Home / Romansa / Gus Mantan / Chapter 1 - Chapter 10

All Chapters of Gus Mantan: Chapter 1 - Chapter 10

50 Chapters

Bagian 1

Bahagia tak terkira rasanya, bisa menghabiskan waktu dengannya. Setelah sekian tahun terpisah, akhirnya hari ini aku bisa memandang, menggandeng, mengelus bahkan memeluknya. Kurasakan bibirku tersenyum sambil memandanginya yang lahap menikmati ayam goreng krispi dengan sesekali meminum colanya."Mah, aku pengin dikhitan sebelum hari ulang tahunku," kata Nabhan tiba-tiba."Nabhan sudah berani?" tanyaku. Ia mengangguk sambil masih menekuri nasi dan ayam gorengnya."Tapi, Papah bilang belum punya uang," katanya lagi sambil manyun."Ya sudah, Nabhan khitan di rumah Mamah saja." Nabhan menghentikan aktivitasnya, lalu memandangku nelangsa."Papah nanti marah-marah lagi sama Mamah. Nabhan e
Read more

Bagian 2

Rasa sakit yang kurasakan kali ini melebihi apa yang kurasakan tujuh tahun lalu. Saat itu, hatiku sakit karena harus berpisah dengan Nabhan yang baru berusia empat tahun, tetapi di sudut lain hatiku ada dendam membara yang menyulut semangat hidupku. Tekadku saat itu hanya satu, aku harus menjadi kaya supaya tidak lagi dihina dan bisa membawa Nabhan kembali dalam pelukanku. Namun kenyataan tak sejalan dengan anganku.Hari ini, aku merasa benar-benar kalah. Kekayaan yang kumiliki saat ini tetap tidak bisa membawa anakku kembali, bahkan sekedar untuk kukhitankan. Aku bisa saja memaksakan kehendak, tetapi hal itu akan lebih dalam menyakiti Nabhan.Dadaku semakin terasa sakit. Mataku terasa menyipit dan perih. Aku lelah secara Lahir maupun batin. Tanpa kusadari, aku jatuh tertidur.***
Read more

Bagian 3

Hari ini, aku berencana menghabiskan  waktuku untuk membersamai Nabhan. Setelah pamit untuk mandi dan berganti pakaian di hotel, aku kembali ke pesantren. Rasanya bahagia bisa menebus hari-hari yang telah dilewati Nabhan tanpa diriku meskipun hanya dalam beberapa hari kedepan, yang itu pasti jauh dari hitungan jumlah hari yang telah ia lewati hanya dengan Papahnya. Setidaknya aku ingin dia tahu, betapa aku sangat mencintai dan menyayanginya. Selama beberapa hari kedepan aku hanya ingin fokus padanya. Melupakan dulu masalahku dengan Mas Bagas. Aku tersenyum getir mengingat nama Mas Bagas. Laki-laki yang mati-matian kuperjuangkan selama hampir satu tahun supaya tetap bersamaku. Meskipun sebenarnya aku sudah cukup lelah menghadapi sifatnya yang sangat susah ditebak, moody, dan sangat posesif. Besarnya harapanku untuk segera memiliki
Read more

Bagian 4

Setelah percakapan di telpon empat hari lalu, yang berakhir dengan diputuskannya hubungan kami secara sepihak, Mas Bagas belum menjawab pesan-pesan WA-ku maupun menerima panggilanku. Panggilan telponku selalu di-reject. Namun, kesibukanku di kantor membuatku sedikit abai memikirkan masalahku dengan Mas Bagas.Aku baru saja hendak masuk ruanganku setelah makan siang di kantin. Nuri - salah satu staf subbag Tekmas dan Sosialisasi - telah menunggu di depan pintu ruanganku."Bu, ada dispo surat undangan untuk Ibu." Nuri menyerahkan dua lembar kertas yang telah disatukan dengan lembar disposisi beserta map putih yang ada di tangannya. Nuri membantuku membuka pintu setelah kertas-kertas yang dipegangnya berpindah ke tanganku.Aku mempersilahkannya duduk di sofa, sementara aku m
Read more

Bagian 5

Jantungku berdegup lebih kencang ketika mataku menangkap sebuah tulisan nama dokter praktek spesialis anak, dokter Khoirun Nisa Tijani.Dokter Khoirun Nisa Tijani adalah perempuan yang telah membuat Gus Sami patah hati waktu itu. Dokter Nisa meninggalkannya dan memilih laki-laki lain karena ia merasa tidak akan mampu hidup di lingkungan pesantren dengan tuntutan dan tanggung jawab besar.Seperti itulah cerita Gus Sami padaku waktu itu.Saat patah hati itu, kami dipertemukan oleh Eyin, salah seorang sepupunya yang kebetulan teman baikku di kampus. Seminggu setelah perkenalan kami, Gus Sami melamarku. Tanpa berpikir panjang, tanpa berusaha mengenal keluarganya terlebih dahulu, tanpa memastikan apakah orang tuanya bisa menerimaku, aku putuskan untuk menerima lamarannya itu. Saat itu aku hanya berpikir untuk mengurangi beban Pakde-ku.
Read more

