"Aww!" Rissa tersungkur memekik kesakitan, memegangi sudut bibir yang mengeluarkan darah."Kau memang harus dididik dengan tegas!" geramku dengan nafas terengah-engah.Sorot Rissa yang meremehkanku, membuat kemurkaan semakin menguasai otak. Tanpa sadar kaki melayang kearahnya."Aaargh!"Rissa kembali memekik lebih keras saat tendangan mendarat tepat mengenai perutnya."Uhuk-uhuk ..." darah segar berhamburan dari mulutnya, Rissa meringis kesakitan.Mampus kau, sia-lan!Bisa aku lihat tubuh Rissa bergetar hebat, memandangku ketakutan.Rasakan itu istri durjana. Setelah ini aku yakin Rissa akan mematuhi ucapanku."Ya Alloh, Mbak Rissa!""Astagfirulloh ...."Baru saja kaki melangkah ingin kembali menendang wajahnya, Pak Rt memegangi tanganku, menahan gerakanku."Sabar, Pak sabar. Jangan kasar begini." ucap Pak Rt sambil memegangi tubuhku."Pak Rudi benar-benar keterlaluan. Kasihan Mbak Risa, Pak. Ya Alloh ..." Bu Inggit yang sejak tadi hanya menyimak ikut bersuara, matanya menatapku nanar
Pov LarissaGegas aku masuk kedalam mobil, dimana sudah ada Bik Narti dan Dila didalamnya."Neng tidak apa-apa?" Bik Narti memandang cemas, memegangi tanganku. "Bibir Neng Rissa membengkak, kita kerumah sakit ya?" mata tua itu berkaca-kaca, merasakan kesakitanku.Hati dan sekujur tubuh menjalar perih, mataku memanas dengan kabut yang semakin tebal. Tubuh masih terguncang, air mata menetes tanpa persetujuan.Ohh ... betapa terhinanya raga ini. Dianggap racun, dan selalu di tempatkan pada posisi yang salah.Membuka resleting tas, mengambil gawai lalu merekam wajah babak belurku saat ini.Astaga, aku bahkan ngeri melihat wajah sendiri.Astagfirullohaladzim ....Ya Alloh, ya Rabb. Sekejam ini kamu padaku, Mas. Sampai hati, kau memukul istrimu sendiri.Tak ingatkah segala pengorbananku selama ini? Mengapa kau begitu keji padaku.Menyeka wajah dengan kasar, aku hirup oksigen sebanyak-banyaknya, melonggarkan kerah kemeja lalu melajukan mobil secara perlahan.Hening tak ada satu pun yang bica
Sebelum keluar dari mobil, aku memakai kacamata hitam besar yang tersimpan di dalam dashboard. Mengenakai selendang biru, untuk menutupi rambut dan wajahku.Aku mantapkan hati, tak mengapa menguras waktu. Yang penting masalah ini cepat selesai. Dan yang paling penting, membuat dua manusia tak waras itu sedikit jera."Ada yang bisa kami bantu, Buk?" petugas resepsionis menatap ramah. Aku menyunggingkan senyum, melonggarkan sedikit kacamata."Saya mau melakukan visum, Dokter mana yang bisa menangani ini." aku menunjuk luka di sudut bibir. Perempuan berwajah manis itu sedikit terkejut, lalu menyerahkan selembar kertas untukku."Diisi dulu biodata pasiennya, Bu. Setelah itu Ibu akan saja arahkan ke Dokter specialis forensik." jawabnya lugas.Aku hanya menurut, karna jujur saja aku belum memahami tentang visum. Setelah mengisi data, aku kembali duduk dikursi jejer khas rumah sakit.Hari ini pengunjung lumayan ramai, sudah hampir dua puluh menit menunggu namaku belum dipanggil juga."Ibu La
