Nod hampir melempar buku itu dari tangannya. Dia menoleh ke arah asal suara. Seorang gadis kecil yang samar-samar diingat Nod saat dia tenggelam kemarin berdiri tak jauh darinya. Anak perempuan berusia sekitar delapan tahun itu mengenakan kemeja putih dengan celana panjang yang juga berwarna putih. Kontras dengan bajunya, sepatu boot hitam setinggi lutut menutupi sebagian kaki kecilnya itu. Kerah tebal membungkus lehernya yang pendek. Rambutnya yang hitam kecokelatan tergerai ke belakang.
“Siapa kau?”
“Fibrela Greinthlen,” jawab anak perempuan itu. Nama yang agak asing di telinga Nod.
“Di mana orang tuamu, Nak?” tanya Nod lagi.
“Kurasa kau tidak perlu tahu.” Anak itu menjawab singkat.
Nod tergelak. Dia tahu bahwa pasti ada seseorang yang membawanya kemari. Halusinasinya yang kemarin tampaknya belum usai. Dia mencoba mencubit lagi lengannya untuk memastikan ini bukan mimpi.
“Oh ya, kalau begitu coba jelaskan padaku ini di mana?” Nod kembali menguji si anak.
“Kau berada di tempatku,” jawab gadis perempuan itu. “Aku tahu kau Tuan Pender. Kau seorang dokter forensik yang tengah berkelana di negeri jajahanmu….”
“Tunggu dulu, siapa kau sebenarnya?” potong Nod.
“Kau sudah menanyakan hal itu tadi. Apakah kau menderita amnesia jangka pendek?”
“Bukan, maksudku—bagaimana kau bisa di sini?”
“Aku pemilik tempat ini. Menurutmu aku tidak bisa berada di sini?” singgung Fibrela.
Nod merasakan kepalanya berdenyut sekarang. Jangan-jangan Likos benar. Dia tidak tahu apakah dia mulai gila sekarang. Walau dia berharap seperti itu dulu, tapi sekarang bukan saat yang tepat untuk menjadi gila, karena menjadi gila cukup merepotkan.
“Baiklah. Kalau begitu jelaskan padaku apa maksud semua ini? Di mana aku sekarang dan bagaimana aku bisa berada di sini?” tanya Nod tak berjeda.
Setelah Nod mencurahkan seperenambelas isi pertanyaan di kepalanya, Fibrela tidak menjawab. Padahal satu kata darinya bisa sangat berguna untuk Nod. Dia memilih untuk diam, sampai seorang lelaki tua berjas hitam menghampiri mereka dan berbisik, “Profesor Greinthlen, waktunya sudah tiba.”
Lalu laki-laki berkumis putih yang benar-benar berwujud ini pergi diikuti Fibrela. Sosok Louie yang tadi menemaninya sama persis dengan hologram yang tampak di ruangannya tadi.
Nod kembali bingung, “Profesor? Kau profesor apa? Berapa umurmu?” Nod berusaha menghapus kebingungannya, walau sebenarnya pikirannya sendiri masih berputar-putar. Apa anak-anak zaman sekarang semua seperti ini.
Fibrela berbalik menyeringai ke arah Nod. Namun kemudian, seakan malas menjelaskannya, dia pun beranjak dari ruangan tersebut. Sembari melangkah, dia berpesan kepada lelaki tua di sampingnya tadi. Wajahnya yang berkerut itu memandang tanpa ekspresi. Langkahnya juga sangat kaku. Seakan setiap langkahnya telah diperhitungkan dengan mantap. Pasti dia dilatih bertahun-tahun untuk melakukan hal demikian.
“Kuserahkan dia padamu, Louie,” bisik Fibrela.
“Hei, sandiwara apa ini? Ini bukan lelucon sama sekali. Panggil orang tuamu kemari!”
“Lebih baik Anda tenang dulu Tuan Nod. Itu lebih baik untuk kesehatanmu,” kata orang tua yang bernama Louie tadi.
“Louie? Kau pengasuhnyakah?” tanya Nod.
Lelaki tua tadi tidak menggubris Nod. Dia berlalu bersama Fibrela.
“Tidak, tidak, tidak. Kalian tidak akan membiarkan aku lebih dari tiga jam bersama Louie bayangan ini lagi, kan?” Nod mengelak gusar.
