"Baiklah. Hal pertama yang harus Bibik lakukan adalah ..."
Bik Narti menarik nafas, mengangguk tegas saat aku menyelesaikan kalimat.
Suara salam terdengar dari ruang tamu, Bik Narti sedikit menjauh lalu berjalan keluar lewat pintu belakang.
"Huh ... panas." suara Hella terdengar derap langkah semakin jelas mendekat.
"Mbak," Hella menyapa saat melihat kearahku, lalu berlalu menuju lemari pendingin.
"Mamah ..." anak cantikku berlari, lalu menyodorkan tangan didepanku.
"Gimana pestanya, ramai yang datang?" tanyaku sambil menyambut uluran tangannya. Dila begitu anggun, dengan rambut panjang berponi dan balutan dress selutut berwarna pink.
"Ramai, Mah. Nanti kalau Dila ulang tahun undang semua teman sekolah sama teman ngaji ya, Mah." jawabnya riang.
Aku mengangguk, melebarkan senyum. Menyetujui ucapannya. Dila memang belum pernah merayakan ulang tahun mengundang teman, setiap tahun aku hanya membeli kue tart dan membawanya ketempat bermain atau sekedar mengajaknya berwisata.
Dila menaruh dua paper bag ulang tahun diatas meja, lalu mendekati Hella.
"Mau minum dingin, Tant." ucapnya.
"Dila boleh minum dingin, Mbak?" tanya Hella sambil menoleh.
Aku bergeming sesaat, menatap wajah culasnya lalu mengangguk singkat.
Aish ... susah sekali berpura-pura tidak mengetahui kebejatan mereka. Pintar sekali dia, bisa bersikap normal padaku tanpa rasa bersalah sedikit pun.
"Acaranya meriah sekali, Mbak. Ada badut dan atraksinya juga." Hella bercerita begitu antusias matanya berbinar sambil menoleh kearah Hamdan.
"Bentar lagi Hamdan, pas dua tahun ..." kalimatnya tergantung, dia menoleh kearahku dengan senyum simpul yang tersemat dibibirnya. Aku berpura tak mendengar mengangkat minuman lalu meneguknya.
Hella menautkan alis, heran melihat sikapku yang tak acuh padanya. Ya ... biasanya aku adalah orang yang paling peka terhadapnya, apa lagi jika menyangkut tentang Hamdan.
"Wah banyak ya makanannya," aku mengalihkan perhatian, tersenyum manis saat Dila membongkar paperbag oleh-oleh dari pesta temannya.
"Iya, Mah." sahut Dila penuh semangat. "Aku boleh makan semuanya kan, Mah?" tanyanya penuh harap.
"Boleh sayang, tapi jangan banyak-banyak ya. Buat besok-besok lagi, nanti giginya sakit kebanyakan makan yang manis-manis." sahutku sambil membelai pucuk kepalanya. Dila mengangguk senang, tangan mungilnya menyerahkan satu paperbag pada Hamdan.
Hmm ... andai kamu tahu, Nak. Anak manis yang ada disampingmu akan merebut Ayahmu, cepat atau lambat.
Miris sekali.
Repleks aku mendecis, Hella menoleh dengan tatapan aneh.
"Bawa masuk kamar makanannya sayang, kalau sudah dibuka segera habiskan ya." ucapku sambil memasukan bungkusan makanan ringan itu kedalam paperbag, lalu menuntun Dila masuk kedalam kamar.
"Sudah siang, bobo dulu ya ... Hamdan," ucapku dengan senyum ramah. Senyum palsu lebih tepatnya.
"Cuci kaki, sama cuci tangan. Tuh sudah mau jam setengah tiga. Dila belum bobo, nanti pusing kepalanya," ucapku sambil menunjuk jam dinding yang ada diruang tamu. Dila berlari kecil menuju toilet, tak lama terdengar aktifitasnya.
Pukul lima sore, motor besar Mas Rudi memasuki rumah. Aku sengaja menunggunya diteras, sambil sesekali mengamati bunga yang bermekaran ditaman kecilku.
Mas Rudi melepas helm, berjalan kearahku dengan tentengan plastik putih ditangannya.