"Mas! Kok diam aja sih!" sentak Hella mengagetkan."Terus aku harus gimana?" suaraku naik satu oktaf. Kesal sih boleh aja, tapi tidak harus membentakku juga kan. Dia pikir aku babunya!Rissa saja tidak pernah membentakku.Aaarghhh sial! Kenapa aku harus mengingat kebaikan istri durjana itu!"Haduh! Bisa mati berdiri kalau begini terus. Duit tidak punya, makanan tidak ada." seloroh Hella sambil berkacak pinggang.Aku hanya berdecak, malas menyahut ucapannya. Pikirnya hanya dia yang sakit kepala memikirkan semua ini. Kepalaku bahkan hampir pecah.Emang sialan si Rissa. Pergi dari rumah, malah merampok semua yang ada. Gila!"Tidak ada yang bisa dijual apa, Mas!" tanya Hella dengan bibir mencucut."Apa yang mau dijual? Kasur bau pesing?" cibirku."Ya kamu mikir dong. Tidak bisakan cuma diam begini aja." cecar Hella."Ya mau gimana lagi!" sahutku tak acuh."Argh sial!" Hella memukul meja makan, wajahnya memerah menandakan benar-benar sedang marah.Dengan kasar dia mengambil gelas yang terg
"Kami dari ke Polisian, apa benar ini kediaman rumah Saudara, Rudi ...."Aku dan Bapak saling berpandangan, hati mendadak gusar saat mata melihat dengan jelas dua sosok tegap memakai seragam coklat berdiri di balik pagar."Ada apa ya?" wajah Bapak berubah cemas, pun dengan diriku."Benar ini rumah, Rudi Sanjaya?" ulang Polisi berbadan tinggi besar itu."I--ya benar. Ini rumah Rudi, anak saya." jawab Bapak sambil melirikku."Ada apa ya, Pak?""Bisa di buka pintu pagarnya, atau bicara disini saja?" tanya, Polisi berwajah oriental itu."Eh, iya. Maaf ..." gegas Bapak membuka pintu pagar, memberi jalan masuk dua petugas ke Polisian tersebut."Masuk, Pak." ucap Bapak dengan raut tegang. "Ke dalam saja," Bapak melewati petugas membuka pintu rumah dan menarikku masuk kedalam."Jadi siapa yang bernama, Rudi Sanjaya?" tanya Polisi."Ini, anak saya, Pak." jawab Bapak sambil meremas pundakku."Ada perlu apa ya?" tanyaku dengan perasaan was-was. Bagaimana tidak, untuk apa dua Polisi ini mencariku
Entah mengapa, hati ini pilu melihatnya diperlakukan kasar pada Bapak. Aku tak terima wanita yang masih bergelar menjadi istriku di perlakukan semena-mena oleh orangtuaku sendiri.Tidak ada yang boleh melukainya, hanya aku, hanya aku yang pantas mendidiknya."Bangun! Cepat cabut laporanmu!" teriak Bapak dengan mata menyalang. Aku meneguk saliva, memandang cemas pada Rissa yang kesusahan untuk berdiri. Dia memegangi perutnya, membuat rasa bersalah semakin menjalar di hatiku.Rissa tersenyum tipis, menatap Bapak dengan tatapan lurus. "Bapak mau saya penjarakan juga?"Aku terperangah pun dengan Bapak."Ku-rang ajar!" geram Bapak semakin murka."Jangan menatap saya seperti itu, saya tidak melakukan kesalahan apapun. Saya hanya menegakkan keadilan untuk diri saya sendiri." tegas Rissa dengan tatapan menantang."Tapi jangan begini perlakuanmu, memenjarakan Rudi. Kalau kau tidak suka, cerai saja. Jangan menikam dari belakang!" bantah Bapak."Jaga sikap. Seharusnya Bapak sadar bahwa tindakan
Pov Larissa.Keluar dari kantor Polisi dengan langkah sempoyongan dan tubuh menggigil. Gegas membuka pintu mobil dengan tangan yang bergetar hebat.Hati ini nelangsa, aku menangis meratapi nasib yang begitu menyedihkan.Menghirup dengan rakus oksigen yang mengelilingi, menginjak pedal gas secara perlahan meninggalkan tempat yang penuh dengan rasa sakit ini.Melihat Mas Rudi di dalam sana, hati ini sedikit puas. Namun mengingat kejadian memalukan tadi entah mengapa dada terasa ngilu luar biasa.Bapak ... aku sangat kecewa padamu.***Ofd.Semilir angin malam yang menerpa wajah tak membuat sejuk pikiran, duduk termangu di depan teras rumah sambil menikmati segelas susu coklat hangat buatan Bik Narti.Menyesap pelan gelas yang ada di genggaman, rasa manis pahit langsung menyentuh ujung lidah."Aah!" aku meringis memegangi bibir, rasa ngilu dan perih menerjang gusi. Sepertinya tamparan itu membuat luka didalam mulut.Sakit!Sakit sekali mendapatkan perlakuan sekasar itu. Hati menjerit tida
