Dila juga pernah lihat, Ayah mimik s*su sama Tante. Kata Ayah, dikulkas stok susu habis. Padahal mimik itu kan buat Dedek Hamdan. Iya kan Mah?"
Tubuh ini meremang, nafas tersenggal dengan kepala yang terasa berdenyut-denyut. Kusandarkan tubuh yang begitu lemas, menyentak kepala secara kasar dengan tembok.
Tidak!
Tidak mungkin mereka mengkhianatiku. Tidak mungkin!
Aku berusaha menghalau fikiran buruk, yang membuat kepala semakin berdenyut-denyut. Kepala terasa mau pecah memikirkan kegilaan ini.
Tapi Dila ... anak sekecil itu tidak mungkin berbohong. Dila bicara begitu lugas, tak ada tekanan atau kebohongan sedikit pun. Lagi pula untuk apa Dila bicara bohong?
Astaga. Ada apa ini?
"Mah, kok melamun?" Dila menyentuh wajahku. Wajah ini terasa begitu panas, pun dengan mata dan tubuhku.
"Mamah sakit, kok pucat?" Dila menempelkan telapak tangannya diwajahku.
"Eh--itu, anu. I-ya Mamah tidak enak badan." ucapku dengan tubuh menggigil, tangan memijit pelipis dengan pelan.
Ingin kembali melontar kata dan memastikan, namun, hati seakan tidak sanggup. Aku begitu shock dengan apa yang diucapkan oleh Dila.
Aku atur nafas yang terasa sesak, memukul dada sambil membuang nafas panjang. Aku harus berfikir dengan jernih. Ucapan Dila tidak bisa aku telan dengan mentah, jika memang kedua manusia itu bermain curang dibelakangku. Aku sendiri yang akan mencari buktinya.
Menelan saliva dengan susah payah, kedua tanganku terangkat menyentuh pundak Dila.
"Sayang ..." aku menatapnya lurus-lurus, agar Dila berfokus melihat dan mendengar ucapanku dengan jelas.
"Iya, Mah?" sahut anak perempuan pemilik mata sipit itu.
"Dila kalau Ayah dan Tante sedang pijit-pijit, telepon Mamah ya."
Dila terlihat bingung, wajah polosnya tak bereaksi apa-apa.
Aisshhh ... aku bicara apa sih!
Huhhh
Aku kembali membuang nafas panjang. Bagaimana mungkin Dila aku suruh yang tidak-tidak.
Berfikirlah, Larissa.
"Mm ... biasanya Ayah pijit Tante jam berapa, sayang?" tanyaku sambil memasang senyum. Sekedar membuat Dila merasa nyaman.
Gadis cantik itu menempelkan telunjuknya dibibir, matanya melihat keatas seakan berfikir.
"Jam berapa ya ..."
"Tidak tahu, Mah." ucapnya.
Aku menghela nafas gusar, menggigit bibir mencoba berfikir kembali.
Bik Narti ... oh iya. Bik Narti, kenapa aku tidak kefikiran.
"Bik Narti ada tidak, kalau Tante minta pijit sama Ayah," ucapku dengan suara berbisik.
"Bik Narti naik keatas, Mah. Sholat. Terus nyiram tamanan," ucap Dila.
"Siang atau sore?" tanyaku. Dila menggelengkan kepala.
Aku mendesah frustasi, Dila masih terlalu kecil. Sulit untuk bertanya lebih banyak.
"Kakak Dilaa ..." suara Hella terdengar dari luar, tak lama pintu kamar terbuka pelan. Hella masuk kedalam kamar dengan senyum sumringah sambil menuntun Hamdan ditangan kirinya.
Senyum itu ... entah mengapa aku muak melihatnya.
Debaran dada bertalu-talu, jika ingin mengikut hawa nafsu. Ingin sekali aku memb3nturkan kepalanya pada sudut meja.
"Eh ada Mamah Rissa." ucapnya saat melihat kearahku. Wajahku menegang, aku ingin memaksakan senyum tapi entah kenapa terasa sulit untuk digerakan.
