"Sabar, Neng. Sabar ..."
Brak!!Aku tendang dengan kuat pintu kamar Hella, mataku terbelalak saat melihat isi didalam kamar.Suara nafasku terdengar begitu jelas, aku keblingsatan mencari keberadaan Hella."Dimana perempuan sialan itu!" pekikku keras. Nafas memburu, kemarahan ini benar-benar ada dipuncaknya."Kemana dia!!"Aku mengedarkan pandangan, berjalan cepat menuju lemari dan membuka pintunya dengan kasar."Neng ..." Bik Narti menyentuh pundak belakangku. "Tenang, sabar." ucapnya."Tenang? Sabar? Bibik tidak tahu hancurnya hati ini. Apa aku harus sabar juga!" teriakku dengan air mata bercucuran.Bik Narti terdiam, helaan nafas panjang terdengar dari mulutnya."Bibik ngerti, Bibik paham. Bibik tau betul perasaan Neng Rissa." ucapnya lembut. Aku mendecis, kepala terasa bagai terbakar."Bibik pernah mengalami apa yang Neng rasakan." ucapnya dengan suara bergetar.Aku menatap nyalang, Bik Narti mengangguk dengan senyum getir yang tersemat dibibirnya."Sekarang, Bibik mau tanya. Neng masih sayang sama Pak Rudi?" tanyanya. Aku terdiam, lalu menggeleng samar.Sayang ... untuk apa Bik Narti bicara omong kosong seperti itu."Biasanya orang yang selingkuh dia tidak akan menduga aksinya diketahui sama pasangan." Bik Narti menarik nafas. "Kalau pun sekarang Neng menyerang Hella, tanpa bukti mereka bisa mengelak. Dan yang lebih menjengkelkan mereka akan lebih hati-hati." ucap Bik Narti."Biasa mereka bisa melakukan aksi gila itu dirumah, tapi kalau Neng sudah curiga. Bisa saja mereka akan melakukannya diluar."Aku menarik nafas, mencerna kalimat Bik Narti."Orang yang sudah kerasukan Iblis seperti mereka, tidak akan mau dihalangi. Mereka akan melakukan berbagai cara agar bisa bertemu berduaan." ucapnya lagi meyakinkan."Lalu a--ku harus bagaimana, Bik?" suaraku mulai lemah. Ucapan Bik Narti benar apanya. Aku tidak ada bukti, Mas Rudi akan mengelak dan menganggapku hanya cemburu. Kecuali aku memergoki adegan mesum mereka dengan mata kepalaku sendiri."Sesuai yang Neng katakan saja. Bibik akan mencari bukti, membawa bukti nyata dan membuat Dunia mereka berakhir." sahutnya tegas. Aku masih menatap Bik Narti, dia mengangguk pelan mencoba meyakinkan aku.Deru suara motor besar Mas Rudi terdengar memasuki rumah, aku dan Bik Narti saling berpandangan lalu gegas keluar dari kamar Hella.Melangkah menuju ruang keluarga, meraih remot menekan tombol merah menghadap televisi.Suara Hella dan Mas Rudi terdengar, pintu terbuka lebar mereka masuk kedalam rumah beriringan. Sekilas mereka terlihat pasangan suami istri yang sangat serasi.Dada kembali bergemuruh, mata memanas namun sekuat tenaga aku mencoba tegar dihadapan mereka. Seolah tak mengetahui apa-apa.Mas Rudi tersenyum saat melihat kearahku, aku tersenyum tipis sambil menatapnya lekat."Tadi pas aku keluar Hamdan nangis mau ikut, jadi aku ajak mereka jalan-jalan." ucapnya tanpa aku minta. Hella tersenyum manis seperti biasa, benar-benar muak sekali aku melihatnya.Sekarang sudah berani jalan berduaan, hebat sekali kedua musang ini."Oh ya?" aku tersenyum miring. Mataku menyorot pada jam dinding yang menunjukan pukul delapan malam. "Ini sudah malam loh, La. Tidak baik Hamdan keluar malam pakai motor, dia tidak terbiasa. Nanti kalau sakit