"Nih, Mas bawain martabak." dia menaruh plastik itu diatas meja. Aku hanya menoleh, menganggukkan kepala.
"Aku perhatikan setiap hari sabtu lembur terus ya, Mas." ucapku.
"Iya. Alhamdulillah, Mah." ucapnya sambil menghempaskan bokong dikursi sebelahku. Mas Rudi menyodorkan tangan, aku bergeming sesaat lalu menyambut uluran dan menciumnya.
"Lumayanlah ya. Buat bayar cicilan rumah sama motor," ucapku dengan senyum lepas.
"Iya. Lumayan," sahutnya. Senyumku menghilang, aku menarik nafas dalam-dalam.
Gaji Mas Rudi sebagai operator disebuah pabrik tidak sampai menyentuh dua digit. Jika dihitung-hitung, gajinya hanya cukup untuk bayar cicilan rumah dan motor besarnya saja.
Cicilan rumah cluster dua lantai kami, 3.525.000 selama lima belas tahun. Sekarang sudah masuk tahun keempat. Cicilan motor besarnya selama 36 bulan 2.300.000. Saat ini cicilan belum ada satu tahun. Belum lagi uang bensin, uang dansos, uang pegangannya dan cicilan kecil lainnya.
Aishh ... pusing menghitungnya.
Selebihnya urusan dapur dan segala tetek bengeknya menggunakan uang gajiku. Gajinya mana bisa menutupi semuanya. Sungguh aku ikhlas dan Ridho membantu meringankan segala bebannya.
Untung saja, aku sudah mempunyai mobil sebelum menikah. Jadi aku tidak perlu memikirkan tagihannya.
"Kenapa, Mah? Kok melamun?" Mas Rudi memperhatikan wajahku.
"Tidak apa. Hanya sedikit lelah," ucapku.
"Istirahat yuk," ajaknya lalu bangkit dari kursi. Aku mengangguk, berjalan mendahuluinya.
"Yah yah, yah yah ..." Hamdan berjalan tertatih, melangkah berat menghampiri Mas Rudi. Aku hanya mengamati, tak berniat menyentuh bocah mungil itu. Entahlah, sejak aku tahu Bunda anak itu bermain gila. Anak yang tak bersalah pun, kini aku enggan melihatnya.
Celoteh Hamdan semakin riang saat Mas Rudi membawanya kedalam gendongan. Membuat hati berdenyut ngilu melihatnya.
"Eh, jangan. Pakde habis pulang kerja, capek." Hella jalan tergesah menuju suamiku.
"Tidak apa, La." jawab Mas Rudi. Bibirku melengkung miring, malas melihat keduanya. Aku memilih untuk pergi, jalan menuju kamarku. Terserah mereka mau apa, aku tidak peduli.
Aku jatuhkan bobot ini ditepi ranjang, menghembuskan nafas sekuat-kuatnya. Ada yang bergemuruh didalam dada, membuat nafas sesak dan sakit kepala. Aku pijit kening ini dengan pelan, perbuatan mereka tentu saja sangat merusak fikiranku.
Aku masih tidak menyangka, orang yang aku sayangi dengan setulus hati bisa mencabik-cabik relung jiwaku.
Ahh ... kalian sungguh tega.
"Kamu kenapa, Mah?" aku sedikit terlonjak saat kedua tangan menyentuh pundakku. Aku menghela nafas, tersenyum tipis sambil menggeliatkan badan mencoba melepas pegangan Mas Rudi dengan halus.
Aku sampai tidak mengetahui kapan dia masuk, aku fikir dia akan mampir kekamar Hella.
"Wajahmu pucat, Mah. Kamu sakit?" aku menepis tangannya yang hendak mendarat dikeningku.
"Sedikit lelah, tadi aku sudah bilang, kan?" ucapku.
"Ke Dokter ya, minta vitamin." tatapannya begitu lembut, biasanya aku akan luluh dan patuh. Tapi saat ini aku malah muak melihatnya.
"Tidak perlu, aku mau berbaring saja." sahutku. Mas Rudi menghela nafas, menatap sedih kearahku.
Cih! Apa maksudnya tatapan itu.
Terdengar lagi hela nafasnya lalu dia beranjak dari sisiku dan berjalan menuju toilet.
