Nod diam tak berkutik. Makhluk yang terlihat berterbangan di langit merupakan robot berukuran dua kali lipat tubuhnya. Dia menunggangi motor tak beroda yang membuatnya tetap melayang rendah di depan Nod.
Fibrela nyaris tak bernapas, sementara Nod hanya bisa menatap robot tadi memelas. Cerecza menjulurkan kepalanya lebih lekat ke hidung Nod. Kelihatannya dia tengah membaca setiap lekukan dan gerak-gerik Nod dengan saksama. Fibrela memberinya isyarat untuk tetap tenang. Jemarinya masih menggenggam erat pergelangan tangan Nod.
Jantung Nod berdegub kencang. Dia berharap robot mengerikan di depannya tidak bisa mengendus identitasnya. Walau dia tidak pernah tahu apa yang bisa dilakukan robot semacam ini terhadapnya, penampakan wajah yang berlapis logam dengan mata bercahaya merah tanpa mimik itu sudah cukup membuat Nod menyimpulkan dia bukan rokern ramah seperti Louie. Belum lagi sekujur tubuh robot itu tak lain adalah senjata yang bisa melepaskan berbagai macam tembakan. Nod tak lagi ingin meneliti lebih jauh sosok menyeramkan di depannya ini.
Tatapan dingin Cerecza berhenti saat melihat mata kalung yang dikenakan Nod. Setelah beberapa detik melakukan pengamatan, makhluk itu pun meninggalkannya.
Keduanya menghela napas yang sejak tadi sudah ditahan. Fibrela kembali merenggut tangan Nod memasuki terowongan bawah tanah.
“Siapa mereka sebenarnya?” tanya Nod.
“Cerecza. Dia sejenis rokern yang diciptakan untuk menangkap penjahat yang berkeliaran di Luxavar. Seharusnya mereka berada di Pegunungan Krekein,” jawab Fibrela.
“Kenapa dibiarkan berkeliaran di sini?”
“Kurasa para Kanselir yang mengutus mereka.”
Jalan yang mereka tempuh adalah jalur yang mengarah ke kereta bawah tanah. Tapi mereka tidak masuk ke pintu masuk untuk ke bawah sana. Fibrela melangkah ke jalan yang melewati aliran sungai besar di atas sana.
“Apakah mereka akan menangkapku jika tahu aku bukan… atlic?” tanya Nod seraya memandang dinding terowongan yang sama terangnya seperti di bagian permukaan. Iklan dan deretan berita muncul seperti jalan di bagian atas tadi.
“Shht!” desis Fibrela. “Jangan banyak berbicara!”
Para atlic yang baru mengungsi dari jalanan di atas juga turut melewati jalur yang sama. Hal itu membuat Fibrela harus menjaga setiap kata yang keluar dari mulut Nod.
Mereka diam sepanjang perjalanan. Tidak ada hal menarik selain iklan-iklan di terowongan yang menampilkan produk secara berulang-ulang. Bahkan belum ada berita tentang penyerangan yang baru saja terjadi di dekat mereka itu. Nod juga tidak bisa asal berbicara lagi. Fibrela bukan orang yang bisa diajak berdiskusi dan anak itu juga kelihatannya sangat dingin.
“Dengan semua kecanggihan ini, tidak adalah alat yang bisa membawa kita lebih cepat ke tempat tujuanmu?” tanya Nod. “Lagian kita mau ke mana sebenarnya?”
Fibrela diam dengan tetap menekuri gelang di tangannya yang bisa mengeluarkan gambar tiga dimensi di hadapannya. Di sana terlihat beberapa grafik yang begitu statis. Ada angka-angka yang timbul setiap dia menjentikkan gambar tersebut. Sesekali Fibrela bercakap dengan orang-orang di depannya dengan alat yang sama.
“Apa nama benda ini?” tanya Nod pada Louie.
“Kami menyebutnya miliceri,” jawab Louie.
Nod memandang berkeliling dan bisa melihat setiap atlic yang berjalan bersama mereka juga melakukan hal yang sama. Justru Nod makin terlihat seperti makhluk asing karena tidak membawa benda seperti mereka.
