Di belokan jalan, dari balik rerumputan yang tumbuh di tepi jurang, tiba-tiba muncullah tangan seorang pria. Tubuhnya bersimbah darah. Ia berusaha mati-matian mendaki jurang itu meski dengan kondisi tubuh yang begitu mengenaskan. Ia berpegangan pada salah satu batang rumput yang menjulur, lalu menarik dirinya ke atas dengan sekuat tenaga hingga dia pun berhasil keluar dari tempat itu. Pria itu adalah Askar. Tabrakan keras itu membuat tubuhnya terpental jauh ke bibir jurang. Akan tetapi sungguh dia bernasib baik, karena ada dahan-dahan pohon yang menahan tubuhnya di bibir jurang, sehingga ia pun selamat dari kematian. Setelah berhasil keluar dari jurang tersebut, Askar kemudian merangkak perlahan melewati rerumputan yang tumbuh di tempat itu menuju ke permukaan jalan. Kepalanya masih terasa berat. Mungkin itu adalah pengaruh dari benturan keras ke dahan-dahan pohon yang menyambut tubunya di bawah sana. Itulah yang membuat kepalanya terluka. Ia berusaha menerawang sekeliling dengan sen
Rameng menghentikan bus tua itu di jalan. Di depan sana, terlihat ada dahan-dahan pohon mati yang menghalangi mulut jalan. Rameng mematikan bus tuanya, menyisakan cahaya lampu yang terang menyorot jalan. “Cepat! Singkirkan dahan-dahan pohon itu dari sana!” Buyung menyuruh empat orang temannya turun dari bus untuk menyingkirkan benda-benda tersebut dari jalan. Itu adalah sebuah jalan rahasia yang tidak pernah dibuka—kecuali untuk saat-saat yang mendesak seperti itu.Jalan tersebut dibangun sekitar dua tahun lalu dari hasil gotong royong bersama yang dilakukan oleh para warga setempat. Mereka membangun jalan tersebut dari pasir, kerikil dan juga bebatuan yang mereka ambil dari sungai. Jalan itu sengaja dibuat lurus mengarah langsung ke desa Serampeh tanpa ada satupun belokan.Dari kursi belakang, dengan kondisi yang setengah sadar, Sindi mengintip secara diam-diam. Dia memperharikan situasi di luar sana, ke manakah bus itu pergi? Bukankah jalan menuju desa Serampeh lurus ke depan sana?
“Kami menemukan sesuatu di sini!” Pak Muradi berteriak memanggil Pak Dunto yang berada cukup jauh darinya. Suara teriakannya terdengar oleh seluruh penduduk desa. Pak Dunto dan Pak Karay segera berlari menghampiri suara tersebut, termasuk dengan para warga yang lain.Api yang membakar rumah di desa itu kini hanya menyisakan bara merah dengan asapnya yang menggumpal tinggi ke langit. Para wanita masih tampak sibuk menyiram api dengan air. Sementara di panggung ritual hanya menyisakan mereka bertiga yang masih dalam kondisi terikat di tiang penggantungan, hampir membeku menahan hawa dingin. Saat itu hari sudah pagi. Pukul lima lewat. Bias fajar mulai terlihat bercahaya di ufuk timur.“Ada apa dengan anjing-anjing ini? Apakah mereka terluka?” Pak Karay melihat tubuh empat ekor anjing itu yang tergektak penuh darah di tanah. Tubuh mereka tidak bergeming sedikitpun. Mereka telah mati. “Siapa yang membunuh mereka? Apakah kalian juga menemukan jejak-jejak lain di sekitar sini?” Pak Karay jo
Bus tua itu terus bergerak pelan melewati jalan. Suara knalpotnya terdengar mengaum-ngaum menempuh sebuah tanjakan yang cukup tinggi, setelah berhasil tiba di puncak, terlihatlah rumah-rumah para warga di desa Serampeh dalam jarak satu kilometer. Tidak lama lagi Rameng dan kawan-kawannya itu akan segera tiba di sana.Sindi masih terjaga di kursi belakang. Tatapan matanya jauh melayang ke luar sana, melihat pohon-pohon besar yang tumbuh memenuhi hutan. Tujuh orang pria itu masih juga terjaga di depan, mereka tidak tidur semalaman.Dari kursi sebelah, tiba-tiba Meri terbangun. Sindi dengan buru-buru segera menempelkan telunjuk di mulutnya, mengisyaratkan agar temannya itu tidak menimbulkan suara. Saat itu hari telah pagi, cahaya matahari memancar terang dari jendela samping, hingga masuk menembus kaca jendela bus tua itu yang sedang merayap di jalanan.Suasana di dalam bus tua itu begitu hening, tidak ada satu pun dari mereka yang membuka mulut untuk berbicara. Apakah mereka semua sedan
