"Kamu pasti terlalu capek, hingga hormonnya jadi tak jelas seperti ini." ucapnya sambil meraih daguku dan mendekati bibirnya kembali.
Tubuhku bergidik, jantung bertalu-talu saat melihat bibir Mas Rudi. Hati kembali teremas-remas saat mengingat ucapan Dila, tentang mimik s*su."Iya, kamu benar. Aku hanya terlalu capek," aku memalingkan wajah, membuat kecupan itu mendarat dirambut tak mengenai bibirku."Sebaiknya aku tidur. Besok ada rapat," segara aku menarik selimut lalu merebahkan tubuh. Terdengar helaan panjang dari Mas Rudi, menandakan dia kecewa dengan penolakanku. Biarlah aku berdosa sudah mengabaikan keinginan suami. Aku bukan perempuan sholekha yang bisa menurut saja, apapun perintah Mas Rudi.Pagi ini aku bangun kesiangan, sesampainya dimeja makan penghuni rumah sudah menduduki dikursinya masing-masing. Mas Rudi tersenyum melihat keberadaanku, lalu menyodorkan nasi goreng tanpa kecap dihadapanku."Bik Narti ..." ucapku setelah menghempaskan bokong diatas kursi."Iya, Neng?" Bik Narti mendekat kearahku. "Mau susu atau teh hangat?" ucapnya ramah."Mm ..." aku bergumam sambil menatap Mas Rudi yang tersenyum kearahku. "Mulai besok, Bibik saya liburkan sementara ya. Banyak sekali pengeluaran. Saya harap Bibik bisa memaklumi nya." ucapku sambil tersenyum tipis. Bik Narti nampak terpaku ditempat, terkejut dengan ucapanku.Sementara Mas Rudi dan Hella, kompak menghentikan aktifitasnya masing-masing."Tapi, Neng ...""Saya tidak ingin selalu menanggung biaya kebutuhan rumah. Mulai saat ini akan saya sesuaikan pengeluaran dari penghasilan Mas Rudi. Lagi pun, ada Hella. Saya yakin dia mau membantu merapihkan atau sekedar membersihkan rumah ini." ucapku sambil menatap kearah Hella, yang memandang penuh tanda tanya."Bukan begitu, Mas?" kali ini aku menatap kearah Mas Rudi."Eh ... Mmm," wajah itu terlihat berfikir. "Kalau Mas, terserah kamu saja." jawabnya sambil berusaha melempar senyum."Trimakasih ya, Bik. Nanti jika saya butuh tenaga Bibik, pasti akan saya hubungi." ucapku dengan senyum tipis. Wajah Bik Narti terlihat sangat sedih, meski terlihat keberatan akhirnya dia mengangguk juga.Aku melirik pada Hella yang memainkan sendok diatas piring, aku tersenyum sinis melihat wajah muramnya.Sudah saatnya kau menjadi babu dirumahku. Hidupmu sudah terlalu enak, makan tinggal makan. Semua urusan perut, kecantikan dan segala tetek bengek aku yang menanggung. Tak punya hati, beraninya merusak rumah tanggaku. Entah siapa yang menggoda terlebih dahulu, yang pasti keduanya sudah tidak punya hati dan perasaan. Sama-sama serigala berbulu domba."Setelah semuanya selesai, Bibik boleh pulang ya." ucapku lagi."Iya, Neng." jawab Bik Narti sambil menundukan wajah.Maaf Bik, bukan tega kepadamu. Hanya saja aku sedang merencanakan sesuatu.Selesai menghabiskan sarapan, aku berjalan menuju kamar Bik Narti. Langkahku terhenti saat mendengar isakan dari kamarnya.Aaah. Maafkan aku, Bik."Boleh saya masuk?" ucapku setelah mengetuk pintu dua kali. Bik Narti menoleh, dengan cepat tangannya menghapus jejak air mata dipipinya."Silahkan, Neng ..." jawabnya dengan suara parau."Ini untuk, Bibik." aku menyodorkan amplop berisi gajinya bulan depan. Tentu saja aku tak ingin membuat Bik Narti kebingungan melanjutkan hidup. Setidaknya aku memberi sedikit modal untuknya jika mau membuka usaha."Kenapa saya dipecat, Neng?" tanyanya dengan mata sembab