Semua Bab Membalas Kesombongan Mantan: Bab 231 - Bab 240

408 Bab

Bab 231 pria yang hatinya mati

Kicauan burung terdengar menyebalkan. Dia seperti mentertawakanku yang tengah dilanda kegalauan. Bagaimana tidak, di sini aku duduk menyaksikan suamiku yang tengah bicara mengutarakan kerinduannya di pusara sang mantan istri. Seperti wanita bodoh yang tidak memiliki perasaan, aku duduk di samping Aldi yang terus merangkai kata meluapkan cinta pada batu nisan. Miris. Aku istrinya, tapi dia mengungkapkan kerinduan dengan menyebut nama wanita lain. "Pak, ini sudah sangat sore. Sebentar lagi perang datang," ujarku mengalihkan pandangan Aldi. Pria di sampingku ini menatap langit yang mulai menghitam. Sudut matanya mengkerut seiring dengan mata yang menyipit. "Ah ... rasanya baru sebentar di sini," ucapnya kemudian. Napas kuembuskan kasar, lalu tangan ini mengusap bunga-bunga segar yang belum lama ditaburkan Aldi di atas pusara Rindu. Sebelum menikah dengan Aldi, datang ke sini menjadi kesenanganku. Sering aku menceritakan tentang Aldi pada Rindu, meskipun dia tidak akan mendengar
Baca selengkapnya

Bab 232 melahirkan anak?

"Loh, kok gak ada?" kataku seraya celingukan. Aku keluar dari kamar mandi dengan hanya memakai handuk di atas lutut. Tadinya, aku ingin menggoda Aldi yang pasti akan marah-marah melihat penampilanku. Namun, ternyata pria itu tidak ada di kamar. Dia pun tidak ada di balkon yang gordennya sudah ditutup rapat-rapat. Saat hendak mengambil pakaian di lemari, aku melihat pintu kamar yang terbuka sedikit. Dan aku bisa menebak, jika suamiku itu pergi ke luar. Ke dapur? Entahlah. Nanti akan aku cari tahu. Setelah berpakaian lengkap, aku pun keluar dari kamar. Rencananya mau minta makan, tapi masa iya, di rumah suami makan aja harus minta? Ngambil sendiri tanpa izin pun tidak akan jadi masalah sepertinya. "Bi, lihat Bang Aldi?" tanyaku pada asisten rumah tangga di rumah ini. "Oh ... tadi dipanggil Nyonya, Neng. Eh, gak apa-apa, ya kalau sekarang Bibi panggilnya Neng Aruna, saja? Biar lebih akrab."Aku tersenyum. "Tidak apa-apa, Bi. Terserah Bibi saja." Wanita dengan perawakan sedikit
Baca selengkapnya

Bab 233 ganti panggilan

"Jangan dengarkan permintaan Mama. Anggap saja itu hanya mimpi yang berlalu ketika siang datang."Kuhentikan kunyahan, lalu mengangkat kepala melihat pada lawan bicaraku. Aldi tidak menatapku, pandangannya fokus pada makanan yang sisa beberapa suap lagi di atas piring. Aku mendesah. Selera makanku langsung hilang seketika. Sebagai seseorang yang tadi mendapatkan amanah dari Nyonya Marta, tentu saja aku tahu ke mana arah bicara Aldi. Dan itu membuatku keberatan. Membuatnya jatuh cinta adalah pekerjaan yang harus kulakukan. Meluluhkan hatinya, sebuah keinginan. Dan aku memilih mendengarkan isi hati dan pesan mertuaku. Aku akan tetap menjalankan misi. Membuat Aldi jatuh hati. "Permintaan Mama tidak salah, Bang." Aku berucap seraya mengambil segelas air. Kini kening Aldi mengkerut. Dia keberatan aku mengubah panggilannya. "Berani sekali kamu memanggilku dengan sebutan itu?" ujarnya lagi."Salahkah?" Aku bertanya seraya menaikan sebelah alis. "Tidak, hanya tidak cocok saja.""Makan
Baca selengkapnya

