“Karena inikah kalian begitu membenci kami?” gumam Nod.
Kurator Urvi muncul dari balik pintu yang berbeda. Nod sentak berdiri hendak menudingnya lagi dengan pertanyaan.
“Apa yang kalian lakukan pada kami di Luxavar?” tandas Nod mulai berapi-api. Fibrela langsung menahannya. Tangannya menarik Nod agar tidak lebih lanjut mencecar Urvi.
“Tuan Nod, saya tidak mengerti perkataan Anda.” Urvi beringsut dari tempatnya berdiri sambil mengernyit heran.
“Berhentilah membohongiku. Aku tahu istriku ada di Luxavar. Aku melihat lukisan itu di depan sana. Di mana kalian menyembunyikannya?” Wajah Nod merah padam. Ruangan yang remang itu bahkan tak bisa menyembunyikan kemurkaannya.
“Nod!” bentak Fibrela. “Hentikan semua ini!”
Nod membungkam dan menoleh ke arah Fibrela.
“Urvi tidak akan bisa menjawab pertanyaanmu. Dia hanya menunjukkan sejarah yang pernah dialami Luxavar padamu. Kau bisa tidak mempercayainya. Namun kami mengalami semua itu. Apaka
Nod tertegun. Likos masih belum menyadari keberadaannya di dalam ruang tersebut. Urvi membuat tempat ini tidak terlihat dari luar. “Urvi, kau harus memperbaiki aksesku. Entah mengapa aku jadi tidak bisa menggunakannya untuk masuk ke xefleku.” Likos berjalan tanpa melihat ke arah mereka. Dia sibuk mengutak-atik punggung tangannya dengan kesal. Nod ingat dengan jelas bentuk wajah Likos walau di daratan dia terlihat lebih berantakan lagi. Likos sudah berteman dengannya lebih dari dua puluh tahun dan mengenali wajahnya yang berkumis tebal itu bukan hal yang sulit. Urvi yang tadinya bersama Nod langsung keluar menengok permasalahan yang dikeluhkan Likos. Disusul oleh Nod yang masih terpegun dengan kedatangan manusia daratan di tempat asing ini. Otaknya berdesing cepat mencerna alasan-alasan yang mungkin akan dijelaskan Likos padanya. Ketika Likos melangkah dan mendapati Nod sudah berdiri tepat di hadapannya, Likos langsung mundur selangkah. “Nod? K
Pagi cerah Nod disambut dengan tidak begitu baik. Seperti yang dikatakan Fibrela, burung nasar itu berkicau riang di depan jendela. Yang kalau bisa dibilang lebih mirip suara gonggongan. Likos sentak bangkit akibat teriakan burung raksasa itu. Paruhnya besar dengan sorotan mata seperti serigala. Sama sekali bukan burung nasar seperti yang dibayangkan Nod. “Hentikan!” pekik Likos. “Bagaimana burung keparat itu bisa begitu berisik?” Nod ikut memandang sekeliling ruangan heran. Beginikah cara para Atlic ini bangun? Benar-benar cara yang barbar. Fibrela sudah berdiri dengan rapi tak jauh dari mereka. Tubuhnya terbalut kain dengan kilatan mutiara menyebar di sepanjang lengannya. Warnanya putih seperti yang biasa dipakainya. Nod masih sibuk menutup jendela yang sudah penuh liur burung nasar itu. Hewan itu belum mau menyingkir. Dia mematuki bingkai jendela hingga bagian luar jendela itu dipenuhi dengan guratan. Fibrela yang melihat kakacauan
“Aku ingin menyampaikan beberapa hal mengenai jadwal kegiatan kita selama berada di Luxavar,” ucap Fibrela setelah mereka sampai di dalam sebuah gedung yang sepertinya sebuah rumah makan. Rumah makan yang mereka datangi bukan bangunan luas seperti bangunan lainnya. Tempat itu berbentuk seperti potongan dinding. Ada berlapis-lapis dinding dengan lingkaran-lingkaran yang melubangi dinding tersebut. Tempat duduk dan meja disusun memadai hingga enam orang. Untuk menuju ke tempat tersebut mereka bisa melalui tangga berjalan yang mengelilingi tiap tempat duduk yang ada di lapisan dinding tadi. Tulisan “Krustum” besar berpendar terang di bagian atas dindingnya. Setiap lapis dinding dapat dilewati melalui jembatan kaca yang berada di tengah-tengah bangunan tersebut. Fibrela membawa mereka menaiki ruangan paling atas dan tersudut dari rumah makan itu. Di tempat itu mereka bisa berdiskusi dengan lebih aman. Setelah memasukkan pesanannya melalui layar di meja, Fibrela l
