Mama terlihat mengernyitkan keningnya. Dilihatnya aku dan suami bergantian, seakan mencari jawab atas kebenaran yang kusampaikan.
"Iya, Ma. Dia ngambil semester pendek, jadi, sudah mau selesai," timpal suami."Tuh, Ma, hebat kan, menantu kamu, sampai ngebut selesaikan kuliah demi menuruti maumu," ujar Papa menimpali."Semester pendek?" Mama bertanya seakan tak percaya."Iya, Ma. Hampir nggak ada hari libur, kecuali Minggu. Jadi, maaf ya, kalau lama nggak ke rumah Mama," ujar calon ayah Wijaya kecil, dengan memegang tangan Mama. Nampaknya ada sesal di sana, sebab memang sudah lama sekali kami berdua tidak ke sana.Kulihat sosok mungil itu di sana, di dekat pagar pembatas ruangan ini. Ia sedang tersenyum, manis sekali. Wajahnya tak asing lagi."Kusuma … ," gumamku lirih, saat ia tak terlihat lagi."Sayang, kamu kenapa?"Calon ayah Wijaya kecil sudah memegang lenganku, lantas mengikuti arah pandanganku.POV DirgaRasa rindu, membawaku mendatangi beberapa tempat yang pernah kudatangi bersama Husna.Di pesisir pantai ini, aku berdiri tegak. Masih teringat jelas dalam ingatan, hari di mana kami berdua berada di sini. Hari di mana ia berlari setelah menyatakan tak mau hidup berdua denganku. Hari di mana ia meminta waktu satu bulan untuk berpikir.Selarik senyum, tercipta begitu saja saat teringat dirinya. Sebuah kenangan manis, setelah beberapa waktu lamanya kami tak bersua, kemudian dipertemukan kembali oleh untaian takdir bernama kebetulan.Kutinggalkan tempat ini, sebab hari telah gelap. Ke rumah lama aku melajukan kendaraanku. Semakin dekat dengan rumah, semakin banyak pula bayang-bayang yang hadir di dalam benakku.Memasuki halaman rumah, semakin mata ini berembun. Pandangan mataku terhalang oleh kaca-kaca bening yang siap meluncur.Seorang perempuan yang sedang bergerak cepat, menuju bunga yang tumbuh subur di halaman, membuat
"Sudah cukup Dirga!"Pekik Ibu suatu ketika."Tolong hentikan keto lolan ini. Kamu masih muda, Dirga, masih sangat pantas untuk hidup bahagia dalam sebuah rumah tangga.Sudah cukup waktu yang kau habiskan untuk meratapi Husna. Ia sudah hidup bahagia bersama suaminya, Nak. Sekarang, ibu minta, menikahlah Nak. Semoga dengan kamu menikah, kamu bisa melupakan Husna. Hidup ibu tak akan lama lagi. Ibu sudah tua. Ibu ingin melihat kamu hidup bahagia, bukan hidup dengan terjerat masa lalu. Mau, ya, Nak?"Ibu berkata dengan suara lirih, dan memohon. "Bagaimana bisa, Bu? Hatiku seakan sudah terikat pada Husna. Bagaimana aku bisa hidup bersama orang lain, sedangkan aku tak bisa berpaling darinya, meski aku tau dia sudah hidup bahagia," ujarku, tak kalah menyedihkan. Aku, seorang lelaki. Sejak kecil, telah dididik dan disiapkan untuk menjadi pemimpin, setidaknya dalam keluarga sendiri. Tapi kenyataannya, aku selemah ini, sebab me
Ada sisi hatiku yang tercubit kali ini. Yakni ketika mendapati kenyataan, bahwa kedua anak tersebut adalah keponakan Rahmi. Alam semesta seakan masih menjalankan perannya, membuat untaian kebetulan kian bertambah, antara aku dan Husna."Hai Om, aku Arsy, dan ini adikku, Arkan," ujarnya dengan mengulurkan tangan yang segera kusambut. "Yang itu, adek Najwa," tambahnya lagi, memperkenalkan saudaranya satu persatu.Suara ini, tentu saja sama dengan suara yang kudengar di taman beberapa kali. Hal ini membuat bayang-bayang Husna kembali hadir, memenuhi sudut hati.Bagaimana aku bisa menjalani hidup setelah ini? Bagaimana aku menjalani hidup dengan bayang-bayangmu wahai Husna? Ke mana kakiku melangkah, seakan kamu ikut serta. Seakan tak kau biarkan aku menjalani sedikit pun waktu tanpamu.Apa hukuman untukku belum usai, meski telah kulafalkan akad pada seseorang yang kini ada di sampingku?"Mas, itu, Arsy ngajak salaman," bisik Rahmi s