Langkah mereka baru terhenti saat mereka sampai di ujung terowongan. Mata Fibrela beralih dari alat yang mereka sebut sebagai miliceri itu. Dia memilih jalan di sebelah kanan yang langsung diikuti oleh Nod dan Louie. Mereka keluar ke tanah lapang yang kini sudah ada di seberang sungai. Fibrela tetap berjalan menyusuri tanah lapang tersebut, memasuki salah satu bangunan megah di depan sungai. Tangga lebar menyambut pintu masuknya.
Gerbang besar terbuka menyambut ratusan atlic dan rokern yang berlalu di tempat tersebut. Gedung yang mereka masuki berupa bengkel raksasa bertingkat yang ditempati pesawat kecil yang memenuhi langit dunia bawah laut ini.
Tulisan besar ‘YUNISH’ terpasang di bagian atas gerbang tadi. Pesawat di tempat ini berbentuk seperti ikan paus versi obesitas. Walau gemuk, benda tadi dapat terbang seperti pesawat tempur.
Fibrela melangkah ke salah satu yunish yang terparkir rapi di lantai paling bawah. Benda berwarna putih dengan kaca besar menutupi bagian depan yunish tampak mengkilap dan bersih.
“Aku baru memodifikasi ulang yunishku.” Fibrela terlihat girang dengan mainan baru di depannya.
Itulah alasan mengapa mereka harus berjalan sejauh ini dari ujung jalan utama Mercendia hingga ke tempat ini. Anak itu sedang melakukan perbaikan pada ikan paus terbangnya ini.
“Dengan yunish kita bisa menjelajah Luxavar lebih mudah,” timpal Fibrela. Sepertinya dia senang bisa kembali menggunakan kendaraan itu lagi.
Pintu samping yang tembus pandang terbuka disambut oleh dua deret tempat duduk super empuk di dalamnya. Kendaraan futuristik yang mungkin baru bisa Nod nikmati seratus tahun lagi ini ternyata bisa dimiliki secara pribadi. Tajir juga si Fibrela, pikir Nod.
Dengan cepat mereka sudah mengudara di langit-langit yang berwarna merah jambu itu. Nod duduk tanpa bisa berkata-kata. Dia pernah merasakan terbang dengan pesawat komersil beberapa tahun lalu, tapi ini sungguh berbeda. Tidak senyaman dan semenakjubkan ini. Dia terkesima menatap pemandangan kota yang terhampar di bawahnya itu. Fibrela sedikit melakukan manuver memutar agar Nod memiliki kesempatan untuk bisa melihat lebih lama. Louie duduk tegap di belakang mereka tanpa ekspresi—seperti biasa.
Selang beberapa menit, Fibrela kembali mengarahkan yunish tersebut turun. Alat kemudinya hanya berupa roda elastis yang bisa dinaikturunkan sesuai keinginan pengemudi. Nod bahkan bisa mencobanya, sebab alat kemudinya bisa dipindahkan ke semua penumpang.
Pesawat berwujud ikan paus tadi terbang rendah menuju ke sebuah gedung berbentuk limas segi enam terbalik. Jadi, bagian bawah yang lebih runcing itu menjadi penyangga gedung. Sekeliling bangunan terdapat kolam, lengkap dengan tanaman airnya. Warna dasarnya yang kebiruan terpantul sempurna ke dinding gedung yang mengilap.
Tepat di dasar air tadi berpendar cahaya yang bertuliskan ‘FARMASI DAN BIOTEKNOLOGI BALOROP’.
Mereka mendarat mulus di atas tanah lapang di sisi gedung bagian depan. Pintu segi enam terbuka lebar menyambut mereka. Setiap atlic yang masuk ke dalam menunjukkan punggung tangannya ke alat pendeteksi berupa rokern menjaga.
“Kau bekerja di sini?” tanya Nod.
Fibrela tak menjawab, melainkan tetap berjalan memasuki pintu utama gedung tersebut. Di kedua sisi jalan masuk terdapat deretan bunga kristal raksasa. Air yang sama seperti di bagian luar juga menggenangi bagian dalam bangunan tersebut. Bunga besar tersebut masih menguncup.
Ketika Fibrela berdiri di salah satu bunga, seseorang menyapanya.