Pov Author.Nafas Hanum {Ibu Rudi_red} menderu, diremasnya dengan erat gawai yang tergenggam didelam tangan. Gambaran wajah kecewa Rissa yang menari-nari dikepala membuat hatinya panas bercampur perih. Perlahan kepalanya menoleh pelan dengan sorot tajam kearah kamar perempuan yang menjadi biang masalah."Buk, istigfar ..." Ika mengusap lembut punggung Ibunya, Hanum bergerming sesaat lalu melangkah lebar menuju kamar Hella."Heh jal*ng! Keluar kau dari sini. Lihat gara-gara ulah gatalmu, keluarga anakku jadi kacau berantakan!" maki Hanum pada Hella. Kakinya menendang pintu kamar dengan kuat, membuat Hamdan yang sedang asik memainkan mobil-mobilan menjerit karna ketakutan."Sabar, Buk. Sabar ..." bujuk Ika sambil memegangi tubuh Ibunya yang ingin meringsek masuk kedalam kamar."Gara-gara kamu, rumah tangga anakku hancur. Gara-gara kamu juga, Rudi yang biasa sayang anak istri tega bermain kasar dan menelantarkan keluarganya!!" gelegar suara Ibu Hanum. Hella merunduk takut, badannya berge
Pov Larissa."Pasien rumah sakit jiwa terlindas truk hingga tewas, kondisi sangat mengenaskan. Saat ini jenazah korban ada dirumah sakit Pelita Keluarga.""Baca, apa sih sayang serius banget?" Mas Bagas yang sedang mengemudi, menoleh singkat lalu kembali fokus menghadap jalan."Baca berita yang lewat dibranda, Mas. Seram ih, aku baca juga komen-komennya. Katanya, tubuh korban tabrakan itu terbelah menjadi dua bagian." sahutku, sambil bergidik ngeri."Innalillahi ... semoga amal ibadahnya diterima Alloh." jawab Mas Bagas dengan wajah prihatin."Aamiin ..." aku hanya menyahut, pandangan fokus pada gawai melanjutkan membaca komentar yang ada di dalam berita.Mengingat rumah sakit jiwa, aku jadi teringat ucapan Nyonya Diana. Dia bilang, Hella terkena gangguan jiwa, dan sekarang tinggal dirumah sakit jiwa. Semoga dia dalam keadaan baik-baik saja, walau aku sangat membencinya tapi aku tak ingin mendoakan keburukan padanya. Aku takut doa buruk itu akan kembali padaku. Naudzubillah."Nyonya D
Pov DianaSuara debur ombak beradu dengan karang membuat aku menarik nafas panjang, angin lembut berhembus diwajah dan rambut. Menimbulkan aura menenangkan.Hmm ....Menghembuskan nafas secara perlahan, bibir tersenyum simpul melihat dua sosok kesayangan bermain dengan ceria ditepi pantai.Duhai Tuhan ... trimakasih. Atas izinmu, kau biarkan aku melalui badai yang sangat kuat lagi dahsyat."Mamih, ayok kesini!" seru Deo meski terdengar samar. Aku hanya tersenyum, meraih gelas berisi jeruk hangat lalu menyesapnya pelan.Tangan ini melambai saat melihat pasangan suami istri celingukan mencari seseorang. Aku tersenyum manis, saat mata kami beradu tatap."Hai ..." sapaku ceria."Lama tidak bertemu, Nyonya Diana." wanita cantik menyapa dengan senyuman manis, dia menyodorkan tangan, setelahnya kita berjabat tangan mencium pipi kiri dan kanan."Mbak Larissa semakin cantik saja." ucapku tulus. Karna memang wajah wanita muda yang ada dihadapanku memang selalu cantik."Nyonya bisa saja," ucapny
