Saat itu juga mereka berdua langsung mematung. Tidak bergeming sedikitpun. Para pria itu memelototi mereka dengan penuh ancaman. Sang Tegurau telah mati, sehingga membuat acara ritual itu tidak dapat dilaksanakan. Tidak hanya itu, Bibi Buyung wanita yang jahat itu juga telah mati. Sindi dan Meri sangat puas akan kejadian tersebut. Setidaknya kemarahan dan dendam yang ada di dalam hati mereka dapat terbalaskan—walaupun saat itu mereka masih terjebak di dalam bus tua tersebut. Cerita Buyung itu masih terngiang-ngiang di dalam benak mereka. Sindi benar-benar puas. “Sakit sekali rasanya, apalagi orang yang mati itu adalah orang yang paling kita sayangi. Bibimu dan Nenek Tua itu pantas mati. Mereka pasti akan mendekam di dalam neraka. Hahahaha...” Sindi tertawa jahat dari kursi belakang. Dia mencoba untuk memprovokasi Buyung agar pria itu menjadi semakin marah dan kehilangan kendali. “SIALAN! Tutup mulutmu itu, Jalang!” Buyung berteriak dari kursi depan. Ia sungguh begitu marah. Bagaiman
Meri langsung membalikkan wajahnya itu ke kursi bus. Ia tidak mau pria itu menyumbat mulutnya dengan paksa seperti yang telah ia lakukan terhadap Sindi. Akan tetapi pria itu dengan kasar memutar tubuhnya dengan mudah. Meri memberontak dan menutup mulutnya itu dengan sekuat tenaga. “Cup.. Cup.. Cuuuup.. Mengapa kau menutup mulutmu seperti ini? Bukankah tadi kau bilang sedang lapar? Ayo bukak mulutmu itu, cepat! Aku akan memberimu beberapa potong roti yang lezat ini” Pria itu tertawa jahat bermain-main dengan Meri. Ia membuka mulut wanita itu dengan paksa. Tangan pria itu sangat kuat, sehingga Meri tidak sanggup menahannya. Ia berhasil membuka mulut Meri, dan kemudian menyumbatnya dengan roti-roti tersebut. Ia memasukkan semua jari-jarinya itu ke dalam mulut Meri, sehingga membuat Meri lemas dan tercekik. “INI! MAKAN!” Pria itu mendorong roti-roti itu dengan kasar ke dalam kerongkongan Meri. “Huuuk Huukkk Huukkk..” Meri terbatuk-batuk memuntahkan roti-roti tersebut. Sementara itu pria
“TOLONG.. TOLOONGG.. ORANG ITU MENYERANG KAMI..!” Tiba-tiba salah satu anak buah Pak Dunto berteriak histeris dari balik pepohonan yang tumbuh memenuhi hutan. Suaranya terdengar sayup-sayup dari kejauhan.Pak Dunto dan Pak Muradi yang pada saat itu sedang berada di tempat yang berbeda segera berlari ke arah yang serupa bersama dengan anak buah mereka. Hal yang sama juga dilakukan oleh Pak Karay si kepala kampung. Ia menyuruh sebagian anak buahnya yang lain tinggal di sana untuk menjaga dua tahanan mereka yang pada saat itu sedang terikat di tiang penggantungan.“ADA APA? APA YANG TERJADI?” Teriak Pak Karay sambil berjalan memasuki kerumunan tersebut, tangannya sibuk mendorong tubuh para anak buahnya yang menghalangi jalan. Pak Dunto dan Pak Muradi berdiri tepat di tengah-tengah kerumunan itu. Pandangan semua orang tertuju pada tubuh seorang pria yang tergeletak di tanah.Pria itu terus menerus menjerit histeris. Tubuhnya terluka parah. Terlihat perut dan rusuknya ditembus oleh sesuatu
Pak Dunto berlari dengan terburu-buru ke arah sana. Setelah beberapa langkah saja melewati tanah yang berlumpur tersebut, tiba-tiba saja kakinya terperosok. Pria itu terjatuh. Akan tetapi beruntung ia masih bisa menarik kembali kakinya tersebut dari dalam lumpur. Kakinya terbenam hingga lutut. Pria itu segera bangun kembali, dan berjalan perlahan-lahan untuk menghampiri anjing tersebut. Setibanya di tempat itu, Pak Dunto pun terkejut. Ia melihat ada tubuh seekor anjing hitam yang tergolek di tanah. Ternyata itulah yang membuat anjing putih itu dari tadi menggonggong dengan suara yang begitu nyaring. Anjing hitam yang tergolek di tanah itu adalah saudara kandungnya. Tubuhnya bersimbah darah. Akan tetapi saat itu Pak Karay tidak menemukan ada segores luka pun yang terlihat di tubuh anjing itu. Karena merasa heran, Pak Dunto langsung membalikkan tubuh anjing tersebut dari tanah. Saat itulah ia melihat ternyata kepala anjing itu telah menganga. Anjing itu ditembak oleh seseorang. Pak Dun
