Aku berdiri hendak menggebrak meja, tidak terima dengan kata-katanya. Beruntung aku masih bisa menguasai diri. Kupejamkan mataku lama, rasanya tak ingin kubuka supaya tak merasakan lagi perih.
Oh Tuhan. Baru saja semua berjalan indah, kini semuanya kembali lagi seperti biasanya.
"Mah...." Suara memelas Nabhan memaksaku untuk kembali duduk.
"Maafkan Mamah, Sayang."
"Baiklah. Gus Nabhan boleh menerimanya dengan syarat tidak boleh dipakai main game." Gus Sami akhirnya mengalah.
"Terimakasih, Pah." Mata Nabhan kembali berbinar.
Aku menghabiskan es krim-ku seperti orang kesetanan. Itulah caraku menyalurkan energi negatif yang muncul akibat kemarahanku.
Rasanya aku ingin kembali ke hotel saja, tetapi rinduku pada Nabhan akhirnya mengalahkan egoku. Aku tidak peduli dengan sikap Gus Sami, yang terpenting bagiku bisa menghabiskan waktuku bersama Nabhan sebanyak yang aku bisa.
Malam ini seperti kemarin malam, aku tidur bersama Nabhan di kamarnya. Bedanya, kemarin malam Nabhan lebih banyak menghabiskan waktunya untuk tidur karena beberapa malam sebelumnya ia tidak bisa tidur dengan nyenyak. Malam ini kami lebih banyak menghabiskan malam dengan bercengkrama.
Pikirku, inilah kesempatanku untuk membujuknya ikut denganku. Tahun ini ia akan melanjutkan ke jenjang sekolah menengah pertama. "Kakak sekolah dekat rumah Mamah aja. Di sana ada Madrasah bagus. Kakak bisa setoran hafalan pada teman Mamah setiap habis Subuh. Rumahnya satu kompleks perumahan dengan rumah Mamah."
"Nabhan tidak harus tinggal di pesantren?" tanyanya girang. Aku mengangguk, "Ya. Kakak nanti bisa ngaji kitab kuning model ngalong tiap habis Ashar sampai Isya di tempat teman Mamah juga. Nanti Mamah yang antar jemput."
"Nabhan mau. Tapi bagaimana dengan Papah? Nanti siapa yang jaga Papah?" Aku tersenyum mendengarnya. Selama ini bukan Nabhan yang jaga Papah, tapi Papah lah yang menjagamu, batinku.
"Papah laki-laki dewasa. Ia bisa jaga diri. Lagian, sekarang 'kan udah ada dokter Nisa yang akan jagain Papah." Kenapa bisa mulutku menyebut-nyebut nama dokter Nisa. Haduh, jangan-jangan aku cemburu? Oh, tidak. Bukan karena cemburu, tapi itu hasil bacaanku atas sikap Gus Sami dan kedekatan mereka. Aku sudah tidak peduli lagi dengan kehidupan Gus Sami. Ia sudah tidak terhubung dengan hidupku kecuali karena Nabhan.
Malam ini kupeluk Nabhan erat sambil menautkan tangan kami. Tak bosan kuciumi pipinya yang gembul. Sampai-sampai ia protes karena merasa geli.
***
Aku sudah bersiap kembali ke hotel meskipun masih sangat pagi. Aku berniat sarapan dan mandi di hotel saja seperti biasa. Rasanya lebih nyaman seperti itu.Aku dan Nabhan berniat mencari Umi di dapur untuk berpamitan. Biasanya, sepagi ini Umi mendampingi Mbak-mbak santri Dalem membuat sarapan di dapur. Tetapi ternyata Umi sudah menungguku di ruang tengah.
"Gus Sami tadi berpesan supaya Ning Richa ke hotelnya diantar Kang Din. Gus Sami harus keluar kota, jadi tidak bisa mengantar."
"Richa naik ojek saja, Mi."
"Gus Sami tadi juga pesan sama Umi, jangan sampai kamu naik ojek."
Kalau sudah seperti ini aku tidak bisa lagi menolak. Gus Sami bisa marah pada Umi jika aku tetap berkeras hati. Aku tidak masalah jika ia marah padaku, tapi aku tidak bisa membiarkan ia marah pada Uminya meskipun hubunganku dengan Umi tidak begitu baik di masa lalu. Aku selalu diajarkan untuk tidak menyimpan dendam karena itu akan merusak diriku sendiri.