berkaca-kaca. Aku hanya tersenyum, tak bisa bicara yang sejujurnya."Maaf, Bik. Saya benar-benar pusing setiap akhir bulan. Cicilan dan segala kebutuhan pokok semakin bertambah. Saya tidak mau setiap bulan sakit karna memikirkan hal ini," ucapku beralasan."Bibik terima ya?" aku kembali mendekatkan amplop ini."Makasih, Neng. Bibik pamit ya," ucapnya pelan."Iya, hati-hati Bik. Salam untuk keluarga," balasku.Aku segera keluar, membiarkan Bik Narti mengemasi pakaiannya. Saat membuka pintu aku lihat Hella berpura main dengan Hamdan disamping pintu kamar Bik Narti.Ck! Sudah aku duga. Pasti ada telinga yang ingin mendengar pembicaraanku."Karna Bik Narti sudah tidak ada, Mbak harap kamu mengerti apa yang harus kamu lakukan!" aku menatap bola mata Hella."Iya, Mbak." sahutnya sambil tersenyum. Senyum palsu lebih tepatnya.***Ofd.Pulang kerja aku dapati rumah tidak seperti biasanya, sisa makanan berceceran diatas lantai, bahkan mainan Hamdan banyak yang terserak diatas meja ruang tamu. Aku jalan mengendap dan berjingjat, mencari tahu keberadaan Hella. Adik angkat terkutukku."Aku capek, Mas! Rumah ini terlalu besar. Pokoknya aku tidak mau tahu, Mas harus bujuk Mbak Rissa untuk membawa pulang Bik Narti!" dari ruang tengah aku bisa mendengar suara Hella....."Halahhh itu pasti cuma alasan. Gaji Mbak Rissa itu besar. Masa cuma bayar gaji Mbak Narti saja keberatan!" suara Hella terdengar marah....."Aku disini seperti pembantu. Baru tiga hari Bik Narti pergi, badanku sudah pegal-pegal sakit semua. Gimana kalau sebulan? Aku tidak sanggup!"...."Sabar teruss, lama-lama Mbak Rissa itu bisa membunuhku. Atau dia memang sengaja memecat Bik Narti. Dia pasti iri kan dengan kecantikan aku, dia ingin aku terlihat kumal dengan menjadikan aku pembantu gratisan!"Aku mendecis sinis, sudah lama dia hidup seperti nyonya. Baru sebentar ditinggal Bik Narti dia langsung kalang kabut. Padahal sebelum tinggal disini, dia sudah terbiasa mengerjakan tugas rumah. Sudah lupa daratan ternyata."Cobalah, Mas bujuk dia. Bisa rusak kulit tanganku, setiap hari bertempur dengan segudang pekerjaan ini." keluh Hella, tak tahu diri.Entah apa jawaban dari Mas Rudi, aku memilih untuk menaiki tangga masuk kedalam kamar. Rasanya cukup menyenangkan membuat valak itu kerepotan.Menyegarkan tubuh dibawar guyuran shower, mataku terpejam menikmati setiap tetes air yang menyentuh kulit tubuhku. Sudah lama aku tidak memanjakan diri, mempercantik wajah dan tubuh rampingku.Hari libur besok, aku akan meluangkan waktu untuk kesalon. Sudah lama sekali rasanya aku tak menginjakkan kaki disana."Mah ..." Mas Rudi tersenyum, saat melihat aku membuka pintu toilet."Hmm," aku hanya bergumam lalu melangkah menuju lemari."Sudah bersih ya, tuh sudah keramas." ucapnya dengan tatapan genit. Aku hanya tersenyum, mengambil piyama yang masih terbungkus plastik dari lemari.Kalau pun sudah, apa aku mau? Tidak!Sengaja aku melepas handuk didepannya, lalu memakai piyama dengan gaya yang aduhai. Jakun itu terlihat naik turun, tanpa kata dia langsung mendekat hendak menerkamku.Aishhh ... jijik, Mas!"Kamu bau kecut, Mas. Sana mandi dulu," ucapku seraya menghindar lalu membuka pintu kamar. Malas sekali melayaninya."Kamu masak apa, La?" tanyaku. Hella menoleh, memperhatikan piyama baru yang aku kenakan."Eh ini, Mbak. Telur dadar sama sayur toge." jawabnya sambil mengocok telur didalam