Beranda / Romansa / PENGAKUAN ANAKKU / Bab 1 - Bab 10

Semua Bab PENGAKUAN ANAKKU: Bab 1 - Bab 10

196 Bab

Bab 1 - Pengakuan Dila.

PENGAKUAN_ANAKKU "Dila juga pernah lihat, Ayah mimik s*su sama Tante. Kata Ayah, dikulkas stok susu habis. Padahal mimik itu kan buat Dedek Hamdan. Iya kan Mah?" ucap polos, anakku. ----Tinggalkan jejak dulu sebelum membaca---- "Kenapa tidak kamu suruh saja, Hella tinggal disini." ucapan Mas Rudi--suamiku menghentikan aktifitas, yang sedang memasukan buah-buahan segar kedalam plastik. "Mas tidak keberatan?" tanyaku memastikan. "Tidaklah, dia kan Adikmu." jawabnya santai diiringi senyum manis khasnya. "Dari pada setiap bulan kamu repot meski bulak-balik kerumahnya, lebih baik dia tinggal disini. Sekalian jaga Dila, rumah pun jadi ramai." tambahnya. Aku bergeming sesaat, mencerna kata-kata Mas Rudi. "Dila juga jadi ada teman main, Hamdan pasti senang tinggal disini." tambahnya. "Iya, nanti aku coba tanya sama Hella. Dia mau tidak tinggal bersama kita." jawabku gamang. "Aku cuma kasihan sama kamu, sudah enam bulan ini kamu membantu keuangan Adikmu. Belum lagi bayaran kontrkan, ka
Baca selengkapnya

Bab 2 - Sakit.

 Dila juga pernah lihat, Ayah mimik s*su sama Tante. Kata Ayah, dikulkas stok susu habis. Padahal mimik itu kan buat Dedek Hamdan. Iya kan Mah?"Tubuh ini meremang, nafas tersenggal dengan kepala yang terasa berdenyut-denyut. Kusandarkan tubuh yang begitu lemas, menyentak kepala secara kasar dengan tembok.Tidak!Tidak mungkin mereka mengkhianatiku. Tidak mungkin!Aku berusaha menghalau fikiran buruk, yang membuat kepala semakin berdenyut-denyut. Kepala terasa mau pecah memikirkan kegilaan ini.Tapi Dila ... anak sekecil itu tidak mungkin berbohong. Dila bicara begitu lugas, tak ada tekanan atau kebohongan sedikit pun. Lagi pula untuk apa Dila bicara bohong?Astaga. Ada apa ini?"Mah, kok melamun?" Dila menyentuh wajahku. Wajah ini terasa begitu panas, pun dengan mata dan tubuhku."Mamah sakit, kok pucat?" Dila menempelkan telapak tangannya diwajahku."Eh--itu, anu. I-ya Mamah tidak enak badan." ucapku denga
Baca selengkapnya

Bab 3 - Tak Tahan.

 "Baiklah. Hal pertama yang harus Bibik lakukan adalah ..."Bik Narti menarik nafas, mengangguk tegas saat aku menyelesaikan kalimat.Suara salam terdengar dari ruang tamu, Bik Narti sedikit menjauh lalu berjalan keluar lewat pintu belakang."Huh ... panas." suara Hella terdengar derap langkah semakin jelas mendekat."Mbak," Hella menyapa saat melihat kearahku, lalu berlalu menuju lemari pendingin."Mamah ..." anak cantikku berlari, lalu menyodorkan tangan didepanku."Gimana pestanya, ramai yang datang?" tanyaku sambil menyambut uluran tangannya. Dila begitu anggun, dengan rambut panjang berponi dan balutan dress selutut berwarna pink."Ramai, Mah. Nanti kalau Dila ulang tahun undang semua teman sekolah sama teman ngaji ya, Mah." jawabnya riang.Aku mengangguk, melebarkan senyum. Menyetujui ucapannya. Dila memang belum pernah merayakan ulang tahun mengundang teman, setiap tahun aku hanya membeli kue tart dan membaw
Baca selengkapnya

Bab 4 - Tak sabar.

