Udara dingin menggesek wajah Nod dengan kuat. Gravitasi di tempat ini menarik dirinya kian mendekati atap menara besar di bawah sana. Tubuhnya terpental masuk melalui cerobong asap yang menjunjung tinggi di atmosfir Luxavar. Udara berwarna jingga mengepul dari cerobong yang sama.
“Oh! Tidaaak!”
Teriakan Nod bergema sepanjang lorong panjang yang mengantarnya masuk kian dalam. Asap kuning lebih pekat di tempat yang lebih dalam, tapi dia sama sekali tak merasa kepanasan. Malah sebaliknya, dia merasakan hawa yang sejuk menerpa kulitnya.
Kedua tangan Nod sibuk meraih apa pun untuk mencegahnya terperosok semakin dalam ke cerobong itu. Baru kali ini dia begitu membenci gravitasi. Cerobong itu mengantar tubuhnya ke sebuah wadah besar yang di dalamnya berisi cairan kental. Tubuhnya kandas seumpama permen yang tercelup ke dalam susu berwarna jingga. Dalam keadaan panik ia berusaha berenang menuju tepian wadah.
“Cairan apa ini?” Nod menggapai tangannya ke penyangga terdekat.
“Siapa itu?” Suara seseorang wanita terdengar dari balik dinding batu. Kepalanya terjulur dari jendela di sisi wadah tak lama setelah Nod berhasil membasuh wajahnya dengan cairan oranye pekat itu.
“Aku? Aku tadi terpental dan jatuh ke sini.” Nod masih menyeimbangkan tubuhnya yang berada di dalam wadah berisi cairan setinggi dadanya.
“Aku bertanya kau siapa?” tandas wanita itu lagi.
“Aku….” Nod ragu menyebutkan namanya. Apakah dia akan terbunuh kalau diketahui?
“Kenapa? Lupa dengan nama sendiri?”
“Likos.” Nod mendadak ingat nama Likos dan menyebutkan saja secara asal nama tadi.
“Likos apa? Apa yang kau lakukan di sini?” tanya wanita gemuk itu dengan wajah penuh ancaman.
“Aku Likos hmmm… Greinthlen,” jawab Nod makin terbata.
“Aku tidak tahu kalau Profesor Greinthlen masih memiliki keluarga yang masih hidup,” gumam wanita tadi.
“Aku paman jauhnya,” kata Nod mencoba membenarkan.
Untungnya wanita tadi tidak begitu peduli dengan jawaban Nod. Rambutnya yang keriting tak beraturan menutupi separuh wajahnya. Sementara bagian wajah yang lain ditutupi benjolan merah. Krim berwarna hijau dibubuhi pada bagian tersebut. Nod heran bagaimana bisa ada orang yang begini tidak terawat di tengah peradaban yang sedemikian maju. Dia tidak mungkin rokern, pikir Nod. Rokern tidak mungkin segemuk itu. Tidak ada orang yang mau membuat rokern sejelek itu—tentu saja. Kecuali Louie—mungkin.
Nod berhasil melepas ikatan tas Kaltor yang sudah terendam cairan berwarna jingga tadi dengan susah payah. Dengan penuh perjuangan dia menggapai pijakan di pinggir bejana. Ketika dia mencoba turun dari wadah yang tergantung itu, dia mendengus kecewa. Nod bahkan tidak bisa melihat dasar bangunan yang gelap di bawah tersebut.
“Kenapa? Mau lari?” tanya wanita itu. Matanya menyiratkan ekspresi curiga. Ia berkacak pinggang sambil menjelit ke arah Nod yang kini mencoba menyelinap di sela wadah-wadah dengan cairan lengket tadi. Tidak ada lubang yang cukup lebar baginya untuk bisa keluar dari tempatnya sekarang berdiri. Dia terus memaksakan dirinya agar bisa keluar dari celah sempit itu. Separuh badannya masih tersangkut di dalam. Sepertinya dia mulai kesulitan mengeluarkan tubuhnya dari sana.
“Kau di sini rupanya!” Fibrela datang dari arah belakang wanita itu. “Maaf sudah mengacaukan awanmu nona, kami tadi diserang Cerecza. Aku sedang membawa rokernku ke Balorop. Kami melakukan beberapa modifikasi untuk rokern terbaru. Aku Fibrela Greinthlen. Kau bisa mampir ke tempat kami lain kali jika mau.”
“Fibrela Greinthlen?” ucap wanita tadi separuh mengernyit. “Aku kenal dengan ayahmu.”
“Haha, tentu kau kenal dia,” jawab Fibrela sambil menarik tangan Nod keluar dari lubang tadi. “Dia pendiri Balorop.”
“Dia rokern barumu?” tanya wanita yang tidak diketahui namanya itu. “Dia mengaku paman jauhmu.”
“Iya, ada beberapa sistem yang rusak. Dia jadi suka berbohong sekarang,” Fibrela melangkah menjauhinya.