Hamdan ... bocah mungil itu berjalan dengan langkah berat, lalu terjatuh diatas lantai.
"Ayok, bangun lagi, Dek." seru Hella menyemangati anaknya. Hamdan memegangi tangan Hella, perlahan bangun dan kembali berdiri satu dua langkah berhasil dia lakukan.
Hella bersorak riang, mencium dengan gemas anak laki-lakinya.
"Pintar, anak Bunda." ucapnya senang.
Entah mengapa aku hanya diam, tak bereaksi apapun melihat kebahagiaan mereka. Wajahku datar, kepalaku bahkan semakin terasa panas.
"Ayok, Kak Dila main keluar. Sudah mandi, sudah cantik. Ayok kita jalan-jalan," tangan Hella terulur, ingin meraih tubuh anakku.
Dikompleks perumahan ini, sore hari sangat ramai. Banyak anak kecil bermain diluar rumah, kebetulan ditengah-tengah gang ada lapangan besar. Ibu-Ibu penghuni kompleks rata-rata keluar menemani atau mengawasi Putra dan Putri nya bermain.
"Jangan!" ujarku. Kening Hella mengkerut, menatap heran kearahku.
"Kenapa?" tanyanya. Aku menatap lurus tampangnya, pengakuan Dila tentu saja membuat aku merasa marah dan jij*k padanya.
"Aku mau ajak Dila keluar, ada yang mau dibeli." ucapku. Hella menyunggingkan senyum lalu menganggukkan kepalanya.
"Dedek Hamdan main dulu ya, Kakak.Dila." Hella tersenyum kearah anakku. Aku hanya mematung, memandanginya yang keluar dari pintu.
Jika benar apa yang dikatakan Dila, berarti Hella benar-benar ular berkepala dua. Awas saja jika aku menemukan bukti, aku tidak akan mengampuni mereka berdua.
Dasar Ibl**s!
Tanganku mengepal kuat, gigiku bergelutukan menahan amarah.
"Kita mau kemana, Mah?" Dila menelisik wajahku.
"Kita ke supermarket, beli ice cream." ucapku sambil memasang senyum.
***Ofd.
Jika diperhatikan wajah Hella lebih cerah, dia pun terlihat memakai lipstik walau hanya didalam rumah. Berbeda dari yang aku kenal sebelumnya, Hella bahkan sangat cuek dengan penampilannya.
"Makan disini aja, Bik. Mau kemana sih?" ucapku saat melihat Bik Narti ingin beranjak dari kursi.
Bik Narti tersenyum lalu kembali duduk ditempat semula.
Aku berjalan melewatinya, membuka lemari pendingin dan mengambil air mineral dari dalam. Aku duduk tepat didepan Bik Narti, Bik Narti terlihat salah tingkah sesekali mencuri pandang kearahku.
"Kenapa, Bik?" tanyaku setelah meneguk air dingin itu, lalu menaruhnya didepanku.
"Eh, tidak apa, Neng." jawab Bik Narti, lalu mempercepat santapannya.
Bik Narti bergegas bangkit, menaruh piring bekas makan dan mencucinya.
"Duduk, Bik. Ada yang mau saya tanyakan." ucapku begitu melihatnya mengelap tangan pada celemek.
Wajah Bik Narti terlihat tegang, cenderung takut saat berhadapan denganku.
Sepertinya ada yang aneh.
Bik Narti sudah bekerja padaku saat Dila berusia tiga bulan. Tentu saja aku sudah menganggapnya keluarga sendiri, pun dengan Bik Narti selama ini dia terlihat santai dan menikmati pekerjaannya. Tidak ada kecanggungan atau takut yang terlihat sejauh ini.
"Ada yang ingin Bibik sampaikan?" tanyaku dengan suara tenang. Bik Narti yang semula menunduk, kini mendongkakkan wajah menatap ragu kearahku.
"Mereka bermain g*la dibelakangku, bukan?" tanyaku dengan wajah datar. Bik Narti nampak terkejut, pupil matanya melebar mendengar ucapanku.