Kubawa ia ke rumah ini, di hari kedua ia menjadi istri. Ia menemani Ibu tinggal di sini, demi terwujudnya tujuan dilaksanakan pernikahanku dengan Rahmi.Aku berusaha menjadi suami yang baik menurut versiku. Meski tak mudah, tapi tetap harus kujalani, demi baiknya hubungan semua orang. Kuhabiskan sarapanku segera. Aku bergegas pamit bekerja setelahnya."Hati-hati di rumah, ya," pamitku, dengan mendaratkan kecupan di keningnya.Aku akan bekerja seharian, dan baru beranjak pulang saat menjelang makan malam. Aku tak bisa berlama-lama berada di rumah dan bertemu lebih lama dengannya."Dirga, bisakah kamu pulang lebih awal? Bukankah, kamu telah memiliki istri sekarang, Nak?" protes Ibu suatu ketika. Aku tertegun untuk beberapa saat lamanya, mencari alasan masuk akal yang bisa diterima oleh Ibu. Rahmi pun tak pernah protes, karena ia juga punya kesibukan sendiri meski di rumah saja. Ia mulai ikut jejak kakaknya, menjual bebe
POV HananAku mensyukuri segala hal baik yang terjadi belakangan ini. Membaiknya hubungan antara Mama dan menantunya itu salah satunya.Mama lebih sering berkunjung sejak hari itu. Bermacam buah tangan beliau bawa untuk menantu yang sedang mengandung cucunya. Mulai dari asupan makanan sehari-hari, hingga pakaian longgar untuk ibu hamil. Tak jarang juga, diajaknya menantu satu-satunya itu mengunjungi salon kecantikan. Hal yang jarang dilakukan, sebab Husna memang kurang suka. Tapi menurut juga, demi baiknya hubungan dengan Mama mertua.Ia telah menyelesaikan kuliahnya dengan baik. Namun masih perlu waktu beberapa lama lagi untuk wisuda, sebab ia telah selesai lebih awal. Ia jadi lebih banyak waktu luang di rumah. Hal ini juga yang membuat Mama leluasa mengajak ia sekedar jalan dan makan di luar. Yah, meski jarak rumah kami tak bisa dibilang dekat, tak juga membuat niat Mama surut untuk datang berkunjung.
Hampir jam sepuluh saat kami sampai di kediaman Bu Lisa dan Pak Mirza. Sambutan hangat dari mereka, membuat hubungan kami semakin akrab sebagai satu keluarga.Seperti yang dipinta sebelumnya, Arsy sudah meno dongkan buku gambar dan pensil pada Tantenya. Tak butuh waktu lama, kertas kosong itu kini telah berisi bermacam bentuk, seakan menjadi satu cerita yang tertuang dalam gambar."Makasih, ya, Tante," ucap Arsy dengan mata berbinar."Sama-sama, sayang."Arsy telah sibuk dengan gambar tersebut. Ditunjukkan pada kedua orang tuanya bergantian, lantas diambilnya pensil warna dan mulai menggoreskan perlahan pada bidang gambar.Sementara itu, Arkan mengajakku bermain sepeda di jalan depan rumah. Aku hanya diminta melihat, sementara ia sibuk mondar-mandir dengan sepeda kecilnya.Waktu berlalu dengan cepat tanpa terasa, hingga keduanya terlihat kelelahan, lantas terbaring di kamar masing-masing."Maaf, ya, Mbak Husna
Ia masih berdiri tegak di tempatnya. Pandangannya masih mengarah ke arah kursi yang berbaris rapi di teras minimarket. Aku mencoba memahami sesuatu, bahwa ia, mungkin saja sedang bergumul dengan pertanyaan yang bergulung-gulung di kepala. Mungkin orang yang ia lihat sebagai Dirga, tadi sedang duduk di sana.Apa sebaiknya kukatakan padanya, bahwa Dirga telah kutemukan keberadaannya, tapi tak punya keberanian menunjukkan wajah di depannya?"Kita masuk aja, beli sesuatu, yuk."Aku berharap, dengan menikmati makanan kesukaannya, moodnya akan kembali membaik.Lagi-lagi ia patuh, saat kuraih bahunya, kemudian mengajak ia memasuki area indoapril."Udah, ya, jangan sedih-sedih, nanti Wijaya kecil ikut sedih," ujarku sambil mengelus perutnya yang mulai terlihat membuncit."Iya, Mas," jawabnya sambil melangkah masuk.Kami telah berada di depan box besar berisi es krim. Aku baru akan membuka tutupnya ketika tangannya menc