Meski Fibrela tak berbicara padanya, tapi Nod sudah benar-benar ingin mendapakan penjelasan darinya dan keluar dari semua lingkaran kebingungannya ini.
“Fibrela! Jangan tinggalkan aku di sini,” pinta Nod.
Permintaan tadi ternyata bisa menghentikan langkah Fibrela, “Kurasa memang kau lebih baik ikut denganku. Kalungkan ini!” perintah Fibrela sambil melempar benda berwarna perak berkilat dari sakunya. Ada pengait yang bisa disangkutkan di leher Nod. Cukup berat untuk ukuran sebuah kalung.
“Jangan kau lepaskan jika kau tidak mau hal buruk terjadi padamu.”
Itu saja yang dikatakannya. Nod memperhatikan kalung berliontin perak dengan emblem yang tidak dia mengerti. Tetapi ketika mengalungkan benda itu, dia merasakan tubuhnya lebih ringan. Ada gelombang tak tampak yang bergetar dari kalung tadi yang merambat ke kedua kakinya.
Nod menurut, mengalungkannya di leher, dan mengikuti Fibrela keluar dari pintu di balik lukisan Pedesaan-Ajaib itu. Lukisan itu bergeser dari tempat seharusnya sampai kira-kira muat untuk dilewati manusia normal.
Baru kali ini Nod bisa melepaskan dirinya dari ruangan aneh yang selama ini menjeratnya. Pemandangan ini sangat asing baginya. Awan mereka berwarna merah jambu. Dengan berbagai jenis benda terbang yang melintas di langitnya. Dari tempatnya berdiri, Nod bisa melihat sebuah jalan di hadapannya lurus ke depan. Jalan ini mengarah ke sebuah perkotaan di kejauhan. Meski mataharinya bersinar terang, hawa yang menyelubungi mereka tak sehangat yang dibayangkan. Udaranya sejuk. Sesejuk udara di lereng gunung.
“Tapi aku yakin ini bukan pemandangan yang kulihat tadi,” ucap Nod. Dia ingat betul pemandangan dari balik jendela yang dilihatnya dari pembaringannya tadi.
“Ya. Aku menjalankan xeflenya untuk membawamu kemari,” jawab Fibrela tanpa menoleh.
Nod melirik ke arah benda yang tadi dikiranya rumah itu. Ternyata ruangan itu memang bisa dipindah-pindahkan. Ada roda yang bisa dikendalikan di bawahnya. Mereka menyebutnya xefle. Tampaknya setiap rumah di dunia ini bisa dipindah-pindahkan seperti itu. Nod tak mau memikirkannya lebih jauh karena hal itu hanya akan membuatnya semakin pusing.
Fibrela membawanya melangkah di jalan yang bertekstur rata. Tak ada mobil atau kendaraan apa pun yang melaju di jalan tersebut. Pemandangan kota terlihat dari tempat mereka berdiri.
“Kau meninggalkan xe…flemu di sana?” tanya Nod bingung.
“Xefle tidak boleh dibawa masuk ke Mercendia,” jawab Fibrela singkat.
Tidak perlu waktu yang lama bagi mereka untuk sampai ke jalur utama yang terarah langsung ke pusat kota. Banyak pejalan kaki yang berlalu lalang di jalan yang sama dengan mereka. Semua orang tampak tak saling peduli satu sama lain. Pakaian mereka rata-rata senada dengan yang dikenakan Fibrela.
Ada terowongan kaca tak beratap yang mengarahkan mereka menyusuri jalanan di perkotaan itu. Menara dan bangunan menjulang di mana-mana. Terowongan itu berada di atas kereta yang melaju kencang di bawahnya. Sekeliling mereka ditumbuhi berbagai tanaman. Sebagian besar tidak dikenal oleh Nod. Ada jalan yang mengarahkan setiap orang menuju ke bangunan-bangunan besar di sepanjang jalan.
Jalur yang mereka tapaki sekarang disuguhi pemandangan gedung-gedung pencakar langit. Nod sempat mengamati permukaan tanah yang dipijakinya selama beberapa detik. Tidak ada aspal atau semen yang biasa dia temui di daratan, jalanan itu sepertinya terbuat dari serat logam yang memiliki fungsi serap dan fungsi redam terhadap hantaman keras. Cahaya terang juga berpendar dari dasar jalanan.
