Pak Karay dan puluhan anak buahnya baru saja tiba di area tanah berlumpur. Satu dua orang di antara mereka mulai menerobos masuk. Meski lumpur menelan kaki mereka hingga lutut, namun tak meredam semangat mereka.“Lagi-lagi si penyusup itu telah berhasil membunuh salah satu anjing terbaik kita” Kata salah satu anak buahnya yang berada di posisi paling depan. Pak Karay menaikkan kaki celananya, dan kemudian melangkah ke tempat itu.Pria itu menyeringai sembari menghembuskan asap cerutunya di depan bangkai anjing hitam tersebut. Kepala anjing itu nyaris hancur. Siapa lagi pelakunya kalau bukan si penyusup yang bajingan itu?Pada waktu yang bersamaan, tiba-tiba terdengarlah suara-suara makhluk misterius yang menciut nyaring di udara. Semua orang yang berada di tempat itu dengan serentak memalingkan wajah mereka ke langit. Tampak ribuan kelelawar beterbangan di angkasa. Pak Karay langsung membuang rokoknya, dan segera memerintahkan semua anak buahnya agar segera masuk ke dalam hutan berdur
“Di mana yang lain?” Tanya Pak Karay yang baru saja tiba di lokasi. Pria itu mengangkat senjatanya. “Si penyusup itu berada di atas bukit sihau. Pak Dunto menyuruh dua puluh orang menyusulnya ke atas sana, selebihnya mengepung seluruh kawasan bukit ini. Kata Pak Dunto, seluruh kawasan bukit ini dikelilingi oleh tebing yang curam, si penysusup itu tidak akan dapat keluar dari sini dengan mudah” Jaher berbicara sembari memainkan tangannya. Ia menjelaskan semua perkataan Pak Dunto dengan begitu detail. “Baiklah...” Ujar Pak Karay. Pria itu membalikkan tubuhnya ke belakang. Dia segera menunjuk dua puluh orang untuk membantu Pak Dunto mengejar si penyusup itu ke atas sana. Sedangkan selebihnya tinggal di bawah bersamanya untuk mengepung seluruh kawasan bukit tersebut. Perburuan di bukit sihau pun dimulai. Hanya dalam waktu beberapa menit saja, seluruh kawasan bukit sihau telah dikepung oleh Pak Karay dan anak buahnya. Senjata-senjata telah disiagakan. Mereka bersembunyi di bawah tebing,
Dewi termenung di tiang penggantungan. Ia memikirkan segala cara untuk melarikan diri dari sana. Meski mereka telah mengikat tubuhnya, akan tetapi mereka tidak bisa mengikat pikirannya. Dewi melihat sesuatu di lantai.“Ani.. Ani..” Dewi setengah berbisik dan terburu-buru. Ia berusaha membangunkan kembali temannya itu yang tampaknya sudah tertidur di atas lantai panggung ritual. Namun Ani tidak bergeming sedikitpun.“Ani.. Ani..” Dewi kembali memanggilnya dengan setengah berbisik. Kali ini ia menghentakkan kakinya ke lantai agar temannya itu bisa mendengarnya. Benar, tidak lama kemudian Ani mulai membuka matanya perlahan-lahan.“Lihat aku.. Sini..!” Dewi kembali menghentakkan kakinya. Tergesa-gesa. Ani perlahan-lahan mulai menggerakkan tubuhnya. Ia begitu lemah, bahkan untuk menggerakkan tubuhnya saja ia sangat kesulitan.“Lihat aku, Ani..” Nada suara Dewi agak tidak sabar. Ani perlahan-lahan mengangkat lehernya, dan menoleh pada temannya itu.“Apakah kau melihat pisau kecil itu tergel
Dewi menggigit bibir dan menyesali perbuatannya. Ani telah berjuang mati-matian untuk mengambil pisau tersebut. Itu adalah satu-satunya peluang terbaik yang mereka punya, dan dia tidak boleh membuat satu kesalahan pun.Pak Murad si pria yang berkacamata emas itu masih terus menatapnya dari kejauhan. Pria itu bahkan kini menyipitkan matanya untuk melihat Dewi dengan jeli. Sungguh beruntung, tak lama kemudian pria itu pun memalingkan wajahnya. Sepertinya dia tidak merasa curiga.“Ani, ayo terus, dorong pisau itu ke padaku. Sedikit lagi, ayo, terus!” Dewi semakin tidak sabar melihat kaki Ani yang hanya tinggal beberapa senti meter lagi. Ani mengerahkan seluruh kekuatannya yang masih tersisa. Setelah berjuang mati-matian mendorong pisau tersebut, akhirnya Ani pun berhasil.Tidak mau menunggu lebih lama, Dewi segera menarik pisau tersebut dengan kakinya. Ia berhasil meraih pisau tersebut, dan kemudian langsung menjepitnya dengan ibu jari kaki kanannya. Ia sangat terburu-buru. Karena mereka