“Profesor Greinthlen, selamat datang,” ucap anak laki-laki yang berusia sekitar sepuluh tahun. Rambutnya yang panjang dan licin dikucir ke belakang dengan rapi. Dagunya tirus dan tatapannya tajam. “Kau mau ke podium tas Kaltor?”
Fibrela menyunggingkan sedikit senyum. Goresan senyum yang dingin yang selalu ditunjukkannya pada sebagian atlic di dunia ini.
“Aku mau bertemu Paerovy.” Fibrela berkata sambil menerawang ke segala arah. “Kau tahu di mana dia, Edvard?”
“Ah ya, tentu saja,” jawab anak bernama Edvard tersebut. “Dia masih mengajar di lantai dasar.”
“Sampaikan kalau aku menunggunya di Herborium,” kata Fibrela.
Kemudian dia mendekati salah satu kuncup bunga yang paling dekat dengannya. Dengan cepat Fibrela menyanyikan dua bait lagu.
Pada awalnya, Nod heran dengan tindakannya. Namun dia mengerti setelah melihat sebagian besar atlic di tempat ini melakukan hal yang sama. Tampaknya itu salah satu kode yang dibutuhkan untuk memasuki tempat tertentu di gedung tersebut.
Balorop! Oh, Balorop sang poros peradaban dunia.
Berputarlah, matahari ‘kan menjemputmu di timur!
Tak berapa detik setelahnya, mahkota bunga berwarna merah yang menguncup itu pun perlahan merekah. Salah satu mahkota terjulur lentik ke pinggir kolam membentuk jalan masuk ke bagian dalam bunga.
Fibrela masuk diikuti Nod. Setelah mereka berdiri di dalam, bunga itu kembali menguncup. Seluruh kelopaknya mengurung mereka yang berada di dalamnya. Kini mereka bertiga tepat berada di dalam perut sebuah bunga.
“Aku tidak tahu kau bisa bernyanyi.” Nod menyindir halus.
“Lebih baik kau hafalkan lagu tadi,” timpal Fibrela sambil berlalu setelah mahkota bunga yang mereka tumpangi bergerak sesuai dengan tujuan Fibrela. Ada tombol bercahaya yang menempel di salah satu dinding yang mengindikasikan tempat yang bisa mereka tuju.
Bunga tadi mengantar mereka menuju ke sebuah ruangan yang tidak berlantai. Benar-benar tidak ada tanah, alas, atau apa pun yang bisa dijadikan pijakan. Tapi Fibrela bisa tetap berdiri dengan stabil di atasnya. Nod tak berani menebak apakah jalan yang tidak tampak itu benar-benar bisa dilalui. Dengan penuh keraguan, dia melangkah.
Nod tidak pernah melihat ruangan dengan bentuk semacam ini, meskipun dalam mimpi. Nod berdiri kikuk karena lantai yang diinjaknya tidak berbentuk, berwarna, ataupun lebih parah—tidak ada tanda kalau itu lantai. Mereka seperti berjalan di udara.
“Kenapa begitu lamban?” tanya Fibrela tersenyum geli melihat Nod kesulitan memilah langkahnya.
Tempat tersebut adalah ruangan yang dikelilingi juluran tanaman di setiap sisinya.
“Apa usahnya membuat lantai?” tanya Nod sangsi.
“Kami tidak membuat lantai karena kami tidak membutuhkannya.”
Nod tak membantah. Setelah beberapa menit berjalan menyusuri tempat tadi, dia akhirnya terbiasa. Dia merasa seperti berada di taman bermain tiga dimensi ketimbang pusat riset dan observasi.
Tiga atlic berdiri tak jauh dari tanaman yang sudah berbuah dengan biji berwarna ungu kemerahan. Nod tak dapat menebak jenis tanaman tersebut. Dia hanya bisa mengamati para atlic yang tengah menyiangi setiap biji dari tanaman unik tadi.
Semua atlic langsung menghadap ke Fibrela ketika menyadari kedatangannya.
“Profesor Greinthlen, ada kebutuhan menyenangkan apa Anda kemari?” sapa salah satu pekerja di tempat tersebut.
Belum sempat mereka menghapus senyum manis mereka, tatapan garang langsung terhunus dari bilik mata Fibrela.
