Share

Surat dalam Botol

Penulis: Evin Hard
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

34-06-81

Semilir angin berembus lembut membujuk Nod untuk beralih dari renungan panjangnya. Meski begitu, dia enggan melepas kenangan itu. Perjalanan panjang yang telah dilaluinya akan selalu membekas di sana. Mengukir hingga ke relung hati yang paling dalam. Lembut nan pasti, bayangan akan wajah mereka kian memudar bersama kabut. Membumbung tinggi dan menyatu bersama gumpalan awan.

Nod duduk seraya menyalakan dua lilin di atas potongan kue tart mungil yang berwarna jingga, menjaganya dengan telapak tangan agar cahaya tersebut tak padam ditepis angin kencang. Lalu dia mulai membuka kotak kayu di sampingnya. Menarik dua lembar kertas yang telah berisi barisan pesan di dalamnya.

Hania yang manis,

Selamat ulang tahun. Semoga ulang tahunmu kali ini membuatmu semakin bahagia. Tetaplah menjadi anak yang baik, Hania. Jaga ibumu. Ayah merindukanmu.

Ayah

Untuk Regan tercinta,

Mimpi indah yang diciptakan tadi malam seperti ungkapan penyertaanmu dalam hidupku. Aku ingin kau selalu hadir seperti itu. Selalu indah dan menawan. Kerinduan besar yang tak bisa kubendung hanya dapat kuungkapkan lewat sepucuk surat ini. Reganku yang kusayang, kenangan kita akan senantiasa abadi seperti samudera yang membentang ini. Semoga engkau selalu bahagia di sana.

Nod

Nod menggulung kertas berisi surat tadi dan memasukkannya dalam sebuah botol kaca. Sumbat karet menutup bagian dalam botol hingga kedap udara. Dengan sekuat tenaga, Nod melempar botol yang berisi lembaran surat tadi sejauh mungkin. Botol tadi lenyap bersama gemuruh ombak. Hanyut terbawa arus air menuju ke tempat yang tak dapat diterka.

Cuaca sore yang mendung turut menambah kelusuhan hatinya. Terlihat benar wajahnya yang sedang kalut itu. Saat ini usianya sekitar 35 tahun, dan akan tampak lebih tua 10 tahun jika dia terus memasang ekspresi seperti itu.

“Mereka tidak akan bangkit meski laut ini kau penuhi dengan botol suratmu!” ujar seorang pria paruh baya yang sejak sepuluh menit tadi mengamati Nod dari kejauhan. Dia melangkah melewati hamparan semak dan batu karang menuju ke tempat Nod.

“Aku tahu Regan mendengarkanku, Likos,” ucap Nod sambil menyeka air mata yang sempat bergulir di pipinya.

“Dia mendengarkanmu, Nod,” tukas Likos. “Tapi dia juga tidak ingin kau hidup seperti ini.”

Nod menggeleng.

“Kau melayangkan jutaan surat hanya demi memuaskan obsesimu,” timpal Likos.

“Aku yakin dia mendengarkanku,” kata Nod berkeras. “Dia membalasnya dalam mimpiku.”

Dia meraih potongan kertas surat dan menyusun ulang urutan surat yang ditulisnya sejak berminggu-minggu yang lalu. Angin kencang menerpa lembaran surat tadi sehingga Nod harus mengurutkannya lagi. Kemudian dia meninggalkan potongan kue tart tadi di atas batu. Biasanya akan ada hewan-hewan sekitar yang menghabiskannya.

Likos mengambil botol yang masih tergeletak di atas batu dan menyerahkannya pada Nod dengan raut prihatin. Dia tersenyum miris menyaksikan Nod begitu tekun melakukan ritual surat tak berbalas tersebut. Hanya saja, Nod tidak pernah mau menggubris ucapan temannya itu.

“Aku rasa… kau mulai gila,” gumam Likos.

Nod sedikit menoleh ke arah temannya. Dia menatap sinis tak berkedip sampai akhirnya pria paruh baya itu melanjutkan lagi, “Aku mengerti kau merasa kesepian, tapi bukan begitu cara mengisi kepergian.”

“Aku menikmati tugas ini,” pungkas Nod. “Bila mengiriminya surat juga menjadi suatu hal yang terlarang, aku tidak tahu dengan cara apa lagi aku menebus kehilangan itu.”

