POV Husna"Mau Mas bantu, nggak?"Aku masih asyik mengetik, mengerjakan revisian hari ini. Kualihkan pandang sejenak dari layar monitor, demi melihat pasangan hidup yang penuh cinta di depanku."Boleh, Mas. Duduk sini temani aku, ya, itu sudah cukup, Mas," jawabku sambil mengulas senyum."Hmm ... , iya, deh. Apa masih banyak? Sudah jam delapan ini, kamu apa nggak capek, habis sibuk seharian?"Wajah khawatirnya tak dapat ia sembunyikan. Selalu seperti ini, saat aku masih sibuk di jam segini."Tadi, sih, iya, capek sedikitt. Tapi, sekarang udah hilang begitu lihat kamu, Mas." Aku terkikik sendiri, saat sadar dengan apa yang baru saja meluncur dari lisan ini."Cie, Mas digombalin," ujarnya, lantas mendaratkan bibirnya di keningku. "Ini jus sayurnya, diminum dulu, ya?""Siap, Mas. Makasih, ya. Pasti enak, deh."Kunikmati perlahan jus sayur ini, sambil beberapa saat menahan di dalam mulut, supaya b
Mama terlihat mengernyitkan keningnya. Dilihatnya aku dan suami bergantian, seakan mencari jawab atas kebenaran yang kusampaikan."Iya, Ma. Dia ngambil semester pendek, jadi, sudah mau selesai," timpal suami."Tuh, Ma, hebat kan, menantu kamu, sampai ngebut selesaikan kuliah demi menuruti maumu," ujar Papa menimpali."Semester pendek?" Mama bertanya seakan tak percaya."Iya, Ma. Hampir nggak ada hari libur, kecuali Minggu. Jadi, maaf ya, kalau lama nggak ke rumah Mama," ujar calon ayah Wijaya kecil, dengan memegang tangan Mama. Nampaknya ada sesal di sana, sebab memang sudah lama sekali kami berdua tidak ke sana.Kulihat sosok mungil itu di sana, di dekat pagar pembatas ruangan ini. Ia sedang tersenyum, manis sekali. Wajahnya tak asing lagi."Kusuma … ," gumamku lirih, saat ia tak terlihat lagi."Sayang, kamu kenapa?" Calon ayah Wijaya kecil sudah memegang lenganku, lantas mengikuti arah pandanganku.
POV DirgaRasa rindu, membawaku mendatangi beberapa tempat yang pernah kudatangi bersama Husna.Di pesisir pantai ini, aku berdiri tegak. Masih teringat jelas dalam ingatan, hari di mana kami berdua berada di sini. Hari di mana ia berlari setelah menyatakan tak mau hidup berdua denganku. Hari di mana ia meminta waktu satu bulan untuk berpikir.Selarik senyum, tercipta begitu saja saat teringat dirinya. Sebuah kenangan manis, setelah beberapa waktu lamanya kami tak bersua, kemudian dipertemukan kembali oleh untaian takdir bernama kebetulan.Kutinggalkan tempat ini, sebab hari telah gelap. Ke rumah lama aku melajukan kendaraanku. Semakin dekat dengan rumah, semakin banyak pula bayang-bayang yang hadir di dalam benakku.Memasuki halaman rumah, semakin mata ini berembun. Pandangan mataku terhalang oleh kaca-kaca bening yang siap meluncur.Seorang perempuan yang sedang bergerak cepat, menuju bunga yang tumbuh subur di halaman, membuat
"Sudah cukup Dirga!"Pekik Ibu suatu ketika."Tolong hentikan keto lolan ini. Kamu masih muda, Dirga, masih sangat pantas untuk hidup bahagia dalam sebuah rumah tangga.Sudah cukup waktu yang kau habiskan untuk meratapi Husna. Ia sudah hidup bahagia bersama suaminya, Nak. Sekarang, ibu minta, menikahlah Nak. Semoga dengan kamu menikah, kamu bisa melupakan Husna. Hidup ibu tak akan lama lagi. Ibu sudah tua. Ibu ingin melihat kamu hidup bahagia, bukan hidup dengan terjerat masa lalu. Mau, ya, Nak?"Ibu berkata dengan suara lirih, dan memohon. "Bagaimana bisa, Bu? Hatiku seakan sudah terikat pada Husna. Bagaimana aku bisa hidup bersama orang lain, sedangkan aku tak bisa berpaling darinya, meski aku tau dia sudah hidup bahagia," ujarku, tak kalah menyedihkan. Aku, seorang lelaki. Sejak kecil, telah dididik dan disiapkan untuk menjadi pemimpin, setidaknya dalam keluarga sendiri. Tapi kenyataannya, aku selemah ini, sebab me
