All Chapters of Bus Penyelamat: Chapter 71 - Chapter 80

100 Chapters

Part 71 : Ladang Jagung

Sindi gemetaran melihat pisau tajam yang mengangkat dagunya. Bukan main-main, setelah apa yang telah dialaminya sejauh ini, tentu saja itu bukanlah sebuah gertakan semata. Pria itu adalah salah satu orang yang paling kejam di desa tersebut. Jika ia berani macam-macam, maka ada kemungkinan benda kecil itu akan memotong lehernya dalam sekejap.“Apakah kau tidak mendengar pertanyaanku? Di mana pria itu? Cepat! Katakan sebelum pisau ini memotong lehermu!” Pria itu meneriaki telinganya. Dewi ketakutan. Suara pekikan pria bertubuh tinggi itu membuat nyali Dewi ciut. Jantungnya bergoncang seakan ingin meledak.“Aku tiii..tiii dak taaaahuu..” Suara Dewi terdengar gemetaran. Wajahnya tampak begitu pucat di bawah cahaya senter Pak Jumri yang begitu terang.“Hahahaha...” Pria itu tertawa lantang setelah mendengar ucapan Dewi.“Jadi, kau ingin bermain-main denganku? Mengapa kau berani sekali berbohong padaku seperti itu? Aku tanya sekali lagi, DI MANA PRIA BRENGSEK ITU BERADA?” Kali ini suara Pak
Read more

Part 72 : Dendam Lama

Buk Aida dan Dewi dibawa ke tiang penggantungan, lalu diikat dengan posisi tangan di belakang. Ratusan warga berdiri mengelilingi mereka, melihat mereka dengan penuh kebencian. Suara mereka ribut riuh, berbicara dalam bahasa daerah setempat. Dewi tidak mengerti isi pembicaraan mereka. Yang jelas, mereka semua tampak sungguh begitu marah. Di depan mereka, terlihat ada dua tubuh wanita yang tergeletak dalam keadaan yang bersimbah darah. Itu adalah jasad Buk Tiah dan Nenek tua itu. Mereka berdua sudah tewas. Dalam jarak lima meter di sisi kanan mereka, terlihat pula ada seorang wanita yang terikat dalam kondisi yang tidak sadarkan diri. Itu adalah Ani. “ANII... ANII...” Dewi berteriak memanggil temannya tersebut. Ia menangis. Namun temannya itu tidak bergeming sedikitpun. Dari dalam kerumunan warga di depan sana, tiba-tiba muncullah seorang lelaki yang mengenakkan jubah hitam. Dia membawa susuatu di tangannya. Benda itu cukup besar, akan tetapi mereka tidak tahu benda apakah yang dipeg
Read more

Part 73 : Bangkai Tak Dikenal

“Perhatikan ini...” Kata salah satu anak buah Pak Jumri. Tangannya menunjuk ke permukaan tanah. Terlihat ada bekas-bekas rerumputan yang telah rebah ke tanah akibat diinjak oleh seseorang. Jejak itu mengarah ke depan sana, ke aarah sebuah parit. “Pria itu mengarah ke dalam parit! AYO TANGKAP DIA SEKARANG!” Teriak anak buah Pak Jumri sembari bergegas memeriksanya ke sana.Mendengar hal tersebut, Pak Jumri yang tengah mengendap-ngendap di balik rumpun jagung itu langsung berlari ke arah sana untuk melihatnya secara langsung. Saat itu, Pak Wawan telah mamasrahkan dirinya. Hanya tinggal menunggu waktu, maka ia akan segera tertangkap.Jejak itu masuk ke dalam parit yang ditumbuhi rumput-rumput liar. Terlihat juga sisa-sisa air hujan yang tergenang di dalam sana. Dapat dilihat dengan jelas, jejak kaki pria itu tampak berjalan menyusuri parit itu ke arah sana. Mereka semua terus mengikuti jejak tersebut secara perlahan.Jejak itu pun berakhir ke bawah sebuah batang pohon besar yang rebah men
Read more