“Kau akan mengutuk tanah itu jika kau bukan atlic,” bisik Fibrela sambil tetap berjalan.
Nod belum mengerti ucapan Fibrela barusan dan tidak berniat bertanya lebih lanjut. Perhatiannya teralihkan oleh tulisan-tulisan di dinding penyangga jalan. Dinding kaca yang menutupi jalan tersebut memancarkan gambar yang bisa bergerak. Kadang-kadang ada deretan tulisan yang muncul atau suara yang berbunyi dari sana. Setiap bagian menyajikan gambar yang berbeda.
JALUR FRASA 1 SEMENTARA DIALIHFUNGSIKAN MENJADI JALUR DISTRIBUSI ROKERN. MOHON TIDAK MEMARKIRKAN YUNISH DI KAWASAN FRASA 1. PERHATIAN KEPADA PARA ATLIC YANG TERHORMAT, JALUR FRASA 1 SEMENTARA DIALIHFUNGSIKAN MENJADI JALUR DISTRIBUSI ROKERN, MOHON TIDAK MEMARKIRKAN YUNISH DI KAWASAN FRASA 1.
Dan seluruh penjuru kota seperti digemakan oleh pengumuman tadi. Walau Nod tidak sepenuhnya paham dengan kalimat yang disampaikan berita tadi, dia tetap melanjutkan perjalanannya. Fibrela akan memberitahunya bila itu memang dibutuhkan—seharusnya begitu, kan?
Selang beberapa detik layar tadi kembali berganti. Kali ini tampaknya gambar yang muncul adalah iklan makanan. Torri Gluka, nama yang jelas belum pernah didengarnya di dalam mimpi mana pun.
Mereka terus berjalan melewati beragam iklan lainnya. Ada video yang menampilkan iklan aneh lainnya. Rokern, sebutan untuk robot berwujud manusia yang ada di dunia ini. Berbagai penampilan ditunjukkan sesuai dengan keinginan pemesan. Bahkan iklan barusan menampakkan model terbaru pakaian untuk manusia kaku tersebut. Jaring-jaring dengan mutiara dan bulu bertebaran di sebagian baju yang menutupi rokern tadi. Awalnya Nod mengira mereka menjual pakaian anjing pudel.
“Fibrela,” panggil Nod.
Anak perempuan itu berbalik.
“Apakah Louie juga salah satu dari mereka?” tanya Nod penuh keraguan.
Fibrela mengangguk. “Louie lebih istimewa ketimbang para rokern abal-abal yang dikeluarkan mereka.”
“Abal-abal?” gumam Nod makin bertanya-tanya. Dia hendak kembali bertanya, tapi Fibrela terlihat sudah berjalan tiga langkah mendahuluinya.
Dia mencoba mendekati Louie. Nod lupa kalau Louie itu bukan manusia. Ada desingan lembut ketika Louie menggerakkan lehernya—menoleh ke arah Nod. Fibrela juga langsung memandang Nod tajam saat tahu kakek tua kesayangannya didekati oleh Nod.
Louie memang selalu mengikuti ke mana pun Fibrela pergi. Mungkin itu yang membuatnya istimewa. Namun seharusnya dia membuat rokern yang lebih tampan, atau rokern berwujud peri sekalian, pikir Nod. rokern itu tua dan jelek. Kumisnya bahkan sudah beruban. Kulit wajah pun keriput.
“Kita harus cepat, Nod.” Fibrela kembali mendesak Nod yang tengah bingung mencerna segala jenis pemandangan yang terpampang di sekelilingnya.
Terowongan kaca tadi juga melewati sungai besar yang membelah kota tersebut menjadi dua bagian yang terpisah. Airnya yang biru memalingkan tatapan Nod dari dinding berita. Ada jalan menurun yang bisa mereka lalui bila ingin ke tepi sungai. Pepohonan memadati sekeliling sungai, bahkan hingga ke setiap sela bangunan. Kota ini seperti kota yang didambakan Nod dalam mimpinya.
Tatapan takjub yang diekspresikan Nod memancing kegelisahan Fibrela. Dia meraih lengan Nod agar mempercepat langkahnya. Dia tak ingin para atlic yang berlalu lalang di jalanan ini mencurigai mereka.
