Setelah percakapan di telpon empat hari lalu, yang berakhir dengan diputuskannya hubungan kami secara sepihak, Mas Bagas belum menjawab pesan-pesan W*-ku maupun menerima panggilanku. Panggilan telponku selalu di-reject. Namun, kesibukanku di kantor membuatku sedikit abai memikirkan masalahku dengan Mas Bagas.
Aku baru saja hendak masuk ruanganku setelah makan siang di kantin. Nuri - salah satu staf subbag Tekmas dan Sosialisasi - telah menunggu di depan pintu ruanganku.
"Bu, ada dispo surat undangan untuk Ibu." Nuri menyerahkan dua lembar kertas yang telah disatukan dengan lembar disposisi beserta map putih yang ada di tangannya. Nuri membantuku membuka pintu setelah kertas-kertas yang dipegangnya berpindah ke tanganku.
Aku mempersilahkannya duduk di sofa, sementara aku membaca sekilas isi surat undangan itu.
"Ini undangan untuk divisi sosialisasi, Mbak.""Ya, Bu. Pak Nanang tidak bisa berangkat. Istrinya baru saja masuk rumah sakit karena ketubannya merembes padahal belum masuk HPL, sehingga beliau harus siaga. Jadi, Bu Reza mendispo surat ini pada Ibu.""Oh. Kapan istrinya Pak Nanang masuk rumah sakit? Tadi pagi dia masih ikut pleno."
"Baru saja, Bu. Sekitar jam istirahat tadi Pak Nanang ditelpon istrinya."
"Bu Reza di ruangannya enggak?"
"Bu Reza bersama Bu Sekretaris, Kasubag Umum dan Mas Damar pergi ke rumah sakit. Bu Reza tadi masuk ke ruangan Teknis sebentar, lalu mengganti dispo surat ini. Setelah itu pergi ke rumah sakit."
Aku membaca ulang isi surat undangan itu. Tempat acara di Jogja, seketika sebuah senyuman tersemat pada bibirku. Aku membuka lembar kedua yang berisi tentatif acara. Lengkungan bibirku semakin panjang.Tiga hari dua malam. Lumayan, Aku bisa mengajak Nabhan untuk bermalam di hotel bersamaku selama dua malam.
"Aku sama siapa, Mbak?""Sama Pak Riko dan Mas Damar, Bu."
Mas Riko adalah Kasubbag Teknis dan Sosialisasi yang usianya terpaut tiga tahun di atasku, sedangkan Mas Damar adalah salah satu sopir kantor.
"Bahan-bahan rakor ada di sini, Bu," kata Nuri sambil menyerahkan flashdisk.
Setelah menyerahkan flashdisk, Nuri izin pamit kembali ke ruang subbag teknis. Aku segera menemui Mas Riko untuk membicarakan teknis keberangkatan dan persiapan bahan-bahan rakor.Pulang dari kantor aku mampir ke salah satu toko celluler, menyiapkan sebuah hadiah untuk Nabhan.
***
Selesai acara pembukaan, aku segera menuju ke pesantren Gus Sami menggunakan jasa ojek online meskipun Mas Riko menawarkan diri untuk mengantarku. Selain tidak mau merepotkan, aku juga tidak mau timbul gosip-gosip yang tidak benar.Aku sengaja ingin memberikan kejutan pada Nabhan sehingga tidak menghubungi Nabhan ataupun Gus Sami terlebih dahulu.
Menjelang Maghrib aku sampai di pesantren. Umi orang yang pertama kali menyambutku. Ia menyapaku sangat ramah. Memberikan pelukan hangat yang tidak pernah kurasakan saat masih menjadi menantunya.
"Apa Gus Sami yang memintamu ke sini?" Aku menggeleng, sementara otakku merespon dengan cepat.
"Ada apa, Mi?"
"Gus Nabhan rewel terus. Tidak mau dibawa ke rumah sakit ...."
"Rumah Sakit?" Seketika langkahku terhenti. Memandang Umi penuh tanda tanya.