gimana?" aku mencoba ramah."Iya, Mbak. Sesekali saja. Sepertinya Hamdan bosan dirumah terus," jawabnya."Loh tadi sore kan keluar, main. Iya kan?" tanyaku."Iya sih. Cuma kan disini-sini saja, jalan kaki." balasnya. Aku tersenyum miring, jengah mendengar suaranya."Urusan bisnisnya sudah selesai, Mas?" tanyaku."Belum ... Mas ga jadi kerumah Toni. Tadi muter-muter aja bawa Hamdan jalan-jalan." jawabnya semakin membuat kemarahanku meletup-letup.Aku mendecis sinis, mengarahkan remot televisi didepan layar lalu mengganti canel. Tangaku sampai bergetar, menahan degup jantung yang semakin bertalu-talu.***Ofd."Tadi kata Hella, ulang tahun Hamdan sebentar lagi ya?" aku yang sedang mengoles cream wajah langsung menoleh, gerakan tangan melambat menatapnya penuh tanda tanya."Kita rayakan ulang tahunnya ya. Hamdan pasti senang." ucapnya dengan senyum lebar. Menjijikan!Rupanya Hella mau membuat pesta, dan dia tidak bicara padaku. Benar-benar sampah! Tanganku mengepal, kemarahan ini kembali tersulut."Emang kamu ada uang?" tanyaku. Mas Rudi malah terkekeh lalu jalan mendekat."Semua uang ku, kan kamu yang pegang." ucapnya. Aku memutar bola mata dengan malas, mengerti maksud dan tujuannya yang ujung-ujung nya harus memakai uang ku."Ya. Gajimu memang aku yang pegang, tapi semua habis tak tersisa untuk membayar cicilan." sahutku. Mas Rudi mengkerutkan alis, mungkin tak menyangka dengan ucapanku."Gajimu akhir bulan cair, tiga hari kemudian juga langsung ludes. Kamu tidak memberi semua gajimu padaku, tapi hanya MENITIPKAN!" ucapku tegas menekan kalimat terakhir.Mas Rudi terlonjak kaget, mungkin tak menyangka dengan ucapanku yang pedas ini. Tidak masalah kalau dia mau tersinggung, toh itu semua memang benar adanya. Harusnya dia berkaca, gaji kecil berani-beraninya bermain api dibelakangku."Kok jadi merembet kemana-mana." ucapnya tak terima. "Aku cuma berniat mau selamatan kecil-kecilan untuk keponakanmu, kalau tidak setuju ya sudah, jangan segala gajiku dibawa-bawa." suara Mas Rudi naik satu oktaf."Keuangan kita sedang pas-pasan. Harusnya kamu mikir dulu sebelum bicara. Dikira bikin selamatan tidak pakai uang!" aku ikut melotot."Kamu kenapa sih. Aneh banget!" Mas Rudi beranjak lalu keluar dari kamar.Cih! Pergi sanah. Bilang sama selingkuhanmu, aku tidak setuju dengan rencananya.Aku segera menyelesaikan aktifitas, lalu menaiki ranjang dan menarik selimut. Terserah kalau dia mau macam-macam sama Hella, aku yakin Bik Narti tidak akan tinggal diam. Aku malah berharap, dia akan macam-macam saat ini. Biar aku bisa secepatnya mendepak mereka.***Ofd"Gimana, Bik? Ada lihat sesuatu semalam?" tanyaku sambil berbisik, takut ada telinga lain yang mendengar."Mereka hanya ngobrol biasa diruang tamu, Neng. Saya tunggu-tunggu sampai jam sebelas malam, tapi Hella masuk kamar sendirian. Terus tidak keluar lagi," terang Bik Narti."Oh ..."Bik Narti sedikit menghindar saat mendengar suara celoteh Hamdan, tak lama Hella terlihat berjalan mendekati kami sambil menuntun Hamdan ditagannya.Wajahnya sedikit muram, dia bahkan tidak menoleh kearahku. Dasar tak tahu diri!"Oh iya, Bik. Nanti belanja bulanan nunggu gaji Mas Rudi ya, makan seadanya saja saat ini. Pakai garam juga tidak masalah yang penting masih