Nod mengernyit ke arahnya. Bagaimana mungkin dia dianggap rokern? Benar-benar menjatuhkan harkat dan martabatnya sebagai manusia daratan. Terlebih anak itu menyebut dia suka berbohong. Walau dia mengatakan hal-hal tidak benar sebelumnya, itu karena dia terdesak.
“Kami harus pergi. Sampai jumpa lain kali ya,” ujar Fibrela sambil membantu Nod keluar dari cairan tadi.
“Tunggu,” sela wanita itu lagi.
Fibrela diam seraya berbalik. “Ya?”
“Kau sudah merusak larutan awanku. Kau harus mengganti rugi,” kata wanita tadi.
“Hmm... aku rasa kerusakan kecil ini tidak akan terlalu mempengaruhi warna awan kan? Kurasa para atlic tidak akan keberatan warna birumu berbaur dengan sedikit merah.”
“Tentu saja berpengaruh. Satu tetes warna bisa menimbulkan kemarahan publik. Kau tahu Para Kanselir akan murka bila warna awan mereka tiba-tiba jadi hijau lumut, kan?”
“Mereka tidak akan tahu sampai hujan membersihkan jejaknya,” timpal Fibrela.
Wanita tadi merengut sinis. Dia terlihat belum mau mengalah. Rambut ikal dengan corak kelabu itu membuat wajahnya tampak lebih buruk lagi.
“Tapi baiklah,” lanjut Fibrela. “Aku punya ramuan penumpas uban yang pasti sangat kau minati. Kau bisa ke Luxy besok. Aku akan mengirim pesan ke mereka. Siapa namamu?” tanya Fibrela.
“Aku tidak mau ramuan penumpas uban, aku mau paket kecantikannya,” jawabnya lagi.
Fibrela menghela napasnya. “Satu gentong cairan awanmu itu tidak sebanding dengan paket kecantikan di sana. Lagian rambutmu lebih membutuhkan ramuan itu ketimbang paket kecantikan lain,” tawar Fibrela lagi. “Tapi jika masih tidak mau, aku terpaksa mengganti larutan awanmu.”
Fibrela melangkah pergi. “Eits,” cegat wanita itu lagi, “Griva. Besok di Luxy aku minta lima botol penumpas ubanmu.”
“Dengan senang hati,” kata Fibrela sambil tersenyum lembut dan merunduk pergi.
Sekarang dia harus jadi mengganti rugi larutan awan akibat ulah Nod. Fibrela bergegas meninggalkan tempat tadi sebelum lebih banyak lagi Atlic yang melihat mereka. Mereka menelurusi lorong panjang sampai akhirnya menemui akhir dari lorong itu.
“Lompatlah!” perintah Fibrela. Ketika mereka tiba di ujung lorong, hanya ada jalan menuju ke bawah. Nod tidak dapat melihat ada apa di bagian bawah.
“Kau gila! Aku bahkan tidak bisa melihat ujungnya.”
“Terserah kalau kau mau lebih lama di sini!” Fibrela pun melompat turun.
“Woi!”
“Turunlah cepat!” Nod mendengar teriakan Fibrela yang menandakan dia akan selamat jika ikut melompat.
Nod pun mengikutinya. Tapi lompatannya tidak semulus Fibrela. Dia masih harus bertubrukan dengan wadah yang berisi cairan hijau, biru, dan merah. Tak lama kemudian ia terjerembap di atas lemari putih yang berwarna seperti porselen. Fibrela sudah berdiri tak jauh dari lemari tadi. Ada lingkaran yang lunak di dekat dia jatuh. Fibrela tampaknya terpental ke sana makanya dia terlihat baik-baik saja.
“Di mana kita?” Nod masih meringkik kesakitan.
“Ruang pengendali gravitasi. Ayo turun! Aku tidak punya waktu menunggumu bertengger di atas sana.” Fibrela berjalan pergi.
“Kau bilang aku bertengger?!”
“Terserah, kalau kau menganggap itu bekerja keras sekalipun.”
Nod melompat turun, tapi ia merasakan tubuhnya amat berat sekali. Lebih berat dari membawa dua karung gandum. Lebih berat lagi dari itu. Dia merasa tubuhnya tergencet sesuatu. Langkahnya terseok-seok. Perlahan-lahan separuh tubuhnya tak bisa terangkat lagi, kemudian seluruh tubuhnya melekat ke lantai karena dia begitu tak berdaya mengangkat tubuhnya lagi.
“Fibrela, tubuhku mengapa sangat berat?” tanyanya berusaha mengangkat kakinya.
Fibrela berbalik, wajahnya tiba-tiba tampak serius seakan Nod akan berubah menjadi macan yang hendak menerkamnya. Matanya menghunjam ke leher Nod.
“Kau masih mengenakan kalung yang kuberikan, kan?” tanya Fibrela.
Nod langsung mengelus lehernya dengan susah payah. Mulus. Tidak ada sesuatu yang tergantung di lehernya.
