Mendadak mobil berhenti. Gus Sami memutar paksa badanku mengarahkan pandanganku padanya. Ia melotot ke arahku. Namun aku sudah tak peduli sebesar apapun kemarahannya atas ucapanku.
Ia menatapku cukup lama. Entah apa yang dicari di manik mataku. Perlahan cengkeraman di pundakku mengendur, ia menghembuskan nafas kasar. Ia kemudian kembali menatap ke depan dan mengemudikan mobilnya.
Tidak ada pembicaraan selama perjalanan kami. Sampai saat mobil berhenti di depan sebuah warung steak. Astaghfirullah. Ya Allah. Mengapa harus ke sini? Niat apa sih, Gus? Aku membeku di tempatku.
"Di sini biasa buka sampai jam dua belas," katanya sambil menarik tuas handrem.
"Wah, tumben ngajak perempuan cantik. Biasanya sendirian aja, Bang?" sapa tukang parkir yang sepertinya sudah sangat mengenalnya.
"Ya, ini ada teman lama. Dia lagi ada acara di sini, jadi sekalian reunian."
Ini tidak sekedar reunian. Ini pembantaian hati, Gus!
"Ayo, Cha. Masih suka steak 'kan?"
"Ya," jawabku singkat. Padahal sejak perceraianku dengannya, hal-hal yang mengingatkanku pada kebersamaan kami selalu kuhindari, termasuk makan steak. Jadi selama tujuh tahun, aku tak pernah mau menyentuh steak karena makanan itu akan mengingatkanku pada pertemuan pertama kami, mengingatkan pada celebration yang sering kami buat waktu itu. Tapi malam ini aku tidak mungkin menolak makan di sini dengan alasan-alasan itu. Gus Sami pasti akan menertawaiku.
Dengan berat hati aku mengikuti langkah-langkah panjang Gus Sami.
"Tempat yang biasa kosong apa isi?" tanyanya pada seseorang yang berdiri di dekat meja order.
"Kosong."
Gus Sami menepuk pundak laki-laki itu, "Biasa, dua." Pelayan itu memberikan isyarat oke melalui tangannya. Gus Sami langsung meninggalkan laki-laki itu dan berjalan ke lantai dua.
"Enggak nulis pesanan dulu?"
"Mereka sudah hafal menu kesukaanku." Aku hanya bisa mengerutkan dahi. Apa itu maksud dari kalimatnya 'Biasa, dua'? Bagaimana dengan pesananku? Gus Sami selalu saja sesuka hatinya.
Gus Sami mengambil tempat duduk lesehan di ujung tembok sebelah kanan berdekatan dengan taman. Lagi, langkahku terhenti. Tempat duduk yang ia pilih adalah tempat pertama kali kami bertemu. Saksi bisu tertawannya hatiku pada senyuman dan wajah gantengnya. Ingin rasanya aku membalikkan tubuh dan berlari keluar. Lagi-lagi itu tidak mungkin kulakukan jika tidak ingin ditertawakan olehnya.
Aku menarik nafas panjang, dan mengeluarkannya perlahan melalui mulut. Tuhan, kuatkan hatiku. Aku mengambil tempat duduk di seberang mejanya.
Kembali hening. Gus Sami mulai sibuk dengan ponselnya. Kadang tersenyum sendiri, lalu mengetikkan sesuatu di layar ponselnya. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, sudah tidak banyak pengunjung. Hanya beberapa pasangan muda mudi yang masih asyik bercengkrama. Aku kembali memperhatikan Gus Sami, ia masih sibuk dengan ponselnya.
Beruntung seorang pelayan segera datang dengan membawa dua botol soda plain dan dua gelas berisi es batu, susu putih, dan sirup. Tidak berapa lama, seorang pelayan lagi datang dengan membawa dua hot plate steak dan dua porsi nasi putih.
"Silahkan dinikmati."
"Ada yang bisa kami bantu," tanya salah satu pelayan."Sementara cukup. Terimakasih, Mbak," ucap Gus Sami sopan dengan senyum manis menghias bibirnya.
Gus Sami masih mengingat betul makanan kesukaanku waktu itu. Sekian detik ia membuat hatiku jumpalitan tidak karuan. Masihkah ia mencintaiku sampai terus mengingat makanan kesukaanku.