bisa makan." ucapku. Hella terlihat bergiming, gerakan tangannya pelan membuka lemari pendingin."Baik, Neng." sahut Bik Narti yang sedang sibuk memotong wortel."Untuk lauk, mulai hari ini masaknya satu menu saja ya. Kalau ada tempe, tempe saja. Sayur-sayur saja, jangan boros. Saya pusing mikirin cicilan belum lagi banyak mulut yang harus diberi makan." ucapku pelan. Namun tentu saja Hella bisa mendengar."Yang lain kan tidak mau tahu, tahu nya makan saja. Tidak peduli dengan kepeningan saya mengatur keuangan. Dia fikir uang saya banyak kali yah." ucapku tak acuh sambil memasukan roti tawar kedalam mulut."Kamu bicara apa sih pagi-pagi. Masa iya makan cuma lauk tempe. Kamu mau kurang gizi." tiba-tiba Mas Rudi masuk keruangan dapur."Loh apa salahnya. Tempe itu bergizi, banyak proteinnya." sahutku tak mau kalah."Masa iya tiap hari makan satu menu, bisa hilang selera makanku." jawabnya."Ya terserah. Gajimu hanya mampu membeli itu, masa iya dipaksakan." sahutku tak mau kalah.Rasanya aku sudah tidak bisa mengontrol kesabaranku. Melihat dua manusia ini ada didepanku, membuat darah ini terasa bergolak-golak. Rasanya ingin sekali mengubur mereka hidup-hidup.Mata Mas Rudi mendelik, sepertinya ucapanku berhasil menyulut emosinya. Terserah, aku tidak peduli!"Ya kan ada uangmu. Buat apa kamu kerja kalau tidak mau bantu suami." ucapnya sambil berkacak pinggang. Matanya melotot seakan ingin menerkamku."Uang istri sepenuhnya hak istri, jika aku mau membantu suami itu termasuk bersedakah. Tapi sepertinya aku sudah capek, bersedekah untuk suami."'Apalagi suaminya tukang selingkuh, tidak tahu diri' sambungku dalam hati."Rissa!!" bentak Mas Rudi begitu murka. Aku balas menatap tajam kearahnya, untuk sekian detik kami saling beradu pandang dengan kilatan tajam masing-masing.Mas Rudi mengusap kasar wajah, menggeleng frustasi."Kamu kenapa sih. Aneh begini sikapnya dari semalam." desahnya dengan wajah muram lalu pergi dari hadapanku.Aku tersenyum sinis, lalu menatap Hella yang terpaku ditempatnya.Biar saja, Mas Rudi pasti akan menemui Hella dimalam hari melepaskan segala kekesalannya. Selepas itu aku tahu betul apa yang akan Mas Rudi lakukan pada Hella.Aku akan pastikan, aku sendiri yang akan menangkap basah keduanya.Aku ingin melihat wajah panik keduanya, dan tentu saja itu akan terasa menyenangkan.***OfdPagi Mak ... Kira-kira apa rencana Larissa, sepertinya Larissa tidak sanggup selalu berpura-pura."Gaji cuma habis buat bayar hutang, gaya-gayaan mau makan enak!" cebikku lalu meneguk sisa air minum didalam gelas."Punya suami tidak ada otak. Gengsi saja di besarkan. Motor lama dijual, malah kridit motor baru. Mana cicilannya bikin nyecik tenggorokan!" aku hempas gelas kaca dengan kasar, meraih tisu dengan kasar pula lalu menyeka sudut bibir."Hanya mengandalkan istri, gajinya habis untuk kebutuhannya sendiri. Tidak mikir untuk biaya hidup sehari-hari."Sengaja aku bicara di depan Hella, biar dia tahu bahwa selingkuhannya itu cuma laki-laki KERE yang numpang makan sama istrinya. Benalu. Sama seperti dirinya."Bibik mau masak apa itu?" tanyaku."Masak sup bakso sama tetelan, Neng." jawabnya."Tidak perlu pakai tetelan, sup bakso saja. Hemat, Bik. Ingat!" tegasku."Tempe buat besok saja, Bik. Tidak perlu ikut digoreng. Boros!""Siap, Neng." jawab Bik Narti. Aku langsung berjalan menuju lemari pendingin, membawa buah pir dan apel yang aku beli sekitar tiga hari lalu. Lebih baik aku b