Selesai menunaikan sholat tiga rakaat, aku kembali bersandar dipunggung ranjang. Ucapan Dila kembali terngiang dikepala.
Tubuh bergetar hebat, nafasku tersendat dengan air mata yang menggalir deras. Hati ini pilu, aku merasa manusia paling bodoh yang ada dimuka bumi ini.
Entah kemana perginya Mas Rudi, sehabis mandi tadi dia pamit keluar ingin kerumah teman untuk membicarakan sesuatu.
"Neng ..." suara Bik Narti terdengar dari luar pintu.
Aku beringsut dengan malas, menghapus jejak air mata berjalan menuju pintu. Sengaja aku mengunci pintu, takut Mas Rudi memergoki aku sedang menangis.
"Apa, Bik?"
"Boleh Bibik masuk?" ucapnya sambil celingukan.
Aku membuka pintu lebih lebar, setelah Bik Narti masuk aku segera menutupnya.
"Kenapa?" tanyaku.
"Itu ... maaf sebelumnya." Bik Nar terlihat ragu.
"Bicara aja, Bik." ucapku. Bik Nar terlihat menarik nafas panjang.
"Biasanya Pak Rudi dan Hella pergi keteras belakang jam sebelas malam," ucap Bik Narti dengan suara pelan.
Hatiku berdenyut, kepala langsung panas mendengar ucapannya.
"Sejak kepan mereka ..."
Hhaaahh ... nafasku tercekat. Tak bisa melanjutkan pertanyaan.
Bik Narti menatap iba, aku memejamkan mata dengan hati yang berkecamuk.
Pedih. Sakit kecewa dan marah bercampur menjadi satu.
Apa aku harus membunuh keduanya?
Perbuatan mereka sungguh melukai hati dan harga diriku.
"Bibik memergoki mereka sekitar tiga minggu yang lalu, saat itu Bibik ingin buang air dan melihat pintu belakang masih terbuka setengah ..." Bik Nar menghentikan kalimat, dia menggenggam tanganku dengan erat.
"Lanjutkan saja, Bik. Aku mau mendengarkan," lirihku dengan suara bergetar. Bik Narti menarik nafas, menatapku lurus-lurus.
"Saat saya mau menutup pintu, saya melihat Bapak dan Hella sedang berci*man ..."
Aisshh ...
Runtuh sudah pertahanan ini, aku tersungkur terjatuh diatas lantai dengan isakan tertahan didalam tenggorokan.
Perselingkuhan mereka memang benar adanya, celoteh Dila bukan isapan jempol belaka.
Aku mulai menangis sesegukan, sekuat apapun hati seorang wanita aku yakin jika mereka ada diposisiku saat ini mereka pasti menjerit juga. Tubuhku menggigil tak sanggup membayangkan perbuatan bejat mereka.
"Siaalan kamu, Mas. Huhu ..."
"Sudah, Neng. Sudah ... jangan ditangisi manusia tak punya hati seperti mereka." Bik Narti memeluk mengusap-usap punggung belakangku.
Cukup! Cukup sudah kalian memb*d*hiku selama ini.
Aku tidak akan tinggal diam, akan aku buat mereka menyesal sudah membuatku menangis saat ini.
Aku seka secara kasar wajah dan pipi ini, aku bangkit dan membuka pintu dengan kasar.
Awas kau perempuan binaal. Akan aku buat kau menjadi gelandangan malam ini juga!!
Aku turuni anak tangga dengan langkah lebar, Bik Narti mengikuti dari belakang dengan suara cemas.
"Sabar, Neng. Sabar ..."
Brak!!
Aku tendang dengan kuat pintu kamar Hella, mataku terbelalak saat melihat isi didalam kamar.