Mendadak bayangan hitam melintas di langit. Cahaya benderang tersebut silih berganti diliputi gerombolan makhluk hitam. Nod tak bisa menerka makhluk yang tengah berterbangan di atas sana. Dia tidak pernah tahu ada benda semacam itu.
Beberapa detik kemudian, terdengar suara dentuman tak jauh dari tempat mereka berdiri. Suara keras tadi disusul oleh ledakan beruntun di balik bangunan pencakar langit di sampingnya. Asap hitam mengepul dari balik bangunan tersebut.
“Cerecza!” pekik orang-orang di sekeliling Nod.
Semua kalang kabut mencari perlindungan. Seluruh penghuni jalan berlari terbirit-birit mencari jalan keluar.
“Nod!” Fibrela menarik tangan Nod menjauhi kerumunan. Dia langsung mengarahkan jalannya menuruni terowongan menuju ke tepi perairan.
Nod menoleh heran. Apa yang membuat semua orang begitu cemas? Mungkin sosok hitam yang bertebaran di langit tersebut adalah Cerecza.
“Gerombolan Cerecza sedang melakukan patroli,” bisik Fibrela setelah mereka berada di tempat yang agak tersembunyi. Pohon besar menaungi sebagian tanah berumput di tepi sungai.
Sekali lagi Nod menatap sekeliling tempat tadi terkesima. Dia nyaris lupa betapa hal tersebut membuat Fibrela amat ketakutan.
“Nod, kita harus bersembunyi!” tukas Fibrela.
Tapi terlambat. Salah satu makhluk berwujud robot tadi sudah meluncur tepat ke hadapan Nod.
Nod diam tak berkutik. Makhluk yang terlihat berterbangan di langit merupakan robot berukuran dua kali lipat tubuhnya. Dia menunggangi motor tak beroda yang membuatnya tetap melayang rendah di depan Nod.Fibrela nyaris tak bernapas, sementara Nod hanya bisa menatap robot tadi memelas. Cerecza menjulurkan kepalanya lebih lekat ke hidung Nod. Kelihatannya dia tengah membaca setiap lekukan dan gerak-gerik Nod dengan saksama. Fibrela memberinya isyarat untuk tetap tenang. Jemarinya masih menggenggam erat pergelangan tangan Nod.Jantung Nod berdegub kencang. Dia berharap robot mengerikan di depannya tidak bisa mengendus identitasnya. Walau dia tidak pernah tahu apa yang bisa dilakukan robot semacam ini terhadapnya, penampakan wajah yang berlapis logam dengan mata bercahaya merah tanpa mimik itu sudah cukup membuat Nod menyimpulkan dia bukan rokern ramah seperti Louie. Belum lagi sekujur tubuh robot itu tak lain adalah senjata yang bisa melepaskan berbagai macam tembakan. No
Udara dingin menggesek wajah Nod dengan kuat. Gravitasi di tempat ini menarik dirinya kian mendekati atap menara besar di bawah sana. Tubuhnya terpental masuk melalui cerobong asap yang menjunjung tinggi di atmosfir Luxavar. Udara berwarna jingga mengepul dari cerobong yang sama. “Oh! Tidaaak!” Teriakan Nod bergema sepanjang lorong panjang yang mengantarnya masuk kian dalam. Asap kuning lebih pekat di tempat yang lebih dalam, tapi dia sama sekali tak merasa kepanasan. Malah sebaliknya, dia merasakan hawa yang sejuk menerpa kulitnya. Kedua tangan Nod sibuk meraih apa pun untuk mencegahnya terperosok semakin dalam ke cerobong itu. Baru kali ini dia begitu membenci gravitasi. Cerobong itu mengantar tubuhnya ke sebuah wadah besar yang di dalamnya berisi cairan kental. Tubuhnya kandas seumpama permen yang tercelup ke dalam susu berwarna jingga. Dalam keadaan panik ia berusaha berenang menuju tepian wadah. “Cairan apa ini?” Nod menggapai tangannya ke penyan