"Masih suka steak 'kan?" Ia mengulangi lagi pertanyaannya. Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Aku tiba-tiba merasa sangat kikuk.
"Kenapa tidak disentuh?" tanyanya lagi.
"Sejak kapan Guse makan steak dengan nasi putih?" tanyaku sedikit heran. Karena ia dulu tidak pernah mau makan steak dengan nasi putih. Menurutnya itu akan menghilangkan citarasa steaknya.
"Sejak kamu pergi dari hidupku. Aku selalu mengenangmu dengan semua ini." Ia menarik nafas dalam.
"Steak dengan nasi putih yang rasanya jadi aneh, seperti makan nasi rendang. Soda gembira yang membuatku bersendawa dan menimbulkan rasa aneh di tenggorokan. Semua itu bisa membuatku merasakan kehadiranmu di sini."
Aku baru mengerti, mengapa tukang parkir itu sangat mengenalnya, pelayan di bawah tadi hafal menu yang biasa dipesan. "Guse sering ke sini?" Ia mengangguk. "Duduk di sini?" Ia kembali mengangguk. Entah aku harus bahagia atau bersedih, yang kutahu itu bukan sifat Gus Sami.
"Gus, cerita kita sudah berakhir. Kamu harus memulai cerita baru."
"Ah sudahlah. Kamu tidak akan mengerti." Ia mengambil garpu dan pisau kecil. Satu set diserahkan padaku, dan satu set untuknya. Ia mulai membuka tisu yang membungkus garpu dan pisua di tangannya.
"Sebelas tahun yang lalu ada perempuan cantik yang bilang padaku, sebelum makan basahi dulu tenggorokanmu dengan minuman." Ia kemudian meraih botol soda dan gelas yang berisi es batu, susu, dan sirup. Setelah menuang setengah isi botol soda dalam gelas, ia meneguknya lalu memulai makan steaknya. Aku hanya bisa menelan ludah. Mengingat perempuan cantik yang dimaksud adalah diriku yang waktu itu baru berkenalan dengannya.
***
Aku baru saja menyelesaikan bacaan Ratibul Haddad saat kudengar suara ketukan pintu. Aku melipat mukena, memakai jilbab, lalu membuka pintu.Gus Sami langsung masuk kamar dengan membawa air panas dalam baskom besar.
Ia meletakkan baskom itu di dekat tempat tiidur. Ia memandangi Nabhan yang masih tertidur pulas. "Kran air panasnya rusak, baru hari ini akan diperbaiki. Kamu mandi di kamarku saja."Jadi sekarang Gus Sami tidak tidur di kamar ini? Saat Nabhan dikhitan, semalaman ia menemani kami di kamar ini meskipun ia duduk di sofa itu. Kupikir semalam ia tidak tidur di sini karena ada aku. Ternyata kamar ini sekarang hanya ditempati Nabhan. Aku baru dua kali menginap di sini, saat Nabhan khitan dan malam ini. Biasanya aku yang membawa Nabhan menginap di hotel. Apakah kenangan kamar ini terlalu menyiksanya? Ataukah ...? Ah, sudahlah. Aku tidak perlu memusingkannya.
"Aku nanti mandi di hotel saja. Aku juga tidak bawa baju ganti."
"Sarapan di sini ya. Tadi aku sudah minta tolong Kang santri belikan Gudeg langgananmu dulu." Aku hanya memandangi Gus Sami tanpa bisa berkata-kata. Sepertinya ia mulai ingin mengikat kembali hatiku.
Sudah tidak mungkin kami bersama kembali. Aku tak mau mengulang rasa sakit itu meskipun Umi terlihat telah berubah di dua kali pertemuanku dengannya. Aku mengusap mukaku, berharap pikiran-pikiran aneh yang mulai hinggap di otakku menghilang. Kulihat Nabhan mengulet, "Mah," panggilnya.
"Ya, Sayang. Mamah di sini. Kamu sibin dulu ya. Ini airnya udah disiapin Papah, nanti keburu dingin." Gus Sami memberiku waslap. Lalu dengan cekatan ia mengambil sabun cair dalam botol dan menyiapkan baju ganti Nabhan.