"Kamu pasti terlalu capek, hingga hormonnya jadi tak jelas seperti ini." ucapnya sambil meraih daguku dan mendekati bibirnya kembali.Tubuhku bergidik, jantung bertalu-talu saat melihat bibir Mas Rudi. Hati kembali teremas-remas saat mengingat ucapan Dila, tentang mimik s*su."Iya, kamu benar. Aku hanya terlalu capek," aku memalingkan wajah, membuat kecupan itu mendarat dirambut tak mengenai bibirku."Sebaiknya aku tidur. Besok ada rapat," segara aku menarik selimut lalu merebahkan tubuh. Terdengar helaan panjang dari Mas Rudi, menandakan dia kecewa dengan penolakanku. Biarlah aku berdosa sudah mengabaikan keinginan suami. Aku bukan perempuan sholekha yang bisa menurut saja, apapun perintah Mas Rudi.Pagi ini aku bangun kesiangan, sesampainya dimeja makan penghuni rumah sudah menduduki dikursinya masing-masing. Mas Rudi tersenyum melihat keberadaanku, lalu menyodorkan nasi goreng tanpa kecap dihadapanku."Bik Narti ..." ucapku setelah menghempaskan bokong diatas kursi."Iya, Neng?" B
"Tante kenapa nangis?"Hella yang ada didalam pelukan Mas Rudi terlonjak kaget, pun dengan Mas Rudi yang tak kalah pucat dari gundiknya.Kena kamu, Mas!Aku bergeming tak mengeluarkan satu pun kalimat, tapi pandanganku tajam melihat keduanya.Repleks Mas Rudi mendorong kasar tubuh Hella, segera bangkit dari duduknya."Mamah dari mana? Tadi aku cari-cari tidak ada," ucapnya dengan ekpresi salah tingkah, terlihat sangat bod*h. Aku menautkan alis memandang sinis pada Hella."Sudah peluk-peluknya?" tanyaku."Eh ... itu," wajah itu memerah, tak sanggup meneruskan kalimat."Lagi pijit-pijit?" ketusku. Geram sekali, berkali aku menarik nafas guna menormalkan detak jantung. Jangan sampai kemarahan ini meledak. Belum waktunya."Kamu jangan salah paham, Mah. Aku cuma ingin menenangkan Hella," bantah Mas Rudi sambil menggaruk tengkuk lehernya."Salah paham gimana?" aku pura-pura bodoh."Hella terlalu capek, dia sampai nangis gitu. Katanya juga lemes, laper." jelas Mas Rudi.Aku menatapnya lekat,
Aku bekap mulut ini dengan sebelah tangan dan sekuat tenaga, agar tak mengeluarkan suara sebab hati begitu perih ingin menjerit dengan kencang. Air mata mengucur dengan deras, getaran tubuh mengguncang jiwa. Lutut terasa lemas, rasanya tak sanggup menopang tubuh ini.Jahat kamu, Mas!Desahan keduanya terdengar jelas ditelinga. Ingin aku berlari dan membunuh keduanya, namun logika masih menahan. Lagi-lagi aku hanya bisa menarik nafas dalam-dalam dan menghempasnya dengan kasar.Teruskan perbuatan bejat kalian, bersenang-senanglah. Setelah ini akan aku tunjukan cara membalas tanpa mengotori tanganku sendiri.Setelah cukup mendapat bukti, aku segera menekan tombol stop. Langkahku lunglai menginjak lantai, nafasku terasa tersendat-sendat.Ingin sekali menendang pintu kamar itu, namun tubuh masih terasa menggigil dengan hebat. Aku teguk segelas air yang ada diatas nakas, lalu menghentaknya dengan keras.Pecahan beling itu berhamburan diatas lantai, aku termangu meremas gawai dengan erat."B