"Si-siapa, Neng?" tanya Bik Narti sambil mengalihkan pandangan.
"Siapa lagi ..." aku bersedakap dada. Bik Narti semakin menundukan wajah.
"Kenapa Bibik tidak cerita, Bibik ada dipihak mereka?"
Bibik mendongkak kaget, menggeleng dengan cepat.
"Lalu?"
"Pak Rudi ... dia mengancam saya, Neng." ucapnya dengan suara pelan, wajahnya terlihat semakin menegang.
Aku menghela nafas panjang, menyenderkan tubuh dipunggung kursi.
"Mengancam gimana?" tanyaku datar. Sejujurnya aku kecewa pada Bik Narti.
"Pak Rudi, mengancam akan memecat jika mengadu. Bibik tidak ada pilihan, suami Bibik sedang sakit sudah dua bulan tidak bisa jalan, dia butuh obat dan berobat. Anak-anak pun masih kecil, jika Bibik tidak kerja mau makan apa anak-anak." ucapnya dengan mata berkaca-kaca, raut penyesalan tergambar jelas diwajahnya.
Aku bergeming, mengingat ucapan Mas Rudi yang menyarankan agar aku meliburkan Bik Narti.
Sepertinya dia takut, Bik Narti akan membongkar rahasianya. Tapi sekarang, dia tidak akan bisa mengelak.
"Saya kecewa sama, Bibik. Saya sudah menganggap Bibik bagian dari keluarga. Bibik tega menutupi semuanya dari saya." ucapku dengan suara pelan penuh kecewa.
Bik Narti menggelengkan kepala, air mata mengalir deras dari matanya.
Ahh ... aku tahu ini semua bukan sepenuhnya salah Bik Narti.
"Maafkan Bibik, Neng. Sungguh ... tidak ada maksud Bibik menyembunyikan ini semua." ucapnya sambil sesegukan. Tak ada sedikit pun rasa iba dihati, yang ada hanya rasa marah dan kesal pada diri sendiri.
"Maaf, Neng. Maafin Bibik ..." Bik Narti semakin menangis tersedu-sedu. Aku tahu dia sangat menyesal dengan perbuatannya.
"Baiklah, saya akan memaafkan Bibik." ucapku setelah beberapa saat terdiam.
"Tapi ... bisakah Bibik melakukan sesuatu untuk menebus kesalahan Bibik?" tanyaku intens.
"Bisa, Bibik akan melakukan apapun, agar Neng Rissa kembali percaya sama Bibik." jawabnya cepat, penuh keyakinan.
"Baiklah. Hal pertama yang harus Bibik lakukan adalah ..."
Bik Narti menarik nafas, mengangguk tegas saat aku menyelesaikan kalimat.