"Nabhan masih ngantuk, Mah." Ia kembali mengulet.
"Nanti bobok lagi."
"Tapi ditemani Mamah."
"Sayang, Mamah harus kerja."
"Sini Papah lihat. Lukanya udah kering, belom? Kalau udah kering nanti boleh ikut antar Mamah ke hotel." Gus Sami langsung naik ke tempat tidur dan memeriksa luka Nabhan.
"Oke, Jagoan. Kamu boleh ikut mengantar Mamah." Mereka lalu melakukan tos. Rasanya perih melihat mereka tertawa bersama. Aku juga ingin tertawa bersama kalian, jerit batinku.
Usai sibin, aku mengganti baju Nabhan. Sebuah sapaan lembut membuat kami menoleh bersama, "Pagi, Ganteng," sapa dokter Nisa yang sudah rapi dengan jas kebanggaannya.
"Ganteng yang dimaksud, siapa nih? Ganteng yang besar pastinya 'kan?" sahut Gus Sami.
Ganjen banget, sih! Eit, kenapa aku jadi julid? Suka-suka mereka 'kan. Lagian, aku tuh siapa? Pacar bukan, istri juga bukan.
"Assalamualaikum, gitu Dok," protes Nabhan. Aku hanya mengulum senyum.
"Ah, skak mat, Dokter." Gus Sami tertawa riang. Kembali aku terbawa perasaan melihat Gus Sami yang selalu bisa tertawa lepas di depan dokter Nisa. Ada rasa sakit menyeruak. Aku masih sangat mengingatnya, terakhir kali Gus Sami bisa tertawa bahagia di depanku adalah saat-saat awal kehadiran Nabhan. Setelah itu yang ada hanya pertengkaran dan perselisihan. Lalu Gus Sami berubah dingin, egois, dan arogan.
"Wah, ada dokter Nisa juga?" Tiba-tiba Umi sudah berada di pintu kamar. Dokter Nisa menghampiri Umi lalu diciumnya tangan Umi.
"Ya, Umi. Sebelum ke Puskesmas, aku mau memastikan luka Gus Nabhan membaik."
"Alhamdulillah, lukanya sudah mengering. Dan Ia sudah enggak sabar mau mengantar Mamahnya ke hotel."
"Ohya? Yang enggak sabar Gus Nabhan apa Papahnya," ledek dokter Nisa.
"Anggap aja dua-duanya." Mereka pun kembali terkekeh bersama. Aku menjadi bingung menempatkan diri.
Umi pun ikut tersenyum, lalu katanya "Kita sarapan dulu saja. Tadi Kang santri sudah membelikan Gudeg langganan Ning Richa." Semua mengikuti langkah Umi keluar kamar. Gus Sami menuntun Nabhan. Dan aku berjalan paling belakang.
Dokter Nisa menoleh ke arahku, "Sering-sering main ke Jogja biar bisa sering makan Gudeg asli Jogja."
"Kudus - Jogja jauh, Nis," sahut Gus Sami.
"Akhir pekan aja. Naik Patas aja lebih enak, bisa tidur sepanjang perjalanan. Nyaman dan tidak capek."
Kami baru saja sampai di ruang makan saat terdengar seorang perempuan mengucapkan salam.
"Eh, Ning Balqis. Ayo sarapan sekalian," sapa Umi.
"Sudah sarapan, Mi. Tadi saya masak semur kutuk. Ini saya bawakan juga buat Gus Nabhan. Biar lukanya cepat sembuh."
"Kamu apa santri yang masak," sambar Gus Sami. Perubahan ekspresi Gus Sami sangat jelas, terlihat tidak senang. Berbeda sekali dengan penerimaannya terhadap dokter
"Gus," tegur Umi.
Sementara Ning Balqis biasa saja, tidak terlihat raut tak suka dengan ucapan Gus Sami. Ia memandangku dan dokter Nisa secara bergantian, "Pagi-pagi sudah ramai sekali di sini. Dua janda menyapa seorang duda," ucap Ning Balqis sinis. Benar-benar perempuan ini tidak pantas dipanggil 'Ning'. Mulutnya seperti orang yang tidak pernah belajar adab.