mangkuk. Aku tersenyum miris, melihat penampilan kumalnya."Wah sepertinya enak. Cepat masaknya, aku sudah laper." aku tersenyum manis. Hella hanya tersenyum tipis lalu menghidupkan kompor."Tante, Hamdan pup!" seru Dila dari ruang tengah. Hella menghela nafas, menghapus keringat dikening menggunakan punggung tangan lalu mematikan kompor."Ada-ada saja, sih." gumamnya terlihat kesal. Aku tersenyum miring, mengekori langkahnya."Duh, berantakan sekali rumah ini. Seperti kapal pecah." ucapku sambil berkacak pinggang."La ..." Hella menghentikan langkah saat ingin berjalan menuju toilet."Nanti habis masak tolong dirapihkan ya mainan Hamdan ini, aku tidak mau rumah ini kotor dan berantakan." ucapku. Raut Hella semakin muram, dengan terpaksa dia menganggukkan kepalanya."Jalan keluar yuk, sayang." aku menggandeng tangan Dila.Aku tersenyum manis lalu berjalan keluar rumah. "Kita makan bakso di gang sebelah yuk, Dil." ucapku sambil menuntun tangan Dila.Boleh saja aku dirumah makan seadanya, tapi diluar? Tentu saja tidak. Untuk apa aku kerja jika aku masih perhitungan dengan urusan perut. Aku tidak sepelit itu. Biar saja mereka makan seadanya, berlaukan garam atau kecap aku tidak peduli. Yang penting aku dan Dila tidak.Jarak antar rumah dan kedai bakso hanya memakan waktu sepuluh menit berjalan kaki, sepanjang perjalanan banyak anak-anak yang bermain dilapangan atau halaman rumahnya."Mah, Bik Narti kenapa dipecat sih. Kasihan Tante, ngurus rumah sama Dedek Hamdan. Setiap hari marah-marah terus," tanya Dila saat kami sedang menunggu pesanan datang."Tante masih suka dipijit sama Ayah tidak?" aku mengalihkan topik pembicaraan."Tidak tahu, Mah." jawab Dila sambil memainkan sedotan disampingnya."Kirain masih," ucapku."Dila habis ngaji kan langsung tidur, Mah. Jadi tidak tahu," jawab bocah polos itu.Bik Narti sudah keluar dari rumah, seharusnya ini menjadi kesempatan yang baik untuk mereka berdua. Tidak mungkin mereka tidak macam-macam.Apa aku harus memasang cctv?"Silahkan, Mbak." ucap penjual bakso dengan senyum ramah."Makasih, Mas." jawabku."Yang kemarin itu Adiknya ya, Mbak?" tanya penjual bakso. Alisku menaut, tak mengerti ucapannya."Itu ... kemarin Mas Rudi mampir makan bakso sama perempuan bawa anak. Istri saya sudah mikir yang tidak-tidak.""Oh ..." bibirku membulat dengan hati yang bergemuruh.Bisa-bisanya mereka diam-diam makan bakso tanpa izin dariku. Benar-benar tidak dianggap sama sekali kehadiranku.Selesai menyantap bakso kami langsung kembali pulang, langkahku terhenti saat membuka pintu rumah."Tante kenapa nangis?"Hella yang ada didalam pelukan Mas Rudi terlonjak kaget, pun dengan Mas Rudi yang tak kalah pucat dari gundiknya.Kena kamu, Mas!***Ofd.Malam Mak.. maaf telat update. Masih ada yang melek kah?"Tante kenapa nangis?"Hella yang ada didalam pelukan Mas Rudi terlonjak kaget, pun dengan Mas Rudi yang tak kalah pucat dari gundiknya.Kena kamu, Mas!Aku bergeming tak mengeluarkan satu pun kalimat, tapi pandanganku tajam melihat keduanya.Repleks Mas Rudi mendorong kasar tubuh Hella, segera bangkit dari duduknya."Mamah dari mana? Tadi aku cari-cari tidak ada," ucapnya dengan ekpresi salah tingkah, terlihat sangat bod*h. Aku menautkan alis memandang sinis pada Hella."Sudah peluk-peluknya?" tanyaku."Eh ... itu," wajah itu memerah, tak sanggup meneruskan kalimat."Lagi pijit-pijit?" ketusku. Geram sekali, berkali aku menarik nafas guna menormalkan detak jantung. Jangan sampai kemarahan ini meledak. Belum waktunya."Kamu jangan salah paham, Mah. Aku cuma ingin menenangkan Hella," bantah Mas Rudi sambil menggaruk tengkuk lehernya."Salah paham gimana?" aku pura-pura bodoh."Hella terlalu capek, dia sampai nangis gitu. Katanya juga lemes, laper." jelas Mas Rudi.Aku menatapnya lekat,