Likos menepuk bahu Nod berusaha menenangkannya. Dia terlihat enggan melakukan hal tersebut jika perkataannya justru menyulutkan kemarahan Nod.

“Aku tahu kau tidak suka membicarakan masalah ini padaku,” bisik Likos. “Aku juga tak suka menceritakan hal ini pada sesama pria. Menurutku pembicaraan ini bukan untuk pria, tapi sepertinya kau butuh seseorang yang bisa menggantikan keberadaan keluargamu itu.”

Senyum tipis merekah di wajah Nod. Matanya mengerjap ketika cahaya matahari berhasil meloloskan diri dari gumpalan awan. Cuaca mendung urung menghampiri mereka. Nod bergegas melangkah menuruni tanah berbatu di hadapannya. Lagi-lagi dia tak mengacuhkan celoteh Likos. Pasir basah dan percikan busa laut menerpa jemari kakinya yang pecah-pecah.

Dengan perlahan dia memilah pijakan yang mengantarnya menuju area yang lebih datar di bawah. Kotak berisi botol dan kertas surat tadi dipeluk dengan erat agar tidak terkena air laut. Nod berhasil mencapai tanah berpasir yang lebih kering diikuti Likos yang menandak-nandak berusaha menghindari bagian batu karang yang tajam.

“Nod, aku punya teman wanita yang kujamin kau pasti suka,” ujar Likos. “Aku bisa memperkenalkannya padamu. Dia sangat cekatan dan pandai mengurus rumah tangga. Aku yakin kalian pasti sangat cocok.”

Nod tetap melaju tanpa menggubris tawaran Likos. Dia masuk ke dalam mobil bak besarnya yang bertengger di tepi jalan. Likos langsung meluncur dan melompat masuk ke jok sebelahnya. Lirikan tajam terhunus ke arah Likos yang segera dibalas dengan cengiran polos.

“Gadis itu sudah mapan dan dia sangat mandiri—kurasa,” lanjut Likos.

“Likos, keberadaan Regan tidak akan pernah bisa digantikan oleh siapa pun,” lontar Nod tegas. “Jika kau masih akan terus membicarakan masalah perempuan itu, kau bisa turun di sini.”

Likos menggaruk dahinya sambil tetap tersenyum kecil. Gertakan Nod membungkam mulutnya.

“Aku akan meninggalkan tempat ini,” kata Nod setelah suasana kembali tenang.

“Kau yakin akan pergi dari sini?”

Nod mengangguk.

“Sudah tidak ada yang tersisa di sini,” ucap Nod.

Keduanya kembali termenung. Pikiran akan perpisahan merasuki khayalan mereka. Nod tidak pernah bermimpi akan melepaskan semua kehidupan yang telah berpuluh-puluh tahun dijalaninya di tanah perantauannya itu.

“Kau sedih karena tempat ini mengingatkanmu akan Regan dan Hania,” ucap Likos. “Aku paham. Itu juga keputusan yang baik. Jadi kapan kau akan berangkat?”

“Margipa bilang aku bisa ikut dengan kapalnya besok,” ucap Nod lagi.

“Secepat itu? Aku bisa ikut?” tanya Likos.

“Aku mau kembali ke tanah kelahiranku, kau yakin mau ikut?” tanya Nod mengerling heran.

“Jika hal itu bisa membuatmu berhenti menyuguhkan kue tart untuk kancil rakus di sana, aku tidak keberatan ikut denganmu,” jawab Likos.

Nod tertawa.

“Sebaiknya kau bergegas jika tidak mau ketinggalan.”

Likos mengangguk dengan semangat.

“Tapi aku serius, lebih baik kau berhenti melakukan ritual aneh itu,” lanjut Likos. “Hal itu justru membuatmu makin tidak waras. Kau tidak benar-benar berpikir mereka akan kembali kan? Maksudku, kita harus berpikir realistis. Sesuatu yang sudah hilang tak akan bisa kembali.”

“Terlepas dari dia merasakannya atau tidak, hal itu menenangkan jiwaku. Itu mengobatiku.”

Perjalanan mereka membelah sabana kekuningan menghanyutkan mereka dalam lamunan yang panjang. Mobil Nod berderu keras menembus jalan kering yang berdebu. Kerikil kecil berdenting ketika ban mobilnya menggilas permukaan tanah. Lahan bergelombang menyambut mereka menyusuri bukit berpasir di sisi jalan.