“Tidak, kalungnya mungkin terlepas saat aku terjatuh tadi. Memang kenapa?” Nod ikut panik melihat ekspresi Fibrela.
“Kan sudah kubilang, kau akan mengalami hal mengerikan kalau kau melepas benda itu.” Fibrela berceloteh sambil mengutak-atik mesin kubus berbahan seperti porselen tadi, berharap mendapat petunjuk yang bisa dipakai untuk melepaskan Nod dari tarikan gravitasi tersebut.
Lemari itu bukan lemari biasa, tapi sebuah mesin besar yang di dalamnya terdapat jutaan konfigurasi pengatur gaya gravitasi. Sementara kepala Nod sekarang tak bisa digerakkan lagi dari lantai. Dia bersungut-sungut bangkit dari lantai dengan berat. Dia tidak pernah merasakan tubuhnya begitu sulit diangkat.
Samar-samar terdengar suara Cerecza yang berseru mendekati mereka. “Cerecza akan datang menangkapmu.” Fibrela mendongak ke segala arah menerka kegaduhan dan desing mesin yang bergema mendekati mereka. Cerecza itu pasti sudah mengendus keberadaan manusia daratan di tempat ini.
“Mudah-mudahan ini benar,” kata Fibrela seraya menghela napas, dan dengan ragu-ragu ditekan tiga kali tombol itu.
Seakan semua berat tubuh Nod hilang. Kakinya tidak lagi ditelan lantai itu. Melainkan sekarang semua benda yang ada di ruangan itu melayang, termasuk Fibrela. Nod langsung menarik tubuhnya agar tidak melayang lebih tinggi. Dengan mengurangi gaya gravitasi tersebut, membuat penghuni tempat ini lebih ringan. Nod masih mempertahankan tubuh Fibrela yang bergelantungan ke atas.
“Aku akan ke atas mengambil kalung itu. Kau tunggu di sini dan jangan sentuh apa pun!” Fibrela berbisik separuh mengancam.
Nod menunggu di bawah membenarkan tubuhnya yang sempat terseret ke lantai yang kasar. Tubuhnya terasa lebih ringan dari seharusnya. Tampaknya Fibrela menurunkan gaya gravitasi terlalu besar.
Semenit kemudian Fibrela turun dengan tubuh bersimbah cairan yang sama dengan Nod.
“Cepat pakai!” Fibrela melayangkan seuntai kalung ke arah Nod. Dia kemudian melompat menuju ke mesin awal. Ditekannya tiga kali dan tubuhnya segera terempas ke bawah. Nod menarik tangan Fibrela sambil menyengir polos. Sekarang keduanya berpoles cairan kental kekuningan di sekujur tubuh mereka.
Mereka langsung bergegas meninggalkan ruangan tersebut.
“Bagaimana kau bisa mengatur benda tadi?”
Dengan terburu-buru Fibrela menarik tangan Nod menjauhi pintu kaca yang terarah ke lorong panjang di luar. Ada segerombol atlic melaju melewati lorong tersebut. Mereka memakai pakaian aneh yang seragam. Tampaknya mereka pekerja di tempat ini.
Fibrela menahan napasnya seraya mempertahankan Nod tetap menunduk di balik pintu. Setelah rombongan atlic tadi berlalu, mereka segera melintasi jalan tadi menuju ke arah luar.
Sekarang Nod mulai paham. Tanpa kalung Atlic yang diberikan Fibrela, Luxavar dengan sendirinya dapat mendeteksi keberadaannya dan mengutus Cerecza untuk menangkapnya. Dia tidak tahu apakah seluruh Luxavar akan terpengaruh dengan pengaturan tadi. Dia hendak bertanya, tapi segera mengurungkan niatnya. Fibrela juga terlalu sibuk untuk menjawab pertanyaan bodohnya.
Mereka berlarian keluar melewati sebuah pintu besi di ujung lorong. Jalanan luas dengan pagar besi yang langsung berhadapan dengan terowongan kaca ke pusat kota terhampar di depan mereka. Meski begitu, Fibrela tidak langsung mengarah ke luar. Nod tahu alasannya saat melihat ada tiga atlic berusia remaja tengah mondar mandir di dekat pintu gerbang. Mereka segera merapatkan tubuhnya di balik tembok.
“Siapa mereka?” Nod ikut mengintip dari balik dinding.
“Para Kanselir. Kurasa mereka menyadari keberadaan kita di sini,” ucap Fibrela. Dia bernapas terengah. Mereka tidak bisa keluar seperti ini.
“Mereka mau menangkapku jika menemukanku di sini?” Dia ikut mengamati gerak-gerik atlic di luar sana. Mereka sedang ngobrol sambil tertawa.
“Mereka tidak hanya menangkapmu, Nod,” jawab Fibrela. “Mereka akan membawamu ke tempat paling mengerikan di dunia ini dan menghabisimu dengan kejam.”
“Begitu mengerikankah tempat itu?” Nod bertanya polos.
Fibrela melirik Nod setengah heran.
“Berdoalah semoga itu tidak mengerikan bagimu, Nod.”