Pak Dunto dan anak buahnya terus bergerak menyisir seluruh kawasan hutan di bukit sihau. Seluruh kawasan itu tertutup oleh semak-semak, mereka tetap menerobosnya. Rumput-rumput liar itu berjatuhan dan roboh tertebas oleh parang dan juga terinjak oleh kaki mereka. Sejauh ini, mereka bahkan telah berhasil menyapu setengah dari kawasan bukit tersebut.“Perhatikan semuanya baik-baik, jika kalian melihat ada sesuatu yang janggal, beritahu saya secepatnya!” Pak Dunto mengingatkan semua anak buahnya.Dari arah timur, cahaya matahari pagi sudah terlihat mulai menembus dedaunan. Saat itu jam sudah menunjukkan hampir pukul delapan pagi. Suasana di dalam hutan kecil itu masih tetap sesunyi tadi. Pencarian terus dilakukan.Keheningan pun pecah. “AKU MENEMUKANNYA! SI PENYUSUP ITU LARI KE ARAH SELATAN” Teriak salah satu anak buah Pak Dunto. Posisinya jauh di samping kiri, sekitar seratus meter dari Pak Dunto.“KEJAR! KEJAR! TANGKAP DIA, CEPAT!” teriak Pak Dunto menanggapi hal tersebut. Ia segera be
“MUNDUR! SI PENYUSUP ITU MULAI MENEMBAK!” Teriak salah satau anak buah Pak Dunto. Panik. Mengetahui hal tersebut, Pak Dunto langsung merunduk. Kini ia berjalan setengah merangkak untuk mencari posisi terbaik agar dapat melumpuhkan si penyusup tersebut.Pria itu masih berdiri di belakang pohon besar. Jantungnya berdegup tak menentu. Keringat terus bercucuran membasahi leher dan bajunya. Seluruh kawasan itu telah dikepung. Si penyusup benar-benar sudah terpojok. Tidak ada lagi jalan lain selain dari pada melawan mereka.Pria itu sibuk mengotak-atik senjata api yang ada di tangannya. Ia melihat, ternyata saat itu isi pelurunya hanya tersisa empat butir. Ia kesal. Jika seandainya pun ia berhasil menembak dan membunuh mereka dengan empat peluru tersebut, akan tetapi dia tetap tidak akan bisa mengalahkan mereka semua. Karena jumlah mereka terlalu banyak untuk dilawan. “Apa yang harus aku lakukan?” Batin pria tersebut. Ia terus berpikir.Dalam jarak tiga puluh meter di belakang sana, terliha
“HEY! MENGAPA KALIAN DIAM SAJA DI SANA? AYO TANGKAP DIA, SEKARANG!” Seru Pak Dunto. Namun Jarey dan kawan-kawannya itu masih bertiarap di tanah, tidak ada satu pun dari mereka yang berani engangkat kepala.“DASAR BODOH! APAKAH KALIAN TIDAK MENDENGARKU, HAH? AYO MAJU, ATAU KEPALA KALIAN YANG AKAN KU LEDAKKAN!” Pak Dunto menyumpah. Melihat tingkah anak buahnya yang begitu pengecut, pria itu benar-benar menjadi kesal dan marah. Ia bahkan mengancam untuk menembak kepala mereka. Menerima ancaman dari Bos mereka tersebut, maka mau tidak mau Jarey dan kawan-kawannya pun harus bangun dan maju.“HAHAHA.. AYO! SIAPA YANG BERANI MAJU, MAKA KEPALANYA AKAN SEGERA MELEDAK!” Ancam si penyusup tersebut. Ia berusaha untuk mempermainkan nyali mereka. Benar, dia berhasil. Jarey dan kawan-kawannya yang baru saja mulai bangun langsung merunduk kembali ke tanah. Tidak ada satu pun dari mereka yang berani mengangkat kepala. Melihat si pria itu yang sudah menembak mati beberapa teman mereka yang lain, maka t
“Jangan takut! Pria itu sebenarnya sudah tidak punya amunisi lagi untuk menembak kalian. Aku yakin, dia hanya menggertak kita!” Pak Dunto bangun dari tanah. Ia mulai berjalan mendekati pria tersebut. Ia bahkan tidak gentar walau sedikitpun.Belasan orang anak buahnya yang bertiarap di tanah saat itu benar-benar kaget dan juga cemas. Pria itu bahkan berjalan santai tanpa menunjukkan rasa takutnya walau sedikitpun. Bagaimana jika dugaan Pak Dunto salah? Dan ternyata si penyusup itu masih punya puluhan butir peluru? Maka semuanya akan tamat. Pak Dunto akan tewas.“HAHAHA, AYO TEMBAK! MENGAPA KAU DIAM SAJA SEPERTI ITU? AYO TEMBAK!” Pak Dunto menantang si penyusup tersebut. Ia bahkan membusungkan dadanya ke depan menyuruh si penyusup itu menembaknya.Melihat gertakan tersebut, wajah si penyusup pun mulai berubah. Ia tahu betul bahwa saat ini pengaruhnya sudah mulai hancur. Akan tetapi, bagaimana mungkin si pria itu bisa tahu bahwa amunisi senjatanya telah habis? Ia harus segera keluar dari