Aku bekap mulut ini dengan sebelah tangan dan sekuat tenaga, agar tak mengeluarkan suara sebab hati begitu perih ingin menjerit dengan kencang. Air mata mengucur dengan deras, getaran tubuh mengguncang jiwa. Lutut terasa lemas, rasanya tak sanggup menopang tubuh ini.Jahat kamu, Mas!Desahan keduanya terdengar jelas ditelinga. Ingin aku berlari dan membunuh keduanya, namun logika masih menahan. Lagi-lagi aku hanya bisa menarik nafas dalam-dalam dan menghempasnya dengan kasar.Teruskan perbuatan bejat kalian, bersenang-senanglah. Setelah ini akan aku tunjukan cara membalas tanpa mengotori tanganku sendiri.Setelah cukup mendapat bukti, aku segera menekan tombol stop. Langkahku lunglai menginjak lantai, nafasku terasa tersendat-sendat.Ingin sekali menendang pintu kamar itu, namun tubuh masih terasa menggigil dengan hebat. Aku teguk segelas air yang ada diatas nakas, lalu menghentaknya dengan keras.Pecahan beling itu berhamburan diatas lantai, aku termangu meremas gawai dengan erat."B
"Kamu baik sekali Mbak, makasih ya." Hella mengharu dan memelukku.Aku tepuk dengan jijik punggung belakangnya. Bik Narti menganggukkan kepala dengan senyum penuh arti."Tolong bantu-bantu Hella ya, Bik. Nanti aku kasih uang untuk belanja kebutuhan dapur," ucapku pada Bik Narti disambut dengan senyum kecil dan anggukan kepala.Hella masih tersenyum manis, membuat perutku menjadi mual seketika.Bisa bayangkan jadi aku? Hidup satu atap dengan para pengkhianat?Ckckck ... rasanya sangat menjijikan. Setiap detik bahkan fikiranku sudah dibumbui dengan kekerasan ingin melukainya."Aku istirahat dulu," ucapku sambil beranjak berjalan menuju tangga."Iya, Mbak. Makasih ya," teriak Hella.Menghempas tubuh diatas ranjang, kepala kembali berdenyut aku memiijatnya dengan pelan.Sudah beberapa hari ini tak nyenyak tidur, bahkan hampir tak pernah tidur sepanjang malam.Andai masih ada kedua orangtua, tentu aku bisa berbagi masalah padanya."Uh ... bagaimana ini, Mah. Perbuatan baikmu dimasa lalu, k
"Astaga. Itu bukannya ..."Kalimat menggantung diudara, kini semua pandangan beralih pada Mas Rudi dan Hella yang wajahnya sudah sepucat mayat.Gaduh!Suara sumbang mulai terdengar tak nyaman ditelinga. Aku sendiri hanya bergeming, mendengar lengkingan menjijikan yang masih terdengar panas ditelinga.Aish ... membaranya.Aku tidak punya cukup nyali, untuk melihat video itu. Biarkan saja, para tamu yang berkomentar menggambarkan setiap adegan.Aku melirik sedih pada Mas Rudi, yang membeku ditempat duduknya. Tubuhnya bergetar hebat, mulutnya cengap-cengap seperti ikan mas koki yang kehabisan oksigen.Nafas dulu, Mas. Jangan mati disini, kau belum mendapat balasan. Aku menginginkan kepedihanmu."Mas, itu Mas Rudi kan?" salah satu teman Mas Rudi menepuk bahu, membuat Mas Rudi terlonjak hebat dari tempatnya."Eh ..." Mas Rudi tergagap, wajahnya terlihat ketakutan. Atau malu? Entahlah.Hati terkekeh geli, dada bergemuruh hebat ingin menertawakan ekpresi wajahnya yang seperti orang linglung.