"Kamu baik sekali Mbak, makasih ya." Hella mengharu dan memelukku.Aku tepuk dengan jijik punggung belakangnya. Bik Narti menganggukkan kepala dengan senyum penuh arti."Tolong bantu-bantu Hella ya, Bik. Nanti aku kasih uang untuk belanja kebutuhan dapur," ucapku pada Bik Narti disambut dengan senyum kecil dan anggukan kepala.Hella masih tersenyum manis, membuat perutku menjadi mual seketika.Bisa bayangkan jadi aku? Hidup satu atap dengan para pengkhianat?Ckckck ... rasanya sangat menjijikan. Setiap detik bahkan fikiranku sudah dibumbui dengan kekerasan ingin melukainya."Aku istirahat dulu," ucapku sambil beranjak berjalan menuju tangga."Iya, Mbak. Makasih ya," teriak Hella.Menghempas tubuh diatas ranjang, kepala kembali berdenyut aku memiijatnya dengan pelan.Sudah beberapa hari ini tak nyenyak tidur, bahkan hampir tak pernah tidur sepanjang malam.Andai masih ada kedua orangtua, tentu aku bisa berbagi masalah padanya."Uh ... bagaimana ini, Mah. Perbuatan baikmu dimasa lalu, k
"Astaga. Itu bukannya ..."Kalimat menggantung diudara, kini semua pandangan beralih pada Mas Rudi dan Hella yang wajahnya sudah sepucat mayat.Gaduh!Suara sumbang mulai terdengar tak nyaman ditelinga. Aku sendiri hanya bergeming, mendengar lengkingan menjijikan yang masih terdengar panas ditelinga.Aish ... membaranya.Aku tidak punya cukup nyali, untuk melihat video itu. Biarkan saja, para tamu yang berkomentar menggambarkan setiap adegan.Aku melirik sedih pada Mas Rudi, yang membeku ditempat duduknya. Tubuhnya bergetar hebat, mulutnya cengap-cengap seperti ikan mas koki yang kehabisan oksigen.Nafas dulu, Mas. Jangan mati disini, kau belum mendapat balasan. Aku menginginkan kepedihanmu."Mas, itu Mas Rudi kan?" salah satu teman Mas Rudi menepuk bahu, membuat Mas Rudi terlonjak hebat dari tempatnya."Eh ..." Mas Rudi tergagap, wajahnya terlihat ketakutan. Atau malu? Entahlah.Hati terkekeh geli, dada bergemuruh hebat ingin menertawakan ekpresi wajahnya yang seperti orang linglung.
"Mari kita cerai!" sekali hentakkan nafas, aku berucap dengan sangat tegas.Di susul dengan kalimat istigfar yang terdengar bergetar dari mulut kedua mertuaku."Nak, Rissa ..." Ibu menatap iba, menggeleng lemah. " jangan bicara begitu, mari kita selesaikan masalah ini dengan kepala dingin." Ibu menggenggam tanganku, menatap dengan mata yang sudah di penuhi oleh kabut."Ce-rai?" Mas Rudi terbelalak kaget mendengar ucapanku."Ya. Mari kita akhiri semuanya. Aku muak melihat wajahmu!" geramku dengan tatapan tajam.Mas Rudi menarik nafas panjang, menatapku dengan tatapan meremehkan."Rissa ... Rissa." Mas Rudi menatap lurus mengunci pandangannya di mataku."Pikirmu enak menjadi janda, hah?" aku melengos muak, rasanya ingin sekali mencengkram wajah dan menikam barang pusakanya dengan belati. Sayang, takku temukan benda tajam di sekitarku.Lagi pun, apa salahnya menjanda? Yang penting hidupku lurus, tidak menggoda suami orang."Kau ingin nasibmu sama dengan, Hella? Lihat dia, setiap malam ke