“Malangnya diriku. Ada begitu banyak orang yang begitu tertarik menangkapku.”
Fibrela menyergah tubuh Nod agar dia tidak lengah dari pemantauan para kanselir. Selang beberapa menit, para atlic tadi meninggalkan gerbang depan. Mereka berpencar dan mulai berpatroli.
“Kita keluar.” Fibrela berbisik sambil mengendap-endap ke gerbang utama tadi.
Ada penjaga yang berdiri tegap di dalam posnya. Dari perawakannya, Nod yakin mereka bukan manusia. Fibrela tidak akan keluar jika itu memang atlic. Rokern tidak akan menghalangi mereka keluar seperti atlic.
“Pakaian kami kotor,” kata Fibrela. “Kami harus keluar untuk membersihkan diri.”
Tanpa memberikan jawaban, pria muda tadi segera membukakan mereka pintu. Jalan panjang menuju ke mulut terowongan mengaga di depan mereka. Deretan pohon memenuhi sekeliling tempat tersebut. Tidak banyak atlic berlalu lalang di tempat ini.
Gedung Balorop berada sekitar dua blok dari tempat mereka saat ini. Tapi sebelum mereka mencapai tempat tadi, sosok pria tua yang bernama Louie itu langsung menuju ke tempat Nod dan Fibrela. Kedua tangannya memegang dua handuk berwarna putih. Dia menyerahkannya pada Nod dan Fibrela.
Handuk tadi tidak terbuat dari kain biasa. Benda itu sehalus katun. Ada serat yang bisa mengikat segala jenis kotoran dan cairan hanya dengan diusapkan saja ke permukaannya. Cairan kuning di pakaiannya langsung kembali ke warna semula tanpa perlu cairan pembersih.
“Mengapa kalian tidak membuat pakaian yang bisa membersihkan sendiri saja?” tanya Nod seraya memasuki paus besi yang bisa terbang itu.
Fibrela sudah membersihkan seluruh pakaiannya tanpa bekas.
“Mengapa kalian justru membuat kain ajaib yang bisa menyerap segala jenis kotoran ini?” tanya Nod lagi.
“Kau mau memakai pakaian yang sama seumur hidupmu?” tanya Fibrela acuh tak acuh.
Nod menggaruk kepalanya. Kali ini dia membersihkan rambutnya yang masih berbau lembap.
“Tidak perlu seekstrim itu juga,” jawab Nod.
“Kalau begitu jangan banyak tanya.”
“Tapi benda ini benar-benar hebat. Sekarang seluruh cairan sudah tidak lagi bersisa.” Nod mengelus pakaiannya penuh kekaguman.
“Jangan sebut apa pun dengan nama benda, benda aneh, atau sesuatu. Itu bisa menarik kecurigaan para atlic.”
Nod merengut. Baru kali ini dalam hidupnya, dia bisa ditegur oleh bocah ingusan penghuni kerajaan bawah laut ini.
Yunish melayang cepat meninggalkan menara stasiun klimatologi. Kali ini langit berwarna biru muda dengan sinar bergaris-garis yang redup. Awan putih bersemai lembut. Nod agak bingung dengan pemandangan tadi. Tapi dia tak mau mempermasalahkannya. Lebih baik dinikmati saja, pikirnya.
“Bukankah tadi masih pagi?” Nod seraya memandang ke langit yang biru, menjelang petang.
“Sehari di Luxavar sama dengan 12 jam di daratan,” jawab Fibrela.
“Jadi, kalian makan berapa kali sehari?” tanya Nod yang membuat Fibrela kesal lagi.
“Ternyata benar ya, penghuni daratan sangat menyukai proses makan.”
“Memangnya kenapa? Kalian punya waktu dua kali lebih cepat daripada di daratan. Wajar saja jika aku bertanya tentang hal yang vital ini.”
“Kami tidak memiliki jam makan yang tetap. Biasa kami makan dua kali sehari.” Fibrela menarik setirnya sambil sesekali meladeni komentar dari Nod.
“Berarti seharusnya umurmu menjadi lebih tua?” tanya Nod kembali dengan pertanyaan barunya.
“Tidak. Kami memiliki 60 hari dalam satu bulan,” jawab Fibrela.
Yunish melaju pelan dan rendah mendekati pusat kota. Kali ini Louie yang mengemudikan yunish.
“Kita kembali ke Balorop lagi?” tanya Nod.
Fibrela berpikir sejenak sebelum akhirnya mengatakan, “Ya. Aku tidak punya waktu untuk ke xefle. Ada rapat penting yang harus kuhadiri dan aku belum menemukan Paerovy sampai sekarang.”
Nod mengangguk sambil menyeka bercak cairan jingga di celananya yang belum mau lepas walau sudah diusap berulang kali.
“Kau bisa membersihkan diri di ruanganku nanti,” timpal Fibrela yang sudah menebak ketidaknyamanan yang disiratkan Nod. Hanya sebagian tubuhnya yang berhasil dibersihkan dengan handuk pemberian Louie tadi.
