Ikuti terus ceritanya ya. Jangan lupa berikan komentar. Terimakasih
Dewi termenung di tiang penggantungan. Ia memikirkan segala cara untuk melarikan diri dari sana. Meski mereka telah mengikat tubuhnya, akan tetapi mereka tidak bisa mengikat pikirannya. Dewi melihat sesuatu di lantai.“Ani.. Ani..” Dewi setengah berbisik dan terburu-buru. Ia berusaha membangunkan kembali temannya itu yang tampaknya sudah tertidur di atas lantai panggung ritual. Namun Ani tidak bergeming sedikitpun.“Ani.. Ani..” Dewi kembali memanggilnya dengan setengah berbisik. Kali ini ia menghentakkan kakinya ke lantai agar temannya itu bisa mendengarnya. Benar, tidak lama kemudian Ani mulai membuka matanya perlahan-lahan.“Lihat aku.. Sini..!” Dewi kembali menghentakkan kakinya. Tergesa-gesa. Ani perlahan-lahan mulai menggerakkan tubuhnya. Ia begitu lemah, bahkan untuk menggerakkan tubuhnya saja ia sangat kesulitan.“Lihat aku, Ani..” Nada suara Dewi agak tidak sabar. Ani perlahan-lahan mengangkat lehernya, dan menoleh pada temannya itu.“Apakah kau melihat pisau kecil itu tergel
Dewi menggigit bibir dan menyesali perbuatannya. Ani telah berjuang mati-matian untuk mengambil pisau tersebut. Itu adalah satu-satunya peluang terbaik yang mereka punya, dan dia tidak boleh membuat satu kesalahan pun.Pak Murad si pria yang berkacamata emas itu masih terus menatapnya dari kejauhan. Pria itu bahkan kini menyipitkan matanya untuk melihat Dewi dengan jeli. Sungguh beruntung, tak lama kemudian pria itu pun memalingkan wajahnya. Sepertinya dia tidak merasa curiga.“Ani, ayo terus, dorong pisau itu ke padaku. Sedikit lagi, ayo, terus!” Dewi semakin tidak sabar melihat kaki Ani yang hanya tinggal beberapa senti meter lagi. Ani mengerahkan seluruh kekuatannya yang masih tersisa. Setelah berjuang mati-matian mendorong pisau tersebut, akhirnya Ani pun berhasil.Tidak mau menunggu lebih lama, Dewi segera menarik pisau tersebut dengan kakinya. Ia berhasil meraih pisau tersebut, dan kemudian langsung menjepitnya dengan ibu jari kaki kanannya. Ia sangat terburu-buru. Karena mereka
Pak Dunto dan anak buahnya terus bergerak menyisir seluruh kawasan hutan di bukit sihau. Seluruh kawasan itu tertutup oleh semak-semak, mereka tetap menerobosnya. Rumput-rumput liar itu berjatuhan dan roboh tertebas oleh parang dan juga terinjak oleh kaki mereka. Sejauh ini, mereka bahkan telah berhasil menyapu setengah dari kawasan bukit tersebut.“Perhatikan semuanya baik-baik, jika kalian melihat ada sesuatu yang janggal, beritahu saya secepatnya!” Pak Dunto mengingatkan semua anak buahnya.Dari arah timur, cahaya matahari pagi sudah terlihat mulai menembus dedaunan. Saat itu jam sudah menunjukkan hampir pukul delapan pagi. Suasana di dalam hutan kecil itu masih tetap sesunyi tadi. Pencarian terus dilakukan.Keheningan pun pecah. “AKU MENEMUKANNYA! SI PENYUSUP ITU LARI KE ARAH SELATAN” Teriak salah satu anak buah Pak Dunto. Posisinya jauh di samping kiri, sekitar seratus meter dari Pak Dunto.“KEJAR! KEJAR! TANGKAP DIA, CEPAT!” teriak Pak Dunto menanggapi hal tersebut. Ia segera be
“MUNDUR! SI PENYUSUP ITU MULAI MENEMBAK!” Teriak salah satau anak buah Pak Dunto. Panik. Mengetahui hal tersebut, Pak Dunto langsung merunduk. Kini ia berjalan setengah merangkak untuk mencari posisi terbaik agar dapat melumpuhkan si penyusup tersebut.Pria itu masih berdiri di belakang pohon besar. Jantungnya berdegup tak menentu. Keringat terus bercucuran membasahi leher dan bajunya. Seluruh kawasan itu telah dikepung. Si penyusup benar-benar sudah terpojok. Tidak ada lagi jalan lain selain dari pada melawan mereka.Pria itu sibuk mengotak-atik senjata api yang ada di tangannya. Ia melihat, ternyata saat itu isi pelurunya hanya tersisa empat butir. Ia kesal. Jika seandainya pun ia berhasil menembak dan membunuh mereka dengan empat peluru tersebut, akan tetapi dia tetap tidak akan bisa mengalahkan mereka semua. Karena jumlah mereka terlalu banyak untuk dilawan. “Apa yang harus aku lakukan?” Batin pria tersebut. Ia terus berpikir.Dalam jarak tiga puluh meter di belakang sana, terliha
