Hari ini, aku berencana menghabiskan waktuku untuk membersamai Nabhan. Setelah pamit untuk mandi dan berganti pakaian di hotel, aku kembali ke pesantren. Rasanya bahagia bisa menebus hari-hari yang telah dilewati Nabhan tanpa diriku meskipun hanya dalam beberapa hari kedepan, yang itu pasti jauh dari hitungan jumlah hari yang telah ia lewati hanya dengan Papahnya. Setidaknya aku ingin dia tahu, betapa aku sangat mencintai dan menyayanginya.
Selama beberapa hari kedepan aku hanya ingin fokus padanya. Melupakan dulu masalahku dengan Mas Bagas.
Aku tersenyum getir mengingat nama Mas Bagas. Laki-laki yang mati-matian kuperjuangkan selama hampir satu tahun supaya tetap bersamaku. Meskipun sebenarnya aku sudah cukup lelah menghadapi sifatnya yang sangat susah ditebak, moody, dan sangat posesif. Besarnya harapanku untuk segera memiliki imam supaya hatiku menjadi lebih tenang itulah yang menyebabkan aku bertahan sampai hampir satu tahun. Akhirnya bernasib sama dengan hubunganku dengan beberapa lelaki lain sebelum dirinya, diputuskan. Tapi ini adalah tragedi putus yang paling tragis, diputuskan hanya melalui gelombang elektromagnetik yang invisible.
Beberapa waktu setelah bercerai, aku mencoba move on dengan mulai membuka diri dengan laki-laki tentunya yang free. Bahkan aku yang dulunya introvert sedikit demi sedikit mulai menjadi extrovert.
Banyak orang yang bilang jika aku cantik, cerdas dan enak diajak bicara, meskipun aku sendiri tidak yakin dengan semua itu. Mungkin karena itulah banyak laki-laki yang berusaha mendekatiku meskipun aku berstatus janda. Tapi entah sudah berapa kali aku berusaha berkomitmen dengan laki-laki setelah bercerai, semuanya berakhir dengan kata putus.
Aku menggelengkan kepala kuat-kuat. Berusaha mengusir pikiran-pikiran aneh yang mulai menggelitik otakku. Apakah menjauhnya semua laki-laki yang menjalin hubungan denganku ada hubungannya dengan Gus Sami yang sampai saat ini belum menikah lagi?
Tiba-tiba aku dikejutkan suara berat Gus Sami yang sudah berada di belakangku. Aku bahkan tidak menyadari kapan dia masuk ke kamar Nabhan.
"Aku tadi beli gudeg di lingkar Utara, makanlah," katanya. Dia mulai menata makanan khas kotanya itu di meja kecil yang berada di pojok kamar.
"Kamu pasti tadi tidak sempat sarapan." Dia benar, aku memang tidak sempat sarapan. Setelah sampai hotel tadi aku segera mandi karena badanku sudah terasa sangat lengket, dan setelah mandi tergesa kembali ke pesantren karena takut Nabhan sudah teebangun sementara aku tidak ada di sampingnya.
"Masih suka gudeg 'kan?" tanyanya. Dia kali ini menatapku lebih lembut. Aku hanya mengangguk mengiyakan.
Rasanya ada banyak kupu-kupu berterbangan di sekitarku melihat bagaimana dia memberikan perhatian padaku. Aku tersenyum sendiri, seakan mencibir diriku sendiri. Bisa-bisanya aku Ge Er hanya karena dia membelikanku Gudeg kesukaanku di tempat yang dulu menjadi langganan kami. Wajar saja dia memberiku sarapan, karena saat ini aku adalah tamunya.
Aku menggeleng sambil mengulum senyum karena merasa begitu naif.
"Ada apa?" Lagi-lagi aku dikejutkan olehnya. Wajahnya serius memandangku.
"Enggak apa-apa. Senang saja melihat Nabhan tidur pulas, padahal semalam kesakitan," jawabku berbohong.
***
Usai shalat Ashar, Nabhan kusibin dengan air hangat supaya tubuhnya lebih segar. Sementara Gus Sami mempersiapkan baju ganti untuk Nabhan."Rupanya masih ada Mamahnya Gus Nabhan. Tumben masih betah di sini." Tiba-tiba sebuah suara memaksaku memalingkan muka ke arah pemilik suara itu. Begitu juga dengan Gus Sami.
"Ning Balqis?" Sapaku dengan nada tanya. Ia menatapku sinis.
"Kamu ngapain, Gus?" kalimat Ning Balqis kini di arahkan pada Gus Sami.
Gus Sami hanya mengedikkan dagunya ke arah tumpukan baju ganti untuk Nabhan.
"Sekali-kali biar Mamahnya yang merawat Gus Nabhan. Selama ini dia udah enak-enakan, enggak mau tahu soal anaknya. Mencari kebahagiaannya sendiri tanpa peduli anaknya bahagia apa enggak, mantan suaminya repot apa enggak."