Yunish memelesat cepat di antara lereng pegunungan dan desa-desa—meskipun tidak bisa disebut desa. Tidak ada sesuatu apa pun yang mencirikan desa di sana. Hanya kandang hewan saja. Tapi meski ciri perkotaan lebih mendominasi di Luxavar, tetap saja ada desanya. Sementara pegunungan yang dimaksud hanyalah deretan bukit-bukit. Tidak ada bukit yang benar-benar menjulang tinggi melebihi gunung tertinggi Luxavar tentu saja. Puncaknya pun hampir menyentuh selubung tertinggi Luxavar dan agak sempit di bagian atasnya. Mereka melaju lebih pelan saat melewati sabana dengan pepohonan yang memuncak nyaris menyentuh awan. Sebenarnya tampilan asli Juracfa itu sendiri hanya terdiri dari rimbunan hutan dan padang rumput. Lebih mirip dengan kawasan suaka alam. Tempat itu sengaja dilestarikan dan tak tersentuh oleh piruk pikuk perkotaan di Mercendia. Aliran sungai membelah kawasan perhutanan itu dari puncak gunung di bagian paling timur hingga ke barat. “Jadi temanmu yang kata
Sebenarnya Nod tidak berada jauh dari mereka. Saat terdengar teriakan Likos dan Fibrela, Nod malah ketakutan. Dia tetap berjalan mencari jalan keluar dengan meraba-raba. Tiba-tiba ujung jarinya menyentuh sesuatu. Bentuknya memanjang ke atas seperti pilar. Nod mengelilinginya. Permukaan pilar itu seperti akar pohon. Tangannya terhenti ketika menyentuh sebuah rongga. Mungkin ini jalan keluar, pikirnya. Ya, memang benar, karena terdapat rongga berselang-seling yang mengarah ke atas. Satu per satu tangan dan kakinya mulai menempati rongga itu. Nod merayap ke atas dengan meraba-raba mencari rongga-rongga untuk dipanjati. Beberapa menit kemudian Nod telah jauh dari ruangan gelap tadi. Sesuatu seperti kertas menggelitik lehernya. Nod baru menyadari bahwa itu adalah daun ketika perlahan-lahan cahaya redup dari kejauhan di atas sana meneranginya. Semakin ke atas keadaan semakin terang. Tidak salah lagi, pilar yang dinaikinya memang sebuah pohon. Setelah sampai di daha
Yunish meluncur di jalan besar yang menuju pusat kota. Fibrela baru mengutus Louie untuk membawakan yunish lagi untuk menjemput mereka. Matahari dengan corak keemasan sudah sejajar dengan barisan bukit di ufuk barat sana. Ada banyak benda-benda terbang dalam berbagai bentuk memenuhi langit Luxavar yang kosong. Ada yang menggunakan balon kaca, kereta, dan berbagai jenis pesawat terbang ciptaan Luxavar lainnya.“Antar aku kembali ke Urvi,” ujar Likos mengelus pipinya yang penuh dengan kotoran.Fibrela memelotot, dia membuka pintu yunish saat benda tersebut mendekati teras yang menjorok ke luar di lantai teratas bangunan dari Biro Kependudukan tersebut.Dengan dorongan yang cukup kuat, Fibrela menyingkirkan Likos dari tempat duduknya. Likos terempas ke lantai teras sambil mengumpat kesal.“Dasar bocah sialan!”Pintu yunish kembali tertutup membawa Nod dan Fibrela memelesat cepat dari bangunan silindris tersebut.
