Pak Dunto dan anak buahnya terus bergerak menyisir seluruh kawasan hutan di bukit sihau. Seluruh kawasan itu tertutup oleh semak-semak, mereka tetap menerobosnya. Rumput-rumput liar itu berjatuhan dan roboh tertebas oleh parang dan juga terinjak oleh kaki mereka. Sejauh ini, mereka bahkan telah berhasil menyapu setengah dari kawasan bukit tersebut.“Perhatikan semuanya baik-baik, jika kalian melihat ada sesuatu yang janggal, beritahu saya secepatnya!” Pak Dunto mengingatkan semua anak buahnya.Dari arah timur, cahaya matahari pagi sudah terlihat mulai menembus dedaunan. Saat itu jam sudah menunjukkan hampir pukul delapan pagi. Suasana di dalam hutan kecil itu masih tetap sesunyi tadi. Pencarian terus dilakukan.Keheningan pun pecah. “AKU MENEMUKANNYA! SI PENYUSUP ITU LARI KE ARAH SELATAN” Teriak salah satu anak buah Pak Dunto. Posisinya jauh di samping kiri, sekitar seratus meter dari Pak Dunto.“KEJAR! KEJAR! TANGKAP DIA, CEPAT!” teriak Pak Dunto menanggapi hal tersebut. Ia segera be
“MUNDUR! SI PENYUSUP ITU MULAI MENEMBAK!” Teriak salah satau anak buah Pak Dunto. Panik. Mengetahui hal tersebut, Pak Dunto langsung merunduk. Kini ia berjalan setengah merangkak untuk mencari posisi terbaik agar dapat melumpuhkan si penyusup tersebut.Pria itu masih berdiri di belakang pohon besar. Jantungnya berdegup tak menentu. Keringat terus bercucuran membasahi leher dan bajunya. Seluruh kawasan itu telah dikepung. Si penyusup benar-benar sudah terpojok. Tidak ada lagi jalan lain selain dari pada melawan mereka.Pria itu sibuk mengotak-atik senjata api yang ada di tangannya. Ia melihat, ternyata saat itu isi pelurunya hanya tersisa empat butir. Ia kesal. Jika seandainya pun ia berhasil menembak dan membunuh mereka dengan empat peluru tersebut, akan tetapi dia tetap tidak akan bisa mengalahkan mereka semua. Karena jumlah mereka terlalu banyak untuk dilawan. “Apa yang harus aku lakukan?” Batin pria tersebut. Ia terus berpikir.Dalam jarak tiga puluh meter di belakang sana, terliha
“HEY! MENGAPA KALIAN DIAM SAJA DI SANA? AYO TANGKAP DIA, SEKARANG!” Seru Pak Dunto. Namun Jarey dan kawan-kawannya itu masih bertiarap di tanah, tidak ada satu pun dari mereka yang berani engangkat kepala.“DASAR BODOH! APAKAH KALIAN TIDAK MENDENGARKU, HAH? AYO MAJU, ATAU KEPALA KALIAN YANG AKAN KU LEDAKKAN!” Pak Dunto menyumpah. Melihat tingkah anak buahnya yang begitu pengecut, pria itu benar-benar menjadi kesal dan marah. Ia bahkan mengancam untuk menembak kepala mereka. Menerima ancaman dari Bos mereka tersebut, maka mau tidak mau Jarey dan kawan-kawannya pun harus bangun dan maju.“HAHAHA.. AYO! SIAPA YANG BERANI MAJU, MAKA KEPALANYA AKAN SEGERA MELEDAK!” Ancam si penyusup tersebut. Ia berusaha untuk mempermainkan nyali mereka. Benar, dia berhasil. Jarey dan kawan-kawannya yang baru saja mulai bangun langsung merunduk kembali ke tanah. Tidak ada satu pun dari mereka yang berani mengangkat kepala. Melihat si pria itu yang sudah menembak mati beberapa teman mereka yang lain, maka t
“Jangan takut! Pria itu sebenarnya sudah tidak punya amunisi lagi untuk menembak kalian. Aku yakin, dia hanya menggertak kita!” Pak Dunto bangun dari tanah. Ia mulai berjalan mendekati pria tersebut. Ia bahkan tidak gentar walau sedikitpun.Belasan orang anak buahnya yang bertiarap di tanah saat itu benar-benar kaget dan juga cemas. Pria itu bahkan berjalan santai tanpa menunjukkan rasa takutnya walau sedikitpun. Bagaimana jika dugaan Pak Dunto salah? Dan ternyata si penyusup itu masih punya puluhan butir peluru? Maka semuanya akan tamat. Pak Dunto akan tewas.“HAHAHA, AYO TEMBAK! MENGAPA KAU DIAM SAJA SEPERTI ITU? AYO TEMBAK!” Pak Dunto menantang si penyusup tersebut. Ia bahkan membusungkan dadanya ke depan menyuruh si penyusup itu menembaknya.Melihat gertakan tersebut, wajah si penyusup pun mulai berubah. Ia tahu betul bahwa saat ini pengaruhnya sudah mulai hancur. Akan tetapi, bagaimana mungkin si pria itu bisa tahu bahwa amunisi senjatanya telah habis? Ia harus segera keluar dari