Mereka sudah mendarat kembali di lapangan yang sama dengan saat mereka pertama ke Balorop. Bangunan gedung berkelap-kelip memantulkan cahaya dari balik air di bawahnya. Di aula utama tersebut sudah berdiri Edvard dengan langkah kikuk. Dia terus menunduk tak berani menatap Fibrela. “Prof….” Edvard tak diacuhkan seperti biasanya. Dia tak menyerah. Dia kembali mengikuti langkah Fibrela. “Sungguh maafkan saya, Profesor Greinthlen.” “Kau tahu apa yang sudah diperbuat oleh benda rongsokan rekomendasimu, Edvard?” Wajah Fibrela membara. Dia memelotot ke arah Edvard penuh kekesalan. “Maafkan, saya, Profesor,” ucap Edvard berulang kali. “Sungguh maafkan saya.” “Jadi, hukuman apa yang bisa kujatuhkan padamu?” tanya Fibrela kembali tenang. Langkah mereka terhenti ke kuntum bunga terakhir di aula tadi. “Saya… saya akan membuat rokern baru untuk Anda.” Edvard tersenyum tipis setengah memelas. “Oh ya? Kau kira rokern buatanmu
“Berdasarkan maklumat kesembilan tentang kesalahan penyebutan kata sandi Balorop, kau harus menerima sanksi berupa melafalkan tiga puluh tujuh kitab pseudonim Luxavar.”Nod terbelalak saat Engliver meletakkan setumpuk buku dengan ketebalan hampir lima sentimeter itu di atas meja di depannya. Buku-buku itu harus dibacanya agar dapat keluar dari tempat ini. Nod menggeleng tidak terima.“Tidak bisa, kalian tidak bisa menahanku dengan membaca semua buku itu,” kata Nod. “Aku hanya salah masuk, aku tidak benar-benar lupa. Kau tahu kan? Kadang-kadang kita bisa silap mengatakan sesuatu.”“Maaf, Tuan Nod. Yang memutuskan Anda berada di sini bukan saya. Lebih baik Anda baca semua buku ini dan mengikuti tes kelulusan nanti.”Engliver berjalan meninggalkan Nod dengan setumpuk buku di meja yang terlihat sangat asing. Berbagai jenis kata-kata bisa dibaca, hanya Nod tidak bisa mengerti apa maksud dan isinya. Buku itu
Suaranya seperti teredam. Wanita yang berjalan tersebut tak juga menoleh ke arahnya. Hingga pada akhirnya, seseorang muncul dari ujung belokan lorong. “Vabian, ternyata kau di sini,” ujar Edvard. “Nod?” Nod mendekati wanita yang dipanggil Edvard dengan Vabian itu. “Sudah kubilang, kau tidak boleh berkeliaran keluar dari bilikku.” Edvard menoleh ke arah Nod dengan kening tergurat. “Nod? Mengapa kau bisa di sini?” “Regan?” Nod sekali lagi mengelukan nama mendiang istrinya. “Maaf, Nod. Tapi dia adalah rokern,” imbuh Edvard seraya menarik rokern berwujud wanita cantik tersebut dari hadapan Nod. “Vabian, kembali ke Bilik Komputasi. Atau aku tidak akan memperbaiki sensor vibrasimu!” ancam Edvard. “Tidak, jangan,” cekal Nod. “Bagaimana bisa dia memiliki rupa seperti Regan?” Nod termangu mengelilingi Vabian. Setiap bentuk, warna, dan bahkan suaranya seperti Regan. Bagaimana bisa Edvard membuat rokern menyerupainya? Ini kebetula
Perjalanan mereka berakhir ketika yunish berhenti pada landasan di depan gerbang sebuah bangunan bundar yang terbingkai oleh pilar-pilar. Jalur masuk berada tak jauh dari halaman parkir tempat mereka mendarat. Potongan mozaik melapisi keseluruhan teras bangunan. Lampu sorot menerangi garis jalan yang mengantar mereka memasuki pintu utama Museum Paranis.Fibrela langsung mengarahkan langkah mereka memasuki pintu utama di tengah gedung tersebut. Tempat ini terbuka untuk umum selama seharian penuh. Tidak ada lagi pendatang yang masuk di jam-jam seperti ini. Waktu yang juga sangat tepat bagi mereka untuk mengunjungi tempat tersebut.Pada sisi dalam gedung, tergantung banyak lukisan-lukisan kuno yang mirip dengan di daratan. Hanya saja tidak ada satu lukisan pun yang pernah dilihat Nod. Tepat di tengah aula tadi terdapat sebuah kapal pesiar besar. Ada ukiran nama tulisan ‘FELIZ CARLOTA 1818’ di lambung kapal tersebut. Nod tidak bisa mengingat apa pun te
“Karena inikah kalian begitu membenci kami?” gumam Nod. Kurator Urvi muncul dari balik pintu yang berbeda. Nod sentak berdiri hendak menudingnya lagi dengan pertanyaan. “Apa yang kalian lakukan pada kami di Luxavar?” tandas Nod mulai berapi-api. Fibrela langsung menahannya. Tangannya menarik Nod agar tidak lebih lanjut mencecar Urvi. “Tuan Nod, saya tidak mengerti perkataan Anda.” Urvi beringsut dari tempatnya berdiri sambil mengernyit heran. “Berhentilah membohongiku. Aku tahu istriku ada di Luxavar. Aku melihat lukisan itu di depan sana. Di mana kalian menyembunyikannya?” Wajah Nod merah padam. Ruangan yang remang itu bahkan tak bisa menyembunyikan kemurkaannya. “Nod!” bentak Fibrela. “Hentikan semua ini!” Nod membungkam dan menoleh ke arah Fibrela. “Urvi tidak akan bisa menjawab pertanyaanmu. Dia hanya menunjukkan sejarah yang pernah dialami Luxavar padamu. Kau bisa tidak mempercayainya. Namun kami mengalami semua itu. Apaka