Suara gawai terdengar bersahut-sahutan, aku mendengkus kesal saat melihat nama di dalam layar. Hella terus menghubungi, puluhan pesan dia kirim untuk menggangguku."Neng ..." suara Bik Narti terdengar diiringi ketukan pintu.Wajah Dila menyembul di balik pintu, di susul dengan Bik Narti di belakangnya dengan, Hamdan di dalam gendongan."Mamah." Dila berlari kearahku. "Mamah nangis?" cepat aku menghapus jejak air mata, menggeleng kuat lalu memamerkan senyum tipis.Dila menatap iba, memelukku dengan erat. "Tante Hella diluar teriak-teriak, Mah. Kata Bibik, aku tidak boleh bukain pintu?"Aku kembali mengusap mata yang basah, menahan sesak mengurai pelukkan."Sudah, Bik?" tanyaku pada Bik Narti, mengabaikan ucapan Dila."Iya Neng." jawab Bik Narti."Kemas baju Mas Rudi juga, Hamdan taruh saja di bawah." ucapku. Bik Narti langsung menuruni Hamdan, lalu berjalan menuju lemari."Itu koper yang coklat," aku menunjuk koper yang ada diatas lemari."Kita mau jalan-jalan kemana, Mah. Kok baju Aya
Pov Larissa."Pasien rumah sakit jiwa terlindas truk hingga tewas, kondisi sangat mengenaskan. Saat ini jenazah korban ada dirumah sakit Pelita Keluarga.""Baca, apa sih sayang serius banget?" Mas Bagas yang sedang mengemudi, menoleh singkat lalu kembali fokus menghadap jalan."Baca berita yang lewat dibranda, Mas. Seram ih, aku baca juga komen-komennya. Katanya, tubuh korban tabrakan itu terbelah menjadi dua bagian." sahutku, sambil bergidik ngeri."Innalillahi ... semoga amal ibadahnya diterima Alloh." jawab Mas Bagas dengan wajah prihatin."Aamiin ..." aku hanya menyahut, pandangan fokus pada gawai melanjutkan membaca komentar yang ada di dalam berita.Mengingat rumah sakit jiwa, aku jadi teringat ucapan Nyonya Diana. Dia bilang, Hella terkena gangguan jiwa, dan sekarang tinggal dirumah sakit jiwa. Semoga dia dalam keadaan baik-baik saja, walau aku sangat membencinya tapi aku tak ingin mendoakan keburukan padanya. Aku takut doa buruk itu akan kembali padaku. Naudzubillah."Nyonya D
Pov DianaSuara debur ombak beradu dengan karang membuat aku menarik nafas panjang, angin lembut berhembus diwajah dan rambut. Menimbulkan aura menenangkan.Hmm ....Menghembuskan nafas secara perlahan, bibir tersenyum simpul melihat dua sosok kesayangan bermain dengan ceria ditepi pantai.Duhai Tuhan ... trimakasih. Atas izinmu, kau biarkan aku melalui badai yang sangat kuat lagi dahsyat."Mamih, ayok kesini!" seru Deo meski terdengar samar. Aku hanya tersenyum, meraih gelas berisi jeruk hangat lalu menyesapnya pelan.Tangan ini melambai saat melihat pasangan suami istri celingukan mencari seseorang. Aku tersenyum manis, saat mata kami beradu tatap."Hai ..." sapaku ceria."Lama tidak bertemu, Nyonya Diana." wanita cantik menyapa dengan senyuman manis, dia menyodorkan tangan, setelahnya kita berjabat tangan mencium pipi kiri dan kanan."Mbak Larissa semakin cantik saja." ucapku tulus. Karna memang wajah wanita muda yang ada dihadapanku memang selalu cantik."Nyonya bisa saja," ucapny
Pov Hella."Lepass!" aku memberontak saat dua laki-laki berseragam rumah sakit memegangi kedua tangan."Kalian tuli, hah! Lepas aku bilang!" sungutku sambil terus memberontak.Kedua laki-laki itu hanya mendengkus kesal tak mengindahkan ucapanku."Jalan!" ucapnya, lalu menyeret tubuhku keluar dari penjara.Nafasku terengah-engah, terpaan sinar matahari menerjang wajah menimbulkan sensasi hangat dan menenangkan.Otak mulai mencerna apa yang sebenarnya terjadi, aku terbahak menyadari akan keluar dari tempat pengap itu."Hahah ... aku bebas. Aku bebas!" teriakku bersemangat. "Bawa aku pulang ke apartement, aku rindu rumahku. Aku rindu." cerocosku sambil menatap penuh harap kearah dua laki-laki itu.Satu diantaranya membuka pintu bagasi mobil khas rumah sakit, setelah terbuka lebar dia kembali memegangi tanganku."Masuk!" titahnya sambil mendorong tubuhku."Hati-hati, jangan membuatnya marah. Atau kalian akan tersakiti." ucap Polisi gendut. Keduanya saling bertatapan, lalu menoleh kearahku