Bagian 6

Mendadak mobil berhenti. Gus Sami memutar paksa badanku mengarahkan pandanganku padanya. Ia melotot ke arahku. Namun aku sudah tak peduli sebesar apapun kemarahannya atas ucapanku.Ia menatapku cukup lama. Entah apa yang dicari di manik mataku. Perlahan cengkeraman di pundakku mengendur, ia menghembuskan nafas kasar. Ia kemudian kembali menatap ke depan dan mengemudikan mobilnya.Tidak ada pembicaraan selama perjalanan kami. Sampai saat mobil berhenti di depan sebuah warung steak. Astaghfirullah. Ya Allah. Mengapa harus ke sini? Niat apa sih, Gus? Aku membeku di tempatku."Di sini biasa buka sampai jam dua belas," katanya sambil menarik tuas handrem."Wah, tumben ngajak
Read more

Bagian 7

Aku berdiri hendak menggebrak meja, tidak terima dengan kata-katanya. Beruntung aku masih bisa menguasai diri. Kupejamkan mataku lama, rasanya tak ingin kubuka supaya tak merasakan lagi perih.Oh Tuhan. Baru saja semua berjalan indah, kini semuanya kembali lagi seperti biasanya."Mah...." Suara memelas Nabhan memaksaku untuk kembali duduk."Maafkan Mamah, Sayang.""Baiklah. Gus Nabhan boleh menerimanya dengan syarat tidak boleh dipakai main game." Gus Sami akhirnya mengalah."Terimakasih, Pah." Mata Nabhan kembali berbinar.Aku menghabiskan es krim-ku seperti orang kesetanan. Itulah car
Read more

Bagian 8

"Kamu di Jogja sampai kapan?" tanya Sakta di ujung sana."Ini sudah bersiap untuk pulang," jawabku. Aku melambaikan tangan pada beberapa teman yang berderap mulai meninggalkan lobi hotel."Bareng aku aja, tunggu ya." Tanpa basa basi ia telah memutuskan percakapan kami. Ia hanya tanya kapan pulang, lalu bilang tunggu tanpa menanyakan yang lain. Seolah tahu aku sekarang sedang di mana. Kebiasaan, gerutuku.Sepersekian detik kemudian aku tersenyum sendiri mengingat jika medsos sekarang bisa bikin orang-orang tiba-tiba seolah menjadi cenayang, contohnya Sakta. Aku yakin ia memperkirakan aku sekarang di mana dari hasil stalking medsosku. Mengingat soal medsos membuat dadaku sesak. Gara-gara seorang teman upload foto kegiatan kami dengan men-tag akunku membuat istri Ma
Read more

Bagian 9

"Cukup, Na. Cukup!" Sakta menghentikan tanganku yang hendak kembali menyendok sambal."Aku sebal banget. Bisa-bisanya dia datang ke kantor hanya buat ngata-ngatain aku. Nggak ada sopan-sopannya." Aku menghempaskan punggungku ke sandaran sofa dengan kasar. Beruntung sofa yang kududuki lumayan empuk. Napasku tersengal menahan marah, rasanya sudah sampai ubun-ubun. "Kepalamu udah panas, Sup-nya juga panas ditambah sambal pedas, asam lambungmu bisa langsung naik."Sakta memandangku teduh, "Sabar, Na. Sabar. Mungkin saja dia melakukan semua itu karena sangat mencintai suaminya. Dia takut kehilangan suaminya. Bukankah kemarin kamu cerita kalau perkawinan mereka masih belum dikaruniai keturunan meskipun sudah lebih dari sepuluh tahun menikah?" Ucapan Sakta sedikit menurunkan tensi kemarahanku. Aku meneguk es jerukku sampai ha
Read more

Bagian 10

Hujan yang turun sejak siang tadi cukup membuat malamku dingin sampai menusuk ke tulang. Beruntung tadi aku menolak Mas Riko untuk bertemu sehingga aku bisa bersembunyi di balik selimut tebalku yang nyaman sejak pulang dari kantor. Menikmati Drama Korea melalui Televisi smart di kamar cukup mengusir sepiku. Aku hanya turun dari tempat tidur saat Sholat Maghrib dan Isya.Perutku tiba-tiba berbunyi, pertanda minta diisi. Kuraih ponselku, berniat memesan makanan secara online. Tapi kuurungkan saat kulihat jam ponselku menunjukkan pukul sepuluh malam. Sudah cukup malam untuk menemukan driver yang bisa mengantar makanan ke rumahku.Akhirnya aku turun dari tempat tidur menuju ruang tengah. Membuka kulkas dan hanya menemukan mie tiaw dan telor. Kupikir mie tiaw telor kuah pedas cukup mengenyangkan dan menghangatkan. Segera aku eksekusi bahan-bahan yang ada. Tidak butuh waktu lama untuk mendapatkan mie tiaw yang menggoda selera.Aku menghidu semangkuk
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status