Aku baru akan melewati bibir pintu dan mengajak ia masuk serta, saat kulihat ia bagai terpaku. Kuikuti arah pandangan matanya, terlihat dua orang lelaki perempuan, yang nampaknya suami istri.Perempuan itu, terlihat bahagia dengan senyum yang menghiasi wajahnya. Tangan kanannya melingkar di lengan kiri lelaki berkaos putih bersih, sementara tangan kirinya, terlihat mengelus-elus perutnya yang membuncit. Meski ia mengenakan gamis longgar, tetap saja tak bisa ia sembunyikan perutnya yang besar itu. Sementara lelaki di sampingku, terlihat memandangnya dengan sorot mata yang tak pernah kulihat sebelumnya.Sorot mata itu, yang selalu ingin kulihat, semenjak aku menjadi istrinya. Tapi kenapa, kini ia berikan pada seseorang yang baru kali ini kutemui? Pun pertemuan ini tak sengaja, sebab ini berada di sebuah toko perlengkapan bayi. Siapa dia sebenarnya?Ada yang menghentak-hentak di dalam sini, melihat pemandangan itu. Mas Dirga masih tak berkedip, sampai wanita denga
Hatiku damai ...Jiwaku tentram di sampingmu ...Hatiku damai Jiwaku tentram bersamamu ...Iringan tepuk tangan pengunjung, menyambut berakhirnya lagu yang kami bawakan berdua. Ditatapnya lekat ke dalam mataku selama ia membawakan lagu. Ia pun melabuhkan sebuah kecupan, sebelum mengembalikan microphone dan mengucapkan terima kasih, pada grup band yang memberikan waktu kepada kami.Aku pun mengucapkan terima kasih, sebab ia telah membuat hatiku tak lagi menduga-duga. Kami berdua mengayunkan kaki menuju meja yang telah berisi beberapa menu yang kami pesan."Nggak usah mikir aneh-aneh lagi, ya," pintanya. Aku mengangguk. Bagaimana aku bisa berprasangka kalau ia semanis ini padaku?Senyumku belum juga usai, hingga kami berdua kembali bergabung bersama Mbak Husna dan suaminya. Mereka pun menyambut dengan senyum lebar."Ayo minum dulu, pasti haus kan, habis nyanyi," sambut Mbak Husna, sambil memberikan satu botol air mineral padaku. Mas Dirg
Aku berusaha memungut peristiwa yang berserakan di kepala. Saat sadar ternyata telingaku ini telah akrab dengan nama Mbak Husna dan Pak Hanan sejak lama, membuat aku tak mengalihkan pandangan dari kedua pasangan yang terlihat serasi. Pun pada suamiku, yang sejak beberapa saat tadi tak banyak bicara.Ia pun sama sepertiku, asyik memperhatikan mereka yang sibuk menjawab celoteh demi celoteh anak-anak yang kian ramai, sambil bercerita dan menikmati cemilan sesekali."Gimana, Dek? Udah lebih seger kayaknya ya, Mas Dirga?" tanya Mbak Lisa yang kini sibuk di rumah saja.Ia hanya menengok sesekali ke toko dan warung catering, sebab telah memiliki karyawan yang bisa diandalkan."Iya Mbak, udah rekor ini, sejak pagi nggak ada mual. Iya kan, Dek?" tanyanya sambil mengelus kepalaku. Aku mengangguk.Isi kepalaku telah penuh dengan bermacam pertanyaan yang belum bertemu jawabannya. Aku memilih menikmati apa yang disuguhkan oleh Mbak Lisa."Ini besok kayak A
POV HananHatiku ikut mekar, melihat Husna dan Rahmi nampak akrab. Meski di awal terlihat canggung untuk beberapa saat lamanya. Aku rasa, Rahmi pun menyadari sesuatu saat menyaksikan tatapan mata Dirga pada Husna. Untung saja, Dirga segera menetralkan semuanya. Ia terlihat berhasil meyakinkan Rahmi, bahwa tak ada hubungan khusus sebelumnya, antara ia dengan Husna."Aku rasa, mereka bukan sekedar teman lama."Terdengar suara dari arah dapur. Aku yang sedang menuntun Najwa di halaman samping rumah Bu Lisa, menghentikan langkah seketika. "Apa maksudmu, Dek?" terdengar suara Bu Lisa menimpali."Cara Mas Dirga menatapnya, terlihat lain, Mbak."Aku mendengar suara serak dari Rahmi. Entah ini hanya perasaanku saja atau bukan. Ada apa ini?"Hem, adikku yang cantik sedang cemburu, ya? Mbak Husna memang cantik, tapi cantiknya beda. Mbak saja waktu pertama melihat sudah m