Part 74 : Bus Tua

Pria licik itu menghantam kepala Sindi dengan sebuah benda keras, sehingga membuat penglihatannya berkunang-kunang. Telinganya berdengung. Apakah ia telah mati? Sindi tersungkur di tanah. Tidak! Dia belum mati. Tangan pria itu dengan kasarnya menariknya keluar dari dasar anak sungai itu. Sindi merasakan tubuhnya yang mungil itu digotong oleh pria tersebut. Dia membawanya berjalan entah kemana. Dia menangis. Semuanya telah berakhir. Irma telah hilang tanpa jejak, begitu juga dengan Meri. Apakah dia berhasil kabur dan mendapatkan bantuan? Entahlah, Sindi seakan-akan telah kehilangan harapannya. Mereka bertiga benar-benar bernasib malang. Ia tidak menyangka tragedi yang terjadi sepuluh bulan yang lalu itu akan sejauh ini. Dia menyesal karena tidak mau mendengar teguran dari ibunya pada saat itu, yang melarangnya pulang kampung di hari itu. Akan tetapi semuanya sudah terjadi, dia tidak bisa lagi kembali ke masalalu untuk mengubahnya. Sindi menagis mengenang wajah kedua orang tuanya, dan j
Read more

Part 75 : Suara dari Atas Bukit Di Belakang Desa

Pada saat kain hitam itu terlepas dari tubuh pria itu, terlihatlah pemandangan yang sangat mengerikan. Buk Aida menjerit tidak percaya dengan apa yang dilihatnya tersebut. Jiwanya tergoncang hebat. “Tidaakkk.. Tidak...!” Ia menjerit histeris memberontak hebat untuk melepaskan tali yang mengikat tubuhnya. Bagaimana tidak? Tubuh pria yang telah hancur itu ternyata adalah suaminya, Pak Wawan. Wanita benar-benar shock dan nyaris tak sadarkan diri.“AKU BERSUMPAH KALIAN SEMUA AKAN SEGERA MATI! KALIAN AKAN MATI! KALIAN AKAN MATIIII...!” Suara teriakannya itu berakhir ketika tangan pria itu mendarat di wajahnya. “Daar..” Buk Aida langsung terdiam. Ia tidak sanggup lagi untuk menjerit.“AYO TERIAK! AYOOOO!” Pak Karay Meneriaki telinga Buk Aida. Ia menggoncang-goncangkan tubuh wanita itu dengan begitu kasar. Ia menamparnya sampai beberapa kali hingga wanita itu benar-benar tidak berdaya lagi untuk melakukan apapun. Buk Aida terdiam dengan air matanya yang mengalir. Meratapi suaminya yang tewa
Read more

PART 76 : Sijago Merah

Di belokan jalan, dari balik rerumputan yang tumbuh di tepi jurang, tiba-tiba muncullah tangan seorang pria. Tubuhnya bersimbah darah. Ia berusaha mati-matian mendaki jurang itu meski dengan kondisi tubuh yang begitu mengenaskan. Ia berpegangan pada salah satu batang rumput yang menjulur, lalu menarik dirinya ke atas dengan sekuat tenaga hingga dia pun berhasil keluar dari tempat itu. Pria itu adalah Askar. Tabrakan keras itu membuat tubuhnya terpental jauh ke bibir jurang. Akan tetapi sungguh dia bernasib baik, karena ada dahan-dahan pohon yang menahan tubuhnya di bibir jurang, sehingga ia pun selamat dari kematian. Setelah berhasil keluar dari jurang tersebut, Askar kemudian merangkak perlahan melewati rerumputan yang tumbuh di tempat itu menuju ke permukaan jalan. Kepalanya masih terasa berat. Mungkin itu adalah pengaruh dari benturan keras ke dahan-dahan pohon yang menyambut tubunya di bawah sana. Itulah yang membuat kepalanya terluka. Ia berusaha menerawang sekeliling dengan sen
Read more

Part 77 : Jalan Rahasia

Rameng menghentikan bus tua itu di jalan. Di depan sana, terlihat ada dahan-dahan pohon mati yang menghalangi mulut jalan. Rameng mematikan bus tuanya, menyisakan cahaya lampu yang terang menyorot jalan. “Cepat! Singkirkan dahan-dahan pohon itu dari sana!” Buyung menyuruh empat orang temannya turun dari bus untuk menyingkirkan benda-benda tersebut dari jalan. Itu adalah sebuah jalan rahasia yang tidak pernah dibuka—kecuali untuk saat-saat yang mendesak seperti itu.Jalan tersebut dibangun sekitar dua tahun lalu dari hasil gotong royong bersama yang dilakukan oleh para warga setempat. Mereka membangun jalan tersebut dari pasir, kerikil dan juga bebatuan yang mereka ambil dari sungai. Jalan itu sengaja dibuat lurus mengarah langsung ke desa Serampeh tanpa ada satupun belokan.Dari kursi belakang, dengan kondisi yang setengah sadar, Sindi mengintip secara diam-diam. Dia memperharikan situasi di luar sana, ke manakah bus itu pergi? Bukankah jalan menuju desa Serampeh lurus ke depan sana?
Read more