“Bagaimana bisa Orchixfilgh itu jadi layu? Kalian tahu berapa banyak nektar yang harus hilang karena ketidakbecusan kalian merawatnya?” cecarnya dengan suara tinggi.
Seisi ruangan hening. Tampaknya kemarahan anak itu kembali memuncak. Bahkan atlic yang berusia dua kali lipat darinya sampai merunduk tak berkutik.
“Aku tidak akan memvalidasi laporan bulan ini jika orchixfilgh itu tidak mekar di akhir minggu,” tegas Fibrela. “Dan kau Garix, aku tidak bisa mempertahankanmu lagi di Balorop. Kau bisa berbenah sekarang.”
“Tapi Profesor Greinthlen… beri aku kesempatan sekali lagi,” ucap atlic laki-laki bernama Garix tersebut. Usianya masih sebaya dengan Fibrela. Wajahnya langsung memerah saat Fibrela akhirnya memutuskan hubungan kerja dengan anak tersebut.
“Kau sama sekali tidak pantas mendapat pengampunan lagi. Aku tidak mau menerima laporan rekayasamu lagi. Pergilah sebelum aku meminta rokern menyeretmu dari tempat ini.” Fibrela berkata dengan lugas. Salah satu tangannya terulur ke arah atlic malang itu.
Garix melepaskan pin kecil yang menempel di pakaiannya dan menyerahkan benda tadi ke Fibrela dengan wajah berang. Dia tak lagi memelas setelah Fibrela mematahkan pin tadi menjadi dua bagian. Sekarang atlic tadi resmi bukan lagi bagian dari Balorop.
Nod menatap mereka iba. Bagaimana bisa seorang bocah cilik seperti dia mengancam pekerjanya sampai begitu tak berdaya.
Fibrela berlalu setelah melampiaskan kekesalannya pada ketiga atlic yang tadi tengah menyiangi tanaman berbiji ungu tersebut. Dia melangkah menjauhi juluran tanaman dengan nama rumit tadi dan berlanjut ke tanaman lain di sebelahnya.
Dua atlic tengah memetik tangkai merah pada pohon dengan batang berwarna kebiruan. Tanaman tersebut tidak begitu besar, tapi mereka tumbuh mengelilingi dinding di ruangan tadi. Tidak ada komentar yang keluar dari mulut Fibrela.
Keduanya berlanjut ke jenis tanaman selanjutnya. Setiap atlic akan berbaris menyambutnya seolah ratu. Kengerian tersirat dari tatapan mereka. Sebagian terdiri dari anak-anak berusia 5 hingga 9 tahun. Mereka begitu patuh dengan setiap patah kata yang diucapkan Fibrela.
Tepat di bagian ujung deretan tanaman langka khas negeri antah berantah ini, berdiri sesosok atlic. Dia atlic yang tadi dilihat Nod saat memasuki mahkota bunga. Tampaknya atlic yang dilihatnya di pintu masuk tadi bukan wujud yang asli. Nod tak ingin berpikir lebih panjang.
“Kau masih mau memamerkan tas Kaltor-mu itu, Edvard?” lontar Fibrela terlihat tidak suka dengan desakan Edvard tentang alat baru rancangannya.
“Maafkan saya Profesor, pihak pemasaran perlu telaah dari Anda,” jawab atlic bernama Edvard tersebut.
“Apa peduliku dengan pihak pemasaran?” tukas Fibrela seraya mengamati daun tumbuhan berbuah kuning terang yang tumbuh di dalam pot.
Edvard terdiam. Dia tak membantah perkataan Fibrela. Semua tampak segan dengan anak perempuan itu.
Setelah lama mengacuhkan Edvard, akhirnya Fibrela menoleh ke arahnya.
“Di mana tas Kaltor-nya?” tanya Fibrela masih dengan ekspresi pedas.
Wajah Edvard segera merekah. Dia bergegas menarik kotak besar yang bertengger tak jauh dari mereka. Sejak tadi benda itu terus mengikuti Edvard.
Dengan penuh semangat, Edvard mengeluarkan benda seperti tas ransel besar yang memiliki bantalan di bagian panggul dan perut. Di bagian punggung tas tersebut tergantung sejenis alat yang bisa menyala. Edvard menekan tombol hidup dan bagian dalam dari tas tersebut langsung berdesir halus.
