Home / Sci-Fi / Luxavar, Negeri di Dasar Samudera / Chapter 1 - Chapter 10

All Chapters of Luxavar, Negeri di Dasar Samudera: Chapter 1 - Chapter 10

81 Chapters

PROLOG

55-08-79 Setitik cahaya samar-samar berpendar di tengah samudera yang gelap. Sinar redupnya bergerak perlahan menepis lembaran air yang beriak tenang. Benda bundar yang menimbulkan cahaya tadi bukan kapal atau mercusuar, melainkan sebuah bola kaca dengan ruang kecil di bagian dalamnya. Berkas cahaya kebiruan itu terpancar dari sekeliling lengkungan kaca di bagian bawah bola tersebut.Seorang gadis kecil berdiri di bagian dalam bola tadi. Kedua tangannya sibuk menggeser panel di hadapannya. Papan tipis berisikan sejuta kode itu merupakan alat kemudi benda yang dikendarainya. Namanya Fibrela Greinthlen. Matanya yang bulat besar dan dagunya yang tirus menatap suasana lautan dengan saksama. Jemarinya mengetuk tepi panel sambil sesekali menoleh ke pemandangan di balik kaca.Di sampingnya, berdiri pria tua dengan jenggot pendek kelabu memenuhi dagu dan rahang atasnya. Pandangannya lurus tak peduli akan kesibukan yang tengah dikerjakan ga
Read more

Surat dalam Botol

34-06-81 Semilir angin berembus lembut membujuk Nod untuk beralih dari renungan panjangnya. Meski begitu, dia enggan melepas kenangan itu. Perjalanan panjang yang telah dilaluinya akan selalu membekas di sana. Mengukir hingga ke relung hati yang paling dalam. Lembut nan pasti, bayangan akan wajah mereka kian memudar bersama kabut. Membumbung tinggi dan menyatu bersama gumpalan awan.Nod duduk seraya menyalakan dua lilin di atas potongan kue tart mungil yang berwarna jingga, menjaganya dengan telapak tangan agar cahaya tersebut tak padam ditepis angin kencang. Lalu dia mulai membuka kotak kayu di sampingnya. Menarik dua lembar kertas yang telah berisi barisan pesan di dalamnya. Hania yang manis,Selamat ulang tahun. Semoga ulang tahunmu kali ini membuatmu semakin bahagia. Tetaplah menjadi anak yang baik, Hania. Jaga ibumu. Ayah merindukanmu.Ayah Untuk R
Read more

Panggilan Laut

Sudah sebulan ini Nod menyantap roti tawar dengan jenis yang sama. Rasa manis kian hari kian berkurang. Namun dia tidak punya pilihan. Makanan itu akan membuatnya bertahan sepanjang hari. Persediaan makanan mereka tidak akan cukup jika kapal ini belum berlabuh dalam dua hari ke depan. Ada tiga puluh kru kapal yang juga bernasib sama dengannya. Itu bukan hal terburuk yang mereka khawatirkan saat ini.Nod menyusun surat yang hendak dilemparnya lagi ke laut hari ini. Itu surat ketiga puluh yang akan dikirimnya melalui botol kaca. Semakin dia risau, semakin rutin pula dia mengirimi surat tersebut.Likos berjalan ke arahnya dengan membawa dua cangkir kopi panas dan sepotong roti bakar. Asap dari cangkirnya mengepul memenuhi dek kapal. Fokus Nod sedikit teralihkan oleh aroma kopi yang harum tadi terendus olehnya.“Kau tidak mau keluar melihat pemandangan di luar?” tanya Likos sambil menyelipkan sepotong roti di antara bibirnya.“Hanya ada air
Read more