"Mari kita cerai!" sekali hentakkan nafas, aku berucap dengan sangat tegas.Di susul dengan kalimat istigfar yang terdengar bergetar dari mulut kedua mertuaku."Nak, Rissa ..." Ibu menatap iba, menggeleng lemah. " jangan bicara begitu, mari kita selesaikan masalah ini dengan kepala dingin." Ibu menggenggam tanganku, menatap dengan mata yang sudah di penuhi oleh kabut."Ce-rai?" Mas Rudi terbelalak kaget mendengar ucapanku."Ya. Mari kita akhiri semuanya. Aku muak melihat wajahmu!" geramku dengan tatapan tajam.Mas Rudi menarik nafas panjang, menatapku dengan tatapan meremehkan."Rissa ... Rissa." Mas Rudi menatap lurus mengunci pandangannya di mataku."Pikirmu enak menjadi janda, hah?" aku melengos muak, rasanya ingin sekali mencengkram wajah dan menikam barang pusakanya dengan belati. Sayang, takku temukan benda tajam di sekitarku.Lagi pun, apa salahnya menjanda? Yang penting hidupku lurus, tidak menggoda suami orang."Kau ingin nasibmu sama dengan, Hella? Lihat dia, setiap malam ke
Suara gawai terdengar bersahut-sahutan, aku mendengkus kesal saat melihat nama di dalam layar. Hella terus menghubungi, puluhan pesan dia kirim untuk menggangguku."Neng ..." suara Bik Narti terdengar diiringi ketukan pintu.Wajah Dila menyembul di balik pintu, di susul dengan Bik Narti di belakangnya dengan, Hamdan di dalam gendongan."Mamah." Dila berlari kearahku. "Mamah nangis?" cepat aku menghapus jejak air mata, menggeleng kuat lalu memamerkan senyum tipis.Dila menatap iba, memelukku dengan erat. "Tante Hella diluar teriak-teriak, Mah. Kata Bibik, aku tidak boleh bukain pintu?"Aku kembali mengusap mata yang basah, menahan sesak mengurai pelukkan."Sudah, Bik?" tanyaku pada Bik Narti, mengabaikan ucapan Dila."Iya Neng." jawab Bik Narti."Kemas baju Mas Rudi juga, Hamdan taruh saja di bawah." ucapku. Bik Narti langsung menuruni Hamdan, lalu berjalan menuju lemari."Itu koper yang coklat," aku menunjuk koper yang ada diatas lemari."Kita mau jalan-jalan kemana, Mah. Kok baju Aya
Malam sudah semakin larut. Perut keroncongan, badan sudah begitu lelah dan bau apek bermandikan keringat, tapi Ibu belum juga membuka pintu rumah."Kita sewa kontrakan sekarang saja, Mas. Keluargamu, tidak akan mau membukakan pintu." desah Hella dengan suara parau dan mata berkaca-kaca.Aku meremas rambut dengan geram mengingat uang di dompet hanya ada buat beli bahan bakar saja. Isi atm ku, pasti sudah habis di kuras, Rissa. Dasar istri bodoh bisanya menyusahkan saja!"Mas ..." Hella menatap nanar, menyenderkan tubuh disisi tembok. Hamdan sudah tertidur pulas didalam dekapannya."Hamdan belum makan malam, aku takut dia masuk angin." keluh Hella sambil membelai rambut Hamdan. Tak lama tubuhnya bergetar, air mata kembali mengalir dipipinya.Ah, cengeng sekali perempuan ini. Nangis terus, bukan membantu menyesaikan masalah, malah menambah beban."Gimana, Mas. Aku capek." Hella menyusut ingus, pandangannya kosong menghadap jalan.Huh! Mengapa jadi serumit ini sih. Coba saja Rissa bisa me