Nod tertegun. Likos masih belum menyadari keberadaannya di dalam ruang tersebut. Urvi membuat tempat ini tidak terlihat dari luar. “Urvi, kau harus memperbaiki aksesku. Entah mengapa aku jadi tidak bisa menggunakannya untuk masuk ke xefleku.” Likos berjalan tanpa melihat ke arah mereka. Dia sibuk mengutak-atik punggung tangannya dengan kesal. Nod ingat dengan jelas bentuk wajah Likos walau di daratan dia terlihat lebih berantakan lagi. Likos sudah berteman dengannya lebih dari dua puluh tahun dan mengenali wajahnya yang berkumis tebal itu bukan hal yang sulit. Urvi yang tadinya bersama Nod langsung keluar menengok permasalahan yang dikeluhkan Likos. Disusul oleh Nod yang masih terpegun dengan kedatangan manusia daratan di tempat asing ini. Otaknya berdesing cepat mencerna alasan-alasan yang mungkin akan dijelaskan Likos padanya. Ketika Likos melangkah dan mendapati Nod sudah berdiri tepat di hadapannya, Likos langsung mundur selangkah. “Nod? K
Pagi cerah Nod disambut dengan tidak begitu baik. Seperti yang dikatakan Fibrela, burung nasar itu berkicau riang di depan jendela. Yang kalau bisa dibilang lebih mirip suara gonggongan. Likos sentak bangkit akibat teriakan burung raksasa itu. Paruhnya besar dengan sorotan mata seperti serigala. Sama sekali bukan burung nasar seperti yang dibayangkan Nod. “Hentikan!” pekik Likos. “Bagaimana burung keparat itu bisa begitu berisik?” Nod ikut memandang sekeliling ruangan heran. Beginikah cara para Atlic ini bangun? Benar-benar cara yang barbar. Fibrela sudah berdiri dengan rapi tak jauh dari mereka. Tubuhnya terbalut kain dengan kilatan mutiara menyebar di sepanjang lengannya. Warnanya putih seperti yang biasa dipakainya. Nod masih sibuk menutup jendela yang sudah penuh liur burung nasar itu. Hewan itu belum mau menyingkir. Dia mematuki bingkai jendela hingga bagian luar jendela itu dipenuhi dengan guratan. Fibrela yang melihat kakacauan
“Aku ingin menyampaikan beberapa hal mengenai jadwal kegiatan kita selama berada di Luxavar,” ucap Fibrela setelah mereka sampai di dalam sebuah gedung yang sepertinya sebuah rumah makan. Rumah makan yang mereka datangi bukan bangunan luas seperti bangunan lainnya. Tempat itu berbentuk seperti potongan dinding. Ada berlapis-lapis dinding dengan lingkaran-lingkaran yang melubangi dinding tersebut. Tempat duduk dan meja disusun memadai hingga enam orang. Untuk menuju ke tempat tersebut mereka bisa melalui tangga berjalan yang mengelilingi tiap tempat duduk yang ada di lapisan dinding tadi. Tulisan “Krustum” besar berpendar terang di bagian atas dindingnya. Setiap lapis dinding dapat dilewati melalui jembatan kaca yang berada di tengah-tengah bangunan tersebut. Fibrela membawa mereka menaiki ruangan paling atas dan tersudut dari rumah makan itu. Di tempat itu mereka bisa berdiskusi dengan lebih aman. Setelah memasukkan pesanannya melalui layar di meja, Fibrela l
Tiga atlic berlarian melewati koridor Egarus yang panjang dengan terengah-engah. Mereka tidak tahu apa yang baru saja terjadi pada tubuh mereka. Salah satu dari mereka menyemburkan darah dari mulutnya. Keduanya juga mengalami hal yang sama. Petugas kesehatan di Egarus dan beberapa rokern mengungsikan mereka ke salah satu brankar kosong. Melakukan pemeriksaan dan memindai seluruh pemeriksaan tersebut ke komputer pusat. Tiga rokern segera membawa mereka ke salah satu atlic. Mereka terbaring berdampingan. Wajah mereka pucat dan kedua lubang hidungnya sesekali masih mengeluarkan darah. Salah satu atlic mendekati mereka. “Apa yang terjadi?” tanya atlic dengan pakaian serba biru. Atlic yang masih menyumbat lubang hidungnya dengan kapas menggeleng lemah. Diikuti para pengunjung yang lainnya. “Kami tidak tahu,” jawab salah satu dari mereka dengan suara sengau. “Darahnya tidak berhenti. Kami tidak bisa menahannya.”