Negeri di Dasar Samudera

Cahaya putih kekuningan memenuhi pandangan Nod. Sekujur tubuhnya terasa sangat kaku. Mungkin sudah seminggu atau sebulan dia tidak sadarkan diri. Tulang belulangnya seakan baru dicopot lalu disambungkan kembali. Jiwa dan raganya bagaikan bereinkarnasi ke dalam siklus hidup yang baru. Dia tak tahu sekarang berada di mana dan pada masa apa. Pakaiannya telah diganti. Semua yang ada di tangannya telah di buang—sepertinya.Di mana ini? Secercah cahaya hangat dan menyilaukan menerpa wajahnya. Sumber terang tadi berasal dari langit-langit di atas tempat tidur Nod. Dia mengerjap penuh tanya. Kebingungan merasuki benaknya. Matanya menjelajahi setiap sisi ruangan yang tak bersudut tersebut. Ranjang yang tengah ditempatinya hanya berupa mangkok dengan kasur empuk bundar melapisi sisi dalamnya.Tempat ini sangat asing bagi Nod. Seluruh benda yang ada di dekatnya belum pernah dilihat Nod di belahan dunia mana pun. Nod tak berani berspekulasi. Dia mencoba mencari tahu
Read more

Luxavar, Bangsa Para Atlic

Nod hampir melempar buku itu dari tangannya. Dia menoleh ke arah asal suara. Seorang gadis kecil yang samar-samar diingat Nod saat dia tenggelam kemarin berdiri tak jauh darinya. Anak perempuan berusia sekitar delapan tahun itu mengenakan kemeja putih dengan celana panjang yang juga berwarna putih. Kontras dengan bajunya, sepatu boot hitam setinggi lutut menutupi sebagian kaki kecilnya itu. Kerah tebal membungkus lehernya yang pendek. Rambutnya yang hitam kecokelatan tergerai ke belakang.“Siapa kau?”  “Fibrela Greinthlen,” jawab anak perempuan itu. Nama yang agak asing di telinga Nod.“Di mana orang tuamu, Nak?” tanya Nod lagi.“Kurasa kau tidak perlu tahu.” Anak itu menjawab singkat.Nod tergelak. Dia tahu bahwa pasti ada seseorang yang membawanya kemari. Halusinasinya yang kemarin tampaknya belum usai. Dia mencoba mencubit lagi lengannya untuk memastikan ini bukan mimpi.“Oh ya,
Read more

Cerecza

Nod diam tak berkutik. Makhluk yang terlihat berterbangan di langit merupakan robot berukuran dua kali lipat tubuhnya. Dia menunggangi motor tak beroda yang membuatnya tetap melayang rendah di depan Nod.Fibrela nyaris tak bernapas, sementara Nod hanya bisa menatap robot tadi memelas. Cerecza menjulurkan kepalanya lebih lekat ke hidung Nod. Kelihatannya dia tengah membaca setiap lekukan dan gerak-gerik Nod dengan saksama. Fibrela memberinya isyarat untuk tetap tenang. Jemarinya masih menggenggam erat pergelangan tangan Nod.Jantung Nod berdegub kencang. Dia berharap robot mengerikan di depannya tidak bisa mengendus identitasnya. Walau dia tidak pernah tahu apa yang bisa dilakukan robot semacam ini terhadapnya, penampakan wajah yang berlapis logam dengan mata bercahaya merah tanpa mimik itu sudah cukup membuat Nod menyimpulkan dia bukan rokern ramah seperti Louie. Belum lagi sekujur tubuh robot itu tak lain adalah senjata yang bisa melepaskan berbagai macam tembakan. No
Read more

Pabrik Awan

Udara dingin menggesek wajah Nod dengan kuat. Gravitasi di tempat ini menarik dirinya kian mendekati atap menara besar di bawah sana. Tubuhnya terpental masuk melalui cerobong asap yang menjunjung tinggi di atmosfir Luxavar. Udara berwarna jingga mengepul dari cerobong yang sama. “Oh! Tidaaak!” Teriakan Nod bergema sepanjang lorong panjang yang mengantarnya masuk kian dalam. Asap kuning lebih pekat di tempat yang lebih dalam, tapi dia sama sekali tak merasa kepanasan. Malah sebaliknya, dia merasakan hawa yang sejuk menerpa kulitnya. Kedua tangan Nod sibuk meraih apa pun untuk mencegahnya terperosok semakin dalam ke cerobong itu. Baru kali ini dia begitu membenci gravitasi. Cerobong itu mengantar tubuhnya ke sebuah wadah besar yang di dalamnya berisi cairan kental. Tubuhnya kandas seumpama permen yang tercelup ke dalam susu berwarna jingga. Dalam keadaan panik ia berusaha berenang menuju tepian wadah. “Cairan apa ini?” Nod menggapai tangannya ke penyan
Read more