Hampir jam tujuh malam saat kami sampai di rumah. Sempat mampir dulu di angkringan, sebab bumil sedang ingin menikmati nasi kucing.Ia bersemangat sekali, saat mengeluarkan satu persatu pakaian bayi dari bagasi."Ini besok dicuci dulu semua, habis itu baru disimpan," ujarnya setelah semua selesai."Hai, Wijaya kecil. Kamu dengar, kan, pakaian kamu sudah disiapkan sama ibu, sekarang. Sehat-sehat ya, Nak," ujarku pelan, sambil mensejajarkan kepala pada perut Husna. Kuusapkan tangan, lalu melabuhkan kecupan di sana. Sambutan hangat segera didapat, berupa tendangan yang membuat kami terasa kian dekat."Aku tak sabar ingin bertemu dengannya, Mas," ujarnya begitu saja. Ia kembali mengusap perutnya dengan sayang."Sabar ya, sebentar lagi, insya Allah kita semua akan bertemu dengan anak kita.""Iya, Mas. Semoga semuanya lancar dan sehat. Gerah sekali, Mas, aku mandi dulu, ya?" Aku mengiyakan. Ia bisa mandi hingga enam
Aku tak bisa bekerja dengan tenang hari ini. Berkali-kali kedua mataku basah, hingga memerah. Semua ucapan Husna, berdengung-dengung memenuhi isi kepala. Jika saja hari ini tak ada rapat direksi, ingin rasanya aku membawa Husna ke suatu tempat. Aku hanya ingin menghabiskan hari bersamanya."Pak, ngelamun aja!" tegur Yoga, saat aku ikut duduk di ruangannya. Rapat baru saja selesai, giliran aku ngadem sejenak di ruang desain ini. Ruang yang pernah ditempati Husna meski tak lama."Eh, kenapa, Yo?" tanyaku setelah mengerjapkan mata beberapa kali."Biasanya rame, ini nggak ada suaranya dari tadi, Pak," selorohnya."Mbak Husna, gimana kabarnya, Pak? Sudah lama, ya, nggak main ke sini," tambahnya lagi.Mendengar namanya disebut, aku kembali teringat wajahnya yang tenang saat kutinggalkan tadi pagi."Kabar Mbak Husna baik. Iya, Yo, dia sedang istirahat di rumah.""Udah lahiran, ya, Pak?""Belum. Masih beberapa Minggu lagi. Kenapa, kangen k
"Tinggal di sini saja dulu, Husna. Nanti kalau ada apa-apa, lalu suami kamu nggak di rumah, gimana?"Kami baru sampai di rumah beliau, setelah memeriksa kandungan. Masih perlu satu kali lagi, sebagai periksa terakhir sebelum anak kami lahir. Tinggal menunggu hari."Lihat, perut kamu semakin besar, sudah di bawah ini, sebentar lagi cucu ibu lahir. Iya, kan?"Ia hanya menatapku, seakan minta tolong, supaya diselamatkan dari situasi ini.Teringat perdebatan kemarin, yang sempat juga membahas ini. Husna berkeras tak mau meninggalkan rumah, meski kandungannya semakin besar. Sedangkan aku juga berpikiran sama dengan ibu mertua. Rasanya aku lebih tenang kalau ia untuk sementara tinggal di sini, menunggu hari persalinan yang masih dua minggu lagi.Di sini masih ada orang tua yang lengkap, ada Mas Dika juga. Mereka pasti sigap jika misalnya saat tiba Husna akan melahirkan, sedangkan aku tak berada di tempat."Nanti Kusuma nggak ada temannya, Mas," alasa
POV Husna"Kamu lagi lihat apa?"Aku menoleh ke arahnya yang baru membuka mata. Ia segera melingkarkan tangannya di perutku yang besar ini.Ia terlihat keheranan melihat tampilan di layar ponsel yang belum selesai. Terlihat video ibu yang sedang menunggu anaknya lahir, sementara perutnya terlihat jelas menampilkan jejak kaki dan tangan yang mungil."Aduh, itu apa nggak sakit, kok sampai kaya gitu?" tanyanya terlihat miris."Ya pasti sakit, Mas. Ibunya saja meringis begitu menahan sakit. Tapi lihat, si ibu tetap tertawa bahagia, kan?" tanyaku yang segera dijawab dengan anggukan.Memang miris melihat video tersebut. Nyerinya seakan menular pada yang melihat. Aku sengaja menontonnya, selain video proses persalinan, demi mengurangi rasa takut yang mulai datang mengendap-endap, seiring bertambah dekat hari perkiraan lahir anak ini.Semua dilakukan demi mempersiapkan diri menghadapi hari besar yang akan datang sebentar lagi."Yang ini, suka g