***Ofd.
"Baiklah. Hal pertama yang harus Bibik lakukan adalah ..."Bik Narti menarik nafas, mengangguk tegas saat aku menyelesaikan kalimat.Suara salam terdengar dari ruang tamu, Bik Narti sedikit menjauh lalu berjalan keluar lewat pintu belakang."Huh ... panas." suara Hella terdengar derap langkah semakin jelas mendekat."Mbak," Hella menyapa saat melihat kearahku, lalu berlalu menuju lemari pendingin."Mamah ..." anak cantikku berlari, lalu menyodorkan tangan didepanku."Gimana pestanya, ramai yang datang?" tanyaku sambil menyambut uluran tangannya. Dila begitu anggun, dengan rambut panjang berponi dan balutan dress selutut berwarna pink."Ramai, Mah. Nanti kalau Dila ulang tahun undang semua teman sekolah sama teman ngaji ya, Mah." jawabnya riang.Aku mengangguk, melebarkan senyum. Menyetujui ucapannya. Dila memang belum pernah merayakan ulang tahun mengundang teman, setiap tahun aku hanya membeli kue tart dan membaw
"Sabar, Neng. Sabar ..."Brak!!Aku tendang dengan kuat pintu kamar Hella, mataku terbelalak saat melihat isi didalam kamar.Suara nafasku terdengar begitu jelas, aku keblingsatan mencari keberadaan Hella."Dimana perempuan sialan itu!" pekikku keras. Nafas memburu, kemarahan ini benar-benar ada dipuncaknya."Kemana dia!!"Aku mengedarkan pandangan, berjalan cepat menuju lemari dan membuka pintunya dengan kasar."Neng ..." Bik Narti menyentuh pundak belakangku. "Tenang, sabar." ucapnya."Tenang? Sabar? Bibik tidak tahu hancurnya hati ini. Apa aku harus sabar juga!" teriakku dengan air mata bercucuran.Bik Narti terdiam, helaan nafas panjang terdengar dari mulutnya."Bibik ngerti, Bibik paham. Bibik tau betul perasaan Neng Rissa." ucapnya lembut. Aku mendecis, kepala terasa bagai terbakar."Bibik pernah mengalami apa yang Neng rasakan." ucapny
"Gaji cuma habis buat bayar hutang, gaya-gayaan mau makan enak!" cebikku lalu meneguk sisa air minum didalam gelas."Punya suami tidak ada otak. Gengsi saja di besarkan. Motor lama dijual, malah kridit motor baru. Mana cicilannya bikin nyecik tenggorokan!" aku hempas gelas kaca dengan kasar, meraih tisu dengan kasar pula lalu menyeka sudut bibir."Hanya mengandalkan istri, gajinya habis untuk kebutuhannya sendiri. Tidak mikir untuk biaya hidup sehari-hari."Sengaja aku bicara di depan Hella, biar dia tahu bahwa selingkuhannya itu cuma laki-laki KERE yang numpang makan sama istrinya. Benalu. Sama seperti dirinya."Bibik mau masak apa itu?" tanyaku."Masak sup bakso sama tetelan, Neng." jawabnya."Tidak perlu pakai tetelan, sup bakso saja. Hemat, Bik. Ingat!" tegasku."Tempe buat besok saja, Bik. Tidak perlu ikut digoreng. Boros!""Siap, Neng." jawab Bik Narti. Aku langsung berjalan menuju lemari pendingin, membawa buah pir dan apel yang aku beli sekitar tiga hari lalu. Lebih baik aku b
"Kamu pasti terlalu capek, hingga hormonnya jadi tak jelas seperti ini." ucapnya sambil meraih daguku dan mendekati bibirnya kembali.Tubuhku bergidik, jantung bertalu-talu saat melihat bibir Mas Rudi. Hati kembali teremas-remas saat mengingat ucapan Dila, tentang mimik s*su."Iya, kamu benar. Aku hanya terlalu capek," aku memalingkan wajah, membuat kecupan itu mendarat dirambut tak mengenai bibirku."Sebaiknya aku tidur. Besok ada rapat," segara aku menarik selimut lalu merebahkan tubuh. Terdengar helaan panjang dari Mas Rudi, menandakan dia kecewa dengan penolakanku. Biarlah aku berdosa sudah mengabaikan keinginan suami. Aku bukan perempuan sholekha yang bisa menurut saja, apapun perintah Mas Rudi.Pagi ini aku bangun kesiangan, sesampainya dimeja makan penghuni rumah sudah menduduki dikursinya masing-masing. Mas Rudi tersenyum melihat keberadaanku, lalu menyodorkan nasi goreng tanpa kecap dihadapanku."Bik Narti ..." ucapku setelah menghempaskan bokong diatas kursi."Iya, Neng?" B