***Ofd.
"Sabar, Neng. Sabar ..."Brak!!Aku tendang dengan kuat pintu kamar Hella, mataku terbelalak saat melihat isi didalam kamar.Suara nafasku terdengar begitu jelas, aku keblingsatan mencari keberadaan Hella."Dimana perempuan sialan itu!" pekikku keras. Nafas memburu, kemarahan ini benar-benar ada dipuncaknya."Kemana dia!!"Aku mengedarkan pandangan, berjalan cepat menuju lemari dan membuka pintunya dengan kasar."Neng ..." Bik Narti menyentuh pundak belakangku. "Tenang, sabar." ucapnya."Tenang? Sabar? Bibik tidak tahu hancurnya hati ini. Apa aku harus sabar juga!" teriakku dengan air mata bercucuran.Bik Narti terdiam, helaan nafas panjang terdengar dari mulutnya."Bibik ngerti, Bibik paham. Bibik tau betul perasaan Neng Rissa." ucapnya lembut. Aku mendecis, kepala terasa bagai terbakar."Bibik pernah mengalami apa yang Neng rasakan." ucapny
"Gaji cuma habis buat bayar hutang, gaya-gayaan mau makan enak!" cebikku lalu meneguk sisa air minum didalam gelas."Punya suami tidak ada otak. Gengsi saja di besarkan. Motor lama dijual, malah kridit motor baru. Mana cicilannya bikin nyecik tenggorokan!" aku hempas gelas kaca dengan kasar, meraih tisu dengan kasar pula lalu menyeka sudut bibir."Hanya mengandalkan istri, gajinya habis untuk kebutuhannya sendiri. Tidak mikir untuk biaya hidup sehari-hari."Sengaja aku bicara di depan Hella, biar dia tahu bahwa selingkuhannya itu cuma laki-laki KERE yang numpang makan sama istrinya. Benalu. Sama seperti dirinya."Bibik mau masak apa itu?" tanyaku."Masak sup bakso sama tetelan, Neng." jawabnya."Tidak perlu pakai tetelan, sup bakso saja. Hemat, Bik. Ingat!" tegasku."Tempe buat besok saja, Bik. Tidak perlu ikut digoreng. Boros!""Siap, Neng." jawab Bik Narti. Aku langsung berjalan menuju lemari pendingin, membawa buah pir dan apel yang aku beli sekitar tiga hari lalu. Lebih baik aku b
"Kamu pasti terlalu capek, hingga hormonnya jadi tak jelas seperti ini." ucapnya sambil meraih daguku dan mendekati bibirnya kembali.Tubuhku bergidik, jantung bertalu-talu saat melihat bibir Mas Rudi. Hati kembali teremas-remas saat mengingat ucapan Dila, tentang mimik s*su."Iya, kamu benar. Aku hanya terlalu capek," aku memalingkan wajah, membuat kecupan itu mendarat dirambut tak mengenai bibirku."Sebaiknya aku tidur. Besok ada rapat," segara aku menarik selimut lalu merebahkan tubuh. Terdengar helaan panjang dari Mas Rudi, menandakan dia kecewa dengan penolakanku. Biarlah aku berdosa sudah mengabaikan keinginan suami. Aku bukan perempuan sholekha yang bisa menurut saja, apapun perintah Mas Rudi.Pagi ini aku bangun kesiangan, sesampainya dimeja makan penghuni rumah sudah menduduki dikursinya masing-masing. Mas Rudi tersenyum melihat keberadaanku, lalu menyodorkan nasi goreng tanpa kecap dihadapanku."Bik Narti ..." ucapku setelah menghempaskan bokong diatas kursi."Iya, Neng?" B
"Tante kenapa nangis?"Hella yang ada didalam pelukan Mas Rudi terlonjak kaget, pun dengan Mas Rudi yang tak kalah pucat dari gundiknya.Kena kamu, Mas!Aku bergeming tak mengeluarkan satu pun kalimat, tapi pandanganku tajam melihat keduanya.Repleks Mas Rudi mendorong kasar tubuh Hella, segera bangkit dari duduknya."Mamah dari mana? Tadi aku cari-cari tidak ada," ucapnya dengan ekpresi salah tingkah, terlihat sangat bod*h. Aku menautkan alis memandang sinis pada Hella."Sudah peluk-peluknya?" tanyaku."Eh ... itu," wajah itu memerah, tak sanggup meneruskan kalimat."Lagi pijit-pijit?" ketusku. Geram sekali, berkali aku menarik nafas guna menormalkan detak jantung. Jangan sampai kemarahan ini meledak. Belum waktunya."Kamu jangan salah paham, Mah. Aku cuma ingin menenangkan Hella," bantah Mas Rudi sambil menggaruk tengkuk lehernya."Salah paham gimana?" aku pura-pura bodoh."Hella terlalu capek, dia sampai nangis gitu. Katanya juga lemes, laper." jelas Mas Rudi.Aku menatapnya lekat,