Rasanya ingin sekali kulemparkan waslap basah ini ke mukanya. Tahu apa dia dengan hidupku, seenaknya saja menghakimi. Statusnya memang Ning, tapi mulutnya tajam dan sikapnya seperti barbar. Aku merasa dia menumpahkan kekesalan hatinya karena selama tujuh tahun usahanya menaklukkan hati Gus Sami masih belum berhasil.
Berkali-kali kutarik nafas dalam untuk menenangkan perasaanku. Sementara Nabhan hanya memandangku dan memandang Papahnya bergantian. Aku berusaha menyunggingkan senyum dan mengedipkan mata padanya sebagai isyarat bahwa aku baik-baik saja dan abaikan ucapan Ning Balqis. Nabhan menahan senyumnya.
Aku yang bergeming dengan ocehannya semakin membuatnya marah.
"Sepertinya dia mau balikan, Gus. Tumben banget dia betah di sini,"
Apa katanya, balikan? Bikin auto ngakak aja.
Aku menahan senyuman, begitu juga dengan Nabhan. Aku mulai memakaikan bajunya, lalu membaringkannya kembali. Menata letak kakinya supaya lebih nyaman.
"Dia pasti susah cari suami baru, apalagi statusnya sudah janda. Makanya mau balikan sama mantan ...."
"Sudah, Ning. Cukup!" bentak Gus Sami.
Ning Balqis benar, aku memang susah cari suami baru. Entah sudah
berapa kali aku menjalin hubungan dengan laki-laki setelah perceraianku dengan Gus Sami, yang semuanya berakhir dengan perpisahan di saat kami sudah bersepakat untuk menikah. Aku tak tahu kenapa bisa seperti itu."Aku enggak mau mendengar kamu menjelek-jelekkan ibu dari anakku. Apalagi di depan anakku." Gus Sami melanjutkan kalimatnya.
"Sampai kapanpun, Richa adalah Mamahnya Nabhan. Tak ada yang akan menggantikannya." Kalimat Gus Sami seperti skak mat untuk Ning Balqis. Dia lalu keluar kamar dengan kaki menghentak-hentak dan menggumam tidak jelas.
Aku tersenyum bahagia karena Gus Sami masih membelaku meskipun ia sering bersikap dingin. Tetapi senyumanku tak berlangsung lama, saat kutemukan wajah datar Gus Sami. Aku merutuki diri sendiri.
***
Setelah percakapan di telpon empat hari lalu, yang berakhir dengan diputuskannya hubungan kami secara sepihak, Mas Bagas belum menjawab pesan-pesan WA-ku maupun menerima panggilanku. Panggilan telponku selalu di-reject.Namun, kesibukanku di kantor membuatku sedikit abai memikirkan masalahku dengan Mas Bagas.Aku baru saja hendak masuk ruanganku setelah makan siang di kantin. Nuri - salah satu staf subbag Tekmas dan Sosialisasi - telah menunggu di depan pintu ruanganku."Bu, ada dispo surat undangan untuk Ibu." Nuri menyerahkan dua lembar kertas yang telah disatukan dengan lembar disposisi beserta map putih yang ada di tangannya. Nuri membantuku membuka pintu setelah kertas-kertas yang dipegangnya berpindah ke tanganku.Aku mempersilahkannya duduk di sofa, sementara aku m
Jantungku berdegup lebih kencang ketika mataku menangkap sebuah tulisan nama dokter praktek spesialis anak, dokter Khoirun Nisa Tijani.Dokter Khoirun Nisa Tijani adalah perempuan yang telah membuat Gus Sami patah hati waktu itu. Dokter Nisa meninggalkannya dan memilih laki-laki lain karena ia merasa tidak akan mampu hidup di lingkungan pesantren dengan tuntutan dan tanggung jawab besar.Seperti itulah cerita Gus Sami padaku waktu itu.Saat patah hati itu, kami dipertemukan oleh Eyin, salah seorang sepupunya yang kebetulan teman baikku di kampus. Seminggu setelah perkenalan kami, Gus Sami melamarku. Tanpa berpikir panjang, tanpa berusaha mengenal keluarganya terlebih dahulu, tanpa memastikan apakah orang tuanya bisa menerimaku, aku putuskan untuk menerima lamarannya itu. Saat itu aku hanya berpikir untuk mengurangi beban Pakde-ku.