“Kau belum tidur?” tanya Nod. “Nod?” tanya Fibrela. “Aku masih mau membereskan pekerjaan di Balorop. Kau istirahat saja dulu.” “Fibrela, aku hanya ingin menyampaikan satu hal padamu,” kata Nod duduk di samping Fibrela. Fibrela terlihat tidak begitu mengacuhkan ucapan Nod. Dia memandang gambaran grafik pada layar di hadapannya. Salah satu jemarinya menggeser gambar-gambar yang tampil di layar itu. “Aku akan pindah ke Luxavar,” kata Nod tanpa menunggu respons dari Fibrela. Fibrela sentak menghentikan pekerjaannya. Dia memandang Nod seraya mengangkat kedua alisnya. Nod membalas tatapan tidak percaya tadi dengan cengiran kecil. “Kau serius?” tanya Fibrela. “Presiden Trufer memberiku pekerjaan yang lumayan bagus di Luxavar. Jadi kupikir kapan lagi aku bisa hidup senyaman di sini,” jawab Nod. “Dan aku akan kembali menjadi putrimu?” tanya Fibrela. “Jika kau tidak mau, aku bisa mengadopsi atlic lain,” kata Nod santai.
Dalam suatu ruangan remang di suatu tempat di Luxavar, duduk seorang laki-laki paruh baya dengan seorang remaja muda di dekatnya. Seorang anak yang lebih muda berada di hadapan mereka dalam posisi bersujud.“Maaf, aku tidak menjalankan misi ini dengan baik,” kata anak itu. Wajahnya yang tirus dan pucat menunduk tak berani memandang pria itu secara langsung.“Sudahlah… kemarilah,” pinta pria tadi.Anak itu berdiri dan duduk di dekat pria paruh baya itu. Dia meraih tangan anak itu sambil berbicara, “Kuberikan lagi kau kesempatan. Aku harap kau tidak mengecewakanku kali ini.”Anak tadi memandang pria itu seakan mendapat harapan baru. Pemuda di sampingnya menatap tajam.“Bagaimana bisa kau menyia-nyiakan kesempatan yang begitu besar, Edvard?” tukas pemuda itu.“Jibethus, diamlah!” hardik pria itu sekejap membungkam keluhan Jibethus. “Kau juga sudah gagal menjalankan misi in
Di pagi hari keesokan harinya Fibrela mulai kembali membaik. Demam sudah turun. Sesaknya perlahan berkurang. Jemari yang tergenggam dalam cengkeraman Nod sesekali dieratkan.“Fibrela? Kau dengar aku?” tanya Nod mengamati wajah Fibrela lekat-lekat.Fibrela mengerlipkan pelupuk matanya, berusaha mengumpulkan semua tenaga untuk bangun. Dia menggerakkan kedua tangannya dan mencoba menyingkirkan semua benda asing yang berada di tubuhnya. Matanya menyipit ke arah cahaya terang yang terpancar dari jendela kaca di sampingnya.“Fibrela, Tidak apa-apa. Kau di sini. Kau bersamaku,” ucap Nod pelan saat Fibrela menoleh ke arahnya.Fibrela kemudian mengamati sekelilingnya bertanya-tanya. Dia langsung memberontak saat menyadari sekujur tubuhnya dipenuhi kabel dan selang. Tangannya sentak menyingkirkan benda-benda asing tersebut. Para perawat mendekatinya berusaha mencegah tindakan melukai dirinya tersebut. Fibrela berhasil menarik selang makan ya
“Sesungguhnya kau tidak perlu memercayai Edvard jika dalam hatimu saja kau sudah percaya pada Fibi,” kata Brevis ketika rekaman yang disaksikan Nod berakhir.“Apakah semua ini benar?” tanya Nod pada Louie.Louie mengangguk.Nod mengusap air matanya yang sudah bergulir lagi. Sebuah bongkahan es telah membeku dan menyedat kerongkongannya, membuat dirinya begitu kesusahan bernapas.Semestinya dari dulu Nod tahu kalau Fibrela bukan pembunuh seperti yang dikatakan Edvard dan orang-orang. Bukan itu saja. Fibrela adalah Atlic yang mencoba menyelamatkan istri dan anaknya, meski gagal. Semua menyayangkan hal tersebut. Seharusnya Nod tidak menganggap Fibrela sebagai pembunuh. Dia sudah berusaha. Itu yang semestinya dipikirkan Nod. Fibrela hanya mencoba menebus penyesalannya dengan melakukan perbuatan baik itu.Istrinya tidak mati sia-sia. Begitu pun putrinya. Mereka tidak mati percuma. Ada gadis kecil di Luxavar yang memperjuang