"Gus Sami tidak memberi tahumu?" Aku menggeleng cepat sebagai jawaban. Aku tidak sabar menunggu kalimat Umi berikutnya.
"Luka Gus Nabhan membusuk." Aku menutup mulutku dengan telapak tangan agar suara pekikanku tidak keluar. Tanpa mempedulikan Umi lagi, aku segera berlari menuju kamar Nabhan.
Kulihat Gus Sami duduk di kursi yang berada di samping ranjang. Ia sedang mengipasi luka Nabhan karena dikhitan kemarin.
Gus Sami dan Nabhan sontak menoleh ke arahku saat mendengar aku mengucapkan salam.
"Mamah." Mata Nabhan berbinar melihat kedatanganku. Sedangkan Gus Sami sedikit terkejut melihatku. Tidak berselang lama, suara tangisan Nabhan pun pecah. Aku segera menghambur ke arahnya untuk sedikit membuatnya tenang.
"Kapan datang? Kok enggak ngabari dulu?" tanya Gus Sami dengan nada datar seperti biasanya dan tanpa ekspresi.
"Aku ada rakor di sini, menggantikan Pak Nanang yang mendadak tidak bisa karena istrinya masuk rumah sakit."
Ringisan Nabhan mengalihkan pandanganku. Aku merinding melihat lukanya yang sedikit bernanah.
"Bagaimana bisa seperti ini, Gus?" Aku menoleh ke arah Gus Sami, meminta jawaban.
"Aku juga tidak tahu. Aku sudah merawatnya seperti anjuran dokter."
"Tapi ini bernanah, Gus. Artinya ada kuman yang bersarang di lukanya."
"Lalu kamu mau bilang kalau aku tidak bisa merawatnya?" Tatapan tajam mata Gus Sami menghujam jantungku. Aku menjadi tidak enak hati. Bukan itu maksudku.
"Maksudku bukan ...." Gus Sami sudah berdiri dari tempat duduknya dan hendak keluar kamar sebelum aku menyelesaikan kalimatku.
Refleks aku meraih tangannya dan memintanya duduk kembali. Ia sedikit terkejut. Sepersekian detik ia memandangi tanganku yang masih memegang tangannya. Dengan kikuk aku segera melepaskan tanganku.
"Kita harus membawa Nabhan ke rumah sakit, supaya lukanya dibersihkan."
Nabhan menggelengkan kepala mendengar ucapanku meskipun ia masih merintih menahan rasa sakitnya.
"Bujuklah! Barangkali dia mau. Aku sudah capek membujuknya."
"Sebagai orang tua, Gus Sami harusnya bisa sedikit memaksanya." Gus Sami kembali melotot ke arahku.
"Maaf. Maaf. Aku tidak bermaksud menyalahkanmu, Gus."
"Ya, dan itu sudah kamu lakukan beberapa kali sejak kamu masuk kamar ini." Aku meringis mencoba mencairkan suasana, tetapi percuma. Gus Sami tetaplah Gus Sami, lelaki ganteng dengan ekspresi datar.
Aku beralih pada Nabhan. "Mamah antar ke rumah sakit ya? Paling dibersihkan saja sebentar."
"Sakit. Nabhan enggak mau."
"Sakit sebentar, kalau nanahnya sudah hilang sudah enggak sakit lagi." Nabhan tetap menggeleng. Aku mulai berpikir untuk merayunya lagi.
"Gimana kalau habis dari rumah sakit kita beli es cream?"
Mata Nabhan langsung berbinar. "Ya, aku mau," katanya bersemangat.
Usai sholat Maghrib, aku dan Gus Sami membawa Nabhan memeriksakan lukanya. Di dalam mobil aku sibuk meredakan rengekan Nabhan sampai tanpa kusadari mobil telah berhenti di sebuah pelataran parkir sebuah poliklinik.