Bab terkait

  • Luxavar, Negeri di Dasar Samudera   Panggilan Laut

    Sudah sebulan ini Nod menyantap roti tawar dengan jenis yang sama. Rasa manis kian hari kian berkurang. Namun dia tidak punya pilihan. Makanan itu akan membuatnya bertahan sepanjang hari. Persediaan makanan mereka tidak akan cukup jika kapal ini belum berlabuh dalam dua hari ke depan. Ada tiga puluh kru kapal yang juga bernasib sama dengannya. Itu bukan hal terburuk yang mereka khawatirkan saat ini.Nod menyusun surat yang hendak dilemparnya lagi ke laut hari ini. Itu surat ketiga puluh yang akan dikirimnya melalui botol kaca. Semakin dia risau, semakin rutin pula dia mengirimi surat tersebut.Likos berjalan ke arahnya dengan membawa dua cangkir kopi panas dan sepotong roti bakar. Asap dari cangkirnya mengepul memenuhi dek kapal. Fokus Nod sedikit teralihkan oleh aroma kopi yang harum tadi terendus olehnya.“Kau tidak mau keluar melihat pemandangan di luar?” tanya Likos sambil menyelipkan sepotong roti di antara bibirnya.“Hanya ada air

  • Luxavar, Negeri di Dasar Samudera   Negeri di Dasar Samudera

    Cahaya putih kekuningan memenuhi pandangan Nod. Sekujur tubuhnya terasa sangat kaku. Mungkin sudah seminggu atau sebulan dia tidak sadarkan diri. Tulang belulangnya seakan baru dicopot lalu disambungkan kembali. Jiwa dan raganya bagaikan bereinkarnasi ke dalam siklus hidup yang baru. Dia tak tahu sekarang berada di mana dan pada masa apa. Pakaiannya telah diganti. Semua yang ada di tangannya telah di buang—sepertinya.Di mana ini? Secercah cahaya hangat dan menyilaukan menerpa wajahnya. Sumber terang tadi berasal dari langit-langit di atas tempat tidur Nod. Dia mengerjap penuh tanya. Kebingungan merasuki benaknya. Matanya menjelajahi setiap sisi ruangan yang tak bersudut tersebut. Ranjang yang tengah ditempatinya hanya berupa mangkok dengan kasur empuk bundar melapisi sisi dalamnya.Tempat ini sangat asing bagi Nod. Seluruh benda yang ada di dekatnya belum pernah dilihat Nod di belahan dunia mana pun. Nod tak berani berspekulasi. Dia mencoba mencari tahu

  • Luxavar, Negeri di Dasar Samudera   Luxavar, Bangsa Para Atlic

    Nod hampir melempar buku itu dari tangannya. Dia menoleh ke arah asal suara. Seorang gadis kecil yang samar-samar diingat Nod saat dia tenggelam kemarin berdiri tak jauh darinya. Anak perempuan berusia sekitar delapan tahun itu mengenakan kemeja putih dengan celana panjang yang juga berwarna putih. Kontras dengan bajunya, sepatu boot hitam setinggi lutut menutupi sebagian kaki kecilnya itu. Kerah tebal membungkus lehernya yang pendek. Rambutnya yang hitam kecokelatan tergerai ke belakang.“Siapa kau?” “Fibrela Greinthlen,” jawab anak perempuan itu. Nama yang agak asing di telinga Nod.“Di mana orang tuamu, Nak?” tanya Nod lagi.“Kurasa kau tidak perlu tahu.” Anak itu menjawab singkat.Nod tergelak. Dia tahu bahwa pasti ada seseorang yang membawanya kemari. Halusinasinya yang kemarin tampaknya belum usai. Dia mencoba mencubit lagi lengannya untuk memastikan ini bukan mimpi.“Oh ya,