"Umi, maaf. Sudah siang, Richa sarapan di hotel saja."
"Eh. Nisa juga, Mi. Nisa sarapan di kantin saja. Takut kesiangan."
"Lho. Ini gimana? Kok malah tidak jadi sarapan semua. Tunggu sebentar biar dibungkuskan sama Mbak santri," kata Umi sedikit panik. Ia lalu memanggil Mbak Dalem untuk menata makanan dalam kotak makan.
"Nisa nanti makan di kantin saja, Mi." Dokter Nisa pun bersalaman dengan Umi dan berpamitan. "Sering-sering jenguk Gus Nabhan, ya," bisiknya saat menyalamiku. Aku menatap kepergiannya dengan penuh tanda tanya. Sementara Gus Sami juga tiba-tiba sudah tidak berada diantara kami. Kini tinggal aku, Umi, Nabhan dan Ning Balqis.
"Kamu sarapan dulu, Ning. Gus Nabhan belum minum obat."
"Gus Nabhan nanti bisa sarapan sama saya, Mi. Obatnya biar nanti saya minumkan di sana," kataku sambil mengacungkan plastik kecil berisi obat yang tadi aku bawa dari kamar karena sudah berniat meminumkannya setelah sarapan. Tetapi kehadiran Ning Balqis membuatku malas untuk makan pagi bersama. Aku tidak suka mendengar ucapan-ucapannya yang seringkali tanpa saringan. Malah bisa-bisa nanti aku mati karena tersedak makanan.
Gus Sami kembali dengan membawa kunci mobil di tangannya. "Ayo, Cha. Nanti kamu terlambat mengikuti acaramu."
"Lho. Lho. Ini gimana? Siapa yang makan Gudeg sebanyak itu," tanya Umi dengan nada bingung.
"Umi makan sama Ning Balqis, lebihnya kasihkan santri. Beres 'kan?" jawab Gus Sami enteng. Ia lalu menggandeng Nabhan dan memberi isyarat padaku untuk segera pergi. Aku mencium tangan Umi dan berpamitan.
"Gus, kamu gimana sih!" ujar Ning Balqis kesal. Wajahnya merengut bahkan tidak mau kusalami. Dengan satu tangannya yang bebas, Gus Sami menarikku untuk segera meninggalkan ruangan itu.
***
Acara malam ini ditutup jam delapan malam, satu jam lebih awal dari jadwal. Semua kelompok kecil telah mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya sedangkan sesi tanggapan dan diskusi kelas dilanjutkan besok pagi.Kami semua keluar ruangan dengan riang. Ada yang berniat jalan-jalan ke Malioboro, ada ingin tidur lebih awal menikmati empuknya kasur hotel, ada yang janjian nongkrong di depan hotel, ada juga yang mau menghabiskan malam dengan karaoke di lobi hotel.
Mbak Tata tetap menarikku ke lobi hotel, meskipun berkali-kali aku mengatakan tidak bisa bernyanyi. "Ayolah, kamu punya suara bagus. Hanya tidak pernah kamu gunakan," rayunya.
"Aku enggak bisa nyanyi, Mbak. Aku juga mau bayar janji pada Nabhan."
"Halah, bilang aja kamu mau ketemu mantanmu yang ganteng tapi galak dan tak berpe ...."
"Cha." Mbak Tata menutup mulutnya dengan tangan saat mengetahui Gus Sami sudah menungguku di lobi.
"Halo. Nabhan, ya?" sapanya sok dekat, mengalihkan rasa kagetnya. Aku tersenyum melihat tingkahnya.
"Nabhan nagih es krim. Aku udah bilang kalau Mamah kerja sampai malam, tapi dia tetap saja merengek."
"Mamah 'kan udah janji. Kata Papah, janji itu hutang yang harus dibayar."
"Mamah ingat kok, Sayang."
Mbak Tata berjongkok mensejajarkan tinggi badannya dengan Nabhan. "Mamah baru aja mengajak tante Tata ke tempat Nabhan, tapi berhubung Nabhan udah di sini sama Papah, jadi tante enggak jadi ikut." Tawaku ingin meledak. Kapan aku mengajak Mbak Tata ketemu Nabhan? Bisa-bisanya dia mengarang cerita.