Sikap Umi yang jauh berbeda dengan sikapnya waktu aku masih menjadi menantunya membuatku lebih berempati dan sedikit mengurangi rasa canggungku.
"Baiklah, Mi. Kang Din sekarang di mana?"
"Sarapan dulu. Ini masih sangat pagi, jadi kamu tidak akan terlambat mengikuti acaramu jika sarapan dulu di sini."
"Sarapan di sini sama Nabhan dulu, Mah."
Mata memelas Nabhan akhirnya mampu menahanku untuk sarapan bersama Nabhan dan Umi. Kurasakan banyak sekali perubahan pada diri Umi. Entah apa yang menjadi titik balik dari semua perubahan itu. Yang jelas aku sangat bersyukur.
Setelah selesai sarapan aku segera berpamitan pada Umi dan Nabhan. Sementara Kang Din sudah menungguku di kantor pengurus pesantren.
Ada sesuatu yang kurasa sedikit janggal saat bertemu Kang Din yang ternyata adalah Kang Din sopir Ning Lala, adik Gus Sami. Sedari Umi menyebut nama Kang Din, kukira dua orang berbeda dengan nama yang sama.
"Kang Din sudah tidak kerja pada Ning Lala?" tanyaku saat mobil yang membawa kami ke hotel mulai berjalan. Ada raut keterkejutan di wajah Kang Din.
"Apa Ning Richa tidak tahu kalau Ning Lala sudah tidak ada?" Bagai disengat listrik, ucapan Kang Din membuat aliran darahku sedikit tersentak. Mataku membola, sedangkan mulutku ternganga. Aku berusaha tidak percaya dengan ucapan Kang Din.
"Kapan?" Aku benar-benar tidak tahu jika Ning Lala sudah meninggal dunia. Gus Sami maupun Nabhan tidak pernah cerita. Komunikasiku dengan keluarga besar Gus Sami benar-benar terputus setelah perceraian kami. Ning Lala juga tak acuh dengan diriku sama seperti Umi. Namun aku masih mengingatnya, setelah ia menikah beberapa kali membelaku di hadapan Umi saat ia berkesempatan datang mengunjungi Abah dan Umi.
"Sudah lebih dari setahun, Ning. Apa Ning Richa tidak dikabari?"
"Tidak ada yang mengabariku, Kang. Mungkin saat itu mereka sangat bersedih sehingga lupa mengabariku." Setelah perceraian itu kami benar-benar putus komunikasi. Aku hanya bisa bertemu Nabhan setahun sekali saat lebaran. Baru hampir satu tahun lalu aku baru bisa mulai berkomunikasi lagi. Itupun aku yang harus datang ke Jogja. Setelah perdebatan yang cukup melelahkan dan menguras emosi, aku baru bisa mendapatkan nomor ponsel Gus Sami. Meskipun begitu hanya bisa menghubungi Nabhan pada hari dan jam tertentu itupun masih dengan catatan Gus Sami tidak sedang keluar kota.
"Terimakasih, Kang," ucapku saat hendak turun dari mobil. Mbak Tata sudah menungguku di pintu lobi dengan wajah cemas. Ia langsung menarik tanganku ke sofa di ruang tunggu.
"Ini, bagaimana bisa begini?" Mbak Tata menunjukkan beranda salah satu medsosku, kemudian dengan cepat menscroll ke komentar-komentar. Aku ternganga, tidak percaya dengan apa yang kulihat. Belum hilang keterkejutanku, ponselku berbunyi dengan nomor ponsel yang belum tersimpan dalam kontak ponselku.
"Assalamualaikum." Tanpa menjawab salamku, suara perempuan di seberang telah menggelegar dengan kalimat-kalimat kotornya lengkap dengan sumpah serapahnya.
"Dasar janda gatal!" Sebuah kalimat penutup dari istri Mas Riko setelah puas menginjak-injak harga diriku membuat darahku mendidih.
Mbak Tata menatapku dengan tatapan mata penuh kecemasan. Aku berusaha menyunggingkan senyuman. "Jadi ini alasanmu pindah divisi?" Aku mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Mbak Tata. Sedetik kemudian ia menarikku dalam pelukannya. "Sabar, ya!" bisiknya.