  • Luxavar, Negeri di Dasar Samudera   Cerecza

    Nod diam tak berkutik. Makhluk yang terlihat berterbangan di langit merupakan robot berukuran dua kali lipat tubuhnya. Dia menunggangi motor tak beroda yang membuatnya tetap melayang rendah di depan Nod.Fibrela nyaris tak bernapas, sementara Nod hanya bisa menatap robot tadi memelas. Cerecza menjulurkan kepalanya lebih lekat ke hidung Nod. Kelihatannya dia tengah membaca setiap lekukan dan gerak-gerik Nod dengan saksama. Fibrela memberinya isyarat untuk tetap tenang. Jemarinya masih menggenggam erat pergelangan tangan Nod.Jantung Nod berdegub kencang. Dia berharap robot mengerikan di depannya tidak bisa mengendus identitasnya. Walau dia tidak pernah tahu apa yang bisa dilakukan robot semacam ini terhadapnya, penampakan wajah yang berlapis logam dengan mata bercahaya merah tanpa mimik itu sudah cukup membuat Nod menyimpulkan dia bukan rokern ramah seperti Louie. Belum lagi sekujur tubuh robot itu tak lain adalah senjata yang bisa melepaskan berbagai macam tembakan. No

  • Luxavar, Negeri di Dasar Samudera   Pabrik Awan

    Udara dingin menggesek wajah Nod dengan kuat. Gravitasi di tempat ini menarik dirinya kian mendekati atap menara besar di bawah sana. Tubuhnya terpental masuk melalui cerobong asap yang menjunjung tinggi di atmosfir Luxavar. Udara berwarna jingga mengepul dari cerobong yang sama. “Oh! Tidaaak!” Teriakan Nod bergema sepanjang lorong panjang yang mengantarnya masuk kian dalam. Asap kuning lebih pekat di tempat yang lebih dalam, tapi dia sama sekali tak merasa kepanasan. Malah sebaliknya, dia merasakan hawa yang sejuk menerpa kulitnya. Kedua tangan Nod sibuk meraih apa pun untuk mencegahnya terperosok semakin dalam ke cerobong itu. Baru kali ini dia begitu membenci gravitasi. Cerobong itu mengantar tubuhnya ke sebuah wadah besar yang di dalamnya berisi cairan kental. Tubuhnya kandas seumpama permen yang tercelup ke dalam susu berwarna jingga. Dalam keadaan panik ia berusaha berenang menuju tepian wadah. “Cairan apa ini?” Nod menggapai tangannya ke penyan

  • Luxavar, Negeri di Dasar Samudera   Lantai Pengayaan

    Mereka sudah mendarat kembali di lapangan yang sama dengan saat mereka pertama ke Balorop. Bangunan gedung berkelap-kelip memantulkan cahaya dari balik air di bawahnya. Di aula utama tersebut sudah berdiri Edvard dengan langkah kikuk. Dia terus menunduk tak berani menatap Fibrela. “Prof….” Edvard tak diacuhkan seperti biasanya. Dia tak menyerah. Dia kembali mengikuti langkah Fibrela. “Sungguh maafkan saya, Profesor Greinthlen.” “Kau tahu apa yang sudah diperbuat oleh benda rongsokan rekomendasimu, Edvard?” Wajah Fibrela membara. Dia memelotot ke arah Edvard penuh kekesalan. “Maafkan, saya, Profesor,” ucap Edvard berulang kali. “Sungguh maafkan saya.” “Jadi, hukuman apa yang bisa kujatuhkan padamu?” tanya Fibrela kembali tenang. Langkah mereka terhenti ke kuntum bunga terakhir di aula tadi. “Saya… saya akan membuat rokern baru untuk Anda.” Edvard tersenyum tipis setengah memelas. “Oh ya? Kau kira rokern buatanmu

  • Luxavar, Negeri di Dasar Samudera   Paerovy

    “Berdasarkan maklumat kesembilan tentang kesalahan penyebutan kata sandi Balorop, kau harus menerima sanksi berupa melafalkan tiga puluh tujuh kitab pseudonim Luxavar.”Nod terbelalak saat Engliver meletakkan setumpuk buku dengan ketebalan hampir lima sentimeter itu di atas meja di depannya. Buku-buku itu harus dibacanya agar dapat keluar dari tempat ini. Nod menggeleng tidak terima.“Tidak bisa, kalian tidak bisa menahanku dengan membaca semua buku itu,” kata Nod. “Aku hanya salah masuk, aku tidak benar-benar lupa. Kau tahu kan? Kadang-kadang kita bisa silap mengatakan sesuatu.”“Maaf, Tuan Nod. Yang memutuskan Anda berada di sini bukan saya. Lebih baik Anda baca semua buku ini dan mengikuti tes kelulusan nanti.”Engliver berjalan meninggalkan Nod dengan setumpuk buku di meja yang terlihat sangat asing. Berbagai jenis kata-kata bisa dibaca, hanya Nod tidak bisa mengerti apa maksud dan isinya. Buku itu