Pak Dunto berdiri tepat di depan kayu tersebut sebelum menyeberang. Ia memeriksa dasar sungai di bawah sana dengan teliti. Pria itu adalah orang yang cerdik, dia tidak mau menyeberangi jembatan tersebut begitu saja sampai mengetahui bahwa kondisinya benar-benar sudah aman. Mengapa si penyusup itu sengaja membuatkan jembatan untuk mereka menyeberang? Jangan-jangan itu adalah sebuah jebakan? Pak Dunto merasa curiga.Suara gonggongan anjing putih itu terdengar semakin histeris di seberang sana. Pak Dunto segera menyuruh anak buahnya itu untuk memeriksa jembatan tersebut sebelum mereka menginjakkan kaki ke atas sana. Takut kalau-kalau si penyusup itu memang sengaja ingin menipu dan menjebak mereka.“Jarey! Coba angkat jembatan kayu itu. Lihat baik-baik, apakah ada sisi belakangnya yang telah dipotong?” Perintah Pak Dunto. Anak buahnya yang bernama Jarey itu pun segera maju ke pangkal jembatan, dan kemudian mengangkat kayu tersebut.Tidak perlu mengeluarkan seluruh tenaganya, Jarey telah b
Pak Karay dan puluhan anak buahnya baru saja tiba di area tanah berlumpur. Satu dua orang di antara mereka mulai menerobos masuk. Meski lumpur menelan kaki mereka hingga lutut, namun tak meredam semangat mereka.“Lagi-lagi si penyusup itu telah berhasil membunuh salah satu anjing terbaik kita” Kata salah satu anak buahnya yang berada di posisi paling depan. Pak Karay menaikkan kaki celananya, dan kemudian melangkah ke tempat itu.Pria itu menyeringai sembari menghembuskan asap cerutunya di depan bangkai anjing hitam tersebut. Kepala anjing itu nyaris hancur. Siapa lagi pelakunya kalau bukan si penyusup yang bajingan itu?Pada waktu yang bersamaan, tiba-tiba terdengarlah suara-suara makhluk misterius yang menciut nyaring di udara. Semua orang yang berada di tempat itu dengan serentak memalingkan wajah mereka ke langit. Tampak ribuan kelelawar beterbangan di angkasa. Pak Karay langsung membuang rokoknya, dan segera memerintahkan semua anak buahnya agar segera masuk ke dalam hutan berdur
“Di mana yang lain?” Tanya Pak Karay yang baru saja tiba di lokasi. Pria itu mengangkat senjatanya. “Si penyusup itu berada di atas bukit sihau. Pak Dunto menyuruh dua puluh orang menyusulnya ke atas sana, selebihnya mengepung seluruh kawasan bukit ini. Kata Pak Dunto, seluruh kawasan bukit ini dikelilingi oleh tebing yang curam, si penysusup itu tidak akan dapat keluar dari sini dengan mudah” Jaher berbicara sembari memainkan tangannya. Ia menjelaskan semua perkataan Pak Dunto dengan begitu detail. “Baiklah...” Ujar Pak Karay. Pria itu membalikkan tubuhnya ke belakang. Dia segera menunjuk dua puluh orang untuk membantu Pak Dunto mengejar si penyusup itu ke atas sana. Sedangkan selebihnya tinggal di bawah bersamanya untuk mengepung seluruh kawasan bukit tersebut. Perburuan di bukit sihau pun dimulai. Hanya dalam waktu beberapa menit saja, seluruh kawasan bukit sihau telah dikepung oleh Pak Karay dan anak buahnya. Senjata-senjata telah disiagakan. Mereka bersembunyi di bawah tebing,
Dewi termenung di tiang penggantungan. Ia memikirkan segala cara untuk melarikan diri dari sana. Meski mereka telah mengikat tubuhnya, akan tetapi mereka tidak bisa mengikat pikirannya. Dewi melihat sesuatu di lantai.“Ani.. Ani..” Dewi setengah berbisik dan terburu-buru. Ia berusaha membangunkan kembali temannya itu yang tampaknya sudah tertidur di atas lantai panggung ritual. Namun Ani tidak bergeming sedikitpun.“Ani.. Ani..” Dewi kembali memanggilnya dengan setengah berbisik. Kali ini ia menghentakkan kakinya ke lantai agar temannya itu bisa mendengarnya. Benar, tidak lama kemudian Ani mulai membuka matanya perlahan-lahan.“Lihat aku.. Sini..!” Dewi kembali menghentakkan kakinya. Tergesa-gesa. Ani perlahan-lahan mulai menggerakkan tubuhnya. Ia begitu lemah, bahkan untuk menggerakkan tubuhnya saja ia sangat kesulitan.“Lihat aku, Ani..” Nada suara Dewi agak tidak sabar. Ani perlahan-lahan mengangkat lehernya, dan menoleh pada temannya itu.“Apakah kau melihat pisau kecil itu tergel