Mereka sudah mendarat kembali di lapangan yang sama dengan saat mereka pertama ke Balorop. Bangunan gedung berkelap-kelip memantulkan cahaya dari balik air di bawahnya. Di aula utama tersebut sudah berdiri Edvard dengan langkah kikuk. Dia terus menunduk tak berani menatap Fibrela. “Prof….” Edvard tak diacuhkan seperti biasanya. Dia tak menyerah. Dia kembali mengikuti langkah Fibrela. “Sungguh maafkan saya, Profesor Greinthlen.” “Kau tahu apa yang sudah diperbuat oleh benda rongsokan rekomendasimu, Edvard?” Wajah Fibrela membara. Dia memelotot ke arah Edvard penuh kekesalan. “Maafkan, saya, Profesor,” ucap Edvard berulang kali. “Sungguh maafkan saya.” “Jadi, hukuman apa yang bisa kujatuhkan padamu?” tanya Fibrela kembali tenang. Langkah mereka terhenti ke kuntum bunga terakhir di aula tadi. “Saya… saya akan membuat rokern baru untuk Anda.” Edvard tersenyum tipis setengah memelas. “Oh ya? Kau kira rokern buatanmu
“Berdasarkan maklumat kesembilan tentang kesalahan penyebutan kata sandi Balorop, kau harus menerima sanksi berupa melafalkan tiga puluh tujuh kitab pseudonim Luxavar.”Nod terbelalak saat Engliver meletakkan setumpuk buku dengan ketebalan hampir lima sentimeter itu di atas meja di depannya. Buku-buku itu harus dibacanya agar dapat keluar dari tempat ini. Nod menggeleng tidak terima.“Tidak bisa, kalian tidak bisa menahanku dengan membaca semua buku itu,” kata Nod. “Aku hanya salah masuk, aku tidak benar-benar lupa. Kau tahu kan? Kadang-kadang kita bisa silap mengatakan sesuatu.”“Maaf, Tuan Nod. Yang memutuskan Anda berada di sini bukan saya. Lebih baik Anda baca semua buku ini dan mengikuti tes kelulusan nanti.”Engliver berjalan meninggalkan Nod dengan setumpuk buku di meja yang terlihat sangat asing. Berbagai jenis kata-kata bisa dibaca, hanya Nod tidak bisa mengerti apa maksud dan isinya. Buku itu
Suaranya seperti teredam. Wanita yang berjalan tersebut tak juga menoleh ke arahnya. Hingga pada akhirnya, seseorang muncul dari ujung belokan lorong. “Vabian, ternyata kau di sini,” ujar Edvard. “Nod?” Nod mendekati wanita yang dipanggil Edvard dengan Vabian itu. “Sudah kubilang, kau tidak boleh berkeliaran keluar dari bilikku.” Edvard menoleh ke arah Nod dengan kening tergurat. “Nod? Mengapa kau bisa di sini?” “Regan?” Nod sekali lagi mengelukan nama mendiang istrinya. “Maaf, Nod. Tapi dia adalah rokern,” imbuh Edvard seraya menarik rokern berwujud wanita cantik tersebut dari hadapan Nod. “Vabian, kembali ke Bilik Komputasi. Atau aku tidak akan memperbaiki sensor vibrasimu!” ancam Edvard. “Tidak, jangan,” cekal Nod. “Bagaimana bisa dia memiliki rupa seperti Regan?” Nod termangu mengelilingi Vabian. Setiap bentuk, warna, dan bahkan suaranya seperti Regan. Bagaimana bisa Edvard membuat rokern menyerupainya? Ini kebetula
Perjalanan mereka berakhir ketika yunish berhenti pada landasan di depan gerbang sebuah bangunan bundar yang terbingkai oleh pilar-pilar. Jalur masuk berada tak jauh dari halaman parkir tempat mereka mendarat. Potongan mozaik melapisi keseluruhan teras bangunan. Lampu sorot menerangi garis jalan yang mengantar mereka memasuki pintu utama Museum Paranis.Fibrela langsung mengarahkan langkah mereka memasuki pintu utama di tengah gedung tersebut. Tempat ini terbuka untuk umum selama seharian penuh. Tidak ada lagi pendatang yang masuk di jam-jam seperti ini. Waktu yang juga sangat tepat bagi mereka untuk mengunjungi tempat tersebut.Pada sisi dalam gedung, tergantung banyak lukisan-lukisan kuno yang mirip dengan di daratan. Hanya saja tidak ada satu lukisan pun yang pernah dilihat Nod. Tepat di tengah aula tadi terdapat sebuah kapal pesiar besar. Ada ukiran nama tulisan ‘FELIZ CARLOTA 1818’ di lambung kapal tersebut. Nod tidak bisa mengingat apa pun te