  • Luxavar, Negeri di Dasar Samudera   Vabian

    Suaranya seperti teredam. Wanita yang berjalan tersebut tak juga menoleh ke arahnya. Hingga pada akhirnya, seseorang muncul dari ujung belokan lorong. “Vabian, ternyata kau di sini,” ujar Edvard. “Nod?” Nod mendekati wanita yang dipanggil Edvard dengan Vabian itu. “Sudah kubilang, kau tidak boleh berkeliaran keluar dari bilikku.” Edvard menoleh ke arah Nod dengan kening tergurat. “Nod? Mengapa kau bisa di sini?” “Regan?” Nod sekali lagi mengelukan nama mendiang istrinya. “Maaf, Nod. Tapi dia adalah rokern,” imbuh Edvard seraya menarik rokern berwujud wanita cantik tersebut dari hadapan Nod. “Vabian, kembali ke Bilik Komputasi. Atau aku tidak akan memperbaiki sensor vibrasimu!” ancam Edvard. “Tidak, jangan,” cekal Nod. “Bagaimana bisa dia memiliki rupa seperti Regan?” Nod termangu mengelilingi Vabian. Setiap bentuk, warna, dan bahkan suaranya seperti Regan. Bagaimana bisa Edvard membuat rokern menyerupainya? Ini kebetula

Bab terbaru

  • Luxavar, Negeri di Dasar Samudera   PROLOG LUXAVAR 2

    Tiga atlic berlarian melewati koridor Egarus yang panjang dengan terengah-engah. Mereka tidak tahu apa yang baru saja terjadi pada tubuh mereka. Salah satu dari mereka menyemburkan darah dari mulutnya. Keduanya juga mengalami hal yang sama. Petugas kesehatan di Egarus dan beberapa rokern mengungsikan mereka ke salah satu brankar kosong. Melakukan pemeriksaan dan memindai seluruh pemeriksaan tersebut ke komputer pusat. Tiga rokern segera membawa mereka ke salah satu atlic. Mereka terbaring berdampingan. Wajah mereka pucat dan kedua lubang hidungnya sesekali masih mengeluarkan darah. Salah satu atlic mendekati mereka. “Apa yang terjadi?” tanya atlic dengan pakaian serba biru. Atlic yang masih menyumbat lubang hidungnya dengan kapas menggeleng lemah. Diikuti para pengunjung yang lainnya. “Kami tidak tahu,” jawab salah satu dari mereka dengan suara sengau. “Darahnya tidak berhenti. Kami tidak bisa menahannya.”

  • Luxavar, Negeri di Dasar Samudera   Ayah

    “Kau belum tidur?” tanya Nod. “Nod?” tanya Fibrela. “Aku masih mau membereskan pekerjaan di Balorop. Kau istirahat saja dulu.” “Fibrela, aku hanya ingin menyampaikan satu hal padamu,” kata Nod duduk di samping Fibrela. Fibrela terlihat tidak begitu mengacuhkan ucapan Nod. Dia memandang gambaran grafik pada layar di hadapannya. Salah satu jemarinya menggeser gambar-gambar yang tampil di layar itu. “Aku akan pindah ke Luxavar,” kata Nod tanpa menunggu respons dari Fibrela. Fibrela sentak menghentikan pekerjaannya. Dia memandang Nod seraya mengangkat kedua alisnya. Nod membalas tatapan tidak percaya tadi dengan cengiran kecil. “Kau serius?” tanya Fibrela. “Presiden Trufer memberiku pekerjaan yang lumayan bagus di Luxavar. Jadi kupikir kapan lagi aku bisa hidup senyaman di sini,” jawab Nod. “Dan aku akan kembali menjadi putrimu?” tanya Fibrela. “Jika kau tidak mau, aku bisa mengadopsi atlic lain,” kata Nod santai.