Likos muncul di hadapan Nod sebelum Nod bangkit dari tempat tidurnya. Ada baki besar yang sebagian sudah kosong.“Di mana Fibrela?” tanya Nod masih menjernihkan pikirannya dari keterlelapan.Louie berdiri tak jauh dari mereka. Likos sebal tidak bisa menyuruh rokern itu membuatkan dia sarapan. Alhasil dia membuat sendiri sarapannya dari bahan yang ada.“Bukankah dia pulang bersamamu?” tanya Likos balik. Mulutnya sibuk menggilas potongan daun kering yang terlihat seperti masih mentah itu.“Dia bilang ada pekerjaan di Balorop. Kupikir dia sudah pulang.” Nod ikut duduk di samping Likos, menyantap apa yang tengah dinikmati Likos.“Hei, buat sendiri makananmu.” Likos menepuk tangan Nod saat hendak mencomot ranting yang terlihat aneh itu.“Apa itu?” Nod menatap benda tadi heran.“Debu goreng,” jawab Likos asal.“Hah?!” teriak Nod kilat. Aliran darahnya
Fibrela muncul dengan kostum yang agak aneh. Dia memaparkan sekilas pada Nod tentang pakaian yang dikenakannya. Kain yang terlihat licin dan tebal itu memiliki keunggulan khusus untuk menangkal segala jenis partikel asing yang terkena di permukaannya. Potongan modelnya menutupi hampir keseluruhan tubuh Fibrela. Ada saku tersembunyi yang menempel pada bagian perutnya.“Kita ke Juracfa?” tanya Nod.“Bukankah kau yang menyarankanku kembali ke sana?” Fibrela melirik malas ke arah Nod.Pintu xefle terbuka dan Likos terlihat masih menanti mereka di luar.“Kalian mau ke mana?”“Ke Juracfa,” jawab Nod.“Jadi kau mau meminta maaf padanya?” Likos segera mengalungkan tangannya di leher Nod.“Aku harus membuat perhitungan dengannya,” kata Fibrela membenarkan ucapan Likos.“Kau tidak bisa pergi tanpaku, Nod.”“Kalau begitu, ayo ikut!” Nod
Tiga atlic berlarian melewati koridor Egarus yang panjang dengan terengah-engah. Mereka tidak tahu apa yang baru saja terjadi pada tubuh mereka. Salah satu dari mereka menyemburkan darah dari mulutnya. Keduanya juga mengalami hal yang sama. Petugas kesehatan di Egarus dan beberapa rokern mengungsikan mereka ke salah satu brankar kosong. Melakukan pemeriksaan dan memindai seluruh pemeriksaan tersebut ke komputer pusat. Tiga rokern segera membawa mereka ke salah satu atlic. Mereka terbaring berdampingan. Wajah mereka pucat dan kedua lubang hidungnya sesekali masih mengeluarkan darah. Salah satu atlic mendekati mereka. “Apa yang terjadi?” tanya atlic dengan pakaian serba biru. Atlic yang masih menyumbat lubang hidungnya dengan kapas menggeleng lemah. Diikuti para pengunjung yang lainnya. “Kami tidak tahu,” jawab salah satu dari mereka dengan suara sengau. “Darahnya tidak berhenti. Kami tidak bisa menahannya.”
“Kau belum tidur?” tanya Nod. “Nod?” tanya Fibrela. “Aku masih mau membereskan pekerjaan di Balorop. Kau istirahat saja dulu.” “Fibrela, aku hanya ingin menyampaikan satu hal padamu,” kata Nod duduk di samping Fibrela. Fibrela terlihat tidak begitu mengacuhkan ucapan Nod. Dia memandang gambaran grafik pada layar di hadapannya. Salah satu jemarinya menggeser gambar-gambar yang tampil di layar itu. “Aku akan pindah ke Luxavar,” kata Nod tanpa menunggu respons dari Fibrela. Fibrela sentak menghentikan pekerjaannya. Dia memandang Nod seraya mengangkat kedua alisnya. Nod membalas tatapan tidak percaya tadi dengan cengiran kecil. “Kau serius?” tanya Fibrela. “Presiden Trufer memberiku pekerjaan yang lumayan bagus di Luxavar. Jadi kupikir kapan lagi aku bisa hidup senyaman di sini,” jawab Nod. “Dan aku akan kembali menjadi putrimu?” tanya Fibrela. “Jika kau tidak mau, aku bisa mengadopsi atlic lain,” kata Nod santai.