"Oke. Selamat menikmati malammu bersama Papah Mamah, Adik kecil." Mbak Tata berdiri dan menghampiriku. "Aku enggak mau tidurku diganggu suara ketukan di pintu kamar." Mbak Tata menoel pipiku sambil tersenyum sebelum meninggalkan kami.
Sepanjang perjalanan menuju kedai pusat es krim Nabhan tak henti hentinya bercerita. Bahagia rasanya bisa melihatnya bahagia seperti saat ini. Tapi kebahagiaan ini tidak akan berlangsung lama. Lusa mata yang penuh binar itu akan meredup saat aku berpamitan. Inilah kenyataan yang harus diterimanya. Kelak ia akan paham kenapa ia harus berada di situasi seperti ini.
Nabhan sangat lahap menyantap es krim durian vanila. Sementara Gus Sami juga sangat lahap menikmati nasi goreng seafood, sepertinya ia belum makan malam. Meskipun lahap menikmati makanan masing-masing, mereka tetap saling bercerita. Kami benar-benar seperti keluarga kecil yang bahagia.
Pertemuan kami kali ini memang terasa lebih menyenangkan bagiku. Gus Sami bersikap lebih kooperatif dan sedikit lebih punya hati. Aku menarik nafas panjang, dadaku terasa lebih longgar.
Ya Allah, seperti ini saja sudah cukup membuatku bahagia. Semoga Engkau lembutkan hati Gus Sami sehingga kami tidak perlu selalu bersitegang.
"Ada apa, Cha?" Rupanya Gus Sami melihatku menarik nafas panjang. Mungkin ia mengira aku sedang punya masalah.
"Enggak apa-apa. Aku lega melihat Nabhan sudah membaik." Aku mengambil hadiah yang telah kupersiapkan untuk Nabhan dari tas dan menyerahkan padanya. "Ini untuk, Kakak."
Nabhan terlonjak. Ia menarik lenganku dan memeluk leherku lalu menciumi pipiku. "Terimakasih, Mah." Aku tak bisa berkata-kata melihatnya kegirangan menerima hadiahku sampai mataku berkaca-kaca.
"Jangan dipakai main game terus. Kalau Mamah telepon harus diangkat. Kakak juga boleh menghubungi Mamah kapan aja, kecuali kalau Mamah sedang bekerja." Nabhan mengangguk tanda paham. Matanya masih berbinar dan menatap nanar bungkus ponsel yang dibolak-balik dengan tangan kanannya.
"Kamu pikir aku enggak mampu membelikannya ponsel?" Suara Gus Sami tiba-tiba menggelegar yang membuat Nabhan meletakkan ponsel yang masih terbungkus kardusnya itu di meja. Beruntung tidak ada pengunjung lain di ruangan ini.
"Dia masih kecil, belum butuh barang itu!" lanjut Gus Sami berapi-api.
"Aku juga butuh memantau perkembangan Nabhan. Aku butuh komunikasi dengannya," kejarku.
"Selama ini kalian juga bisa berkomunikasi."
"Tapi aku harus menunggu saat kamu sedang di rumah untuk bisa menghubungi Nabhan, itupun jika kamu berkenan menerima teleponku."
Dengan wajah sedikit takut, Nabhan mengembalikan ponsel itu padaku. "Enggak usah, Mah."
Aku mendorong kembali tangannya. "Mamah beli ini memang buat Kakak. Mamah tahu, Papahmu bisa membelikannya tapi Mamah juga ingin membelikan sesuatu untuk Kakak." Aku sengaja mengatakan itu dengan memandang wajah Gus Sami.
"Pah ...."
Rasanya aku sangat ingin marah melihat wajah memelas Nabhan.
"Nabhan masih kecil, belum butuh ponsel. Besok kalau sudah saatnya pasti Papah belikan."
"Gus. Ingat, Nabhan juga anakku." Aku mulai meradang. Nafasku tersengal menahan amarah.
"Aku juga punya hak yang sama."
"Bagaimana mungkin kamu punya hak yang sama, jika tanggung jawab kita atas dirinya tidak sama."