“Karena inikah kalian begitu membenci kami?” gumam Nod. Kurator Urvi muncul dari balik pintu yang berbeda. Nod sentak berdiri hendak menudingnya lagi dengan pertanyaan. “Apa yang kalian lakukan pada kami di Luxavar?” tandas Nod mulai berapi-api. Fibrela langsung menahannya. Tangannya menarik Nod agar tidak lebih lanjut mencecar Urvi. “Tuan Nod, saya tidak mengerti perkataan Anda.” Urvi beringsut dari tempatnya berdiri sambil mengernyit heran. “Berhentilah membohongiku. Aku tahu istriku ada di Luxavar. Aku melihat lukisan itu di depan sana. Di mana kalian menyembunyikannya?” Wajah Nod merah padam. Ruangan yang remang itu bahkan tak bisa menyembunyikan kemurkaannya. “Nod!” bentak Fibrela. “Hentikan semua ini!” Nod membungkam dan menoleh ke arah Fibrela. “Urvi tidak akan bisa menjawab pertanyaanmu. Dia hanya menunjukkan sejarah yang pernah dialami Luxavar padamu. Kau bisa tidak mempercayainya. Namun kami mengalami semua itu. Apaka
Nod tertegun. Likos masih belum menyadari keberadaannya di dalam ruang tersebut. Urvi membuat tempat ini tidak terlihat dari luar. “Urvi, kau harus memperbaiki aksesku. Entah mengapa aku jadi tidak bisa menggunakannya untuk masuk ke xefleku.” Likos berjalan tanpa melihat ke arah mereka. Dia sibuk mengutak-atik punggung tangannya dengan kesal. Nod ingat dengan jelas bentuk wajah Likos walau di daratan dia terlihat lebih berantakan lagi. Likos sudah berteman dengannya lebih dari dua puluh tahun dan mengenali wajahnya yang berkumis tebal itu bukan hal yang sulit. Urvi yang tadinya bersama Nod langsung keluar menengok permasalahan yang dikeluhkan Likos. Disusul oleh Nod yang masih terpegun dengan kedatangan manusia daratan di tempat asing ini. Otaknya berdesing cepat mencerna alasan-alasan yang mungkin akan dijelaskan Likos padanya. Ketika Likos melangkah dan mendapati Nod sudah berdiri tepat di hadapannya, Likos langsung mundur selangkah. “Nod? K
Tiga atlic berlarian melewati koridor Egarus yang panjang dengan terengah-engah. Mereka tidak tahu apa yang baru saja terjadi pada tubuh mereka. Salah satu dari mereka menyemburkan darah dari mulutnya. Keduanya juga mengalami hal yang sama. Petugas kesehatan di Egarus dan beberapa rokern mengungsikan mereka ke salah satu brankar kosong. Melakukan pemeriksaan dan memindai seluruh pemeriksaan tersebut ke komputer pusat. Tiga rokern segera membawa mereka ke salah satu atlic. Mereka terbaring berdampingan. Wajah mereka pucat dan kedua lubang hidungnya sesekali masih mengeluarkan darah. Salah satu atlic mendekati mereka. “Apa yang terjadi?” tanya atlic dengan pakaian serba biru. Atlic yang masih menyumbat lubang hidungnya dengan kapas menggeleng lemah. Diikuti para pengunjung yang lainnya. “Kami tidak tahu,” jawab salah satu dari mereka dengan suara sengau. “Darahnya tidak berhenti. Kami tidak bisa menahannya.”
“Kau belum tidur?” tanya Nod. “Nod?” tanya Fibrela. “Aku masih mau membereskan pekerjaan di Balorop. Kau istirahat saja dulu.” “Fibrela, aku hanya ingin menyampaikan satu hal padamu,” kata Nod duduk di samping Fibrela. Fibrela terlihat tidak begitu mengacuhkan ucapan Nod. Dia memandang gambaran grafik pada layar di hadapannya. Salah satu jemarinya menggeser gambar-gambar yang tampil di layar itu. “Aku akan pindah ke Luxavar,” kata Nod tanpa menunggu respons dari Fibrela. Fibrela sentak menghentikan pekerjaannya. Dia memandang Nod seraya mengangkat kedua alisnya. Nod membalas tatapan tidak percaya tadi dengan cengiran kecil. “Kau serius?” tanya Fibrela. “Presiden Trufer memberiku pekerjaan yang lumayan bagus di Luxavar. Jadi kupikir kapan lagi aku bisa hidup senyaman di sini,” jawab Nod. “Dan aku akan kembali menjadi putrimu?” tanya Fibrela. “Jika kau tidak mau, aku bisa mengadopsi atlic lain,” kata Nod santai.