"Sabar, Neng. Sabar ..."Brak!!Aku tendang dengan kuat pintu kamar Hella, mataku terbelalak saat melihat isi didalam kamar.Suara nafasku terdengar begitu jelas, aku keblingsatan mencari keberadaan Hella."Dimana perempuan sialan itu!" pekikku keras. Nafas memburu, kemarahan ini benar-benar ada dipuncaknya."Kemana dia!!"Aku mengedarkan pandangan, berjalan cepat menuju lemari dan membuka pintunya dengan kasar."Neng ..." Bik Narti menyentuh pundak belakangku. "Tenang, sabar." ucapnya."Tenang? Sabar? Bibik tidak tahu hancurnya hati ini. Apa aku harus sabar juga!" teriakku dengan air mata bercucuran.Bik Narti terdiam, helaan nafas panjang terdengar dari mulutnya."Bibik ngerti, Bibik paham. Bibik tau betul perasaan Neng Rissa." ucapnya lembut. Aku mendecis, kepala terasa bagai terbakar."Bibik pernah mengalami apa yang Neng rasakan." ucapny
Baca selengkapnya

5 - Jijik.

"Gaji cuma habis buat bayar hutang, gaya-gayaan mau makan enak!" cebikku lalu meneguk sisa air minum didalam gelas."Punya suami tidak ada otak. Gengsi saja di besarkan. Motor lama dijual, malah kridit motor baru. Mana cicilannya bikin nyecik tenggorokan!" aku hempas gelas kaca dengan kasar, meraih tisu dengan kasar pula lalu menyeka sudut bibir."Hanya mengandalkan istri, gajinya habis untuk kebutuhannya sendiri. Tidak mikir untuk biaya hidup sehari-hari."Sengaja aku bicara di depan Hella, biar dia tahu bahwa selingkuhannya itu cuma laki-laki KERE yang numpang makan sama istrinya. Benalu. Sama seperti dirinya."Bibik mau masak apa itu?" tanyaku."Masak sup bakso sama tetelan, Neng." jawabnya."Tidak perlu pakai tetelan, sup bakso saja. Hemat, Bik. Ingat!" tegasku."Tempe buat besok saja, Bik. Tidak perlu ikut digoreng. Boros!""Siap, Neng." jawab Bik Narti. Aku langsung berjalan menuju lemari pendingin, membawa buah pir dan apel yang aku beli sekitar tiga hari lalu. Lebih baik aku b
Baca selengkapnya

Bab 6 - Kena kamu, Mas!

"Kamu pasti terlalu capek, hingga hormonnya jadi tak jelas seperti ini." ucapnya sambil meraih daguku dan mendekati bibirnya kembali.Tubuhku bergidik, jantung bertalu-talu saat melihat bibir Mas Rudi. Hati kembali teremas-remas saat mengingat ucapan Dila, tentang mimik s*su."Iya, kamu benar. Aku hanya terlalu capek," aku memalingkan wajah, membuat kecupan itu mendarat dirambut tak mengenai bibirku."Sebaiknya aku tidur. Besok ada rapat," segara aku menarik selimut lalu merebahkan tubuh. Terdengar helaan panjang dari Mas Rudi, menandakan dia kecewa dengan penolakanku. Biarlah aku berdosa sudah mengabaikan keinginan suami. Aku bukan perempuan sholekha yang bisa menurut saja, apapun perintah Mas Rudi.Pagi ini aku bangun kesiangan, sesampainya dimeja makan penghuni rumah sudah menduduki dikursinya masing-masing. Mas Rudi tersenyum melihat keberadaanku, lalu menyodorkan nasi goreng tanpa kecap dihadapanku."Bik Narti ..." ucapku setelah menghempaskan bokong diatas kursi."Iya, Neng?" B
Baca selengkapnya

Bab 7 - Jahat!

"Tante kenapa nangis?"Hella yang ada didalam pelukan Mas Rudi terlonjak kaget, pun dengan Mas Rudi yang tak kalah pucat dari gundiknya.Kena kamu, Mas!Aku bergeming tak mengeluarkan satu pun kalimat, tapi pandanganku tajam melihat keduanya.Repleks Mas Rudi mendorong kasar tubuh Hella, segera bangkit dari duduknya."Mamah dari mana? Tadi aku cari-cari tidak ada," ucapnya dengan ekpresi salah tingkah, terlihat sangat bod*h. Aku menautkan alis memandang sinis pada Hella."Sudah peluk-peluknya?" tanyaku."Eh ... itu," wajah itu memerah, tak sanggup meneruskan kalimat."Lagi pijit-pijit?" ketusku. Geram sekali, berkali aku menarik nafas guna menormalkan detak jantung. Jangan sampai kemarahan ini meledak. Belum waktunya."Kamu jangan salah paham, Mah. Aku cuma ingin menenangkan Hella," bantah Mas Rudi sambil menggaruk tengkuk lehernya."Salah paham gimana?" aku pura-pura bodoh."Hella terlalu capek, dia sampai nangis gitu. Katanya juga lemes, laper." jelas Mas Rudi.Aku menatapnya lekat,
Baca selengkapnya

Bab 8 - Pesta.