Sebelum Fibrela menggerutu, Edvard langsung mengeluarkan alat sejenis dari kotak besar beroda tadi.
“Ini untuk Anda, Tuan Nod Pender,” ucap Edvard dengan suara yang begitu bersahabat. “Aku jamin, Anda tidak akan melupakan pengalaman menggunakan tas Kaltor ini untuk pertama kalinya.”
Nod menerima benda tadi dengan sedikit tersenyum paksa. Fibrela melihat ransel yang di dalamnya terdapat rangkaian elektronik sambil mengatur ulang programnya.
“Silakan, Profesor Greinthlen,” ucap Edvard sambil menyanggah tas yang cukup berat ke punggung Fibrela yang mungil.
Nod butuh tenaga ekstra untuk mengaitkan bagian depan tas Kaltor. Edvard membantu memastikan semua sudah terpasang dengan baik.
“Bagaimana cara menggunakannya?” tanya Nod.
“Ayunkan tuas yang ada di kaki,” kata Edvard. “Lalu arahkan dengan kedua tangan.”
Nod mengentakkan kakinya dan tanpa dikira dia langsung memelesat tinggi ke langit yang tidak berujung tersebut. Fibrela terbelalak. Edvard menyengir tegang. Nod memekik ngeri.
“Wooooooh!” Suara teriakan Nod memantul dan menghilang dari balik langit-langit.
Fibrela segera melompat dan melayang naik. Dia mengejar Nod semampu alat yang diberikan Edvard. Dia terbang membawa alat terbang sederhana tadi sampai lantai paling atas dari Balorop. Nod tak boleh lepas begitu saja, benaknya terus memperingati hal tersebut.
“Nod!” panggil Fibrela ketika menemukan Nod akhirnya berhasil membuat tas Kaltor tenang.
Nod diam masih mengumpulkan keberaniannya untuk melihat ke bawah. Fibrela terbahak menertawakan pria paruh baya yang masih gemetar ketakutan di depannya. Awan yang berwarna merah muda melintas dan membuat gumpalan tipis di bawah mereka. Pemandangan sebagian Mercendia terlihat memukau dari tempat ini.
“Kau sudah bisa membuka matamu, Nod,” ujar Fibrela.
Nod mengerjap ragu.
“Tunggu,” sela Fibrela. “Jangan buka dulu. Biar aku stabilkan tas kaltormu.”
Nod berdiri tegap enggan menggerakkan seluruh tubuhnya. Fibrela menarik tuas di kedua kakinya dan setelah mengatur ulang, dia memasangkan lagi benda tersebut di kedua kaki Nod.
“Sekarang, kau buka matamu, tapi jangan lakukan gerakan mendadak,” perintah Fibrela.
Nod mengintip dari sela kelopak matanya tanpa bergerak. Dia memandang sekitar dan mengikuti setiap aba-aba yang diutarakan Fibrela. Kedua tangan Fibrela meraih tangan Nod dan mengarahkannya sesuai arah yang telah diaturnya.
“Ikuti gerakan yang kutunjukkan padamu,” ucap Fibrela.
Nod mengikuti ayunan kaki kecil di depannya dan perlahan-lahan dia mulai bisa mengendalikan alat tersebut.
“Mudah kan?” Fibrela terlihat bangga Nod bisa menguasai benda itu pada menit-menit pertama penerbangan mereka.
“Ini benar-benar menakjubkan!” ujar Nod. Kegembiraannya tersulut. Dia menggerakkan tubuhnya mengikuti arah angin dan merasakan dirinya kini bisa terbang seperti burung. “Aku bisa ke mana pun yang kuinginkan dengan benda ini.”
“Haha, ya, tapi tidak sekarang, Nod,” timpal Fibrela.
“Wah, kalian benar-benar hebat, Fibrela,” ujar Nod. “Mengapa tidak dari awal kita menggunakan alat ini. Jadi tidak perlu berjalan kaki ke bengkel yunishmu itu.”
“Berjalan dapat melatih otot kakimu.”
“Tapi kita tidak perlu bertemu dengan makhluk berzirah besi itu.”