Jantungku berdegup lebih kencang ketika mataku menangkap sebuah tulisan nama dokter praktek spesialis anak, dokter Khoirun Nisa Tijani.
***
Jantungku berdegup lebih kencang ketika mataku menangkap sebuah tulisan nama dokter praktek spesialis anak, dokter Khoirun Nisa Tijani.Dokter Khoirun Nisa Tijani adalah perempuan yang telah membuat Gus Sami patah hati waktu itu. Dokter Nisa meninggalkannya dan memilih laki-laki lain karena ia merasa tidak akan mampu hidup di lingkungan pesantren dengan tuntutan dan tanggung jawab besar.Seperti itulah cerita Gus Sami padaku waktu itu.Saat patah hati itu, kami dipertemukan oleh Eyin, salah seorang sepupunya yang kebetulan teman baikku di kampus. Seminggu setelah perkenalan kami, Gus Sami melamarku. Tanpa berpikir panjang, tanpa berusaha mengenal keluarganya terlebih dahulu, tanpa memastikan apakah orang tuanya bisa menerimaku, aku putuskan untuk menerima lamarannya itu. Saat itu aku hanya berpikir untuk mengurangi beban Pakde-ku.
Mendadak mobil berhenti. Gus Sami memutar paksa badanku mengarahkan pandanganku padanya. Ia melotot ke arahku. Namun aku sudahtak peduli sebesar apapun kemarahannya atas ucapanku.Ia menatapku cukup lama. Entah apa yang dicari di manik mataku. Perlahan cengkeraman di pundakku mengendur, ia menghembuskan nafas kasar. Ia kemudian kembali menatap ke depan dan mengemudikan mobilnya.Tidak ada pembicaraan selama perjalanan kami. Sampai saat mobil berhenti di depan sebuah warung steak.Astaghfirullah. YaAllah. Mengapa harus ke sini? Niat apa sih, Gus?Aku membeku di tempatku."Di sini biasa buka sampai jam dua belas," katanya sambil menarik tuas handrem."Wah, tumben ngajak
Aku berdiri hendak menggebrak meja, tidak terima dengan kata-katanya. Beruntung aku masih bisa menguasai diri. Kupejamkan mataku lama, rasanya tak ingin kubuka supaya tak merasakan lagi perih.Oh Tuhan. Baru saja semua berjalan indah, kini semuanya kembali lagi seperti biasanya."Mah...." Suara memelas Nabhan memaksaku untuk kembali duduk."Maafkan Mamah, Sayang.""Baiklah. Gus Nabhan boleh menerimanya dengan syarat tidak boleh dipakai main game." Gus Sami akhirnya mengalah."Terimakasih, Pah." Mata Nabhan kembali berbinar.Aku menghabiskan es krim-ku seperti orang kesetanan. Itulah car
"Kamu di Jogja sampai kapan?" tanya Sakta di ujung sana."Ini sudah bersiap untuk pulang," jawabku. Aku melambaikan tangan pada beberapa teman yang berderap mulai meninggalkan lobi hotel."Bareng aku aja, tunggu ya." Tanpa basa basi ia telah memutuskan percakapan kami. Ia hanya tanya kapan pulang, lalu bilang tunggu tanpa menanyakan yang lain. Seolah tahu aku sekarang sedang di mana. Kebiasaan, gerutuku.Sepersekian detik kemudian aku tersenyum sendiri mengingat jika medsos sekarang bisa bikin orang-orang tiba-tiba seolah menjadi cenayang, contohnya Sakta. Aku yakin ia memperkirakan aku sekarang di mana dari hasil stalking medsosku. Mengingat soal medsos membuat dadaku sesak. Gara-gara seorang teman upload foto kegiatan kami dengan men-tag akunku membuat istri Ma
