi?"Mbak, pindah ke kamar, ya. Tidur sambil duduk begini, Mbak Husna bisa capek, nanti," ujar Bu Ratna lagi.Kuamati diri sendiri. Duduk bertumpu di lantai, dengan tangan bersandar pada sisi ranjang di samping Fajar. Kurasai kalau lututku mulai terasa sulit digerakkan.Di seberang tempatku duduk, Wahyu pun terlihat tak jauh berbeda dengan sang kakak.
"Ibu, gendong."Semakin dekat dengan hari persalinan, semakin bertambah juga kemanjaan kedua anakku.Bergantian mereka berdua mengulurkan kedua tangan meminta aku menggendongnya.Aku pun tak bisa menolak, selain menuruti keinginan mereka. Kapan lagi bisa kugendong, sedangkan mereka sudah tumbuh semakin besar."Gendong sama ayah, ya, Nak, kasihan dong, adik kegencet, kamu kan sudah besar sekarang," tawar sang ayah, jika kebetulan melihat dan mendengar permintaan sang anak."Nggak mau, mau sama ibu aja," jawabnya selalu. "Nggak papa, Yah," jawabku, mencoba menenangkan. Mereka baru mau lepas setelah lama dibujuk.Pagi selepas Subuh, persis seperti saat kelahiran Fajar, bayi itu lahir dengan persalinan normal.Ia bergegas mengadzankan anak itu, dengan suara parau. Lantas kecupan penuh cinta ia labuhkan di kening bayi suci tersebut, sebelum akhirnya diletakkan di dadaku, untuk menikmati ASI pertama."Alhamd
Berkunjung ke rumah Mama, artinya membuka kenangan lama. Tiba-tiba saja aku rindu, melihat kelebat kenangan yang hadir tanpa permisi.Foto pernikahanku terdahulu, bahkan masih terpajang di ruang keluarga rumah ini."Tante kecil," ujar Wahyu. Tangannya telah mulai beraksi, hendak menyentuh pipi dan hidung bayi mungil itu.Melihat bayi Mama yang tengah terlelap, justru menghadirkan kenangan saat Fajar baru hadir di kehidupan kami.Ia telah melakukan banyak sekali hal baik selama hidup bersamaku, tapi, kenapa kenangan buruk itu yang justru muncul di sini?Kutepis pikiran yang hadir, dengan ikut membaur pada kedua anakku yang sibuk dengan Tante barunya. "Iya, Sayang. Hati-hati pegangnya, ya. Coba tanya Oma, siapa nama Tante yang cantik ini?" "Oma, siapa nama Tante kecil ini?" tanyanya patuh."Tante Hapsari, Sayang," jawab Mama, lalu dielus-elusnya kepala Wahyu.Nama yang cantik, untuk bayi dengan wajah bu
"Heh? Serius ngidam pizzanya Bu Lisa?" tanyaku tak percaya.Bukannya apa, selama ini ia paling anti makanan dari olahan tepung. Banyak sekali alasannya, yang susah dicerna lah, yang bikin perut begah lah, dan masih banyak lagi.Sampai kucoret daftar rerotian dari daftar belanja kalau kami sedang ke luar. Semua itu menjadi pengecualian kalau si kembar minta, baru ada menu roti, itu pun tak boleh banyak."Iya, dua rius, Kak. Ada cabangnya yang deket sini apa nggak, ya?"Melihat raut serius di wajahnya, membuat aku mengambil ponsel, lantas menghubungi nomer Bu Lisa."Waduh, maaf belum sampai sana Mas Dirga," jawab Mbak Lisa dari seberang telepon. Kulihat wajah ratuku, ia terlihat tak sabar menunggu jawaban."Ya udah, makasih ya, Mbak. Nggak papa, ada yang ngidam ini."Dan akhirnya sambungan telepon itu pun terputus, sebab ada suara yang memanggil Mbak Lisa."Gimana, Kak?"Tuh, kan, nggak sabar dia. Ba