“Kau bisa menemukannya di mana pun, Nod. Cerecza bisa muncul di sini, detik ini.”
“Mengapa kalian membuat makhluk sedemikian merepotkan?”
Keluhan Nod membuat Fibrela kembali tertawa. Anak yang tadinya barusan marah-marah sudah kembali riang.
“Kau harusnya lebih sering tertawa,” ucap Nod.
“Memangnya aku tidak sering tertawa?”
“Kau memarahi pekerjamu karena membuat tanaman itu layu sampai mereka gemetar ketakutan,” sindir Nod.
“Itu karena mereka selalu melakukan kesalahan berulang kali,” jawab Fibrela.
“Mereka bahkan ada yang berusia lebih tua darimu,” kata Nod.
“Memang kenapa? Mereka pantas dimarahi.”
“Kau tampak sangat galak seperti nenek-nenek.”
Fibrela berhenti mengayunkan kakinya menembus awan. Dia langsung menarik tuas di kaki Nod. Sentak Nod langsung kehilangan keseimbangan. Tanpa bisa mempertahankan arahnya, tubuhnya memelesat turun.
“Hei… apa yang kau lakukan?” Nod benar-benar panik sekarang. Walau mengentak-entakkan kakinya, dia tak lagi bisa kembali terbang. Tubuhnya terus terjun bebas tanpa bisa dihentikan. Dia tak tahu apa yang akan terjadi pada ransel yang dipikulnya.
Tinggallah Fibrela yang masih melayang-layang tenang di atas awan. Namun itu tidak bertahan lama. Dia menggaruk kepalanya gundah. Beberapa detik setelahnya, Fibrela langsung memelesat turun mengejar Nod lagi.
Udara dingin menggesek wajah Nod dengan kuat. Gravitasi di tempat ini menarik dirinya kian mendekati atap menara besar di bawah sana. Tubuhnya terpental masuk melalui cerobong asap yang menjunjung tinggi di atmosfir Luxavar. Udara berwarna jingga mengepul dari cerobong yang sama. “Oh! Tidaaak!” Teriakan Nod bergema sepanjang lorong panjang yang mengantarnya masuk kian dalam. Asap kuning lebih pekat di tempat yang lebih dalam, tapi dia sama sekali tak merasa kepanasan. Malah sebaliknya, dia merasakan hawa yang sejuk menerpa kulitnya. Kedua tangan Nod sibuk meraih apa pun untuk mencegahnya terperosok semakin dalam ke cerobong itu. Baru kali ini dia begitu membenci gravitasi. Cerobong itu mengantar tubuhnya ke sebuah wadah besar yang di dalamnya berisi cairan kental. Tubuhnya kandas seumpama permen yang tercelup ke dalam susu berwarna jingga. Dalam keadaan panik ia berusaha berenang menuju tepian wadah. “Cairan apa ini?” Nod menggapai tangannya ke penyan
Mereka sudah mendarat kembali di lapangan yang sama dengan saat mereka pertama ke Balorop. Bangunan gedung berkelap-kelip memantulkan cahaya dari balik air di bawahnya. Di aula utama tersebut sudah berdiri Edvard dengan langkah kikuk. Dia terus menunduk tak berani menatap Fibrela. “Prof….” Edvard tak diacuhkan seperti biasanya. Dia tak menyerah. Dia kembali mengikuti langkah Fibrela. “Sungguh maafkan saya, Profesor Greinthlen.” “Kau tahu apa yang sudah diperbuat oleh benda rongsokan rekomendasimu, Edvard?” Wajah Fibrela membara. Dia memelotot ke arah Edvard penuh kekesalan. “Maafkan, saya, Profesor,” ucap Edvard berulang kali. “Sungguh maafkan saya.” “Jadi, hukuman apa yang bisa kujatuhkan padamu?” tanya Fibrela kembali tenang. Langkah mereka terhenti ke kuntum bunga terakhir di aula tadi. “Saya… saya akan membuat rokern baru untuk Anda.” Edvard tersenyum tipis setengah memelas. “Oh ya? Kau kira rokern buatanmu