Ia mengernyitkan keningnya. Lantas memeriksa keningku dengan punggung tangannya. Gegas kuraih tangan itu, lalu kugenggam sambil mengulas senyuman."Nggak panas. Kamu nggak papa kan, Mas?" ia terlihat khawatir. Ekspresinya justru menambah kadar kecantikannya di mataku."Mas nggak papa, Sayang. Udah selesai? Kita pulang, ya?" ajakku, dengan tetap menggenggam erat tangannya. Ia mengangguk menyetujui.Beriringan kami meninggalkan minimarket ini, untuk melanjutkan perjalanan pulang.Di dalam kendaraan roda empat ini, aku terdiam sejenak. Kugenggam erat tangannya, hingga ia menolehkan wajah. Sekarang wajah kami berhadapan. Kutatap matanya dengan tatapan hangat yang kupunya."Husna, terima kasih, ya, sudah menjadi istri yang baik buat Mas selama ini."Awalnya ia sedikit membesarkan mata, lalu ia mulai tersenyum."Kamu kenapa, sih, Mas?""Mas sayang sama kamu, Husna. Tetap jadi istri Mas, ya?" ujarku lirih. Te
Aku dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar, serta memiliki peralatan yang lengkap. Di sana aku mendapat perawatan yang lebih baik."Aku akan cacat, Dam!" raungku, lalu suaraku menggema di ruang pemeriksaan."Kamu pergilah, aku sudah tak pantas lagi untukmu. Sudahlah nggak kunjung hamil, sekarang harapan mata kiriku … ."Ia telah melintangkan telunjuknya di bibirku."Sudah, jangan diteruskan. Aku tak akan ke mana-mana, Mei. Kamu istriku, apa pun kondisimu, aku akan tetap di sisimu. Tetap semangat, ya, nanti aku usahakan cari pengobatan yang terbaik. Kalau perlu kita cari donor mata buat kamu."Tergugu aku dalam dekapannya. Aku hampir putus asa, sebab harapan untuk pulih hanya sedikit. Hal ini tentu berpengaruh besar pada penampilanku nanti.Aku terus bertanya-tanya, kenapa harus menerima ini? Aku menolak takdir, bahwa mata kiriku tak bisa pulih seperti sedia kala.Sementara itu, Husna dan Hanan justru memberikan dukungan
Masih jam sepuluh pagi, saat kuselesaikan laporan penjualan bulan ini.Seorang office boy memasuki ruanganku dengan membawa kotak nasi. "Dari siapa," tanyaku saat kotak tersebut diletakkan di meja sesuai titahku."Dari Pak Hanan, Bu," jawabnya, lalu pamit ke luar.Dahiku mengernyit, lalu menghirup aroma ayam bakar yang menguar.Kedua mataku membola saat membaca nama yang tertera pada selembar kertas yang menyertai nasi kotak tersebut.Yang berbahagia, Rashida Husna dan Hanan Wijaya.Tanganku meremas kertas tersebut hingga tak berbentuk. Terbayang senyuman Husna atas kelahiran buah hati yang mereka nantikan. Sekali lagi aku kalah olehnya. .Hanan semakin mempesona di mataku, terlebih ia telah memiliki seorang bayi yang lucu. Meski cemburu pada Husna, aku tetap menyapa anak itu setiap kali bertemu.Bagaimana aku bisa melewatkannya, anak itu sungguh menggemaskan. Lehernya hampir tak te