Dalam suatu ruangan remang di suatu tempat di Luxavar, duduk seorang laki-laki paruh baya dengan seorang remaja muda di dekatnya. Seorang anak yang lebih muda berada di hadapan mereka dalam posisi bersujud.“Maaf, aku tidak menjalankan misi ini dengan baik,” kata anak itu. Wajahnya yang tirus dan pucat menunduk tak berani memandang pria itu secara langsung.“Sudahlah… kemarilah,” pinta pria tadi.Anak itu berdiri dan duduk di dekat pria paruh baya itu. Dia meraih tangan anak itu sambil berbicara, “Kuberikan lagi kau kesempatan. Aku harap kau tidak mengecewakanku kali ini.”Anak tadi memandang pria itu seakan mendapat harapan baru. Pemuda di sampingnya menatap tajam.“Bagaimana bisa kau menyia-nyiakan kesempatan yang begitu besar, Edvard?” tukas pemuda itu.“Jibethus, diamlah!” hardik pria itu sekejap membungkam keluhan Jibethus. “Kau juga sudah gagal menjalankan misi in
Di pagi hari keesokan harinya Fibrela mulai kembali membaik. Demam sudah turun. Sesaknya perlahan berkurang. Jemari yang tergenggam dalam cengkeraman Nod sesekali dieratkan.“Fibrela? Kau dengar aku?” tanya Nod mengamati wajah Fibrela lekat-lekat.Fibrela mengerlipkan pelupuk matanya, berusaha mengumpulkan semua tenaga untuk bangun. Dia menggerakkan kedua tangannya dan mencoba menyingkirkan semua benda asing yang berada di tubuhnya. Matanya menyipit ke arah cahaya terang yang terpancar dari jendela kaca di sampingnya.“Fibrela, Tidak apa-apa. Kau di sini. Kau bersamaku,” ucap Nod pelan saat Fibrela menoleh ke arahnya.Fibrela kemudian mengamati sekelilingnya bertanya-tanya. Dia langsung memberontak saat menyadari sekujur tubuhnya dipenuhi kabel dan selang. Tangannya sentak menyingkirkan benda-benda asing tersebut. Para perawat mendekatinya berusaha mencegah tindakan melukai dirinya tersebut. Fibrela berhasil menarik selang makan ya
“Sesungguhnya kau tidak perlu memercayai Edvard jika dalam hatimu saja kau sudah percaya pada Fibi,” kata Brevis ketika rekaman yang disaksikan Nod berakhir.“Apakah semua ini benar?” tanya Nod pada Louie.Louie mengangguk.Nod mengusap air matanya yang sudah bergulir lagi. Sebuah bongkahan es telah membeku dan menyedat kerongkongannya, membuat dirinya begitu kesusahan bernapas.Semestinya dari dulu Nod tahu kalau Fibrela bukan pembunuh seperti yang dikatakan Edvard dan orang-orang. Bukan itu saja. Fibrela adalah Atlic yang mencoba menyelamatkan istri dan anaknya, meski gagal. Semua menyayangkan hal tersebut. Seharusnya Nod tidak menganggap Fibrela sebagai pembunuh. Dia sudah berusaha. Itu yang semestinya dipikirkan Nod. Fibrela hanya mencoba menebus penyesalannya dengan melakukan perbuatan baik itu.Istrinya tidak mati sia-sia. Begitu pun putrinya. Mereka tidak mati percuma. Ada gadis kecil di Luxavar yang memperjuang
Likos melangkah ke arah Nod dan Louie dari ujung lorong rumah sakit dengan membawa sekantung makanan. Tidak ada kursi di depan ruang rawat intensif karena tempat duduk sudah disediakan di tempat yang lebih jauh. Jadi mereka hanya bisa menunggu di lorong itu dalam keresahan. Lampu rumah sakit mencetak bayangannya ke arah yang lebih gelap. Nod masih merundukkan kepala memeluk kedua kakinya yang masih basah. Tidak membiarkan secercah cahaya pun menyentuh wajahnya. Pakaiannya hampir kering, tapi masih lembap.“Makanlah, sedikit,” ucapnya sambil menyodorkan bungkus makanan yang dibawanya ke hadapan Nod yang masih termenung dalam.Sapaan Likos seperti angin yang menerpa puing-puing kesedihan yang telah diluluhlantakkan akal sehat itu. Kekalutan memperkeruh pikirannya hingga dia hampir tak menyadari keberadaan Likos yang beberapa menit lalu muncul di sampingnya. Apa yang telah terjadi atau apa yang semestinya dilakukannya? Dia berharap ingatan ini bisa sejenak saj