Ada sisi hatiku yang tercubit kali ini. Yakni ketika mendapati kenyataan, bahwa kedua anak tersebut adalah keponakan Rahmi. Alam semesta seakan masih menjalankan perannya, membuat untaian kebetulan kian bertambah, antara aku dan Husna."Hai Om, aku Arsy, dan ini adikku, Arkan," ujarnya dengan mengulurkan tangan yang segera kusambut. "Yang itu, adek Najwa," tambahnya lagi, memperkenalkan saudaranya satu persatu.Suara ini, tentu saja sama dengan suara yang kudengar di taman beberapa kali. Hal ini membuat bayang-bayang Husna kembali hadir, memenuhi sudut hati.Bagaimana aku bisa menjalani hidup setelah ini? Bagaimana aku menjalani hidup dengan bayang-bayangmu wahai Husna? Ke mana kakiku melangkah, seakan kamu ikut serta. Seakan tak kau biarkan aku menjalani sedikit pun waktu tanpamu.Apa hukuman untukku belum usai, meski telah kulafalkan akad pada seseorang yang kini ada di sampingku?"Mas, itu, Arsy ngajak salaman," bisik Rahmi s
Kubawa ia ke rumah ini, di hari kedua ia menjadi istri. Ia menemani Ibu tinggal di sini, demi terwujudnya tujuan dilaksanakan pernikahanku dengan Rahmi.Aku berusaha menjadi suami yang baik menurut versiku. Meski tak mudah, tapi tetap harus kujalani, demi baiknya hubungan semua orang. Kuhabiskan sarapanku segera. Aku bergegas pamit bekerja setelahnya."Hati-hati di rumah, ya," pamitku, dengan mendaratkan kecupan di keningnya.Aku akan bekerja seharian, dan baru beranjak pulang saat menjelang makan malam. Aku tak bisa berlama-lama berada di rumah dan bertemu lebih lama dengannya."Dirga, bisakah kamu pulang lebih awal? Bukankah, kamu telah memiliki istri sekarang, Nak?" protes Ibu suatu ketika. Aku tertegun untuk beberapa saat lamanya, mencari alasan masuk akal yang bisa diterima oleh Ibu. Rahmi pun tak pernah protes, karena ia juga punya kesibukan sendiri meski di rumah saja. Ia mulai ikut jejak kakaknya, menjual bebe
POV HananAku mensyukuri segala hal baik yang terjadi belakangan ini. Membaiknya hubungan antara Mama dan menantunya itu salah satunya.Mama lebih sering berkunjung sejak hari itu. Bermacam buah tangan beliau bawa untuk menantu yang sedang mengandung cucunya. Mulai dari asupan makanan sehari-hari, hingga pakaian longgar untuk ibu hamil. Tak jarang juga, diajaknya menantu satu-satunya itu mengunjungi salon kecantikan. Hal yang jarang dilakukan, sebab Husna memang kurang suka. Tapi menurut juga, demi baiknya hubungan dengan Mama mertua.Ia telah menyelesaikan kuliahnya dengan baik. Namun masih perlu waktu beberapa lama lagi untuk wisuda, sebab ia telah selesai lebih awal. Ia jadi lebih banyak waktu luang di rumah. Hal ini juga yang membuat Mama leluasa mengajak ia sekedar jalan dan makan di luar. Yah, meski jarak rumah kami tak bisa dibilang dekat, tak juga membuat niat Mama surut untuk datang berkunjung.
Hampir jam sepuluh saat kami sampai di kediaman Bu Lisa dan Pak Mirza. Sambutan hangat dari mereka, membuat hubungan kami semakin akrab sebagai satu keluarga.Seperti yang dipinta sebelumnya, Arsy sudah meno dongkan buku gambar dan pensil pada Tantenya. Tak butuh waktu lama, kertas kosong itu kini telah berisi bermacam bentuk, seakan menjadi satu cerita yang tertuang dalam gambar."Makasih, ya, Tante," ucap Arsy dengan mata berbinar."Sama-sama, sayang."Arsy telah sibuk dengan gambar tersebut. Ditunjukkan pada kedua orang tuanya bergantian, lantas diambilnya pensil warna dan mulai menggoreskan perlahan pada bidang gambar.Sementara itu, Arkan mengajakku bermain sepeda di jalan depan rumah. Aku hanya diminta melihat, sementara ia sibuk mondar-mandir dengan sepeda kecilnya.Waktu berlalu dengan cepat tanpa terasa, hingga keduanya terlihat kelelahan, lantas terbaring di kamar masing-masing."Maaf, ya, Mbak Husna