***
Menjadi janda di usia muda sungguh sangat menyiksa. Bukan persoalan seks yang membuatku tersiksa, tapi lebih pada persoalan kehidupan sosialku. Pandangan melecehkan tidak hanya kuterima dari beberapa perempuan yang tanpa alasan khawatir suaminya jatuh hati padaku, tetapi juga dari beberapa laki-laki yang secara verbal melecehkanku. Ada juga yang mengajakku menikah siri atau menjadi istri keduanya.Bahkan ada juga laki-laki yang merayuku agar bersedia menjadi istri keduanya dengan alasan istrinya sudah mengidap penyakit selama beberapa tahun sehingga tidak bisa memberinya nafkah batin, namun setelah aku kroscek ketahuan jika ia hanya mengarang cerita. Istrinya bahkan sangat bugar dan masih cantik meskipun sedikit terlihat lebih tua dibandingkan diriku. Aku merasa benar-benar ditipu, sehingga aku tidak mau lagi berhubungan dengan laki-laki ini dan nomor ponselnya kublokir.
Berurusan dengan perempuan semacam istri Mas Riko yang main serang bukan hal yang baru buatku. Entah sudah berapa puluh perempuan yang melakukan itu, yang hampir semuanya berakhir dengan permintaan maaf mereka di bawah ancaman suaminya dan permintaan maaf tulus dari para suami atas tindakan istri mereka.
Aku menunggu Mas Riko di ruang tunggu lobi, sementara Mbak Tata dan rombongan satkernya sudah bersiap untuk pulang.
"Kamu yakin naik travel? Atau bareng kami aja sampai Semarang baru pindah bis?" tanya Mbak Tata dengan setengah berbisik.
"Naik travel aja. Kalau bareng rombonganmu justru akan menimbulkan banyak pertanyaan." Kami saling berpelukan sebelum ia keluar meninggalkan lobi hotel. "Hati-hati. Jaga diri ya!" Aku mengangguk.
Mbak Tata seperti saudaraku. Sebelum pindah divisi Data dan Informasi, kami berada di satu divisi Sosialisasi. Sehingga sering bertemu di kegiatan yang diadakan oleh provinsi. Kami sering memilih kamar yang sama jika kegiatan yang kami ikuti sampai beberapa hari. Seringkali aku bercerita kisah hidupku, meminta pertimbangannya, berkeluh kesah, ataupun menumpahkan tangisku. Ia selalu ada untukku. Menerima telponku kapan pun dan di jam berapa pun.
Mbak Tata baru memasuki mobilnya dan melambaikan tangan tanda perpisahan kami saat ponselku berdering.
Suara Gus Sami di seberang telpon terdengar lelah. Sehingga meskipun marah suaranya tidak terdengar menggelegar seperti biasanya.
"Foto-foto itu diambil saat kami melaksanakan giat pagi olahraga. Kami duduk bersama dengan banyak orang, tapi enggak tahu bagaimana di foto itu cuma terlihat diriku dan Mas Riko." Tanpa kusadari aku menjelaskan hal yang tidak harus kujelaskan pada Gus Sami. Toh ia bukan lagi siapa-siapaku. Tetapi entah mengapa, ada sedikit rasa senang dengan perhatiannya kali ini.
Foto yang diambil salah satu yg temanku di unggah di salah satu medsos dengan meng-tag akunku dan akun beberapa teman yang lain. Foto itulah yang membuat istri Mas Riko murka. Tidak puas dengan komentar pedas dan menjijikkan di laman medsos, ia menelponku dengan kata-kata penuh cacian dan sumpah serapahnya.
"Aku tidak begitu peduli dengan siapa kamu berteman, atau apapun yang kamu lakukan. Tetapi aku tidak mau mendengar gosip atau apapun tentang keburukanmu, apalagi di medsos karena itu akan mempengaruhi kehidupan putraku."
Aku menarik napas panjang mendengar ucapannya. Selalu saja seperti itu. Seolah peduli nyatanya ia hanya peduli dengan hidupnya sendiri.
"Aku minta, jangan pulang bersama laki-laki itu."
"Aku juga tidak suka digosipkan dan dihina karena hal yang tidak aku lakukan. Aku juga memilih pindah divisi supaya tidak sering bekerja sama dengan laki-laki itu. Aku tahu, aku seorang janda yang menyandang status ibu dimana harus menjaga martabat supaya tidak membuat anakku malu." Aku sengaja menekan kalimat terakhirku.