Pov Hella."Tahanan ini benar-benar keterlaluan, dia membunuh Ibunya sendiri saat datang berkunjung menemuinya." ujar petugas gendut sambil melirik kearahku sorotnya memancarkan ketidak percayaan."Ckckck ..." laki-laki berperawakan tinggi besar itu menatap lekat, menggelengkan kepalanya. Aku semakin menundukan wajah, takut tiba-tiba pukulan kembali menyerangku.Tubuh ini menggigil, luka memar terlihat disekujur tubuh. Rasanya sakit dan menyiksa sekali."Teman satu selnya pun ikut dihajar, aku rasa dia mengalami gangguan jiwa." Mataku mendelik, tak terima dengan kata-kata sipir jelek itu."Bawa dia masuk kembali, tempatkan dia diruangan 355 a. Jangan disatukan dengan yang lain, saya mencuim gelagat mengerikan dari tatapan matanya," ucap komandan Polisi."Siap, Dan!" sahut dua petugas sambil menegakkan badan."Cepat!" tubuh ini diseret paksa. Aku hanya bisa menurut, menyeret kaki mengikutinya.Dug!Rasa nyeuri menerjang lutut dan telapak tangan, saat tubuhku didorong masuk oleh petugas
"Istri saya sakit apa, Dok?" tanyaku setelah Dokter Murni memeriksa keadaan Diana."Sepertinya hanya terlalu lelah," jawab Dokter Murni sambil tersenyum tipis pada Diana."Jangan terlalu capek dan banyak pikiran. Bebaskan saja, jangan di pendam nanti tambah sakit," sambungnya sambil mengusap tangan Diana."Iya, Dok. Trimakasih," jawab Diana."Saya hanya meresepkan beberapa vitamin, sama obat pusing ya. Untuk berjaga-jaga, khawatir kepala Nyonya Diana ikut pusing juga karna terlalu banyak berpikir," ucap Dokter Murni sambil terkekeh pelan. Diana tersenyum menanggapinya."Saya permisi, jangan lupa diminum vitaminnya." ucapnya sambil mengemasi alat-alat ke Dokteran yang tadi dia keluarkan."Iya, Dok. Trimakasih ya," sahutku lalu mengekorinya jalan keluar kamar."Kamu tidak apa-apa, Mih?" tanyaku sambil mengusap pucuk kepalanya dengan lembut."Tidak, apa. Aku hanya butuh istirahat saja," jawab Diana."Kamu lagi banyak pikiran ya? Mikirin apa sih?" cecarku berpura bodoh. Padahal aku tahu b
"Mati saja kau, Buk. Hidup pun tak berguna, hanya bisa menyusahkan anak-anakmu saja!" bisikku tepat ditelinganya. Wajah Ibu terlihat membiru, dengan lidah menjulur dan suara nafas yang tercekat ditenggorokan.Aku semakin bersemangat, bibir melengkung sempurna saat melihat Ibu menghadapi sarakatulmaut."Mati, kamu Buk. Mati!" desisku dengan suara tertekan."Hei ... mau apa kamu!" suara sumbang mengganggu kesenanganku. Tangan lemah Ibu terus memukul tangan ini, dan meminta pertolongan. Aku semakin kalap saat beberapa orang mulai mendekat, cengkraman tangan dileher Ibu semakin aku tekan.Dia harus lenyap, aku tak ingin hidup menderita sendirian.Tubuh Ibu mulai lemas, tangannya terkuai tidak lagi melakukan perlawanan.Kedua tanganku ditarik paksa, seruan dari suara sumbang terus saja mengusik pendengaranku."Hei, sudah gila kamu ya!" hadrik suara seseorang."Lepas!""Pak, tolong ...."Plakk plakk!!Rasa panas langsung menjalar dipipiku, setelah memastikan Ibu tak lagi bergerak aku baru m