Bab 234 mengakui perasaan

"Apakah setelah ini ada meeting lagi?" Aku menggelengkan kepala. "Tidak ada, meeting hari ini memang hanya dengan orang yang tadi," ujarku kemudian. "Baguslah, aku jadi punya waktu untuk istirahat." Aldi meregangkan otot-otot tubuhnya, lalu bersandar pada kursi kebesarannya. Lima menit sebelumnya, kami baru saja mengadakan rapat penting dengan salah satu klien yang memasarkan produk sepatu dari pabrik ini ke luar negeri. Cukup menyita waktu, karena pembahasan mengenai ekspor ini sangatlah penting dan banyak sekali yang dibicarakan. Maka, wajar saja jika Aldi terlihat begitu lelah setelah kembali ke ruangannya. Dia memejamkan mata seraya menggoyangkan kursinya seperti bayi yang akan tidur. Aku keluar dari ruangan. Pergi ke dapur yang biasa dipakai para staf untuk membuat kopi, atau makan ketika istirahat. Biasanya hanya karyawan lama dan dibawakan bekal oleh istrinya yang makan di sini. Untuk anak muda, pastinya makan di luar. Terlalu banyak gaya, sih anak-anak baru di sini. Te
Baca selengkapnya

Bab 235 penelepon misterius

"Satu, dua, tiga, empat, lima. Lima kali tiga, lima belas. Wah, lumayan banyak, nih utang Abang sama aku.""Hah, apa? Utang?" Aku menganggukkan kepala dengan mata tetap fokus pada buku di pangkuan. "Utang apa?" tanya Aldi lagi. "Sini lihat!" Aldi merebut buku di pangkuanku, kemudian keningnya mengkerut membaca deretan catatan yang tertulis di sana. "Kamu mencatat setiap sentuhan dariku?" Aldi bertanya dengan tatapan tajamnya. Aku mengangguk lagi. "Yups, dan karena utang Abang sudah banyak, sekarang waktunya aku menagih. Sini, berikan hakku.""Kamu, tuh beneran setres, ya Run? Dan ini, ini kapan aku nyentuh kamu sampai berderet berkali-kali begini?" tanya Aldi lagi seraya menunjuk tulisan yang aku buat. Aku menggeser tubuh agar posisi dudukku semakin dekat dengan dirinya. Dan itu membuat Aldi menghindar. Semakin aku mendekat, semakin dia menjauhiku dengan melakukan hal yang sama. Menggeser tubuhnya hingga kini berada di ujung sofa. "Gak usah dekat-dekat!" ucapnya tegas. "Kan ja
Baca selengkapnya

Bab 236 ciuman pertama

"Masuk!" Aku sangat terkejut saat mendengar suara teriakan ayah mertua di bawah sana. Aku beringsut turun dari ranjang, lalu keluar dari kamar dengan kaki telanjang. Saat hendak turun dari tangga, kulihat dari atas sini Aldi tengah bersitegang dengan Dinata Wiratmadja."Papa bilang masuk, masuk!" teriak Dinata lagi pada suamiku. "Apa salahnya, sih Pah, hanya menjenguk? Ini soal nyawa manusia." Aldi bersikukuh ingin tetap pergi membuatku semakin ingin tahu siapa yang menghubunginya tadi. Satu per satu anak tangga aku lewati untuk sampai di mana mereka berada. Bukan hanya aku yang keluar dari kamar, tapi Nyonya Marta pun sama. Dan sekarang, aku benar-benar sudah berada di ruang tengah yang terasa panas oleh perdebatan antara ayah dan anak. "Apa pun alasannya, Papa tidak mengijinkan kamu pergi, Aldi! Daripada kamu menemui wanita itu dan keluarganya, lebih baik kamu temani istrimu tidur!" Suara Dinata Wiratmadja kembali menggelegar menentang keinginan putranya. Aku yang tidak tahu a
Baca selengkapnya

Bab 237 lagi-lagi Cemburu

Kutinggalkan Aldi yang masih menyebut nama mantan istrinya. Kujatuhkan tubuh di atas pembaringan seraya menatap plafon kamar yang putih tak bernoda. Inikah yang dinamakan cemburu? Sesakit ini, dan sangat menyesakkan dada? Kupejamkan mata menikmati bayangan Aldi yang tadi mengucap satu nama. Rindu, wanita yang tak lain adalah sahabatku sendiri. Orang yang menjadi alasanku berada di tempat ini sekarang. "Kenapa sekarang kamu malah menyakitiku, Rindu? Aku di sini untuk membalaskan kematianmu. Tolong, jangan selalu datang dalam ingatan Bang Aldi selama misi ini belum terselesaikan."Akal sehatku hilang dibakar api cemburu. Aku bergumam seraya memejamkan mata, hingga semakin lama aku tak mampu lagi membukanya. Entah berapa lama aku tidur, tapi saat mata ini terbuka rasa kantuk masih tersisa. Kukucek indra penglihatanku hingga pemandangan indah begitu sangat menggoda di depan sana. Aldi, dia berdiri di depan lemari pakaian seraya bertelanjang dada. Sepertinya dia baru saja menyelesaik
Baca selengkapnya