  • Luxavar, Negeri di Dasar Samudera   Mengepel Balorop

    Dalam suatu ruangan remang di suatu tempat di Luxavar, duduk seorang laki-laki paruh baya dengan seorang remaja muda di dekatnya. Seorang anak yang lebih muda berada di hadapan mereka dalam posisi bersujud.“Maaf, aku tidak menjalankan misi ini dengan baik,” kata anak itu. Wajahnya yang tirus dan pucat menunduk tak berani memandang pria itu secara langsung.“Sudahlah… kemarilah,” pinta pria tadi.Anak itu berdiri dan duduk di dekat pria paruh baya itu. Dia meraih tangan anak itu sambil berbicara, “Kuberikan lagi kau kesempatan. Aku harap kau tidak mengecewakanku kali ini.”Anak tadi memandang pria itu seakan mendapat harapan baru. Pemuda di sampingnya menatap tajam.“Bagaimana bisa kau menyia-nyiakan kesempatan yang begitu besar, Edvard?” tukas pemuda itu.“Jibethus, diamlah!” hardik pria itu sekejap membungkam keluhan Jibethus. “Kau juga sudah gagal menjalankan misi in

  • Luxavar, Negeri di Dasar Samudera   Perdamaian

    Di pagi hari keesokan harinya Fibrela mulai kembali membaik. Demam sudah turun. Sesaknya perlahan berkurang. Jemari yang tergenggam dalam cengkeraman Nod sesekali dieratkan.“Fibrela? Kau dengar aku?” tanya Nod mengamati wajah Fibrela lekat-lekat.Fibrela mengerlipkan pelupuk matanya, berusaha mengumpulkan semua tenaga untuk bangun. Dia menggerakkan kedua tangannya dan mencoba menyingkirkan semua benda asing yang berada di tubuhnya. Matanya menyipit ke arah cahaya terang yang terpancar dari jendela kaca di sampingnya.“Fibrela, Tidak apa-apa. Kau di sini. Kau bersamaku,” ucap Nod pelan saat Fibrela menoleh ke arahnya.Fibrela kemudian mengamati sekelilingnya bertanya-tanya. Dia langsung memberontak saat menyadari sekujur tubuhnya dipenuhi kabel dan selang. Tangannya sentak menyingkirkan benda-benda asing tersebut. Para perawat mendekatinya berusaha mencegah tindakan melukai dirinya tersebut. Fibrela berhasil menarik selang makan ya

  • Luxavar, Negeri di Dasar Samudera   Penyesalan

    “Sesungguhnya kau tidak perlu memercayai Edvard jika dalam hatimu saja kau sudah percaya pada Fibi,” kata Brevis ketika rekaman yang disaksikan Nod berakhir.“Apakah semua ini benar?” tanya Nod pada Louie.Louie mengangguk.Nod mengusap air matanya yang sudah bergulir lagi. Sebuah bongkahan es telah membeku dan menyedat kerongkongannya, membuat dirinya begitu kesusahan bernapas.Semestinya dari dulu Nod tahu kalau Fibrela bukan pembunuh seperti yang dikatakan Edvard dan orang-orang. Bukan itu saja. Fibrela adalah Atlic yang mencoba menyelamatkan istri dan anaknya, meski gagal. Semua menyayangkan hal tersebut. Seharusnya Nod tidak menganggap Fibrela sebagai pembunuh. Dia sudah berusaha. Itu yang semestinya dipikirkan Nod. Fibrela hanya mencoba menebus penyesalannya dengan melakukan perbuatan baik itu.Istrinya tidak mati sia-sia. Begitu pun putrinya. Mereka tidak mati percuma. Ada gadis kecil di Luxavar yang memperjuang

  • Luxavar, Negeri di Dasar Samudera   Masa Lalu

    Likos melangkah ke arah Nod dan Louie dari ujung lorong rumah sakit dengan membawa sekantung makanan. Tidak ada kursi di depan ruang rawat intensif karena tempat duduk sudah disediakan di tempat yang lebih jauh. Jadi mereka hanya bisa menunggu di lorong itu dalam keresahan. Lampu rumah sakit mencetak bayangannya ke arah yang lebih gelap. Nod masih merundukkan kepala memeluk kedua kakinya yang masih basah. Tidak membiarkan secercah cahaya pun menyentuh wajahnya. Pakaiannya hampir kering, tapi masih lembap.“Makanlah, sedikit,” ucapnya sambil menyodorkan bungkus makanan yang dibawanya ke hadapan Nod yang masih termenung dalam.Sapaan Likos seperti angin yang menerpa puing-puing kesedihan yang telah diluluhlantakkan akal sehat itu. Kekalutan memperkeruh pikirannya hingga dia hampir tak menyadari keberadaan Likos yang beberapa menit lalu muncul di sampingnya. Apa yang telah terjadi atau apa yang semestinya dilakukannya? Dia berharap ingatan ini bisa sejenak saj