Likos melangkah ke arah Nod dan Louie dari ujung lorong rumah sakit dengan membawa sekantung makanan. Tidak ada kursi di depan ruang rawat intensif karena tempat duduk sudah disediakan di tempat yang lebih jauh. Jadi mereka hanya bisa menunggu di lorong itu dalam keresahan. Lampu rumah sakit mencetak bayangannya ke arah yang lebih gelap. Nod masih merundukkan kepala memeluk kedua kakinya yang masih basah. Tidak membiarkan secercah cahaya pun menyentuh wajahnya. Pakaiannya hampir kering, tapi masih lembap.“Makanlah, sedikit,” ucapnya sambil menyodorkan bungkus makanan yang dibawanya ke hadapan Nod yang masih termenung dalam.Sapaan Likos seperti angin yang menerpa puing-puing kesedihan yang telah diluluhlantakkan akal sehat itu. Kekalutan memperkeruh pikirannya hingga dia hampir tak menyadari keberadaan Likos yang beberapa menit lalu muncul di sampingnya. Apa yang telah terjadi atau apa yang semestinya dilakukannya? Dia berharap ingatan ini bisa sejenak saj
Nod kembali menelusuri lorong yang sama, memasuki ruang kerja Edvard yang sudah terbuka. Ruangan dan lorong itu sudah dipenuhi air. Nod menghirup udara terakhir yang masih tersisa dari langit-langit dan berenang melintasi bingkai pintu yang melengkung. Dia bisa melihat Brevis di samping Fibrela berusaha membuka ikatan yang mengerat kedua tangan Fibrela.Gelembung udara keluar dari mulut Fibrela. Matanya masih terbuka mencoba menyelamatkan diri dengan sisa-sisa udara di parunya. Entah sudah berapa lama dia terendam air. Nod meraih pisau yang dilemparnya ke sudut ruangan itu. Dia bisa melihat Louie dan Brevis masih mencoba menarik kawat itu.Pisau tadi segera diarahkan ke kawat yang mengerat tangan dan kaki Fibrela. Nod memberi isyarat pada Brevis untuk keluar lebih dulu sebelum dia mati lemas di dalam air. Brevis segera berenang keluar setelah semua kawat yang mengikat Fibrela lepas, disusul Nod dengan tubuh Fibrela yang sudah tak meronta.Nod tahu dia sudah tak
Sandaran kursi yang menindih Fibrela kini hampir mencekiknya. Dudukan yang keras itu menimpa sebelah tungkainya, menggeseknya dengan keras hingga jemari kakinya membiru sekarang. Posisi tubuhnya tampak begitu menyedihkan. Fibrela mencoba mengerang dengan hembusan panjangnya. Giginya gemeretak hebat.Nod membenarkan kursi Fibrela dan memposisikan duduknya seperti semula. Dia merasa sedikit iba melihat sekujur tubuhnya kini bersimbah darah. Namun dia juga tidak berdaya memutuskan mengakhiri penderitaannya.Meski begitu, Fibrela membalas ucapan Nod dengan tawa. Nod mengernyit heran. Fibrela tak berhenti tertawa. Mengapa dia masih tertawa walau dalam keadaan mengenaskan seperti ini? Apakah Fibrela menganggap urusan kematian ini hanya permainan belaka? Dia sangat kesal berada dalam situasi seperti ini.Edvard di sampingnya tersenyum ringan. Dia terlihat tidak mau kalah dengan menimpal perkataan, “Kau tidak perlu menunggu dia menjelaskannya padamu, Nod. Kau hany
Nod mendapati dirinya terbangun di atas kursi besar. Kawat tipis melingkari pergelangan tangan dan kakinya, membuat tubuhnya tak berdaya berkutik. Nod berusaha memandang ke segala arah untuk menerka keberadaannya. Lagi-lagi dia mengutuki dirinya yang begitu sial sampai tertangkap berulang kali.Suasana seperti ini tampak tak asing. Ini ruangan yang pernah ditunjukkan Fibrela padanya. Bau wewangian yang khas mengingatkannya pada saat-saat dia bertemu dengan rokern cantik buatan Edvard. Ini bau pelembap kulit rokern. Dia ingat betul bau ini.Kepalanya terasa nyeri setelah menghantam tanah tadi. Nod sadar kalau mereka mereka tidak memiliki banyak waktu untuk menyelamatkan diri. Sudah berapa lama dia tidak sadar. Matanya menatap ke segala arah.“Fibrela?” panggil Nod.Nod melihat Fibrela di sampingnya juga sudah sadar. Dia diikat di kursi dengan jenis yang sama dengan Nod. Pandangan Fibrela datar tanpa mimik. Benturan keras saat di yunish menyorak