Lantai Pengayaan

Mereka sudah mendarat kembali di lapangan yang sama dengan saat mereka pertama ke Balorop. Bangunan gedung berkelap-kelip memantulkan cahaya dari balik air di bawahnya. Di aula utama tersebut sudah berdiri Edvard dengan langkah kikuk. Dia terus menunduk tak berani menatap Fibrela. “Prof….” Edvard tak diacuhkan seperti biasanya. Dia tak menyerah. Dia kembali mengikuti langkah Fibrela. “Sungguh maafkan saya, Profesor Greinthlen.” “Kau tahu apa yang sudah diperbuat oleh benda rongsokan rekomendasimu, Edvard?” Wajah Fibrela membara. Dia memelotot ke arah Edvard penuh kekesalan. “Maafkan, saya, Profesor,” ucap Edvard berulang kali. “Sungguh maafkan saya.” “Jadi, hukuman apa yang bisa kujatuhkan padamu?” tanya Fibrela kembali tenang. Langkah mereka terhenti ke kuntum bunga terakhir di aula tadi. “Saya… saya akan membuat rokern baru untuk Anda.” Edvard tersenyum tipis setengah memelas. “Oh ya? Kau kira rokern buatanmu
Read more

Paerovy

“Berdasarkan maklumat kesembilan tentang kesalahan penyebutan kata sandi Balorop, kau harus menerima sanksi berupa melafalkan tiga puluh tujuh kitab pseudonim Luxavar.”Nod terbelalak saat Engliver meletakkan setumpuk buku dengan ketebalan hampir lima sentimeter itu di atas meja di depannya. Buku-buku itu harus dibacanya agar dapat keluar dari tempat ini.  Nod menggeleng tidak terima.“Tidak bisa, kalian tidak bisa menahanku dengan membaca semua buku itu,” kata Nod. “Aku hanya salah masuk, aku tidak benar-benar lupa. Kau tahu kan? Kadang-kadang kita bisa silap mengatakan sesuatu.”“Maaf, Tuan Nod. Yang memutuskan Anda berada di sini bukan saya. Lebih baik Anda baca semua buku ini dan mengikuti tes kelulusan nanti.”Engliver berjalan meninggalkan Nod dengan setumpuk buku di meja yang terlihat sangat asing. Berbagai jenis kata-kata bisa dibaca, hanya Nod tidak bisa mengerti apa maksud dan isinya. Buku itu
Read more

Vabian

Suaranya seperti teredam. Wanita yang berjalan tersebut tak juga menoleh ke arahnya. Hingga pada akhirnya, seseorang muncul dari ujung belokan lorong. “Vabian, ternyata kau di sini,” ujar Edvard. “Nod?” Nod mendekati wanita yang dipanggil Edvard dengan Vabian itu. “Sudah kubilang, kau tidak boleh berkeliaran keluar dari bilikku.” Edvard menoleh ke arah Nod dengan kening tergurat. “Nod? Mengapa kau bisa di sini?” “Regan?” Nod sekali lagi mengelukan nama mendiang istrinya. “Maaf, Nod. Tapi dia adalah rokern,” imbuh Edvard seraya menarik rokern berwujud wanita cantik tersebut dari hadapan Nod. “Vabian, kembali ke Bilik Komputasi. Atau aku tidak akan memperbaiki sensor vibrasimu!” ancam Edvard. “Tidak, jangan,” cekal Nod. “Bagaimana bisa dia memiliki rupa seperti Regan?” Nod termangu mengelilingi Vabian. Setiap bentuk, warna, dan bahkan suaranya seperti Regan. Bagaimana bisa Edvard membuat rokern menyerupainya? Ini kebetula
Read more
PREV
123456
...
9
DMCA.com Protection Status