"Tante kenapa nangis?"Hella yang ada didalam pelukan Mas Rudi terlonjak kaget, pun dengan Mas Rudi yang tak kalah pucat dari gundiknya.Kena kamu, Mas!Aku bergeming tak mengeluarkan satu pun kalimat, tapi pandanganku tajam melihat keduanya.Repleks Mas Rudi mendorong kasar tubuh Hella, segera bangkit dari duduknya."Mamah dari mana? Tadi aku cari-cari tidak ada," ucapnya dengan ekpresi salah tingkah, terlihat sangat bod*h. Aku menautkan alis memandang sinis pada Hella."Sudah peluk-peluknya?" tanyaku."Eh ... itu," wajah itu memerah, tak sanggup meneruskan kalimat."Lagi pijit-pijit?" ketusku. Geram sekali, berkali aku menarik nafas guna menormalkan detak jantung. Jangan sampai kemarahan ini meledak. Belum waktunya."Kamu jangan salah paham, Mah. Aku cuma ingin menenangkan Hella," bantah Mas Rudi sambil menggaruk tengkuk lehernya."Salah paham gimana?" aku pura-pura bodoh."Hella terlalu capek, dia sampai nangis gitu. Katanya juga lemes, laper." jelas Mas Rudi.Aku menatapnya lekat,
Aku bekap mulut ini dengan sebelah tangan dan sekuat tenaga, agar tak mengeluarkan suara sebab hati begitu perih ingin menjerit dengan kencang. Air mata mengucur dengan deras, getaran tubuh mengguncang jiwa. Lutut terasa lemas, rasanya tak sanggup menopang tubuh ini.Jahat kamu, Mas!Desahan keduanya terdengar jelas ditelinga. Ingin aku berlari dan membunuh keduanya, namun logika masih menahan. Lagi-lagi aku hanya bisa menarik nafas dalam-dalam dan menghempasnya dengan kasar.Teruskan perbuatan bejat kalian, bersenang-senanglah. Setelah ini akan aku tunjukan cara membalas tanpa mengotori tanganku sendiri.Setelah cukup mendapat bukti, aku segera menekan tombol stop. Langkahku lunglai menginjak lantai, nafasku terasa tersendat-sendat.Ingin sekali menendang pintu kamar itu, namun tubuh masih terasa menggigil dengan hebat. Aku teguk segelas air yang ada diatas nakas, lalu menghentaknya dengan keras.Pecahan beling itu berhamburan diatas lantai, aku termangu meremas gawai dengan erat."B
"Kamu baik sekali Mbak, makasih ya." Hella mengharu dan memelukku.Aku tepuk dengan jijik punggung belakangnya. Bik Narti menganggukkan kepala dengan senyum penuh arti."Tolong bantu-bantu Hella ya, Bik. Nanti aku kasih uang untuk belanja kebutuhan dapur," ucapku pada Bik Narti disambut dengan senyum kecil dan anggukan kepala.Hella masih tersenyum manis, membuat perutku menjadi mual seketika.Bisa bayangkan jadi aku? Hidup satu atap dengan para pengkhianat?Ckckck ... rasanya sangat menjijikan. Setiap detik bahkan fikiranku sudah dibumbui dengan kekerasan ingin melukainya."Aku istirahat dulu," ucapku sambil beranjak berjalan menuju tangga."Iya, Mbak. Makasih ya," teriak Hella.Menghempas tubuh diatas ranjang, kepala kembali berdenyut aku memiijatnya dengan pelan.Sudah beberapa hari ini tak nyenyak tidur, bahkan hampir tak pernah tidur sepanjang malam.Andai masih ada kedua orangtua, tentu aku bisa berbagi masalah padanya."Uh ... bagaimana ini, Mah. Perbuatan baikmu dimasa lalu, k
"Astaga. Itu bukannya ..."Kalimat menggantung diudara, kini semua pandangan beralih pada Mas Rudi dan Hella yang wajahnya sudah sepucat mayat.Gaduh!Suara sumbang mulai terdengar tak nyaman ditelinga. Aku sendiri hanya bergeming, mendengar lengkingan menjijikan yang masih terdengar panas ditelinga.Aish ... membaranya.Aku tidak punya cukup nyali, untuk melihat video itu. Biarkan saja, para tamu yang berkomentar menggambarkan setiap adegan.Aku melirik sedih pada Mas Rudi, yang membeku ditempat duduknya. Tubuhnya bergetar hebat, mulutnya cengap-cengap seperti ikan mas koki yang kehabisan oksigen.Nafas dulu, Mas. Jangan mati disini, kau belum mendapat balasan. Aku menginginkan kepedihanmu."Mas, itu Mas Rudi kan?" salah satu teman Mas Rudi menepuk bahu, membuat Mas Rudi terlonjak hebat dari tempatnya."Eh ..." Mas Rudi tergagap, wajahnya terlihat ketakutan. Atau malu? Entahlah.Hati terkekeh geli, dada bergemuruh hebat ingin menertawakan ekpresi wajahnya yang seperti orang linglung.