Pov Hella."Lepass!" aku memberontak saat dua laki-laki berseragam rumah sakit memegangi kedua tangan."Kalian tuli, hah! Lepas aku bilang!" sungutku sambil terus memberontak.Kedua laki-laki itu hanya mendengkus kesal tak mengindahkan ucapanku."Jalan!" ucapnya, lalu menyeret tubuhku keluar dari penjara.Nafasku terengah-engah, terpaan sinar matahari menerjang wajah menimbulkan sensasi hangat dan menenangkan.Otak mulai mencerna apa yang sebenarnya terjadi, aku terbahak menyadari akan keluar dari tempat pengap itu."Hahah ... aku bebas. Aku bebas!" teriakku bersemangat. "Bawa aku pulang ke apartement, aku rindu rumahku. Aku rindu." cerocosku sambil menatap penuh harap kearah dua laki-laki itu.Satu diantaranya membuka pintu bagasi mobil khas rumah sakit, setelah terbuka lebar dia kembali memegangi tanganku."Masuk!" titahnya sambil mendorong tubuhku."Hati-hati, jangan membuatnya marah. Atau kalian akan tersakiti." ucap Polisi gendut. Keduanya saling bertatapan, lalu menoleh kearahku
Pov Hella."Tahanan ini benar-benar keterlaluan, dia membunuh Ibunya sendiri saat datang berkunjung menemuinya." ujar petugas gendut sambil melirik kearahku sorotnya memancarkan ketidak percayaan."Ckckck ..." laki-laki berperawakan tinggi besar itu menatap lekat, menggelengkan kepalanya. Aku semakin menundukan wajah, takut tiba-tiba pukulan kembali menyerangku.Tubuh ini menggigil, luka memar terlihat disekujur tubuh. Rasanya sakit dan menyiksa sekali."Teman satu selnya pun ikut dihajar, aku rasa dia mengalami gangguan jiwa." Mataku mendelik, tak terima dengan kata-kata sipir jelek itu."Bawa dia masuk kembali, tempatkan dia diruangan 355 a. Jangan disatukan dengan yang lain, saya mencuim gelagat mengerikan dari tatapan matanya," ucap komandan Polisi."Siap, Dan!" sahut dua petugas sambil menegakkan badan."Cepat!" tubuh ini diseret paksa. Aku hanya bisa menurut, menyeret kaki mengikutinya.Dug!Rasa nyeuri menerjang lutut dan telapak tangan, saat tubuhku didorong masuk oleh petugas
"Istri saya sakit apa, Dok?" tanyaku setelah Dokter Murni memeriksa keadaan Diana."Sepertinya hanya terlalu lelah," jawab Dokter Murni sambil tersenyum tipis pada Diana."Jangan terlalu capek dan banyak pikiran. Bebaskan saja, jangan di pendam nanti tambah sakit," sambungnya sambil mengusap tangan Diana."Iya, Dok. Trimakasih," jawab Diana."Saya hanya meresepkan beberapa vitamin, sama obat pusing ya. Untuk berjaga-jaga, khawatir kepala Nyonya Diana ikut pusing juga karna terlalu banyak berpikir," ucap Dokter Murni sambil terkekeh pelan. Diana tersenyum menanggapinya."Saya permisi, jangan lupa diminum vitaminnya." ucapnya sambil mengemasi alat-alat ke Dokteran yang tadi dia keluarkan."Iya, Dok. Trimakasih ya," sahutku lalu mengekorinya jalan keluar kamar."Kamu tidak apa-apa, Mih?" tanyaku sambil mengusap pucuk kepalanya dengan lembut."Tidak, apa. Aku hanya butuh istirahat saja," jawab Diana."Kamu lagi banyak pikiran ya? Mikirin apa sih?" cecarku berpura bodoh. Padahal aku tahu b
"Mati saja kau, Buk. Hidup pun tak berguna, hanya bisa menyusahkan anak-anakmu saja!" bisikku tepat ditelinganya. Wajah Ibu terlihat membiru, dengan lidah menjulur dan suara nafas yang tercekat ditenggorokan.Aku semakin bersemangat, bibir melengkung sempurna saat melihat Ibu menghadapi sarakatulmaut."Mati, kamu Buk. Mati!" desisku dengan suara tertekan."Hei ... mau apa kamu!" suara sumbang mengganggu kesenanganku. Tangan lemah Ibu terus memukul tangan ini, dan meminta pertolongan. Aku semakin kalap saat beberapa orang mulai mendekat, cengkraman tangan dileher Ibu semakin aku tekan.Dia harus lenyap, aku tak ingin hidup menderita sendirian.Tubuh Ibu mulai lemas, tangannya terkuai tidak lagi melakukan perlawanan.Kedua tanganku ditarik paksa, seruan dari suara sumbang terus saja mengusik pendengaranku."Hei, sudah gila kamu ya!" hadrik suara seseorang."Lepas!""Pak, tolong ...."Plakk plakk!!Rasa panas langsung menjalar dipipiku, setelah memastikan Ibu tak lagi bergerak aku baru m