Aku bekap mulut ini dengan sebelah tangan dan sekuat tenaga, agar tak mengeluarkan suara sebab hati begitu perih ingin menjerit dengan kencang. Air mata mengucur dengan deras, getaran tubuh mengguncang jiwa. Lutut terasa lemas, rasanya tak sanggup menopang tubuh ini.Jahat kamu, Mas!Desahan keduanya terdengar jelas ditelinga. Ingin aku berlari dan membunuh keduanya, namun logika masih menahan. Lagi-lagi aku hanya bisa menarik nafas dalam-dalam dan menghempasnya dengan kasar.Teruskan perbuatan bejat kalian, bersenang-senanglah. Setelah ini akan aku tunjukan cara membalas tanpa mengotori tanganku sendiri.Setelah cukup mendapat bukti, aku segera menekan tombol stop. Langkahku lunglai menginjak lantai, nafasku terasa tersendat-sendat.Ingin sekali menendang pintu kamar itu, namun tubuh masih terasa menggigil dengan hebat. Aku teguk segelas air yang ada diatas nakas, lalu menghentaknya dengan keras.Pecahan beling itu berhamburan diatas lantai, aku termangu meremas gawai dengan erat."B
"Kamu baik sekali Mbak, makasih ya." Hella mengharu dan memelukku.Aku tepuk dengan jijik punggung belakangnya. Bik Narti menganggukkan kepala dengan senyum penuh arti."Tolong bantu-bantu Hella ya, Bik. Nanti aku kasih uang untuk belanja kebutuhan dapur," ucapku pada Bik Narti disambut dengan senyum kecil dan anggukan kepala.Hella masih tersenyum manis, membuat perutku menjadi mual seketika.Bisa bayangkan jadi aku? Hidup satu atap dengan para pengkhianat?Ckckck ... rasanya sangat menjijikan. Setiap detik bahkan fikiranku sudah dibumbui dengan kekerasan ingin melukainya."Aku istirahat dulu," ucapku sambil beranjak berjalan menuju tangga."Iya, Mbak. Makasih ya," teriak Hella.Menghempas tubuh diatas ranjang, kepala kembali berdenyut aku memiijatnya dengan pelan.Sudah beberapa hari ini tak nyenyak tidur, bahkan hampir tak pernah tidur sepanjang malam.Andai masih ada kedua orangtua, tentu aku bisa berbagi masalah padanya."Uh ... bagaimana ini, Mah. Perbuatan baikmu dimasa lalu, k
"Astaga. Itu bukannya ..."Kalimat menggantung diudara, kini semua pandangan beralih pada Mas Rudi dan Hella yang wajahnya sudah sepucat mayat.Gaduh!Suara sumbang mulai terdengar tak nyaman ditelinga. Aku sendiri hanya bergeming, mendengar lengkingan menjijikan yang masih terdengar panas ditelinga.Aish ... membaranya.Aku tidak punya cukup nyali, untuk melihat video itu. Biarkan saja, para tamu yang berkomentar menggambarkan setiap adegan.Aku melirik sedih pada Mas Rudi, yang membeku ditempat duduknya. Tubuhnya bergetar hebat, mulutnya cengap-cengap seperti ikan mas koki yang kehabisan oksigen.Nafas dulu, Mas. Jangan mati disini, kau belum mendapat balasan. Aku menginginkan kepedihanmu."Mas, itu Mas Rudi kan?" salah satu teman Mas Rudi menepuk bahu, membuat Mas Rudi terlonjak hebat dari tempatnya."Eh ..." Mas Rudi tergagap, wajahnya terlihat ketakutan. Atau malu? Entahlah.Hati terkekeh geli, dada bergemuruh hebat ingin menertawakan ekpresi wajahnya yang seperti orang linglung.