Pov Larissa."Pasien rumah sakit jiwa terlindas truk hingga tewas, kondisi sangat mengenaskan. Saat ini jenazah korban ada dirumah sakit Pelita Keluarga.""Baca, apa sih sayang serius banget?" Mas Bagas yang sedang mengemudi, menoleh singkat lalu kembali fokus menghadap jalan."Baca berita yang lewat dibranda, Mas. Seram ih, aku baca juga komen-komennya. Katanya, tubuh korban tabrakan itu terbelah menjadi dua bagian." sahutku, sambil bergidik ngeri."Innalillahi ... semoga amal ibadahnya diterima Alloh." jawab Mas Bagas dengan wajah prihatin."Aamiin ..." aku hanya menyahut, pandangan fokus pada gawai melanjutkan membaca komentar yang ada di dalam berita.Mengingat rumah sakit jiwa, aku jadi teringat ucapan Nyonya Diana. Dia bilang, Hella terkena gangguan jiwa, dan sekarang tinggal dirumah sakit jiwa. Semoga dia dalam keadaan baik-baik saja, walau aku sangat membencinya tapi aku tak ingin mendoakan keburukan padanya. Aku takut doa buruk itu akan kembali padaku. Naudzubillah."Nyonya D
Pov DianaSuara debur ombak beradu dengan karang membuat aku menarik nafas panjang, angin lembut berhembus diwajah dan rambut. Menimbulkan aura menenangkan.Hmm ....Menghembuskan nafas secara perlahan, bibir tersenyum simpul melihat dua sosok kesayangan bermain dengan ceria ditepi pantai.Duhai Tuhan ... trimakasih. Atas izinmu, kau biarkan aku melalui badai yang sangat kuat lagi dahsyat."Mamih, ayok kesini!" seru Deo meski terdengar samar. Aku hanya tersenyum, meraih gelas berisi jeruk hangat lalu menyesapnya pelan.Tangan ini melambai saat melihat pasangan suami istri celingukan mencari seseorang. Aku tersenyum manis, saat mata kami beradu tatap."Hai ..." sapaku ceria."Lama tidak bertemu, Nyonya Diana." wanita cantik menyapa dengan senyuman manis, dia menyodorkan tangan, setelahnya kita berjabat tangan mencium pipi kiri dan kanan."Mbak Larissa semakin cantik saja." ucapku tulus. Karna memang wajah wanita muda yang ada dihadapanku memang selalu cantik."Nyonya bisa saja," ucapny
Pov Hella."Lepass!" aku memberontak saat dua laki-laki berseragam rumah sakit memegangi kedua tangan."Kalian tuli, hah! Lepas aku bilang!" sungutku sambil terus memberontak.Kedua laki-laki itu hanya mendengkus kesal tak mengindahkan ucapanku."Jalan!" ucapnya, lalu menyeret tubuhku keluar dari penjara.Nafasku terengah-engah, terpaan sinar matahari menerjang wajah menimbulkan sensasi hangat dan menenangkan.Otak mulai mencerna apa yang sebenarnya terjadi, aku terbahak menyadari akan keluar dari tempat pengap itu."Hahah ... aku bebas. Aku bebas!" teriakku bersemangat. "Bawa aku pulang ke apartement, aku rindu rumahku. Aku rindu." cerocosku sambil menatap penuh harap kearah dua laki-laki itu.Satu diantaranya membuka pintu bagasi mobil khas rumah sakit, setelah terbuka lebar dia kembali memegangi tanganku."Masuk!" titahnya sambil mendorong tubuhku."Hati-hati, jangan membuatnya marah. Atau kalian akan tersakiti." ucap Polisi gendut. Keduanya saling bertatapan, lalu menoleh kearahku