Aku bekap mulut ini dengan sebelah tangan dan sekuat tenaga, agar tak mengeluarkan suara sebab hati begitu perih ingin menjerit dengan kencang. Air mata mengucur dengan deras, getaran tubuh mengguncang jiwa. Lutut terasa lemas, rasanya tak sanggup menopang tubuh ini.Jahat kamu, Mas!Desahan keduanya terdengar jelas ditelinga. Ingin aku berlari dan membunuh keduanya, namun logika masih menahan. Lagi-lagi aku hanya bisa menarik nafas dalam-dalam dan menghempasnya dengan kasar.Teruskan perbuatan bejat kalian, bersenang-senanglah. Setelah ini akan aku tunjukan cara membalas tanpa mengotori tanganku sendiri.Setelah cukup mendapat bukti, aku segera menekan tombol stop. Langkahku lunglai menginjak lantai, nafasku terasa tersendat-sendat.Ingin sekali menendang pintu kamar itu, namun tubuh masih terasa menggigil dengan hebat. Aku teguk segelas air yang ada diatas nakas, lalu menghentaknya dengan keras.Pecahan beling itu berhamburan diatas lantai, aku termangu meremas gawai dengan erat."B
Baca selengkapnya

Bab 9 - Acara Berlangsung.

"Kamu baik sekali Mbak, makasih ya." Hella mengharu dan memelukku.Aku tepuk dengan jijik punggung belakangnya. Bik Narti menganggukkan kepala dengan senyum penuh arti."Tolong bantu-bantu Hella ya, Bik. Nanti aku kasih uang untuk belanja kebutuhan dapur," ucapku pada Bik Narti disambut dengan senyum kecil dan anggukan kepala.Hella masih tersenyum manis, membuat perutku menjadi mual seketika.Bisa bayangkan jadi aku? Hidup satu atap dengan para pengkhianat?Ckckck ... rasanya sangat menjijikan. Setiap detik bahkan fikiranku sudah dibumbui dengan kekerasan ingin melukainya."Aku istirahat dulu," ucapku sambil beranjak berjalan menuju tangga."Iya, Mbak. Makasih ya," teriak Hella.Menghempas tubuh diatas ranjang, kepala kembali berdenyut aku memiijatnya dengan pelan.Sudah beberapa hari ini tak nyenyak tidur, bahkan hampir tak pernah tidur sepanjang malam.Andai masih ada kedua orangtua, tentu aku bisa berbagi masalah padanya."Uh ... bagaimana ini, Mah. Perbuatan baikmu dimasa lalu, k
Baca selengkapnya

Bab 10 - Marah dan Malu.

"Astaga. Itu bukannya ..."Kalimat menggantung diudara, kini semua pandangan beralih pada Mas Rudi dan Hella yang wajahnya sudah sepucat mayat.Gaduh!Suara sumbang mulai terdengar tak nyaman ditelinga. Aku sendiri hanya bergeming, mendengar lengkingan menjijikan yang masih terdengar panas ditelinga.Aish ... membaranya.Aku tidak punya cukup nyali, untuk melihat video itu. Biarkan saja, para tamu yang berkomentar menggambarkan setiap adegan.Aku melirik sedih pada Mas Rudi, yang membeku ditempat duduknya. Tubuhnya bergetar hebat, mulutnya cengap-cengap seperti ikan mas koki yang kehabisan oksigen.Nafas dulu, Mas. Jangan mati disini, kau belum mendapat balasan. Aku menginginkan kepedihanmu."Mas, itu Mas Rudi kan?" salah satu teman Mas Rudi menepuk bahu, membuat Mas Rudi terlonjak hebat dari tempatnya."Eh ..." Mas Rudi tergagap, wajahnya terlihat ketakutan. Atau malu? Entahlah.Hati terkekeh geli, dada bergemuruh hebat ingin menertawakan ekpresi wajahnya yang seperti orang linglung.
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
20
DMCA.com Protection Status