"Mas ...."Langkah Mas Mahesa terhenti mendengar panggilanku.Mamah menatap jengah, Diana menampilkan wajah datar berpura tak melihat kehadiranku.Sombong sekali, perempuan tua itu. Merasa menang dariku? Tak tahu malu.Mas Mahesa mengangguk kecil pada dua perempuan busuk itu, Mamah menatap khawatir, tapi akhirnya pergi juga bersama Diana."Ada apa?" tanyanya datar, tanpa melihat wajahku. Tangannya sibuk merapihkan dasi yang menjerat dilehernya."Aku ..." mata ini memanas, melihat perubahannya. Mas Mahesa melirik sekilas, menghela nafas panjang."Katakanlah, aku tidak punya banyak waktu. Mamah dan istriku sudah menunggu diluar," ucapnya sambil menatap lurus kearah pintu, dimana berdiri Mamah Hana juga Diana."Aku juga istrimu ..," sahutku dengan suara parau. Mas Mahesa terkekeh, lalu menatapku tajam."Istriku?" tanyanya dengan tatapan mengejek. "Oh ya ... kau benar. Aku belum mengucap talak untukmu," sambungnya dengan senyum tipis."Mas ..." selaku dengan wajah memelas."Aku minta maaf
ByurrrLimpahan air menerjang wajah, aku tergelagap dengan nafas terengah-engah."Hm ... saya bilang apa? Dia terlalu manja, dikit-dikit pingsan!" cibir seorang petugas wanita sambil berkacang pinggang.Dengan kasar, aku menyeka sisa air yang menempel diwajah. Hatiku pilu diperlakukan serendah ini."Bersihin sisa airnya! Jangan manja. Atau saya pindahkan ketahanan yang penghuninya sapleng semua." ketusnya dengan senyum miring menyerigai.Tubuhku benar-benar lemas, mata berkunang saat mencoba bangkit dari atas lantai."Cepeeet. Lelet banget!" Petugas bermana Mira itu menarik kasar, lalu mendorong keras tubuhku hingga mendarat kencang disudut tembok."Lelet!!" cebiknya sembul meninggalkan ruang tahananku."Dia emang terkenal brutal. Ga punya perasaan. Kalau dia lagi kontrol, jangan sesekali memasang wajah sakit. Dia ga suka," jelas Ira tanpa aku minta.Aku hanya diam, mata memanas menahan bulir air mata."Sana ganti baju, nanti masuk angin." titahnya, sok perhatian.Aku mengangguk pelan
Pov Diana.Suara bel rumah mengusik ketenanganku dengan Mas Mahesa. Aku segera beranjak dari sofa berjalan untu membuka pintu utama."Mah ..." Aku tersenyum tipis saat melihat kedatangan Mamah Hana."Kurang ajar sekali perempuan liar itu, bukti sudah di depan mata. Masih saja berkelit-kelit," gerutunya sambil berjalan melewatiku. Aku yang mengerti maksud ucapannya, hanya bisa mengekori dari belakang."Nasib Mamah buruk sekali bisa bertemu dengan orang seperti itu, Di." Keluhnya sambil menjatuhkan tubuh diatas sofa."Gimana, Mah. Sidangnya?" tanya Mas Mahesa sambil melipat koran yang tadi dia baca, lalu menaruhnya dibawah meja."Nyebelin!" sembur Mamah. "Ngeles saja kaya belut. Kesel banget Mamah," gerutunya."Ngeles gimana, Mah?" tanyaku penasaran."Dia masih tidak mau ngaku. Padahal ada saksi mata, Dokter yang kemarin itu, dia sudah meluangkan waktu untuk datang di persidangan pagi tadi." jawab Mamah panjang lebar.Mas Mahesa menyimak dengan antusias, sesekali dia mimijat pelipisnya.