  • Luxavar, Negeri di Dasar Samudera   Berjuang Hidup

    Nod kembali menelusuri lorong yang sama, memasuki ruang kerja Edvard yang sudah terbuka. Ruangan dan lorong itu sudah dipenuhi air. Nod menghirup udara terakhir yang masih tersisa dari langit-langit dan berenang melintasi bingkai pintu yang melengkung. Dia bisa melihat Brevis di samping Fibrela berusaha membuka ikatan yang mengerat kedua tangan Fibrela.Gelembung udara keluar dari mulut Fibrela. Matanya masih terbuka mencoba menyelamatkan diri dengan sisa-sisa udara di parunya. Entah sudah berapa lama dia terendam air. Nod meraih pisau yang dilemparnya ke sudut ruangan itu. Dia bisa melihat Louie dan Brevis masih mencoba menarik kawat itu.Pisau tadi segera diarahkan ke kawat yang mengerat tangan dan kaki Fibrela. Nod memberi isyarat pada Brevis untuk keluar lebih dulu sebelum dia mati lemas di dalam air. Brevis segera berenang keluar setelah semua kawat yang mengikat Fibrela lepas, disusul Nod dengan tubuh Fibrela yang sudah tak meronta.Nod tahu dia sudah tak

  • Luxavar, Negeri di Dasar Samudera   Lobus Kaca

    Sandaran kursi yang menindih Fibrela kini hampir mencekiknya. Dudukan yang keras itu menimpa sebelah tungkainya, menggeseknya dengan keras hingga jemari kakinya membiru sekarang. Posisi tubuhnya tampak begitu menyedihkan. Fibrela mencoba mengerang dengan hembusan panjangnya. Giginya gemeretak hebat.Nod membenarkan kursi Fibrela dan memposisikan duduknya seperti semula. Dia merasa sedikit iba melihat sekujur tubuhnya kini bersimbah darah. Namun dia juga tidak berdaya memutuskan mengakhiri penderitaannya.Meski begitu, Fibrela membalas ucapan Nod dengan tawa. Nod mengernyit heran. Fibrela tak berhenti tertawa. Mengapa dia masih tertawa walau dalam keadaan mengenaskan seperti ini? Apakah Fibrela menganggap urusan kematian ini hanya permainan belaka? Dia sangat kesal berada dalam situasi seperti ini.Edvard di sampingnya tersenyum ringan. Dia terlihat tidak mau kalah dengan menimpal perkataan, “Kau tidak perlu menunggu dia menjelaskannya padamu, Nod. Kau hany

  • Luxavar, Negeri di Dasar Samudera   Kenyataan yang Terungkap

    Nod mendapati dirinya terbangun di atas kursi besar. Kawat tipis melingkari pergelangan tangan dan kakinya, membuat tubuhnya tak berdaya berkutik. Nod berusaha memandang ke segala arah untuk menerka keberadaannya. Lagi-lagi dia mengutuki dirinya yang begitu sial sampai tertangkap berulang kali.Suasana seperti ini tampak tak asing. Ini ruangan yang pernah ditunjukkan Fibrela padanya. Bau wewangian yang khas mengingatkannya pada saat-saat dia bertemu dengan rokern cantik buatan Edvard. Ini bau pelembap kulit rokern. Dia ingat betul bau ini.Kepalanya terasa nyeri setelah menghantam tanah tadi. Nod sadar kalau mereka mereka tidak memiliki banyak waktu untuk menyelamatkan diri. Sudah berapa lama dia tidak sadar. Matanya menatap ke segala arah.“Fibrela?” panggil Nod.Nod melihat Fibrela di sampingnya juga sudah sadar. Dia diikat di kursi dengan jenis yang sama dengan Nod. Pandangan Fibrela datar tanpa mimik. Benturan keras saat di yunish menyorak

DMCA.com Protection Status