"Syukurlah kalau kamu menyadari itu." Oh Tuhan, rasanya ingin kujahit saja mulut yang kalau mengeluarkan kata tanpa memikirkan perasaan yang diajak bicara itu.
Setelah mengucapkan salam dan mengakhiri telpon, aku meracau sendiri untuk sekedar menyalurkan energi negatif yang muncul agar tidak menjadi penyakit dalam tubuhku.
Lagi-lagi ponselku berdering. "Apa lagi?" kataku tanpa memperhatikan nama yang tertera pada layar ponselku. "Hei, ada apa? Ini aku." Aku sedikit terlonjak mendengar suara yang keluar dari speaker ponselku.
"Sakta?"
Sakta? Siapa Sakta? Tunggu di part berikutnya ya?
"Kamu di Jogja sampai kapan?" tanya Sakta di ujung sana."Ini sudah bersiap untuk pulang," jawabku. Aku melambaikan tangan pada beberapa teman yang berderap mulai meninggalkan lobi hotel."Bareng aku aja, tunggu ya." Tanpa basa basi ia telah memutuskan percakapan kami. Ia hanya tanya kapan pulang, lalu bilang tunggu tanpa menanyakan yang lain. Seolah tahu aku sekarang sedang di mana. Kebiasaan, gerutuku.Sepersekian detik kemudian aku tersenyum sendiri mengingat jika medsos sekarang bisa bikin orang-orang tiba-tiba seolah menjadi cenayang, contohnya Sakta. Aku yakin ia memperkirakan aku sekarang di mana dari hasil stalking medsosku. Mengingat soal medsos membuat dadaku sesak. Gara-gara seorang teman upload foto kegiatan kami dengan men-tag akunku membuat istri Ma
"Cukup, Na. Cukup!" Sakta menghentikan tanganku yang hendak kembali menyendok sambal."Aku sebal banget. Bisa-bisanya dia datang ke kantor hanya buat ngata-ngatain aku. Nggak ada sopan-sopannya." Aku menghempaskan punggungku ke sandaran sofa dengan kasar. Beruntung sofa yang kududuki lumayan empuk. Napasku tersengal menahan marah, rasanya sudah sampai ubun-ubun. "Kepalamu udah panas, Sup-nya juga panas ditambah sambal pedas, asam lambungmu bisa langsung naik."Sakta memandangku teduh, "Sabar, Na. Sabar. Mungkin saja dia melakukan semua itu karena sangat mencintai suaminya. Dia takut kehilangan suaminya. Bukankah kemarin kamu cerita kalau perkawinan mereka masih belum dikaruniai keturunan meskipun sudah lebih dari sepuluh tahun menikah?" Ucapan Sakta sedikit menurunkan tensi kemarahanku. Aku meneguk es jerukku sampai ha
Hujan yang turun sejak siang tadi cukup membuat malamku dingin sampai menusuk ke tulang. Beruntung tadi aku menolak Mas Riko untuk bertemu sehingga aku bisa bersembunyi di balik selimut tebalku yang nyaman sejak pulang dari kantor. Menikmati Drama Korea melalui Televisi smart di kamar cukup mengusir sepiku. Aku hanya turun dari tempat tidur saat Sholat Maghrib dan Isya.Perutku tiba-tiba berbunyi, pertanda minta diisi. Kuraih ponselku, berniat memesan makanan secara online. Tapi kuurungkan saat kulihat jam ponselku menunjukkan pukul sepuluh malam. Sudah cukup malam untuk menemukandriveryang bisa mengantar makanan ke rumahku.Akhirnya aku turun dari tempat tidur menuju ruang tengah. Membuka kulkas dan hanya menemukan mie tiaw dan telor. Kupikir mie tiaw telor kuah pedas cukup mengenyangkan dan menghangatkan. Segera aku eksekusi bahan-bahan yang ada. Tidak butuh waktu lama untuk mendapatkan mie tiaw yang menggoda selera.Aku menghidu semangkuk
Aku masih mengecek hasil pekerjaan operatorku, mengeksekusi data ganda dan anomali saat pintu ruanganku dibuka dari luar. Kulihat kepala Mbak Reza muncul dari balik pintu."Sudah baca status medsos istrinya Mas Riko?" tanyanya. Aku menggeleng. "Udah lama aku nggak main medsos, malas." Mataku masih menekuri data-data di layar laptopku. "Sejak kapan Mbak Reza sukastalkingmedsos orang? Kayak nggak ada kerjaan aja," ujarku tanpa mengalihkan pandangan mataku.Mbak Reza memperlihatkan layar ponselnya yang menyala. Jari jempolnya mulai menggeser-geser tulisan pada akun medsos istri Mas Riko. Mau tidak mau mataku membelalak membaca tulisan-tulisan yang terpampang di sana 'Dasar Janda Gatal. Kucing garong. Pelakor!' dan entah tulisan apalagi yang malas untuk kubaca. "Hobi banget dia nge-tagkamu." Ia