Bab 238 gagal lagi

"Ingat, utamakan kualitas. Jangan sampai, sepatu kita jebol setelah dipakai satu atau dua kali. Perhatikan jahitan, jangan sampai ada yang lepas dan loncat. Jangan pelit kasih perekat, harus sesuai dengan porsi yang dibutuhkan sepatu.""Baik, Pak!" ucap para karyawan dengan serempak. Aldi kembali berjalan seraya memperhatikan setiap proses pembuatan sepatu miliknya. Aku yang berada di belakang dia, hanya diam seraya mengikuti ke mana pria itu pergi. Juju saja, aku masih sebal soal di restoran tadi. Aku jadi tidak bersemangat kerja dan maunya makan manusia. Kesal luar biasa. "Aduh," kataku saat kaki tersandung keranjang berisikan sepatu setengah jadi. Aldi menoleh ke belakang. Dia menatapku sebentar, lalu menggenggam tanganku. Aku menghindar, menolak untuk dituntun pria itu. "Melek, jangan mempermalukan diri sendiri dengan jatuh di tempat ini," bisik Aldi di telingaku. Pria itu akhirnya berhasil menggenggam tanganku, lalu kembali berjalan tanpa melepaskan genggamannya. Sudah me
Baca selengkapnya

Bab 239 pria di arena ice skating

"Itu Tante Aruna!" seru Alina ketika aku turun dari mobil. Dua anak dari wanita itu langsung menoleh dan satu di antaranya tersenyum menyambutku. Kubalas senyum manis Saffa dengan rentangan tangan agar dia menghambur ke pelukan. Dan benar saja, gadis berusia delapan tahun itu langsung berlari ke arahku dengan senangnya. "Kok, gak sekolah?" tanyaku seraya mengurangi pelukan. "Papa pergi ke luar kota, Tante. Aku sedih," adunya dengan wajah cemberut. "Papa ke luar kota, kan untuk kerja. Cari uang buat Saffa dan Syafiq. Harusnya, Saffa gak boleh sedih, dan bisa bujuk adiknya yang merajuk.""Hem ... tapi, Papa ke luar kota bukan untuk kerja, Tante.""Bukan untuk kerja?" Aku mengulang kata inti yang membuatku tidak mengerti. Pandangan ini langsung kualihkan pada Alina untuk mendapatkan jawaban dari rasa ingin tahuku. Seolah mengerti dengan arti tatapanku, Alina mengangguk pelan, lalu menceritakan tujuan Aldi pergi ke luar kota. Katanya, suami dari Alina pergi untuk menjenguk keluarga
Baca selengkapnya

Bab 240 gugup

"Aku takut, Bang.""Jangan takut, kan aku pegangin tangan kamu. Ayo, coba jalan," ujar Aldi mulai menjauh, tapi tidak melepaskan genggaman tangannya dariku. Langkah pertama, berhasil aku lewati meskipun tertatih. Langkah kedua dan langkah-langkah selanjutnya pun berjalan dengan lancar meskipun kadang oleng dan hampir jatuh, tapi ada Aldi yang selalu siaga menjaga keseimbangan tubuhnya untukku. "Kenapa kamu bohong?""Hem?" gumamku seraya melihat Aldi yang menyorotiku tajam. "Katanya tidak enak badan, tapi malah main? Kenapa gak pulang ke rumah dan istirahat?" tanyanya lagi. "Saat di perjalanan pulang, adik Abang nelpon, minta ditemani jalan-jalan karena anaknya rewel. Mana berani aku nolak, Bang."Aldi mengembuskan napas kasar. Kakinya tidak berhenti mundur agar aku bisa terus berjalan. "Terus, kenapa Abang bisa di sini dan tahu aku di sini?" Kini giliran aku yang bertanya. "Alina kirim pesan minta izin untuk bawa kamu pergi. Aku nyusul, karena tadi kamu bilangannya tidak enak ba
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
2223242526
...
41
DMCA.com Protection Status