Aku berdiri hendak menggebrak meja, tidak terima dengan kata-katanya. Beruntung aku masih bisa menguasai diri. Kupejamkan mataku lama, rasanya tak ingin kubuka supaya tak merasakan lagi perih.
Oh Tuhan. Baru saja semua berjalan indah, kini semuanya kembali lagi seperti biasanya.
***
Aku berdiri hendak menggebrak meja, tidak terima dengan kata-katanya. Beruntung aku masih bisa menguasai diri. Kupejamkan mataku lama, rasanya tak ingin kubuka supaya tak merasakan lagi perih.Oh Tuhan. Baru saja semua berjalan indah, kini semuanya kembali lagi seperti biasanya."Mah...." Suara memelas Nabhan memaksaku untuk kembali duduk."Maafkan Mamah, Sayang.""Baiklah. Gus Nabhan boleh menerimanya dengan syarat tidak boleh dipakai main game." Gus Sami akhirnya mengalah."Terimakasih, Pah." Mata Nabhan kembali berbinar.Aku menghabiskan es krim-ku seperti orang kesetanan. Itulah car
"Kamu di Jogja sampai kapan?" tanya Sakta di ujung sana."Ini sudah bersiap untuk pulang," jawabku. Aku melambaikan tangan pada beberapa teman yang berderap mulai meninggalkan lobi hotel."Bareng aku aja, tunggu ya." Tanpa basa basi ia telah memutuskan percakapan kami. Ia hanya tanya kapan pulang, lalu bilang tunggu tanpa menanyakan yang lain. Seolah tahu aku sekarang sedang di mana. Kebiasaan, gerutuku.Sepersekian detik kemudian aku tersenyum sendiri mengingat jika medsos sekarang bisa bikin orang-orang tiba-tiba seolah menjadi cenayang, contohnya Sakta. Aku yakin ia memperkirakan aku sekarang di mana dari hasil stalking medsosku. Mengingat soal medsos membuat dadaku sesak. Gara-gara seorang teman upload foto kegiatan kami dengan men-tag akunku membuat istri Ma
"Cukup, Na. Cukup!" Sakta menghentikan tanganku yang hendak kembali menyendok sambal."Aku sebal banget. Bisa-bisanya dia datang ke kantor hanya buat ngata-ngatain aku. Nggak ada sopan-sopannya." Aku menghempaskan punggungku ke sandaran sofa dengan kasar. Beruntung sofa yang kududuki lumayan empuk. Napasku tersengal menahan marah, rasanya sudah sampai ubun-ubun. "Kepalamu udah panas, Sup-nya juga panas ditambah sambal pedas, asam lambungmu bisa langsung naik."Sakta memandangku teduh, "Sabar, Na. Sabar. Mungkin saja dia melakukan semua itu karena sangat mencintai suaminya. Dia takut kehilangan suaminya. Bukankah kemarin kamu cerita kalau perkawinan mereka masih belum dikaruniai keturunan meskipun sudah lebih dari sepuluh tahun menikah?" Ucapan Sakta sedikit menurunkan tensi kemarahanku. Aku meneguk es jerukku sampai ha
Hujan yang turun sejak siang tadi cukup membuat malamku dingin sampai menusuk ke tulang. Beruntung tadi aku menolak Mas Riko untuk bertemu sehingga aku bisa bersembunyi di balik selimut tebalku yang nyaman sejak pulang dari kantor. Menikmati Drama Korea melalui Televisi smart di kamar cukup mengusir sepiku. Aku hanya turun dari tempat tidur saat Sholat Maghrib dan Isya.Perutku tiba-tiba berbunyi, pertanda minta diisi. Kuraih ponselku, berniat memesan makanan secara online. Tapi kuurungkan saat kulihat jam ponselku menunjukkan pukul sepuluh malam. Sudah cukup malam untuk menemukandriveryang bisa mengantar makanan ke rumahku.Akhirnya aku turun dari tempat tidur menuju ruang tengah. Membuka kulkas dan hanya menemukan mie tiaw dan telor. Kupikir mie tiaw telor kuah pedas cukup mengenyangkan dan menghangatkan. Segera aku eksekusi bahan-bahan yang ada. Tidak butuh waktu lama untuk mendapatkan mie tiaw yang menggoda selera.Aku menghidu semangkuk