Suara grasa-grusu mengusik mimpi, berkali aku mengubah posisi tidur agar terasa nyaman.Samar aku dengar suara Hella meminta maaf, juga suara Ibu yang terdengar ketus ditelinga."Pergi, jangan sentuh apapun. Bikin kotor saja!""Buk, sudah ... masih pagi lho. Tidak baik marah-maran." suara Bapak ikut terdengar juga."Lagian bikin emosi saja. Pagi-pagi sudah bikin kesal. Sanah pergi, kemasi barang-barangmu. Aku tidak mau menampung kotoran dirumah ini!""Ma--af."Jantung berdegup kencang, aku langsung terlonjak saat mendengar bantingan pintu dengan keras.Ya Tuhan ... ini bukan mimpi. Aku pikir aku sedang dialam bawah sadar."Sudah, Bu. Kamu itu pagi-pagi nyari masalah saja!""Bapak diam. Ibu paling muak sama perempuan penggoda suami orang!" Ibu menuding wajah Bapak dengan geram."Bu ....""Lihat dia. Mengikuti jejak kotormu!" Bapak meringis, menggaruk rambut belakangnya."Aku tidak mau tahu. Pagi ini juga perempuan gatal itu harus pergi dari rumahku!" Ibu mendengkus marah, berjalan deng
Pov Larissa."Pasien rumah sakit jiwa terlindas truk hingga tewas, kondisi sangat mengenaskan. Saat ini jenazah korban ada dirumah sakit Pelita Keluarga.""Baca, apa sih sayang serius banget?" Mas Bagas yang sedang mengemudi, menoleh singkat lalu kembali fokus menghadap jalan."Baca berita yang lewat dibranda, Mas. Seram ih, aku baca juga komen-komennya. Katanya, tubuh korban tabrakan itu terbelah menjadi dua bagian." sahutku, sambil bergidik ngeri."Innalillahi ... semoga amal ibadahnya diterima Alloh." jawab Mas Bagas dengan wajah prihatin."Aamiin ..." aku hanya menyahut, pandangan fokus pada gawai melanjutkan membaca komentar yang ada di dalam berita.Mengingat rumah sakit jiwa, aku jadi teringat ucapan Nyonya Diana. Dia bilang, Hella terkena gangguan jiwa, dan sekarang tinggal dirumah sakit jiwa. Semoga dia dalam keadaan baik-baik saja, walau aku sangat membencinya tapi aku tak ingin mendoakan keburukan padanya. Aku takut doa buruk itu akan kembali padaku. Naudzubillah."Nyonya D
Pov DianaSuara debur ombak beradu dengan karang membuat aku menarik nafas panjang, angin lembut berhembus diwajah dan rambut. Menimbulkan aura menenangkan.Hmm ....Menghembuskan nafas secara perlahan, bibir tersenyum simpul melihat dua sosok kesayangan bermain dengan ceria ditepi pantai.Duhai Tuhan ... trimakasih. Atas izinmu, kau biarkan aku melalui badai yang sangat kuat lagi dahsyat."Mamih, ayok kesini!" seru Deo meski terdengar samar. Aku hanya tersenyum, meraih gelas berisi jeruk hangat lalu menyesapnya pelan.Tangan ini melambai saat melihat pasangan suami istri celingukan mencari seseorang. Aku tersenyum manis, saat mata kami beradu tatap."Hai ..." sapaku ceria."Lama tidak bertemu, Nyonya Diana." wanita cantik menyapa dengan senyuman manis, dia menyodorkan tangan, setelahnya kita berjabat tangan mencium pipi kiri dan kanan."Mbak Larissa semakin cantik saja." ucapku tulus. Karna memang wajah wanita muda yang ada dihadapanku memang selalu cantik."Nyonya bisa saja," ucapny
Pov Hella."Lepass!" aku memberontak saat dua laki-laki berseragam rumah sakit memegangi kedua tangan."Kalian tuli, hah! Lepas aku bilang!" sungutku sambil terus memberontak.Kedua laki-laki itu hanya mendengkus kesal tak mengindahkan ucapanku."Jalan!" ucapnya, lalu menyeret tubuhku keluar dari penjara.Nafasku terengah-engah, terpaan sinar matahari menerjang wajah menimbulkan sensasi hangat dan menenangkan.Otak mulai mencerna apa yang sebenarnya terjadi, aku terbahak menyadari akan keluar