Part 78 : Peluru

“Kami menemukan sesuatu di sini!” Pak Muradi berteriak memanggil Pak Dunto yang berada cukup jauh darinya. Suara teriakannya terdengar oleh seluruh penduduk desa. Pak Dunto dan Pak Karay segera berlari menghampiri suara tersebut, termasuk dengan para warga yang lain.Api yang membakar rumah di desa itu kini hanya menyisakan bara merah dengan asapnya yang menggumpal tinggi ke langit. Para wanita masih tampak sibuk menyiram api dengan air. Sementara di panggung ritual hanya menyisakan mereka bertiga yang masih dalam kondisi terikat di tiang penggantungan, hampir membeku menahan hawa dingin. Saat itu hari sudah pagi. Pukul lima lewat. Bias fajar mulai terlihat bercahaya di ufuk timur.“Ada apa dengan anjing-anjing ini? Apakah mereka terluka?” Pak Karay melihat tubuh empat ekor anjing itu yang tergektak penuh darah di tanah. Tubuh mereka tidak bergeming sedikitpun. Mereka telah mati. “Siapa yang membunuh mereka? Apakah kalian juga menemukan jejak-jejak lain di sekitar sini?” Pak Karay jo
Read more

Part 79 : Jembatan yang Kokoh

Bus tua itu terus bergerak pelan melewati jalan. Suara knalpotnya terdengar mengaum-ngaum menempuh sebuah tanjakan yang cukup tinggi, setelah berhasil tiba di puncak, terlihatlah rumah-rumah para warga di desa Serampeh dalam jarak satu kilometer. Tidak lama lagi Rameng dan kawan-kawannya itu akan segera tiba di sana.Sindi masih terjaga di kursi belakang. Tatapan matanya jauh melayang ke luar sana, melihat pohon-pohon besar yang tumbuh memenuhi hutan. Tujuh orang pria itu masih juga terjaga di depan, mereka tidak tidur semalaman.Dari kursi sebelah, tiba-tiba Meri terbangun. Sindi dengan buru-buru segera menempelkan telunjuk di mulutnya, mengisyaratkan agar temannya itu tidak menimbulkan suara. Saat itu hari telah pagi, cahaya matahari memancar terang dari jendela samping, hingga masuk menembus kaca jendela bus tua itu yang sedang merayap di jalanan.Suasana di dalam bus tua itu begitu hening, tidak ada satu pun dari mereka yang membuka mulut untuk berbicara. Apakah mereka semua sedan
Read more

Part 80 : Roti yang Lezat

Saat itu juga mereka berdua langsung mematung. Tidak bergeming sedikitpun. Para pria itu memelototi mereka dengan penuh ancaman. Sang Tegurau telah mati, sehingga membuat acara ritual itu tidak dapat dilaksanakan. Tidak hanya itu, Bibi Buyung wanita yang jahat itu juga telah mati. Sindi dan Meri sangat puas akan kejadian tersebut. Setidaknya kemarahan dan dendam yang ada di dalam hati mereka dapat terbalaskan—walaupun saat itu mereka masih terjebak di dalam bus tua tersebut. Cerita Buyung itu masih terngiang-ngiang di dalam benak mereka. Sindi benar-benar puas. “Sakit sekali rasanya, apalagi orang yang mati itu adalah orang yang paling kita sayangi. Bibimu dan Nenek Tua itu pantas mati. Mereka pasti akan mendekam di dalam neraka. Hahahaha...” Sindi tertawa jahat dari kursi belakang. Dia mencoba untuk memprovokasi Buyung agar pria itu menjadi semakin marah dan kehilangan kendali. “SIALAN! Tutup mulutmu itu, Jalang!” Buyung berteriak dari kursi depan. Ia sungguh begitu marah. Bagaiman
Read more
PREV
1
...
5678910
DMCA.com Protection Status