Dalam suatu ruangan remang di suatu tempat di Luxavar, duduk seorang laki-laki paruh baya dengan seorang remaja muda di dekatnya. Seorang anak yang lebih muda berada di hadapan mereka dalam posisi bersujud.“Maaf, aku tidak menjalankan misi ini dengan baik,” kata anak itu. Wajahnya yang tirus dan pucat menunduk tak berani memandang pria itu secara langsung.“Sudahlah… kemarilah,” pinta pria tadi.Anak itu berdiri dan duduk di dekat pria paruh baya itu. Dia meraih tangan anak itu sambil berbicara, “Kuberikan lagi kau kesempatan. Aku harap kau tidak mengecewakanku kali ini.”Anak tadi memandang pria itu seakan mendapat harapan baru. Pemuda di sampingnya menatap tajam.“Bagaimana bisa kau menyia-nyiakan kesempatan yang begitu besar, Edvard?” tukas pemuda itu.“Jibethus, diamlah!” hardik pria itu sekejap membungkam keluhan Jibethus. “Kau juga sudah gagal menjalankan misi in
Di pagi hari keesokan harinya Fibrela mulai kembali membaik. Demam sudah turun. Sesaknya perlahan berkurang. Jemari yang tergenggam dalam cengkeraman Nod sesekali dieratkan.“Fibrela? Kau dengar aku?” tanya Nod mengamati wajah Fibrela lekat-lekat.Fibrela mengerlipkan pelupuk matanya, berusaha mengumpulkan semua tenaga untuk bangun. Dia menggerakkan kedua tangannya dan mencoba menyingkirkan semua benda asing yang berada di tubuhnya. Matanya menyipit ke arah cahaya terang yang terpancar dari jendela kaca di sampingnya.“Fibrela, Tidak apa-apa. Kau di sini. Kau bersamaku,” ucap Nod pelan saat Fibrela menoleh ke arahnya.Fibrela kemudian mengamati sekelilingnya bertanya-tanya. Dia langsung memberontak saat menyadari sekujur tubuhnya dipenuhi kabel dan selang. Tangannya sentak menyingkirkan benda-benda asing tersebut. Para perawat mendekatinya berusaha mencegah tindakan melukai dirinya tersebut. Fibrela berhasil menarik selang makan ya
“Sesungguhnya kau tidak perlu memercayai Edvard jika dalam hatimu saja kau sudah percaya pada Fibi,” kata Brevis ketika rekaman yang disaksikan Nod berakhir.“Apakah semua ini benar?” tanya Nod pada Louie.Louie mengangguk.Nod mengusap air matanya yang sudah bergulir lagi. Sebuah bongkahan es telah membeku dan menyedat kerongkongannya, membuat dirinya begitu kesusahan bernapas.Semestinya dari dulu Nod tahu kalau Fibrela bukan pembunuh seperti yang dikatakan Edvard dan orang-orang. Bukan itu saja. Fibrela adalah Atlic yang mencoba menyelamatkan istri dan anaknya, meski gagal. Semua menyayangkan hal tersebut. Seharusnya Nod tidak menganggap Fibrela sebagai pembunuh. Dia sudah berusaha. Itu yang semestinya dipikirkan Nod. Fibrela hanya mencoba menebus penyesalannya dengan melakukan perbuatan baik itu.Istrinya tidak mati sia-sia. Begitu pun putrinya. Mereka tidak mati percuma. Ada gadis kecil di Luxavar yang memperjuang
Likos melangkah ke arah Nod dan Louie dari ujung lorong rumah sakit dengan membawa sekantung makanan. Tidak ada kursi di depan ruang rawat intensif karena tempat duduk sudah disediakan di tempat yang lebih jauh. Jadi mereka hanya bisa menunggu di lorong itu dalam keresahan. Lampu rumah sakit mencetak bayangannya ke arah yang lebih gelap. Nod masih merundukkan kepala memeluk kedua kakinya yang masih basah. Tidak membiarkan secercah cahaya pun menyentuh wajahnya. Pakaiannya hampir kering, tapi masih lembap.“Makanlah, sedikit,” ucapnya sambil menyodorkan bungkus makanan yang dibawanya ke hadapan Nod yang masih termenung dalam.Sapaan Likos seperti angin yang menerpa puing-puing kesedihan yang telah diluluhlantakkan akal sehat itu. Kekalutan memperkeruh pikirannya hingga dia hampir tak menyadari keberadaan Likos yang beberapa menit lalu muncul di sampingnya. Apa yang telah terjadi atau apa yang semestinya dilakukannya? Dia berharap ingatan ini bisa sejenak saj
