Ia meraih bahuku, lantas merapatkan badan. Terima kasih, Mas. Setidaknya, aku berharap, Mama mau mendengarkan anak lelakinya, bukan adiknya yang hampir selalu julid kalau bertemu denganku.
"Maaf, Mas terlambat," bisiknya di telingaku."Benar begitu, Husna?""I-iya, Ma."Mama masih menatapku dengan tatapan bertanya, kemudian terlihat menghembuskan napas panjang."Nah, bener, kan. Jadi Mama nggak usah mikir macem-macem. Oke?""Baiklah, Mama percaya sama kamu, Hanan.""Semudah itu kamu percaya, Sekar?" tanya Tante dengan menaikkan alis. Ia terlihat keberatan melihat Mama tak terpengaruh lagi oleh ucapannya."Sudahlah Tante, ibu dan anak ini sudah lengket, tak bisa kamu kompori kalau sudah seperti sekarang," bisikku dalam hati."Eh, iya, Mama, udah makan siang apa belum? Mumpung di sini, kita makan sama-sama, yuk. Ayo, Ma, pilih menu yang Mama pengen. Yuk."Ia tak menanggapi ucapan Tante Wanda, begSiang ini, rintik hujan membasahi bumi. Udara yang kering dan panas matahari yang menyengat kulit, sirna begitu saja seiring dengan hadirnya. Aroma petrikor ini, kuhirup sedalam yang aku bisa. Aroma ini, yang selalu disukai olehnya."Aroma ini selalu unik, saat tanah yang kering kerontang bertemu dengan rintik air hujan. Seperti hatiku yang merana menanggung rindu, lantas disirami oleh hadirmu," ujarnya, kala itu.Aku membaui aroma tanah kering yang tersiram air hujan dengan hati yang penuh. Hujan pertama ini, selalu mengingatkan aku, saat pertama kali aku peduli akan hadirnya. Saat pertama kali aku menyadari, bahwa ada seseorang yang begitu dalam menyimpan rasa untukku.Hujan kali ini, membuat aku termangu. Berkelebat dalam ingatan, semua kenangan tentang dia.Alam semesta seakan mengerti, bahwa ada hati yang ikut gembira, menyambut hujan pertama. Pun ada hati yang gerimis, sebab menyadari bahwa ia harus tau diri dengan kondisi sekarang ini."Bolehkah aku m
Hatiku pun ikut hangat menyaksikan pemandangan di depanku. Melihat betapa peduli dan sayangnya Hanan pada Husna, membuat aku ikut bahagia. Yah, meski tak dapat kupungkiri, kalau ada sisi hatiku yang terbakar cemburu."Terima kasih, Mas. Nah, yang di dalam sini juga mau Kak Dirga sama ibu ikut menikmati, mau, ya?" ucapnya sambil menyerahkan masing-masing satu pada kami.Apa lagi yang bisa kami lakukan, selain menuruti inginnya?.Aku pikir, setelah pertemuan hari itu, semua akan baik-baik saja. Nyatanya, tidak demikian. Rasa cintaku semakin besar, begitu juga dengan rindu.Aku tak bisa berhenti mencintai, meski telah mengucapkan kata selesai pada hubungan kami berdua. Hatiku tak bisa berdusta, bahwa masih ada tempat istimewa di dalamnya, untuk satu nama.Ia telah menjelma menjadi wanita yang matang, seiring dengan bertambahnya usia. Ia juga menjelma menjadi udara yang senantiasa kuhirup, yang tanpa adanya, aku tak bisa bernapas dengan bebas. Ia telah menj
POV HananKonon katanya, cinta pertama akan tetap tersimpan di hati, entah bagaimana kehidupan baru yang telah dijalani. Itu juga yang membuat rasa cemas terus menghantuiku.Aku percaya bahwa mereka sudah dewasa, bisa mengendalikan perasaan masing-masing. Tapi, siapa yang bisa membaca isi hati seseorang? Meski sudah meyakinkan hati berkali-kali bahwa semua akan baik-baik saja, tetap saja ada yang menggelitik sisi hati, supaya aku tetap waspada.Ada rasa yang tak bisa diucapkan, saat kami bertiga bisa berkumpul kembali, setelah sekian lamanya saling mencari dan bersembunyi.Masih kulihat tatapan hangat di mata Dirga, saat berhadapan dengan Husna. Aku harap, dia memegang ucapannya kali ini. Mereka berdua telah selesai. Aku harap, tak hanya di lidah, tapi demikian juga di hati.Masih ada sisa air mata saat aku telah tiba. Terlebih lagi, kehadiran Tante Wanda dan Mama yang membuat argumen menyesatkan, bisa saja Dirga menduga bahwa Husna terintimidasi selama ini.Semua pikiran buruk itu kus