Sepulang dari kantor aku langsung menuju salah satu mall yang berada di pusat kota. Hanya butuh waktu sepuluh menit untuk sampai di sini. Setelah memarkir mobil, aku segera masuk mall melalui pintu lantai dua. Berjalan sedikit tergesa menuju area food court yang berada di lantai satu. Suara riuh rendah beberapa perempuan terdengar dari salah satu geraiArabian food."Richa. Sini!" Disty melambaikan tangannya. Aku tersenyum dan berlari kecil menuju gerai itu."Tumben bisa datang, biasanya sibuk," ucap Laila. Aku hanya tersenyum. Sebelum keadaanku seperti saat ini aku tidak berani bergabung dengan teman-temanku alumni SMA. Keadaanku yang cukup memprihatinkan saat itu membuatku rendah diri. Selain itu, teman-temanku juga dulu tidak sedekat saat ini. Mereka mulai menyapaku dan mengajakku bergabung di grup medsos alu
Pikiranku cukup terganggu dengan permintaan Nabhan untuk menjemputnya. Ini kesempatan yang tidak mungkin kulewatkan, tetapi aku juga bingung. Jika selama liburan ini ia bersamaku, maka tidak ada yang menemaninya di rumah saat aku harus berada di kantor. Sementara urusan kantor sedang banyak-banyaknya. Menitipkannya pada Sakta juga tidak mungkin, karena ia juga sedang sibuk dengan persiapan proyek barunya.Aku mengetuk-ngetukkan jari di meja kerjaku berharap suatu ide muncul di otakku. Berpikir keras mencari jalan agar Nabhan bisa menghabiskan masa liburannya bersamaku sebelum ia masuk pesantren. Buntu, masih tak kutemukan jalan keluarnya. Ketukan di pintu cukup membuatku terkejut.Aku mengarahkan pandanganku ke pintu, sebuah wajah menyembul dari pintu yang terbuka. "Masuk," kataku mempersilahkan. Iqbal, Kasubbag Divisiku meng
"Dua ribu potong itu tidak sedikit. Kami tidak mungkin menanggung kerugian yang begitu besar karena kelalaian Anda." Aku hanya mengangguk-angguk tidak jelas. Antara pikiran dan apa yang kulakukan tidak sinkron. Pikiranku tidak fokus, ia telah menjelajah kemana-mana. Memperkirakan kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi dengan galeri batikku."Anda tidak bisa mengawasi pekerjaan karyawan Anda dengan baik."Itu kalimat terakhir yang bisa terekam oleh otakku. Aku sudah tidak menyimak kalimatnya yang hanya berisi ungkapan kekesalannya dan menguliti kesalahanku. Kepalaku berdenyut semakin kuat. Bayangan kepailitan bermain-main di depan mata. Aku mungkin masih bisa bertahan hidup dengan pekerjaanku saat ini jika sampai galeri itu bangkrut, tetapi bagaimana dengan beberapa karyawan yang menggantungkan hidup mereka pada keber
Aku mencoba mencari nama-nama temanku Jogja di nomor ponselku, namun hanya bisa menelan kecewa. Aku menggeleng kuat, saat hanya menemukan nama Gus Sami yang kukenal disini.Haruskah dia yangmenjemputku?Kali ini aku harus menekan egoku. Aku tidak mau menghabiskan setengah malam disini. Dan akhirnya kuhubungi Gus Sami. Dengan sedikit menelan rasa malu, aku minta tolong padanya untuk menjemputku. Soal mobil, kupikir Gus Sami punya teman bengkel atau setidaknya tahu bengkel aki yang berada di sekitar sini. Soal kantor, aku akan minta izin pada Mbak Reza. Untuk itu, dengan cepat aku mengambil video dari ponselku, mengarahkan kameranya pada panel indikatoraki yang menyala.Tidak berapa lama mobil Gus Sami masuk area pom bensin. Ia langsu