"Mari kita cerai!" sekali hentakkan nafas, aku berucap dengan sangat tegas.Di susul dengan kalimat istigfar yang terdengar bergetar dari mulut kedua mertuaku."Nak, Rissa ..." Ibu menatap iba, menggeleng lemah. " jangan bicara begitu, mari kita selesaikan masalah ini dengan kepala dingin." Ibu menggenggam tanganku, menatap dengan mata yang sudah di penuhi oleh kabut."Ce-rai?" Mas Rudi terbelalak kaget mendengar ucapanku."Ya. Mari kita akhiri semuanya. Aku muak melihat wajahmu!" geramku dengan tatapan tajam.Mas Rudi menarik nafas panjang, menatapku dengan tatapan meremehkan."Rissa ... Rissa." Mas Rudi menatap lurus mengunci pandangannya di mataku."Pikirmu enak menjadi janda, hah?" aku melengos muak, rasanya ingin sekali mencengkram wajah dan menikam barang pusakanya dengan belati. Sayang, takku temukan benda tajam di sekitarku.Lagi pun, apa salahnya menjanda? Yang penting hidupku lurus, tidak menggoda suami orang."Kau ingin nasibmu sama dengan, Hella? Lihat dia, setiap malam ke
Pov Larissa."Pasien rumah sakit jiwa terlindas truk hingga tewas, kondisi sangat mengenaskan. Saat ini jenazah korban ada dirumah sakit Pelita Keluarga.""Baca, apa sih sayang serius banget?" Mas Bagas yang sedang mengemudi, menoleh singkat lalu kembali fokus menghadap jalan."Baca berita yang lewat dibranda, Mas. Seram ih, aku baca juga komen-komennya. Katanya, tubuh korban tabrakan itu terbelah menjadi dua bagian." sahutku, sambil bergidik ngeri."Innalillahi ... semoga amal ibadahnya diterima Alloh." jawab Mas Bagas dengan wajah prihatin."Aamiin ..." aku hanya menyahut, pandangan fokus pada gawai melanjutkan membaca komentar yang ada di dalam berita.Mengingat rumah sakit jiwa, aku jadi teringat ucapan Nyonya Diana. Dia bilang, Hella terkena gangguan jiwa, dan sekarang tinggal dirumah sakit jiwa. Semoga dia dalam keadaan baik-baik saja, walau aku sangat membencinya tapi aku tak ingin mendoakan keburukan padanya. Aku takut doa buruk itu akan kembali padaku. Naudzubillah."Nyonya D
Pov DianaSuara debur ombak beradu dengan karang membuat aku menarik nafas panjang, angin lembut berhembus diwajah dan rambut. Menimbulkan aura menenangkan.Hmm ....Menghembuskan nafas secara perlahan, bibir tersenyum simpul melihat dua sosok kesayangan bermain dengan ceria ditepi pantai.Duhai Tuhan ... trimakasih. Atas izinmu, kau biarkan aku melalui badai yang sangat kuat lagi dahsyat."Mamih, ayok kesini!" seru Deo meski terdengar samar. Aku hanya tersenyum, meraih gelas berisi jeruk hangat lalu menyesapnya pelan.Tangan ini melambai saat melihat pasangan suami istri celingukan mencari seseorang. Aku tersenyum manis, saat mata kami beradu tatap."Hai ..." sapaku ceria."Lama tidak bertemu, Nyonya Diana." wanita cantik menyapa dengan senyuman manis, dia menyodorkan tangan, setelahnya kita berjabat tangan mencium pipi kiri dan kanan."Mbak Larissa semakin cantik saja." ucapku tulus. Karna memang wajah wanita muda yang ada dihadapanku memang selalu cantik."Nyonya bisa saja," ucapny