"Kamu kecapekan kayaknya ini. Besok, kita periksa, ya? Mudahan nggak papa," pungkasku. Aku tak mau membuat ia khawatir, yang akan berpengaruh pada janinnya.Ia mengangguk, lantas terbatuk. Ia selalu begini, setelah mandi hujan hingga basah kuyup. Meski wajahnya bahagia sekali saat diguyur air yang tercurah dari langit. Hal itu juga yang membuat ibunya selalu keberatan setiap kali ia minta ijin mandi hujan. Terlebih lagi sekarang kondisinya sedang berbadan dua. Jika dibiarkan, bisa-bisa nanti berpengaruh pada janinnya. Gerakan yang terjadi akibat batuk, bukan tak mungkin akan menimbulkan gerakan berulang pada rahimnya. Riwayat keguguran spontan yang pernah ia alami, menambah daftar panjang ketakutanku akan sesuatu yang bahkan tak ingin kubayangkan.Kuperiksa keningnya dengan punggung tanganku. Benar, kan, suhunya mulai naik. "Nah, ini mulai efeknya habis main hujan. Tunggu di sini Mas buatkan wedang jahe, biar lega tenggorokannya. Ini juga mulai anget badannya," ujarku, bersiap bera
"Mas, lagi ngapain?" sapanya, yang sukses membuat aku terperanjat.Duh, kamu bikin jantungan aja, Husna. Mana dini hari begini.Ia kembali terbatuk. Buku kecil kuletakkan kembali ke tempatnya, lantas mengambil air minum untuknya."Sekarang nurut sama Mas, ya. Tunggu Mas buatkan minuman hangat," ujarku setelah ia meneguk air mineral. Ia mengangguk setuju."Makasih, ya, Mas. Maaf, kalau aku, ngerepotin kamu," ujarnya lirih. Nampaknya ada mendung di wajahnya. Kuraih bahunya, kemudian kusandarkan kepalanya di dada. Ia akan lebih tenang kalau begini. Biasanya."Mas nggak repot, kok. Kamu tenang aja, ya. Tunggu di sini, mumpung batuknya baru mulai, jangan sampai nanti makin menjadi, kasihan Wijaya kecil nanti. Sebentar ya, Sayang."Ia mengangguk juga. Gegas kulangkahkan kaki ke dapur dan mulai membuat minuman pereda batuk yang biasa kubuat untuknya. Tak lama kemudian, semua telah siap. Ia segera menghabiskan wedang
Ia masih diam, meski badannya telah kubingkai dengan kedua lenganku. Kini tanganku beralih pada perutnya yang kian tinggi dari hari ke hari."Sini duduk, yuk, kita ajak ngobrol yang di dalam sini."Ia menurut juga. Aku mulai mengelus dan mengetuk perutnya dengan penuh rasa sayang. Tak lama kemudian, gelombang-gelombang cinta dari janin yang berada di dalam, sukses membuat Husna tertawa renyah."Lihat, kan, tinggi sekali dia menendang. Ini cowok kayaknya, deh" celetukku."Enggak, cewek ini," sanggahnya."Cowok aja, biar kamu tetap jadi yang paling cantik buat Mas," pungkasku."Kalau dua aja, gimana?""Dua, maksud kamu kembar?" "He em, asyik dan seru pastinya, kalau punya anak kembar, bisa dipakein baju kembar, bisa sekalian juga momongnya."Hatiku mencelos mendengar penuturannya. Di keluarga kami, memang tak ada keturunan anak kembar. Tapi kemungkinan itu tetap bisa saja terjadi. Meski kemungkinannya ke
POV RahmiJika untuk mendapatkan perhatianmu bisa didapatkan dengan sakitnya aku, aku rela, Mas..Ia masih setia menyuapkan bubur yang masih tersisa beberapa sendok lagi. Kondisiku kian lemah seiring bertambahnya tahapan penyakitku. Meski aku telah berusaha memperbaiki asupan yang masuk ke dalam tubuhku, ternyata tak semudah itu menaklukkan ginjal yang terlanjur cedera."Sudah cukup, Mas. Terima kasih, ya," ucapku tulus.Ia telah meluangkan banyak sekali waktu untukku belakangan ini. Termasuk memantau apa saja yang kukonsumsi."Sama-sama. Sekarang istirahat ya, Mas bereskan ini dulu."Ia usap kepalaku dengan lembut. Aku mengangguk, lantas ia segera meninggalkan aku yang masih terbaring lemah.Pandanganku menerawang ke luar jendela kamar. Sinar matahari menerobos masuk melalui celah rimbunnya pohon mangga di luar sana. Bibirku melengkungkan senyum, mengingat semua hal baik yang kudapat di rumah ini, rumah yang kutempati bersama suami dan juga mer
Aku baru akan melewati bibir pintu dan mengajak ia masuk serta, saat kulihat ia bagai terpaku. Kuikuti arah pandangan matanya, terlihat dua orang lelaki perempuan, yang nampaknya suami istri.Perempuan itu, terlihat bahagia dengan senyum yang menghiasi wajahnya. Tangan kanannya melingkar di lengan kiri lelaki berkaos putih bersih, sementara tangan kirinya, terlihat mengelus-elus perutnya yang membuncit. Meski ia mengenakan gamis longgar, tetap saja tak bisa ia sembunyikan perutnya yang besar itu. Sementara lelaki di sampingku, terlihat memandangnya dengan sorot mata yang tak pernah kulihat sebelumnya.Sorot mata itu, yang selalu ingin kulihat, semenjak aku menjadi istrinya. Tapi kenapa, kini ia berikan pada seseorang yang baru kali ini kutemui? Pun pertemuan ini tak sengaja, sebab ini berada di sebuah toko perlengkapan bayi. Siapa dia sebenarnya?Ada yang menghentak-hentak di dalam sini, melihat pemandangan itu. Mas Dirga masih tak berkedip, sampai wanita denga