Aku masih mengecek hasil pekerjaan operatorku, mengeksekusi data ganda dan anomali saat pintu ruanganku dibuka dari luar. Kulihat kepala Mbak Reza muncul dari balik pintu."Sudah baca status medsos istrinya Mas Riko?" tanyanya. Aku menggeleng. "Udah lama aku nggak main medsos, malas." Mataku masih menekuri data-data di layar laptopku. "Sejak kapan Mbak Reza sukastalkingmedsos orang? Kayak nggak ada kerjaan aja," ujarku tanpa mengalihkan pandangan mataku.Mbak Reza memperlihatkan layar ponselnya yang menyala. Jari jempolnya mulai menggeser-geser tulisan pada akun medsos istri Mas Riko. Mau tidak mau mataku membelalak membaca tulisan-tulisan yang terpampang di sana 'Dasar Janda Gatal. Kucing garong. Pelakor!' dan entah tulisan apalagi yang malas untuk kubaca. "Hobi banget dia nge-tagkamu." Ia
Sepulang dari kantor aku langsung menuju salah satu mall yang berada di pusat kota. Hanya butuh waktu sepuluh menit untuk sampai di sini. Setelah memarkir mobil, aku segera masuk mall melalui pintu lantai dua. Berjalan sedikit tergesa menuju area food court yang berada di lantai satu. Suara riuh rendah beberapa perempuan terdengar dari salah satu geraiArabian food."Richa. Sini!" Disty melambaikan tangannya. Aku tersenyum dan berlari kecil menuju gerai itu."Tumben bisa datang, biasanya sibuk," ucap Laila. Aku hanya tersenyum. Sebelum keadaanku seperti saat ini aku tidak berani bergabung dengan teman-temanku alumni SMA. Keadaanku yang cukup memprihatinkan saat itu membuatku rendah diri. Selain itu, teman-temanku juga dulu tidak sedekat saat ini. Mereka mulai menyapaku dan mengajakku bergabung di grup medsos alu
Pikiranku cukup terganggu dengan permintaan Nabhan untuk menjemputnya. Ini kesempatan yang tidak mungkin kulewatkan, tetapi aku juga bingung. Jika selama liburan ini ia bersamaku, maka tidak ada yang menemaninya di rumah saat aku harus berada di kantor. Sementara urusan kantor sedang banyak-banyaknya. Menitipkannya pada Sakta juga tidak mungkin, karena ia juga sedang sibuk dengan persiapan proyek barunya.Aku mengetuk-ngetukkan jari di meja kerjaku berharap suatu ide muncul di otakku. Berpikir keras mencari jalan agar Nabhan bisa menghabiskan masa liburannya bersamaku sebelum ia masuk pesantren. Buntu, masih tak kutemukan jalan keluarnya. Ketukan di pintu cukup membuatku terkejut.Aku mengarahkan pandanganku ke pintu, sebuah wajah menyembul dari pintu yang terbuka. "Masuk," kataku mempersilahkan. Iqbal, Kasubbag Divisiku meng
"Dua ribu potong itu tidak sedikit. Kami tidak mungkin menanggung kerugian yang begitu besar karena kelalaian Anda." Aku hanya mengangguk-angguk tidak jelas. Antara pikiran dan apa yang kulakukan tidak sinkron. Pikiranku tidak fokus, ia telah menjelajah kemana-mana. Memperkirakan kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi dengan galeri batikku."Anda tidak bisa mengawasi pekerjaan karyawan Anda dengan baik."Itu kalimat terakhir yang bisa terekam oleh otakku. Aku sudah tidak menyimak kalimatnya yang hanya berisi ungkapan kekesalannya dan menguliti kesalahanku. Kepalaku berdenyut semakin kuat. Bayangan kepailitan bermain-main di depan mata. Aku mungkin masih bisa bertahan hidup dengan pekerjaanku saat ini jika sampai galeri itu bangkrut, tetapi bagaimana dengan beberapa karyawan yang menggantungkan hidup mereka pada keber