Pov Hella."Lepass!" aku memberontak saat dua laki-laki berseragam rumah sakit memegangi kedua tangan."Kalian tuli, hah! Lepas aku bilang!" sungutku sambil terus memberontak.Kedua laki-laki itu hanya mendengkus kesal tak mengindahkan ucapanku."Jalan!" ucapnya, lalu menyeret tubuhku keluar dari penjara.Nafasku terengah-engah, terpaan sinar matahari menerjang wajah menimbulkan sensasi hangat dan menenangkan.Otak mulai mencerna apa yang sebenarnya terjadi, aku terbahak menyadari akan keluar dari tempat pengap itu."Hahah ... aku bebas. Aku bebas!" teriakku bersemangat. "Bawa aku pulang ke apartement, aku rindu rumahku. Aku rindu." cerocosku sambil menatap penuh harap kearah dua laki-laki itu.Satu diantaranya membuka pintu bagasi mobil khas rumah sakit, setelah terbuka lebar dia kembali memegangi tanganku."Masuk!" titahnya sambil mendorong tubuhku."Hati-hati, jangan membuatnya marah. Atau kalian akan tersakiti." ucap Polisi gendut. Keduanya saling bertatapan, lalu menoleh kearahku
Pov Hella."Tahanan ini benar-benar keterlaluan, dia membunuh Ibunya sendiri saat datang berkunjung menemuinya." ujar petugas gendut sambil melirik kearahku sorotnya memancarkan ketidak percayaan."Ckckck ..." laki-laki berperawakan tinggi besar itu menatap lekat, menggelengkan kepalanya. Aku semakin menundukan wajah, takut tiba-tiba pukulan kembali menyerangku.Tubuh ini menggigil, luka memar terlihat disekujur tubuh. Rasanya sakit dan menyiksa sekali."Teman satu selnya pun ikut dihajar, aku rasa dia mengalami gangguan jiwa." Mataku mendelik, tak terima dengan kata-kata sipir jelek itu."Bawa dia masuk kembali, tempatkan dia diruangan 355 a. Jangan disatukan dengan yang lain, saya mencuim gelagat mengerikan dari tatapan matanya," ucap komandan Polisi."Siap, Dan!" sahut dua petugas sambil menegakkan badan."Cepat!" tubuh ini diseret paksa. Aku hanya bisa menurut, menyeret kaki mengikutinya.Dug!Rasa nyeuri menerjang lutut dan telapak tangan, saat tubuhku didorong masuk oleh petugas
"Istri saya sakit apa, Dok?" tanyaku setelah Dokter Murni memeriksa keadaan Diana."Sepertinya hanya terlalu lelah," jawab Dokter Murni sambil tersenyum tipis pada Diana."Jangan terlalu capek dan banyak pikiran. Bebaskan saja, jangan di pendam nanti tambah sakit," sambungnya sambil mengusap tangan Diana."Iya, Dok. Trimakasih," jawab Diana."Saya hanya meresepkan beberapa vitamin, sama obat pusing ya. Untuk berjaga-jaga, khawatir kepala Nyonya Diana ikut pusing juga karna terlalu banyak berpikir," ucap Dokter Murni sambil terkekeh pelan. Diana tersenyum menanggapinya."Saya permisi, jangan lupa diminum vitaminnya." ucapnya sambil mengemasi alat-alat ke Dokteran yang tadi dia keluarkan."Iya, Dok. Trimakasih ya," sahutku lalu mengekorinya jalan keluar kamar."Kamu tidak apa-apa, Mih?" tanyaku sambil mengusap pucuk kepalanya dengan lembut."Tidak, apa. Aku hanya butuh istirahat saja," jawab Diana."Kamu lagi banyak pikiran ya? Mikirin apa sih?" cecarku berpura bodoh. Padahal aku tahu b
"Mati saja kau, Buk. Hidup pun tak berguna, hanya bisa menyusahkan anak-anakmu saja!" bisikku tepat ditelinganya. Wajah Ibu terlihat membiru, dengan lidah menjulur dan suara nafas yang tercekat ditenggorokan.Aku semakin bersemangat, bibir melengkung sempurna saat melihat Ibu menghadapi sarakatulmaut."Mati, kamu Buk. Mati!" desisku dengan suara tertekan."Hei ... mau apa kamu!" suara sumbang mengganggu kesenanganku. Tangan lemah Ibu terus memukul tangan ini, dan meminta pertolongan. Aku semakin kalap saat beberapa orang mulai mendekat, cengkraman tangan dileher Ibu semakin aku tekan.Dia harus lenyap, aku tak ingin hidup menderita sendirian.Tubuh Ibu mulai lemas, tangannya terkuai tidak lagi melakukan perlawanan.Kedua tanganku ditarik paksa, seruan dari suara sumbang terus saja mengusik pendengaranku."Hei, sudah gila kamu ya!" hadrik suara seseorang."Lepas!""Pak, tolong ...."Plakk plakk!!Rasa panas langsung menjalar dipipiku, setelah memastikan Ibu tak lagi bergerak aku baru m