Hanan kian sering memuji desainnya, serta hasil jadi berupa perhiasan siap pakai yang memang laku keras di pasaran.Kulihat matanya selalu berbinar setiap menyebut nama itu. Karir Husna pun kian bersinar. Hatiku dibakar cemburu. Hanan tak pernah seperti ini sebelumnya. Namun, jauh di lubuk hati, aku tak mengingkari peran Husna di sini. Siapa sangka, perempuan biasa itu memiliki kecerdasan luar biasa, hingga dapat membaca selera pasar dalam waktu singkat. Tak jarang kudapati ia mengenakan beberapa hasil desainnya meski hanya sebentar. Memang dasar mis kin. Kalau pengen kan tinggal beli, ngapain dipakai lalu dilepas lagi.Kesejahteraan karyawan kian ditambah. Setelah kenaikan gaji, kini ganti uang makan yang dinaikkan, bahkan nasi bungkus serta nasi kotak pun sering datang lebih awal, hingga para karyawan tak perlu jauh ke luar saat istirahat.Itu semua imbas dari omset penjualan yang melejit berkat desain Husna, sebab peranku d
POV MeisyaAku telah sangat percaya diri, bahwa mudah bagiku menaklukan seorang Hanan. Desakan sebab usia menjadi salah satu sebabnya.Akulah perempuan di ambang usia tiga puluh. Usia yang menjadi momok bagi perempuan untuk segera mengakhiri masa lajang.Demikian halnya dengan aku. Orang tuaku telah semakin gelisah memikirkan jodoh untukku. Sementara aku tak ambil pusing, kecuali saat satu kata dilontarkan, yakni perjodohan.Aku mulai mencari seseorang yang tepat, setidaknya, sebelum usiaku genap tiga puluh, aku telah memiliki calon ke jenjang pernikahan. Karirku bagus, penjualan tak pernah turun sejak kupegang. Wajahku pun terhitung menarik, tubuhku juga ramping. Tak ada yang kurang di hidupku, kecuali satu, pasangan hidup. Bukan karena aku tak laku, hanya saja aku pemilih. Beberapa kali aku menjalin hubungan, sebanyak itu pula harus kuakhiri sebab aku merasa lebih tinggi.Berbeda dengan Hanan. Ia tak seperti lelaki k
Ia menepati ucapannya untuk membawa kami jalan-jalan, tepat setelah bukan kembar pulang sekolah.Ia membayar waktunya dengan membawa aku ke salon untuk perawatan seluruh badan. Sementara itu, anak-anak ia bawa ke arena bermain, tak jauh dari salon ini berada. Aku segera menyusul begitu selesai dan kembali merasa rileks."Masya Allah, cantiknya istriku," sambutnya, begitu aku telah sampai. Aku tersipu, lantas mengucapkan terima kasih. Si bungsu segera kuambil alih, untuk kuberi ASI. Kedua kakaknya melanjutkan bermain.Setelah menghabiskan waktu seharian, kami dibawa ke rumah orang tuaku. Rumah ibu kian riuh dengan suara anak-anakku, juga anak-anak Mas Dika.Wahyu dan Fajar terlihat antusias saat Mas Dika mengajari gerakan membela diri. Ya, meski mereka telah dimasukkan ke kegiatan yang sama di dekat tempat kami tinggal, tetap saja mereka terkesan dengan gerakan baru dari Mas Dika."Na, mumpung kamu di sini, ibu mau kasih kabar," ujar Ibu, saat aku s
Tangan kecil itu membingkai wajahku, lalu menghujani wajah dengan kecupan tanpa henti."Aku sayang Ibu. I love you, Ibu," cetusnya lagi.Mata kukerjapkan beberapa kali, saat kurasai telapak tangan yang menempel di pundak."Mbak Husna, bangun, Mbak."Suara Bu Ratna mengiringi gerakan tangannya yang terhenti.Terlihat di depanku, Fajar yang sedang terlelap. Sebuah buku yang terbuka di atas selimut yang menutupi sebagian tubuhnya, menandakan aktifitas sebelum ia benar-benar memejamkan mata.Jika ia sedang terlelap sedamai ini, lalu ulah siapa beberapa saat tadi?"Mbak, pindah ke kamar, ya. Tidur sambil duduk begini, Mbak Husna bisa capek, nanti," ujar Bu Ratna lagi.Kuamati diri sendiri. Duduk bertumpu di lantai, dengan tangan bersandar pada sisi ranjang di samping Fajar. Kurasai kalau lututku mulai terasa sulit digerakkan.Di seberang tempatku duduk, Wahyu pun terlihat tak jauh berbeda dengan sang kakak.