dari tempat pengap itu."Hahah ... aku bebas. Aku bebas!" teriakku bersemangat. "Bawa aku pulang ke apartement, aku rindu rumahku. Aku rindu." cerocosku sambil menatap penuh harap kearah dua laki-laki itu.Satu diantaranya membuka pintu bagasi mobil khas rumah sakit, setelah terbuka lebar dia kembali memegangi tanganku."Masuk!" titahnya sambil mendorong tubuhku."Hati-hati, jangan membuatnya marah. Atau kalian akan tersakiti." ucap Polisi gendut. Keduanya saling bertatapan, lalu menoleh kearahku
Pov Hella."Tahanan ini benar-benar keterlaluan, dia membunuh Ibunya sendiri saat datang berkunjung menemuinya." ujar petugas gendut sambil melirik kearahku sorotnya memancarkan ketidak percayaan."Ckckck ..." laki-laki berperawakan tinggi besar itu menatap lekat, menggelengkan kepalanya. Aku semakin menundukan wajah, takut tiba-tiba pukulan kembali menyerangku.Tubuh ini menggigil, luka memar terlihat disekujur tubuh. Rasanya sakit dan menyiksa sekali."Teman satu selnya pun ikut dihajar, aku rasa dia mengalami gangguan jiwa." Mataku mendelik, tak terima dengan kata-kata sipir jelek itu."Bawa dia masuk kembali, tempatkan dia diruangan 355 a. Jangan disatukan dengan yang lain, saya mencuim gelagat mengerikan dari tatapan matanya," ucap komandan Polisi."Siap, Dan!" sahut dua petugas sambil menegakkan badan."Cepat!" tubuh ini diseret paksa. Aku hanya bisa menurut, menyeret kaki mengikutinya.Dug!Rasa nyeuri menerjang lutut dan telapak tangan, saat tubuhku didorong masuk oleh petugas
"Istri saya sakit apa, Dok?" tanyaku setelah Dokter Murni memeriksa keadaan Diana."Sepertinya hanya terlalu lelah," jawab Dokter Murni sambil tersenyum tipis pada Diana."Jangan terlalu capek dan banyak pikiran. Bebaskan saja, jangan di pendam nanti tambah sakit," sambungnya sambil mengusap tangan Diana."Iya, Dok. Trimakasih," jawab Diana."Saya hanya meresepkan beberapa vitamin, sama obat pusing ya. Untuk berjaga-jaga, khawatir kepala Nyonya Diana ikut pusing juga karna terlalu banyak berpikir," ucap Dokter Murni sambil terkekeh pelan. Diana tersenyum menanggapinya."Saya permisi, jangan lupa diminum vitaminnya." ucapnya sambil mengemasi alat-alat ke Dokteran yang tadi dia keluarkan."Iya, Dok. Trimakasih ya," sahutku lalu mengekorinya jalan keluar kamar."Kamu tidak apa-apa, Mih?" tanyaku sambil mengusap pucuk kepalanya dengan lembut."Tidak, apa. Aku hanya butuh istirahat saja," jawab Diana."Kamu lagi banyak pikiran ya? Mikirin apa sih?" cecarku berpura bodoh. Padahal aku tahu b
"Mati saja kau, Buk. Hidup pun tak berguna, hanya bisa menyusahkan anak-anakmu saja!" bisikku tepat ditelinganya. Wajah Ibu terlihat membiru, dengan lidah menjulur dan suara nafas yang tercekat ditenggorokan.Aku semakin bersemangat, bibir melengkung sempurna saat melihat Ibu menghadapi sarakatulmaut."Mati, kamu Buk. Mati!" desisku dengan suara tertekan."Hei ... mau apa kamu!" suara sumbang mengganggu kesenanganku. Tangan lemah Ibu terus memukul tangan ini, dan meminta pertolongan. Aku semakin kalap saat beberapa orang mulai mendekat, cengkraman tangan dileher Ibu semakin aku tekan.Dia harus lenyap, aku tak ingin hidup menderita sendirian.Tubuh Ibu mulai lemas, tangannya terkuai tidak lagi melakukan perlawanan.Kedua tanganku ditarik paksa, seruan dari suara sumbang terus saja mengusik pendengaranku."Hei, sudah gila kamu ya!" hadrik suara seseorang."Lepas!""Pak, tolong ...."Plakk plakk!!Rasa panas langsung menjalar dipipiku, setelah memastikan Ibu tak lagi bergerak aku baru m