"Mas ...."Langkah Mas Mahesa terhenti mendengar panggilanku.Mamah menatap jengah, Diana menampilkan wajah datar berpura tak melihat kehadiranku.Sombong sekali, perempuan tua itu. Merasa menang dariku? Tak tahu malu.Mas Mahesa mengangguk kecil pada dua perempuan busuk itu, Mamah menatap khawatir, tapi akhirnya pergi juga bersama Diana."Ada apa?" tanyanya datar, tanpa melihat wajahku. Tangannya sibuk merapihkan dasi yang menjerat dilehernya."Aku ..." mata ini memanas, melihat perubahannya. Mas Mahesa melirik sekilas, menghela nafas panjang."Katakanlah, aku tidak punya banyak waktu. Mamah dan istriku sudah menunggu diluar," ucapnya sambil menatap lurus kearah pintu, dimana berdiri Mamah Hana juga Diana."Aku juga istrimu ..," sahutku dengan suara parau. Mas Mahesa terkekeh, lalu menatapku tajam."Istriku?" tanyanya dengan tatapan mengejek. "Oh ya ... kau benar. Aku belum mengucap talak untukmu," sambungnya dengan senyum tipis."Mas ..." selaku dengan wajah memelas."Aku minta maaf
ByurrrLimpahan air menerjang wajah, aku tergelagap dengan nafas terengah-engah."Hm ... saya bilang apa? Dia terlalu manja, dikit-dikit pingsan!" cibir seorang petugas wanita sambil berkacang pinggang.Dengan kasar, aku menyeka sisa air yang menempel diwajah. Hatiku pilu diperlakukan serendah ini."Bersihin sisa airnya! Jangan manja. Atau saya pindahkan ketahanan yang penghuninya sapleng semua." ketusnya dengan senyum miring menyerigai.Tubuhku benar-benar lemas, mata berkunang saat mencoba bangkit dari atas lantai."Cepeeet. Lelet banget!" Petugas bermana Mira itu menarik kasar, lalu mendorong keras tubuhku hingga mendarat kencang disudut tembok."Lelet!!" cebiknya sembul meninggalkan ruang tahananku."Dia emang terkenal brutal. Ga punya perasaan. Kalau dia lagi kontrol, jangan sesekali memasang wajah sakit. Dia ga suka," jelas Ira tanpa aku minta.Aku hanya diam, mata memanas menahan bulir air mata."Sana ganti baju, nanti masuk angin." titahnya, sok perhatian.Aku mengangguk pelan
Pov Diana.Suara bel rumah mengusik ketenanganku dengan Mas Mahesa. Aku segera beranjak dari sofa berjalan untu membuka pintu utama."Mah ..." Aku tersenyum tipis saat melihat kedatangan Mamah Hana."Kurang ajar sekali perempuan liar itu, bukti sudah di depan mata. Masih saja berkelit-kelit," gerutunya sambil berjalan melewatiku. Aku yang mengerti maksud ucapannya, hanya bisa mengekori dari belakang."Nasib Mamah buruk sekali bisa bertemu dengan orang seperti itu, Di." Keluhnya sambil menjatuhkan tubuh diatas sofa."Gimana, Mah. Sidangnya?" tanya Mas Mahesa sambil melipat koran yang tadi dia baca, lalu menaruhnya dibawah meja."Nyebelin!" sembur Mamah. "Ngeles saja kaya belut. Kesel banget Mamah," gerutunya."Ngeles gimana, Mah?" tanyaku penasaran."Dia masih tidak mau ngaku. Padahal ada saksi mata, Dokter yang kemarin itu, dia sudah meluangkan waktu untuk datang di persidangan pagi tadi." jawab Mamah panjang lebar.Mas Mahesa menyimak dengan antusias, sesekali dia mimijat pelipisnya.