"Ibu, gendong."Semakin dekat dengan hari persalinan, semakin bertambah juga kemanjaan kedua anakku.Bergantian mereka berdua mengulurkan kedua tangan meminta aku menggendongnya.Aku pun tak bisa menolak, selain menuruti keinginan mereka. Kapan lagi bisa kugendong, sedangkan mereka sudah tumbuh semakin besar."Gendong sama ayah, ya, Nak, kasihan dong, adik kegencet, kamu kan sudah besar sekarang," tawar sang ayah, jika kebetulan melihat dan mendengar permintaan sang anak."Nggak mau, mau sama ibu aja," jawabnya selalu. "Nggak papa, Yah," jawabku, mencoba menenangkan. Mereka baru mau lepas setelah lama dibujuk.Pagi selepas Subuh, persis seperti saat kelahiran Fajar, bayi itu lahir dengan persalinan normal.Ia bergegas mengadzankan anak itu, dengan suara parau. Lantas kecupan penuh cinta ia labuhkan di kening bayi suci tersebut, sebelum akhirnya diletakkan di dadaku, untuk menikmati ASI pertama."Alhamd
Berkunjung ke rumah Mama, artinya membuka kenangan lama. Tiba-tiba saja aku rindu, melihat kelebat kenangan yang hadir tanpa permisi.Foto pernikahanku terdahulu, bahkan masih terpajang di ruang keluarga rumah ini."Tante kecil," ujar Wahyu. Tangannya telah mulai beraksi, hendak menyentuh pipi dan hidung bayi mungil itu.Melihat bayi Mama yang tengah terlelap, justru menghadirkan kenangan saat Fajar baru hadir di kehidupan kami.Ia telah melakukan banyak sekali hal baik selama hidup bersamaku, tapi, kenapa kenangan buruk itu yang justru muncul di sini?Kutepis pikiran yang hadir, dengan ikut membaur pada kedua anakku yang sibuk dengan Tante barunya. "Iya, Sayang. Hati-hati pegangnya, ya. Coba tanya Oma, siapa nama Tante yang cantik ini?" "Oma, siapa nama Tante kecil ini?" tanyanya patuh."Tante Hapsari, Sayang," jawab Mama, lalu dielus-elusnya kepala Wahyu.Nama yang cantik, untuk bayi dengan wajah bu
"Heh? Serius ngidam pizzanya Bu Lisa?" tanyaku tak percaya.Bukannya apa, selama ini ia paling anti makanan dari olahan tepung. Banyak sekali alasannya, yang susah dicerna lah, yang bikin perut begah lah, dan masih banyak lagi.Sampai kucoret daftar rerotian dari daftar belanja kalau kami sedang ke luar. Semua itu menjadi pengecualian kalau si kembar minta, baru ada menu roti, itu pun tak boleh banyak."Iya, dua rius, Kak. Ada cabangnya yang deket sini apa nggak, ya?"Melihat raut serius di wajahnya, membuat aku mengambil ponsel, lantas menghubungi nomer Bu Lisa."Waduh, maaf belum sampai sana Mas Dirga," jawab Mbak Lisa dari seberang telepon. Kulihat wajah ratuku, ia terlihat tak sabar menunggu jawaban."Ya udah, makasih ya, Mbak. Nggak papa, ada yang ngidam ini."Dan akhirnya sambungan telepon itu pun terputus, sebab ada suara yang memanggil Mbak Lisa."Gimana, Kak?"Tuh, kan, nggak sabar dia. Ba