Nod kembali menelusuri lorong yang sama, memasuki ruang kerja Edvard yang sudah terbuka. Ruangan dan lorong itu sudah dipenuhi air. Nod menghirup udara terakhir yang masih tersisa dari langit-langit dan berenang melintasi bingkai pintu yang melengkung. Dia bisa melihat Brevis di samping Fibrela berusaha membuka ikatan yang mengerat kedua tangan Fibrela.Gelembung udara keluar dari mulut Fibrela. Matanya masih terbuka mencoba menyelamatkan diri dengan sisa-sisa udara di parunya. Entah sudah berapa lama dia terendam air. Nod meraih pisau yang dilemparnya ke sudut ruangan itu. Dia bisa melihat Louie dan Brevis masih mencoba menarik kawat itu.Pisau tadi segera diarahkan ke kawat yang mengerat tangan dan kaki Fibrela. Nod memberi isyarat pada Brevis untuk keluar lebih dulu sebelum dia mati lemas di dalam air. Brevis segera berenang keluar setelah semua kawat yang mengikat Fibrela lepas, disusul Nod dengan tubuh Fibrela yang sudah tak meronta.Nod tahu dia sudah tak
Sandaran kursi yang menindih Fibrela kini hampir mencekiknya. Dudukan yang keras itu menimpa sebelah tungkainya, menggeseknya dengan keras hingga jemari kakinya membiru sekarang. Posisi tubuhnya tampak begitu menyedihkan. Fibrela mencoba mengerang dengan hembusan panjangnya. Giginya gemeretak hebat.Nod membenarkan kursi Fibrela dan memposisikan duduknya seperti semula. Dia merasa sedikit iba melihat sekujur tubuhnya kini bersimbah darah. Namun dia juga tidak berdaya memutuskan mengakhiri penderitaannya.Meski begitu, Fibrela membalas ucapan Nod dengan tawa. Nod mengernyit heran. Fibrela tak berhenti tertawa. Mengapa dia masih tertawa walau dalam keadaan mengenaskan seperti ini? Apakah Fibrela menganggap urusan kematian ini hanya permainan belaka? Dia sangat kesal berada dalam situasi seperti ini.Edvard di sampingnya tersenyum ringan. Dia terlihat tidak mau kalah dengan menimpal perkataan, “Kau tidak perlu menunggu dia menjelaskannya padamu, Nod. Kau hany
Nod mendapati dirinya terbangun di atas kursi besar. Kawat tipis melingkari pergelangan tangan dan kakinya, membuat tubuhnya tak berdaya berkutik. Nod berusaha memandang ke segala arah untuk menerka keberadaannya. Lagi-lagi dia mengutuki dirinya yang begitu sial sampai tertangkap berulang kali.Suasana seperti ini tampak tak asing. Ini ruangan yang pernah ditunjukkan Fibrela padanya. Bau wewangian yang khas mengingatkannya pada saat-saat dia bertemu dengan rokern cantik buatan Edvard. Ini bau pelembap kulit rokern. Dia ingat betul bau ini.Kepalanya terasa nyeri setelah menghantam tanah tadi. Nod sadar kalau mereka mereka tidak memiliki banyak waktu untuk menyelamatkan diri. Sudah berapa lama dia tidak sadar. Matanya menatap ke segala arah.“Fibrela?” panggil Nod.Nod melihat Fibrela di sampingnya juga sudah sadar. Dia diikat di kursi dengan jenis yang sama dengan Nod. Pandangan Fibrela datar tanpa mimik. Benturan keras saat di yunish menyorak