"Mas ...."Langkah Mas Mahesa terhenti mendengar panggilanku.Mamah menatap jengah, Diana menampilkan wajah datar berpura tak melihat kehadiranku.Sombong sekali, perempuan tua itu. Merasa menang dariku? Tak tahu malu.Mas Mahesa mengangguk kecil pada dua perempuan busuk itu, Mamah menatap khawatir, tapi akhirnya pergi juga bersama Diana."Ada apa?" tanyanya datar, tanpa melihat wajahku. Tangannya sibuk merapihkan dasi yang menjerat dilehernya."Aku ..." mata ini memanas, melihat perubahannya. Mas Mahesa melirik sekilas, menghela nafas panjang."Katakanlah, aku tidak punya banyak waktu. Mamah dan istriku sudah menunggu diluar," ucapnya sambil menatap lurus kearah pintu, dimana berdiri Mamah Hana juga Diana."Aku juga istrimu ..," sahutku dengan suara parau. Mas Mahesa terkekeh, lalu menatapku tajam."Istriku?" tanyanya dengan tatapan mengejek. "Oh ya ... kau benar. Aku belum mengucap talak untukmu," sambungnya dengan senyum tipis."Mas ..." selaku dengan wajah memelas."Aku minta maaf
ByurrrLimpahan air menerjang wajah, aku tergelagap dengan nafas terengah-engah."Hm ... saya bilang apa? Dia terlalu manja, dikit-dikit pingsan!" cibir seorang petugas wanita sambil berkacang pinggang.Dengan kasar, aku menyeka sisa air yang menempel diwajah. Hatiku pilu diperlakukan serendah ini."Bersihin sisa airnya! Jangan manja. Atau saya pindahkan ketahanan yang penghuninya sapleng semua." ketusnya dengan senyum miring menyerigai.Tubuhku benar-benar lemas, mata berkunang saat mencoba bangkit dari atas lantai."Cepeeet. Lelet banget!" Petugas bermana Mira itu menarik kasar, lalu mendorong keras tubuhku hingga mendarat kencang disudut tembok."Lelet!!" cebiknya sembul meninggalkan ruang tahananku."Dia emang terkenal brutal. Ga punya perasaan. Kalau dia lagi kontrol, jangan sesekali memasang wajah sakit. Dia ga suka," jelas Ira tanpa aku minta.Aku hanya diam, mata memanas menahan bulir air mata."Sana ganti baju, nanti masuk angin." titahnya, sok perhatian.Aku mengangguk pelan
Pov Diana.Suara bel rumah mengusik ketenanganku dengan Mas Mahesa. Aku segera beranjak dari sofa berjalan untu membuka pintu utama."Mah ..." Aku tersenyum tipis saat melihat kedatangan Mamah Hana."Kurang ajar sekali perempuan liar itu, bukti sudah di depan mata. Masih saja berkelit-kelit," gerutunya sambil berjalan melewatiku. Aku yang mengerti maksud ucapannya, hanya bisa mengekori dari belakang."Nasib Mamah buruk sekali bisa bertemu dengan orang seperti itu, Di." Keluhnya sambil menjatuhkan tubuh diatas sofa."Gimana, Mah. Sidangnya?" tanya Mas Mahesa sambil melipat koran yang tadi dia baca, lalu menaruhnya dibawah meja."Nyebelin!" sembur Mamah. "Ngeles saja kaya belut. Kesel banget Mamah," gerutunya."Ngeles gimana, Mah?" tanyaku penasaran."Dia masih tidak mau ngaku. Padahal ada saksi mata, Dokter yang kemarin itu, dia sudah meluangkan waktu untuk datang di persidangan pagi tadi." jawab Mamah panjang lebar.Mas Mahesa menyimak dengan antusias, sesekali dia mimijat pelipisnya.