Saat itu juga mereka berdua langsung mematung. Tidak bergeming sedikitpun. Para pria itu memelototi mereka dengan penuh ancaman. Sang Tegurau telah mati, sehingga membuat acara ritual itu tidak dapat dilaksanakan. Tidak hanya itu, Bibi Buyung wanita yang jahat itu juga telah mati. Sindi dan Meri sangat puas akan kejadian tersebut. Setidaknya kemarahan dan dendam yang ada di dalam hati mereka dapat terbalaskan—walaupun saat itu mereka masih terjebak di dalam bus tua tersebut. Cerita Buyung itu masih terngiang-ngiang di dalam benak mereka. Sindi benar-benar puas. “Sakit sekali rasanya, apalagi orang yang mati itu adalah orang yang paling kita sayangi. Bibimu dan Nenek Tua itu pantas mati. Mereka pasti akan mendekam di dalam neraka. Hahahaha...” Sindi tertawa jahat dari kursi belakang. Dia mencoba untuk memprovokasi Buyung agar pria itu menjadi semakin marah dan kehilangan kendali. “SIALAN! Tutup mulutmu itu, Jalang!” Buyung berteriak dari kursi depan. Ia sungguh begitu marah. Bagaiman
Meri langsung membalikkan wajahnya itu ke kursi bus. Ia tidak mau pria itu menyumbat mulutnya dengan paksa seperti yang telah ia lakukan terhadap Sindi. Akan tetapi pria itu dengan kasar memutar tubuhnya dengan mudah. Meri memberontak dan menutup mulutnya itu dengan sekuat tenaga. “Cup.. Cup.. Cuuuup.. Mengapa kau menutup mulutmu seperti ini? Bukankah tadi kau bilang sedang lapar? Ayo bukak mulutmu itu, cepat! Aku akan memberimu beberapa potong roti yang lezat ini” Pria itu tertawa jahat bermain-main dengan Meri. Ia membuka mulut wanita itu dengan paksa. Tangan pria itu sangat kuat, sehingga Meri tidak sanggup menahannya. Ia berhasil membuka mulut Meri, dan kemudian menyumbatnya dengan roti-roti tersebut. Ia memasukkan semua jari-jarinya itu ke dalam mulut Meri, sehingga membuat Meri lemas dan tercekik. “INI! MAKAN!” Pria itu mendorong roti-roti itu dengan kasar ke dalam kerongkongan Meri. “Huuuk Huukkk Huukkk..” Meri terbatuk-batuk memuntahkan roti-roti tersebut. Sementara itu pria
“TOLONG.. TOLOONGG.. ORANG ITU MENYERANG KAMI..!” Tiba-tiba salah satu anak buah Pak Dunto berteriak histeris dari balik pepohonan yang tumbuh memenuhi hutan. Suaranya terdengar sayup-sayup dari kejauhan.Pak Dunto dan Pak Muradi yang pada saat itu sedang berada di tempat yang berbeda segera berlari ke arah yang serupa bersama dengan anak buah mereka. Hal yang sama juga dilakukan oleh Pak Karay si kepala kampung. Ia menyuruh sebagian anak buahnya yang lain tinggal di sana untuk menjaga dua tahanan mereka yang pada saat itu sedang terikat di tiang penggantungan.“ADA APA? APA YANG TERJADI?” Teriak Pak Karay sambil berjalan memasuki kerumunan tersebut, tangannya sibuk mendorong tubuh para anak buahnya yang menghalangi jalan. Pak Dunto dan Pak Muradi berdiri tepat di tengah-tengah kerumunan itu. Pandangan semua orang tertuju pada tubuh seorang pria yang tergeletak di tanah.Pria itu terus menerus menjerit histeris. Tubuhnya terluka parah. Terlihat perut dan rusuknya ditembus oleh sesuatu
Pak Dunto berlari dengan terburu-buru ke arah sana. Setelah beberapa langkah saja melewati tanah yang berlumpur tersebut, tiba-tiba saja kakinya terperosok. Pria itu terjatuh. Akan tetapi beruntung ia masih bisa menarik kembali kakinya tersebut dari dalam lumpur. Kakinya terbenam hingga lutut. Pria itu segera bangun kembali, dan berjalan perlahan-lahan untuk menghampiri anjing tersebut. Setibanya di tempat itu, Pak Dunto pun terkejut. Ia melihat ada tubuh seekor anjing hitam yang tergolek di tanah. Ternyata itulah yang membuat anjing putih itu dari tadi menggonggong dengan suara yang begitu nyaring. Anjing hitam yang tergolek di tanah itu adalah saudara kandungnya. Tubuhnya bersimbah darah. Akan tetapi saat itu Pak Karay tidak menemukan ada segores luka pun yang terlihat di tubuh anjing itu. Karena merasa heran, Pak Dunto langsung membalikkan tubuh anjing tersebut dari tanah. Saat itulah ia melihat ternyata kepala anjing itu telah menganga. Anjing itu ditembak oleh seseorang. Pak Dun