Nod kembali menelusuri lorong yang sama, memasuki ruang kerja Edvard yang sudah terbuka. Ruangan dan lorong itu sudah dipenuhi air. Nod menghirup udara terakhir yang masih tersisa dari langit-langit dan berenang melintasi bingkai pintu yang melengkung. Dia bisa melihat Brevis di samping Fibrela berusaha membuka ikatan yang mengerat kedua tangan Fibrela.Gelembung udara keluar dari mulut Fibrela. Matanya masih terbuka mencoba menyelamatkan diri dengan sisa-sisa udara di parunya. Entah sudah berapa lama dia terendam air. Nod meraih pisau yang dilemparnya ke sudut ruangan itu. Dia bisa melihat Louie dan Brevis masih mencoba menarik kawat itu.Pisau tadi segera diarahkan ke kawat yang mengerat tangan dan kaki Fibrela. Nod memberi isyarat pada Brevis untuk keluar lebih dulu sebelum dia mati lemas di dalam air. Brevis segera berenang keluar setelah semua kawat yang mengikat Fibrela lepas, disusul Nod dengan tubuh Fibrela yang sudah tak meronta.Nod tahu dia sudah tak
Sandaran kursi yang menindih Fibrela kini hampir mencekiknya. Dudukan yang keras itu menimpa sebelah tungkainya, menggeseknya dengan keras hingga jemari kakinya membiru sekarang. Posisi tubuhnya tampak begitu menyedihkan. Fibrela mencoba mengerang dengan hembusan panjangnya. Giginya gemeretak hebat.Nod membenarkan kursi Fibrela dan memposisikan duduknya seperti semula. Dia merasa sedikit iba melihat sekujur tubuhnya kini bersimbah darah. Namun dia juga tidak berdaya memutuskan mengakhiri penderitaannya.Meski begitu, Fibrela membalas ucapan Nod dengan tawa. Nod mengernyit heran. Fibrela tak berhenti tertawa. Mengapa dia masih tertawa walau dalam keadaan mengenaskan seperti ini? Apakah Fibrela menganggap urusan kematian ini hanya permainan belaka? Dia sangat kesal berada dalam situasi seperti ini.Edvard di sampingnya tersenyum ringan. Dia terlihat tidak mau kalah dengan menimpal perkataan, “Kau tidak perlu menunggu dia menjelaskannya padamu, Nod. Kau hany
Nod mendapati dirinya terbangun di atas kursi besar. Kawat tipis melingkari pergelangan tangan dan kakinya, membuat tubuhnya tak berdaya berkutik. Nod berusaha memandang ke segala arah untuk menerka keberadaannya. Lagi-lagi dia mengutuki dirinya yang begitu sial sampai tertangkap berulang kali.Suasana seperti ini tampak tak asing. Ini ruangan yang pernah ditunjukkan Fibrela padanya. Bau wewangian yang khas mengingatkannya pada saat-saat dia bertemu dengan rokern cantik buatan Edvard. Ini bau pelembap kulit rokern. Dia ingat betul bau ini.Kepalanya terasa nyeri setelah menghantam tanah tadi. Nod sadar kalau mereka mereka tidak memiliki banyak waktu untuk menyelamatkan diri. Sudah berapa lama dia tidak sadar. Matanya menatap ke segala arah.“Fibrela?” panggil Nod.Nod melihat Fibrela di sampingnya juga sudah sadar. Dia diikat di kursi dengan jenis yang sama dengan Nod. Pandangan Fibrela datar tanpa mimik. Benturan keras saat di yunish menyorak