"Cukup, Na. Cukup!" Sakta menghentikan tanganku yang hendak kembali menyendok sambal."Aku sebal banget. Bisa-bisanya dia datang ke kantor hanya buat ngata-ngatain aku. Nggak ada sopan-sopannya." Aku menghempaskan punggungku ke sandaran sofa dengan kasar. Beruntung sofa yang kududuki lumayan empuk. Napasku tersengal menahan marah, rasanya sudah sampai ubun-ubun. "Kepalamu udah panas, Sup-nya juga panas ditambah sambal pedas, asam lambungmu bisa langsung naik."Sakta memandangku teduh, "Sabar, Na. Sabar. Mungkin saja dia melakukan semua itu karena sangat mencintai suaminya. Dia takut kehilangan suaminya. Bukankah kemarin kamu cerita kalau perkawinan mereka masih belum dikaruniai keturunan meskipun sudah lebih dari sepuluh tahun menikah?" Ucapan Sakta sedikit menurunkan tensi kemarahanku. Aku meneguk es jerukku sampai ha
Hujan yang turun sejak siang tadi cukup membuat malamku dingin sampai menusuk ke tulang. Beruntung tadi aku menolak Mas Riko untuk bertemu sehingga aku bisa bersembunyi di balik selimut tebalku yang nyaman sejak pulang dari kantor. Menikmati Drama Korea melalui Televisi smart di kamar cukup mengusir sepiku. Aku hanya turun dari tempat tidur saat Sholat Maghrib dan Isya.Perutku tiba-tiba berbunyi, pertanda minta diisi. Kuraih ponselku, berniat memesan makanan secara online. Tapi kuurungkan saat kulihat jam ponselku menunjukkan pukul sepuluh malam. Sudah cukup malam untuk menemukandriveryang bisa mengantar makanan ke rumahku.Akhirnya aku turun dari tempat tidur menuju ruang tengah. Membuka kulkas dan hanya menemukan mie tiaw dan telor. Kupikir mie tiaw telor kuah pedas cukup mengenyangkan dan menghangatkan. Segera aku eksekusi bahan-bahan yang ada. Tidak butuh waktu lama untuk mendapatkan mie tiaw yang menggoda selera.Aku menghidu semangkuk
Aku masih mengecek hasil pekerjaan operatorku, mengeksekusi data ganda dan anomali saat pintu ruanganku dibuka dari luar. Kulihat kepala Mbak Reza muncul dari balik pintu."Sudah baca status medsos istrinya Mas Riko?" tanyanya. Aku menggeleng. "Udah lama aku nggak main medsos, malas." Mataku masih menekuri data-data di layar laptopku. "Sejak kapan Mbak Reza sukastalkingmedsos orang? Kayak nggak ada kerjaan aja," ujarku tanpa mengalihkan pandangan mataku.Mbak Reza memperlihatkan layar ponselnya yang menyala. Jari jempolnya mulai menggeser-geser tulisan pada akun medsos istri Mas Riko. Mau tidak mau mataku membelalak membaca tulisan-tulisan yang terpampang di sana 'Dasar Janda Gatal. Kucing garong. Pelakor!' dan entah tulisan apalagi yang malas untuk kubaca. "Hobi banget dia nge-tagkamu." Ia
Sepulang dari kantor aku langsung menuju salah satu mall yang berada di pusat kota. Hanya butuh waktu sepuluh menit untuk sampai di sini. Setelah memarkir mobil, aku segera masuk mall melalui pintu lantai dua. Berjalan sedikit tergesa menuju area food court yang berada di lantai satu. Suara riuh rendah beberapa perempuan terdengar dari salah satu geraiArabian food."Richa. Sini!" Disty melambaikan tangannya. Aku tersenyum dan berlari kecil menuju gerai itu."Tumben bisa datang, biasanya sibuk," ucap Laila. Aku hanya tersenyum. Sebelum keadaanku seperti saat ini aku tidak berani bergabung dengan teman-temanku alumni SMA. Keadaanku yang cukup memprihatinkan saat itu membuatku rendah diri. Selain itu, teman-temanku juga dulu tidak sedekat saat ini. Mereka mulai menyapaku dan mengajakku bergabung di grup medsos alu