Tak lama kemudian, dari atas bukit, tiba-tiba muncullah sebuah bus tua yang melaju dalam kecepatan normal. Melihat kemunculan bus tua itu, Pak Murad yang duduk santai di kursi kayu bahkan langsung terbangun pada saat itu Juga. Pria itu segera membenahi kacamata emasnya untuk memperbaiki penglihatannya. Terbitlah segaris senyum kecil di wajahnya.Bus tua itu berhenti tepat di tengah-tengah halaman desa. Suara knalpotnya yang bising perlahan-lahan memelan sebelum akhirnya benar-benar lenyap ketika sang sopir memutar kuncinya. Tak lama kemudian, turunlah beberapa orang pria dari dalam sana.Tangannya yang sibuk memotong tali-tali itu pun langsung terhenti, bahkan pisau itu pun juga terjatuh ke lantai. Dewi shock melihat beberapa orang pria yang baru saja keluar dari dalam bus tua itu. Yang paling membuatnya kaget adalah sosok pria yang yang mengenakkan perban di tangan kanannya. Rameng, pria itulah yang telah menipu mereka berdua saat itu.Waktu itu Rameng datang ke kantor mereka, dia me
“Hey, lihat! Sang penyelamat kita sudah kembali datang..” Pria paruh baya yang menenteng senjata itu menghampiri Rameng. Dua orang pria yang bertubuh kekar itu saling berpelukan dan bertukar senyum satu sama lain.“Hahaha, aku sudah menduganya, bahwa polisi korup itu tidak akan bisa menangkapmu.” Pria itu masih berdecak kagum akan kehadiran Rameng. Bagaimana tidak? Ia berhasil lolos dari kepungan para polisi. Bagaimana cara dia melakukannya? Entahlah, itulah yang ingin ditanyai oleh Pak Karay padanya.“Ayo ceritakan, bagaimana kau bisa lolos dari kepungan para polisi yang korup itu? Apakah mereka menembakmu?” Pak Karay melipat kedua tangannya di dada.“Hahaha, tentu saja. Tapi Ninek (dewa) menolongku. Dia datang tepat waku saat salah satu dari mereka hampir saja menemukanku. Aku bersembunyi di dalam rumput berduri, sehingga mereka tidak dapat melihatku. Aku dapat melihat dan mendengar dengan telingaku, mereka menembak beberapa orang dari keluargaku tanpa belas kasih sedikitpun.” Ramen
“Hey! Hey! Siapa yang suruh kau tidur begitu? Ayo bangun!” Pak Dunto menyiram seember air ke wajah Sindi yang pada saat itu nyaris saja tak sadarkan diri. Lebih baik pingsan dan tidak merasakan apapun, karena dalam keadaan sadar semuanya terasa jauh lebih menyakitkan. Ia sudah tidak sanggup lagi menunggu, dan ingin semuanya segera berakhir.Pria itu mencekik lehernya, dan kemudian mendudukkannya di roda bus. Setelah itu, dia juga melakukan hal yang sama kepada Meri. Dua orang sahabat itu tersandar di dinding bus dalam keadaan yang begitu lemah. Sudah dua hari mereka bahkan belum mengganjal perut mereka.Dari kejauhan, tiba-tiba muncullah Ole bersama dengan dua orang temannya. Dia sedang menyeret tubuh seseorang. OH TIDAK! Sindi dan Meri menjerit. Semoga saja orang yang mereka bawa itu bukanlah Irma.Pak Karay dan kawan-kawannya memandang ke arah yang sama, melihat Buyung dan dua orang temannya yang terus mendekat sembari menyeret tubuh seorang.“Siapa ini? Apakah kau sudah berhasil m
“Apa katamu? Kamu pikir kami akan percaya kepadamu yang kini bahkan tidak bisa mengenal wajah putramu sendiri” Pak Karay menendang kepala Tanjo ke hadapan wanita tersebut. Terlihatlah wajah Tanjo yang begitu pucat dengan darah yang memenuhi pangkal lehernya.Nenek tua itu tiba-tiba saja memejamkan kedua matanya. Sementara itu, Sindi, Meri, dan Dewi yang terikat di tiang penggantungan hanya bisa melihatnya dengan tatapan bodoh tanpa mengetahui sedikitpun maksud dari itu semua. Nenek tua itu kembali meracau, kali ini dengan suara yang melengking.Oh Tidak! Apakah selama ini suara nyanyian misterius yang hampir selalu dia dengan di setiap malam selama berada di rumah Buk Tiah itu adalah suara Nenek tua itu? Bagaiamana mungkin wanita yang setua itu masih memiliki suara yang sangat indah dan merdu? Meri dan Sindi saling tatap menatap satu sama lain. Takjub setelah mengetahui sosok sebenarnya di balik suara nyanyian misterius yang seringkali menghibur mereka di beberapa malam yang lalu.“Oh