Pov Hella."Tahanan ini benar-benar keterlaluan, dia membunuh Ibunya sendiri saat datang berkunjung menemuinya." ujar petugas gendut sambil melirik kearahku sorotnya memancarkan ketidak percayaan."Ckckck ..." laki-laki berperawakan tinggi besar itu menatap lekat, menggelengkan kepalanya. Aku semakin menundukan wajah, takut tiba-tiba pukulan kembali menyerangku.Tubuh ini menggigil, luka memar terlihat disekujur tubuh. Rasanya sakit dan menyiksa sekali."Teman satu selnya pun ikut dihajar, aku rasa dia mengalami gangguan jiwa." Mataku mendelik, tak terima dengan kata-kata sipir jelek itu."Bawa dia masuk kembali, tempatkan dia diruangan 355 a. Jangan disatukan dengan yang lain, saya mencuim gelagat mengerikan dari tatapan matanya," ucap komandan Polisi."Siap, Dan!" sahut dua petugas sambil menegakkan badan."Cepat!" tubuh ini diseret paksa. Aku hanya bisa menurut, menyeret kaki mengikutinya.Dug!Rasa nyeuri menerjang lutut dan telapak tangan, saat tubuhku didorong masuk oleh petugas
"Istri saya sakit apa, Dok?" tanyaku setelah Dokter Murni memeriksa keadaan Diana."Sepertinya hanya terlalu lelah," jawab Dokter Murni sambil tersenyum tipis pada Diana."Jangan terlalu capek dan banyak pikiran. Bebaskan saja, jangan di pendam nanti tambah sakit," sambungnya sambil mengusap tangan Diana."Iya, Dok. Trimakasih," jawab Diana."Saya hanya meresepkan beberapa vitamin, sama obat pusing ya. Untuk berjaga-jaga, khawatir kepala Nyonya Diana ikut pusing juga karna terlalu banyak berpikir," ucap Dokter Murni sambil terkekeh pelan. Diana tersenyum menanggapinya."Saya permisi, jangan lupa diminum vitaminnya." ucapnya sambil mengemasi alat-alat ke Dokteran yang tadi dia keluarkan."Iya, Dok. Trimakasih ya," sahutku lalu mengekorinya jalan keluar kamar."Kamu tidak apa-apa, Mih?" tanyaku sambil mengusap pucuk kepalanya dengan lembut."Tidak, apa. Aku hanya butuh istirahat saja," jawab Diana."Kamu lagi banyak pikiran ya? Mikirin apa sih?" cecarku berpura bodoh. Padahal aku tahu b
"Mati saja kau, Buk. Hidup pun tak berguna, hanya bisa menyusahkan anak-anakmu saja!" bisikku tepat ditelinganya. Wajah Ibu terlihat membiru, dengan lidah menjulur dan suara nafas yang tercekat ditenggorokan.Aku semakin bersemangat, bibir melengkung sempurna saat melihat Ibu menghadapi sarakatulmaut."Mati, kamu Buk. Mati!" desisku dengan suara tertekan."Hei ... mau apa kamu!" suara sumbang mengganggu kesenanganku. Tangan lemah Ibu terus memukul tangan ini, dan meminta pertolongan. Aku semakin kalap saat beberapa orang mulai mendekat, cengkraman tangan dileher Ibu semakin aku tekan.Dia harus lenyap, aku tak ingin hidup menderita sendirian.Tubuh Ibu mulai lemas, tangannya terkuai tidak lagi melakukan perlawanan.Kedua tanganku ditarik paksa, seruan dari suara sumbang terus saja mengusik pendengaranku."Hei, sudah gila kamu ya!" hadrik suara seseorang."Lepas!""Pak, tolong ...."Plakk plakk!!Rasa panas langsung menjalar dipipiku, setelah memastikan Ibu tak lagi bergerak aku baru m