Mendadak mobil berhenti. Gus Sami memutar paksa badanku mengarahkan pandanganku padanya. Ia melotot ke arahku. Namun aku sudahtak peduli sebesar apapun kemarahannya atas ucapanku.Ia menatapku cukup lama. Entah apa yang dicari di manik mataku. Perlahan cengkeraman di pundakku mengendur, ia menghembuskan nafas kasar. Ia kemudian kembali menatap ke depan dan mengemudikan mobilnya.Tidak ada pembicaraan selama perjalanan kami. Sampai saat mobil berhenti di depan sebuah warung steak.Astaghfirullah. YaAllah. Mengapa harus ke sini? Niat apa sih, Gus?Aku membeku di tempatku."Di sini biasa buka sampai jam dua belas," katanya sambil menarik tuas handrem."Wah, tumben ngajak
Aku berdiri hendak menggebrak meja, tidak terima dengan kata-katanya. Beruntung aku masih bisa menguasai diri. Kupejamkan mataku lama, rasanya tak ingin kubuka supaya tak merasakan lagi perih.Oh Tuhan. Baru saja semua berjalan indah, kini semuanya kembali lagi seperti biasanya."Mah...." Suara memelas Nabhan memaksaku untuk kembali duduk."Maafkan Mamah, Sayang.""Baiklah. Gus Nabhan boleh menerimanya dengan syarat tidak boleh dipakai main game." Gus Sami akhirnya mengalah."Terimakasih, Pah." Mata Nabhan kembali berbinar.Aku menghabiskan es krim-ku seperti orang kesetanan. Itulah car
"Kamu di Jogja sampai kapan?" tanya Sakta di ujung sana."Ini sudah bersiap untuk pulang," jawabku. Aku melambaikan tangan pada beberapa teman yang berderap mulai meninggalkan lobi hotel."Bareng aku aja, tunggu ya." Tanpa basa basi ia telah memutuskan percakapan kami. Ia hanya tanya kapan pulang, lalu bilang tunggu tanpa menanyakan yang lain. Seolah tahu aku sekarang sedang di mana. Kebiasaan, gerutuku.Sepersekian detik kemudian aku tersenyum sendiri mengingat jika medsos sekarang bisa bikin orang-orang tiba-tiba seolah menjadi cenayang, contohnya Sakta. Aku yakin ia memperkirakan aku sekarang di mana dari hasil stalking medsosku. Mengingat soal medsos membuat dadaku sesak. Gara-gara seorang teman upload foto kegiatan kami dengan men-tag akunku membuat istri Ma
"Cukup, Na. Cukup!" Sakta menghentikan tanganku yang hendak kembali menyendok sambal."Aku sebal banget. Bisa-bisanya dia datang ke kantor hanya buat ngata-ngatain aku. Nggak ada sopan-sopannya." Aku menghempaskan punggungku ke sandaran sofa dengan kasar. Beruntung sofa yang kududuki lumayan empuk. Napasku tersengal menahan marah, rasanya sudah sampai ubun-ubun. "Kepalamu udah panas, Sup-nya juga panas ditambah sambal pedas, asam lambungmu bisa langsung naik."Sakta memandangku teduh, "Sabar, Na. Sabar. Mungkin saja dia melakukan semua itu karena sangat mencintai suaminya. Dia takut kehilangan suaminya. Bukankah kemarin kamu cerita kalau perkawinan mereka masih belum dikaruniai keturunan meskipun sudah lebih dari sepuluh tahun menikah?" Ucapan Sakta sedikit menurunkan tensi kemarahanku. Aku meneguk es jerukku sampai ha
Hujan yang turun sejak siang tadi cukup membuat malamku dingin sampai menusuk ke tulang. Beruntung tadi aku menolak Mas Riko untuk bertemu sehingga aku bisa bersembunyi di balik selimut tebalku yang nyaman sejak pulang dari kantor. Menikmati Drama Korea melalui Televisi smart di kamar cukup mengusir sepiku. Aku hanya turun dari tempat tidur saat Sholat Maghrib dan Isya.Perutku tiba-tiba berbunyi, pertanda minta diisi. Kuraih ponselku, berniat memesan makanan secara online. Tapi kuurungkan saat kulihat jam ponselku menunjukkan pukul sepuluh malam. Sudah cukup malam untuk menemukandriveryang bisa mengantar makanan ke rumahku.Akhirnya aku turun dari tempat tidur menuju ruang tengah. Membuka kulkas dan hanya menemukan mie tiaw dan telor. Kupikir mie tiaw telor kuah pedas cukup mengenyangkan dan menghangatkan. Segera aku eksekusi bahan-bahan yang ada. Tidak butuh waktu lama untuk mendapatkan mie tiaw yang menggoda selera.Aku menghidu semangkuk
Aku masih mengecek hasil pekerjaan operatorku, mengeksekusi data ganda dan anomali saat pintu ruanganku dibuka dari luar. Kulihat kepala Mbak Reza muncul dari balik pintu."Sudah baca status medsos istrinya Mas Riko?" tanyanya. Aku menggeleng. "Udah lama aku nggak main medsos, malas." Mataku masih menekuri data-data di layar laptopku. "Sejak kapan Mbak Reza sukastalkingmedsos orang? Kayak nggak ada kerjaan aja," ujarku tanpa mengalihkan pandangan mataku.Mbak Reza memperlihatkan layar ponselnya yang menyala. Jari jempolnya mulai menggeser-geser tulisan pada akun medsos istri Mas Riko. Mau tidak mau mataku membelalak membaca tulisan-tulisan yang terpampang di sana 'Dasar Janda Gatal. Kucing garong. Pelakor!' dan entah tulisan apalagi yang malas untuk kubaca. "Hobi banget dia nge-tagkamu." Ia