“HEY! MENGAPA KALIAN DIAM SAJA DI SANA? AYO TANGKAP DIA, SEKARANG!” Seru Pak Dunto. Namun Jarey dan kawan-kawannya itu masih bertiarap di tanah, tidak ada satu pun dari mereka yang berani engangkat kepala.“DASAR BODOH! APAKAH KALIAN TIDAK MENDENGARKU, HAH? AYO MAJU, ATAU KEPALA KALIAN YANG AKAN KU LEDAKKAN!” Pak Dunto menyumpah. Melihat tingkah anak buahnya yang begitu pengecut, pria itu benar-benar menjadi kesal dan marah. Ia bahkan mengancam untuk menembak kepala mereka. Menerima ancaman dari Bos mereka tersebut, maka mau tidak mau Jarey dan kawan-kawannya pun harus bangun dan maju.“HAHAHA.. AYO! SIAPA YANG BERANI MAJU, MAKA KEPALANYA AKAN SEGERA MELEDAK!” Ancam si penyusup tersebut. Ia berusaha untuk mempermainkan nyali mereka. Benar, dia berhasil. Jarey dan kawan-kawannya yang baru saja mulai bangun langsung merunduk kembali ke tanah. Tidak ada satu pun dari mereka yang berani mengangkat kepala. Melihat si pria itu yang sudah menembak mati beberapa teman mereka yang lain, maka t
“Jangan takut! Pria itu sebenarnya sudah tidak punya amunisi lagi untuk menembak kalian. Aku yakin, dia hanya menggertak kita!” Pak Dunto bangun dari tanah. Ia mulai berjalan mendekati pria tersebut. Ia bahkan tidak gentar walau sedikitpun.Belasan orang anak buahnya yang bertiarap di tanah saat itu benar-benar kaget dan juga cemas. Pria itu bahkan berjalan santai tanpa menunjukkan rasa takutnya walau sedikitpun. Bagaimana jika dugaan Pak Dunto salah? Dan ternyata si penyusup itu masih punya puluhan butir peluru? Maka semuanya akan tamat. Pak Dunto akan tewas.“HAHAHA, AYO TEMBAK! MENGAPA KAU DIAM SAJA SEPERTI ITU? AYO TEMBAK!” Pak Dunto menantang si penyusup tersebut. Ia bahkan membusungkan dadanya ke depan menyuruh si penyusup itu menembaknya.Melihat gertakan tersebut, wajah si penyusup pun mulai berubah. Ia tahu betul bahwa saat ini pengaruhnya sudah mulai hancur. Akan tetapi, bagaimana mungkin si pria itu bisa tahu bahwa amunisi senjatanya telah habis? Ia harus segera keluar dari
Tak lama kemudian, dari atas bukit, tiba-tiba muncullah sebuah bus tua yang melaju dalam kecepatan normal. Melihat kemunculan bus tua itu, Pak Murad yang duduk santai di kursi kayu bahkan langsung terbangun pada saat itu Juga. Pria itu segera membenahi kacamata emasnya untuk memperbaiki penglihatannya. Terbitlah segaris senyum kecil di wajahnya.Bus tua itu berhenti tepat di tengah-tengah halaman desa. Suara knalpotnya yang bising perlahan-lahan memelan sebelum akhirnya benar-benar lenyap ketika sang sopir memutar kuncinya. Tak lama kemudian, turunlah beberapa orang pria dari dalam sana.Tangannya yang sibuk memotong tali-tali itu pun langsung terhenti, bahkan pisau itu pun juga terjatuh ke lantai. Dewi shock melihat beberapa orang pria yang baru saja keluar dari dalam bus tua itu. Yang paling membuatnya kaget adalah sosok pria yang yang mengenakkan perban di tangan kanannya. Rameng, pria itulah yang telah menipu mereka berdua saat itu.Waktu itu Rameng datang ke kantor mereka, dia me
“Hey, lihat! Sang penyelamat kita sudah kembali datang..” Pria paruh baya yang menenteng senjata itu menghampiri Rameng. Dua orang pria yang bertubuh kekar itu saling berpelukan dan bertukar senyum satu sama lain.“Hahaha, aku sudah menduganya, bahwa polisi korup itu tidak akan bisa menangkapmu.” Pria itu masih berdecak kagum akan kehadiran Rameng. Bagaimana tidak? Ia berhasil lolos dari kepungan para polisi. Bagaimana cara dia melakukannya? Entahlah, itulah yang ingin ditanyai oleh Pak Karay padanya.“Ayo ceritakan, bagaimana kau bisa lolos dari kepungan para polisi yang korup itu? Apakah mereka menembakmu?” Pak Karay melipat kedua tangannya di dada.“Hahaha, tentu saja. Tapi Ninek (dewa) menolongku. Dia datang tepat waku saat salah satu dari mereka hampir saja menemukanku. Aku bersembunyi di dalam rumput berduri, sehingga mereka tidak dapat melihatku. Aku dapat melihat dan mendengar dengan telingaku, mereka menembak beberapa orang dari keluargaku tanpa belas kasih sedikitpun.” Ramen