"Mas ...."Langkah Mas Mahesa terhenti mendengar panggilanku.Mamah menatap jengah, Diana menampilkan wajah datar berpura tak melihat kehadiranku.Sombong sekali, perempuan tua itu. Merasa menang dariku? Tak tahu malu.Mas Mahesa mengangguk kecil pada dua perempuan busuk itu, Mamah menatap khawatir, tapi akhirnya pergi juga bersama Diana."Ada apa?" tanyanya datar, tanpa melihat wajahku. Tangannya sibuk merapihkan dasi yang menjerat dilehernya."Aku ..." mata ini memanas, melihat perubahannya. Mas Mahesa melirik sekilas, menghela nafas panjang."Katakanlah, aku tidak punya banyak waktu. Mamah dan istriku sudah menunggu diluar," ucapnya sambil menatap lurus kearah pintu, dimana berdiri Mamah Hana juga Diana."Aku juga istrimu ..," sahutku dengan suara parau. Mas Mahesa terkekeh, lalu menatapku tajam."Istriku?" tanyanya dengan tatapan mengejek. "Oh ya ... kau benar. Aku belum mengucap talak untukmu," sambungnya dengan senyum tipis."Mas ..." selaku dengan wajah memelas."Aku minta maaf
ByurrrLimpahan air menerjang wajah, aku tergelagap dengan nafas terengah-engah."Hm ... saya bilang apa? Dia terlalu manja, dikit-dikit pingsan!" cibir seorang petugas wanita sambil berkacang pinggang.Dengan kasar, aku menyeka sisa air yang menempel diwajah. Hatiku pilu diperlakukan serendah ini."Bersihin sisa airnya! Jangan manja. Atau saya pindahkan ketahanan yang penghuninya sapleng semua." ketusnya dengan senyum miring menyerigai.Tubuhku benar-benar lemas, mata berkunang saat mencoba bangkit dari atas lantai."Cepeeet. Lelet banget!" Petugas bermana Mira itu menarik kasar, lalu mendorong keras tubuhku hingga mendarat kencang disudut tembok."Lelet!!" cebiknya sembul meninggalkan ruang tahananku."Dia emang terkenal brutal. Ga punya perasaan. Kalau dia lagi kontrol, jangan sesekali memasang wajah sakit. Dia ga suka," jelas Ira tanpa aku minta.Aku hanya diam, mata memanas menahan bulir air mata."Sana ganti baju, nanti masuk angin." titahnya, sok perhatian.Aku mengangguk pelan
Pov Diana.Suara bel rumah mengusik ketenanganku dengan Mas Mahesa. Aku segera beranjak dari sofa berjalan untu membuka pintu utama."Mah ..." Aku tersenyum tipis saat melihat kedatangan Mamah Hana."Kurang ajar sekali perempuan liar itu, bukti sudah di depan mata. Masih saja berkelit-kelit," gerutunya sambil berjalan melewatiku. Aku yang mengerti maksud ucapannya, hanya bisa mengekori dari belakang."Nasib Mamah buruk sekali bisa bertemu dengan orang seperti itu, Di." Keluhnya sambil menjatuhkan tubuh diatas sofa."Gimana, Mah. Sidangnya?" tanya Mas Mahesa sambil melipat koran yang tadi dia baca, lalu menaruhnya dibawah meja."Nyebelin!" sembur Mamah. "Ngeles saja kaya belut. Kesel banget Mamah," gerutunya."Ngeles gimana, Mah?" tanyaku penasaran."Dia masih tidak mau ngaku. Padahal ada saksi mata, Dokter yang kemarin itu, dia sudah meluangkan waktu untuk datang di persidangan pagi tadi." jawab Mamah panjang lebar.Mas Mahesa menyimak dengan antusias, sesekali dia mimijat pelipisnya.