"Mas ...."Langkah Mas Mahesa terhenti mendengar panggilanku.Mamah menatap jengah, Diana menampilkan wajah datar berpura tak melihat kehadiranku.Sombong sekali, perempuan tua itu. Merasa menang dariku? Tak tahu malu.Mas Mahesa mengangguk kecil pada dua perempuan busuk itu, Mamah menatap khawatir, tapi akhirnya pergi juga bersama Diana."Ada apa?" tanyanya datar, tanpa melihat wajahku. Tangannya sibuk merapihkan dasi yang menjerat dilehernya."Aku ..." mata ini memanas, melihat perubahannya. Mas Mahesa melirik sekilas, menghela nafas panjang."Katakanlah, aku tidak punya banyak waktu. Mamah dan istriku sudah menunggu diluar," ucapnya sambil menatap lurus kearah pintu, dimana berdiri Mamah Hana juga Diana."Aku juga istrimu ..," sahutku dengan suara parau. Mas Mahesa terkekeh, lalu menatapku tajam."Istriku?" tanyanya dengan tatapan mengejek. "Oh ya ... kau benar. Aku belum mengucap talak untukmu," sambungnya dengan senyum tipis."Mas ..." selaku dengan wajah memelas."Aku minta maaf
ByurrrLimpahan air menerjang wajah, aku tergelagap dengan nafas terengah-engah."Hm ... saya bilang apa? Dia terlalu manja, dikit-dikit pingsan!" cibir seorang petugas wanita sambil berkacang pinggang.Dengan kasar, aku menyeka sisa air yang menempel diwajah. Hatiku pilu diperlakukan serendah ini."Bersihin sisa airnya! Jangan manja. Atau saya pindahkan ketahanan yang penghuninya sapleng semua." ketusnya dengan senyum miring menyerigai.Tubuhku benar-benar lemas, mata berkunang saat mencoba bangkit dari atas lantai."Cepeeet. Lelet banget!" Petugas bermana Mira itu menarik kasar, lalu mendorong keras tubuhku hingga mendarat kencang disudut tembok."Lelet!!" cebiknya sembul meninggalkan ruang tahananku."Dia emang terkenal brutal. Ga punya perasaan. Kalau dia lagi kontrol, jangan sesekali memasang wajah sakit. Dia ga suka," jelas Ira tanpa aku minta.Aku hanya diam, mata memanas menahan bulir air mata."Sana ganti baju, nanti masuk angin." titahnya, sok perhatian.Aku mengangguk pelan
Pov Diana.Suara bel rumah mengusik ketenanganku dengan Mas Mahesa. Aku segera beranjak dari sofa berjalan untu membuka pintu utama."Mah ..." Aku tersenyum tipis saat melihat kedatangan Mamah Hana."Kurang ajar sekali perempuan liar itu, bukti sudah di depan mata. Masih saja berkelit-kelit," gerutunya sambil berjalan melewatiku. Aku yang mengerti maksud ucapannya, hanya bisa mengekori dari belakang."Nasib Mamah buruk sekali bisa bertemu dengan orang seperti itu, Di." Keluhnya sambil menjatuhkan tubuh diatas sofa."Gimana, Mah. Sidangnya?" tanya Mas Mahesa sambil melipat koran yang tadi dia baca, lalu menaruhnya dibawah meja."Nyebelin!" sembur Mamah. "Ngeles saja kaya belut. Kesel banget Mamah," gerutunya."Ngeles gimana, Mah?" tanyaku penasaran."Dia masih tidak mau ngaku. Padahal ada saksi mata, Dokter yang kemarin itu, dia sudah meluangkan waktu untuk datang di persidangan pagi tadi." jawab Mamah panjang lebar.Mas Mahesa menyimak dengan antusias, sesekali dia mimijat pelipisnya.