“Berdasarkan maklumat kesembilan tentang kesalahan penyebutan kata sandi Balorop, kau harus menerima sanksi berupa melafalkan tiga puluh tujuh kitab pseudonim Luxavar.”Nod terbelalak saat Engliver meletakkan setumpuk buku dengan ketebalan hampir lima sentimeter itu di atas meja di depannya. Buku-buku itu harus dibacanya agar dapat keluar dari tempat ini. Nod menggeleng tidak terima.“Tidak bisa, kalian tidak bisa menahanku dengan membaca semua buku itu,” kata Nod. “Aku hanya salah masuk, aku tidak benar-benar lupa. Kau tahu kan? Kadang-kadang kita bisa silap mengatakan sesuatu.”“Maaf, Tuan Nod. Yang memutuskan Anda berada di sini bukan saya. Lebih baik Anda baca semua buku ini dan mengikuti tes kelulusan nanti.”Engliver berjalan meninggalkan Nod dengan setumpuk buku di meja yang terlihat sangat asing. Berbagai jenis kata-kata bisa dibaca, hanya Nod tidak bisa mengerti apa maksud dan isinya. Buku itu
Suaranya seperti teredam. Wanita yang berjalan tersebut tak juga menoleh ke arahnya. Hingga pada akhirnya, seseorang muncul dari ujung belokan lorong. “Vabian, ternyata kau di sini,” ujar Edvard. “Nod?” Nod mendekati wanita yang dipanggil Edvard dengan Vabian itu. “Sudah kubilang, kau tidak boleh berkeliaran keluar dari bilikku.” Edvard menoleh ke arah Nod dengan kening tergurat. “Nod? Mengapa kau bisa di sini?” “Regan?” Nod sekali lagi mengelukan nama mendiang istrinya. “Maaf, Nod. Tapi dia adalah rokern,” imbuh Edvard seraya menarik rokern berwujud wanita cantik tersebut dari hadapan Nod. “Vabian, kembali ke Bilik Komputasi. Atau aku tidak akan memperbaiki sensor vibrasimu!” ancam Edvard. “Tidak, jangan,” cekal Nod. “Bagaimana bisa dia memiliki rupa seperti Regan?” Nod termangu mengelilingi Vabian. Setiap bentuk, warna, dan bahkan suaranya seperti Regan. Bagaimana bisa Edvard membuat rokern menyerupainya? Ini kebetula
Perjalanan mereka berakhir ketika yunish berhenti pada landasan di depan gerbang sebuah bangunan bundar yang terbingkai oleh pilar-pilar. Jalur masuk berada tak jauh dari halaman parkir tempat mereka mendarat. Potongan mozaik melapisi keseluruhan teras bangunan. Lampu sorot menerangi garis jalan yang mengantar mereka memasuki pintu utama Museum Paranis.Fibrela langsung mengarahkan langkah mereka memasuki pintu utama di tengah gedung tersebut. Tempat ini terbuka untuk umum selama seharian penuh. Tidak ada lagi pendatang yang masuk di jam-jam seperti ini. Waktu yang juga sangat tepat bagi mereka untuk mengunjungi tempat tersebut.Pada sisi dalam gedung, tergantung banyak lukisan-lukisan kuno yang mirip dengan di daratan. Hanya saja tidak ada satu lukisan pun yang pernah dilihat Nod. Tepat di tengah aula tadi terdapat sebuah kapal pesiar besar. Ada ukiran nama tulisan ‘FELIZ CARLOTA 1818’ di lambung kapal tersebut. Nod tidak bisa mengingat apa pun te
“Karena inikah kalian begitu membenci kami?” gumam Nod. Kurator Urvi muncul dari balik pintu yang berbeda. Nod sentak berdiri hendak menudingnya lagi dengan pertanyaan. “Apa yang kalian lakukan pada kami di Luxavar?” tandas Nod mulai berapi-api. Fibrela langsung menahannya. Tangannya menarik Nod agar tidak lebih lanjut mencecar Urvi. “Tuan Nod, saya tidak mengerti perkataan Anda.” Urvi beringsut dari tempatnya berdiri sambil mengernyit heran. “Berhentilah membohongiku. Aku tahu istriku ada di Luxavar. Aku melihat lukisan itu di depan sana. Di mana kalian menyembunyikannya?” Wajah Nod merah padam. Ruangan yang remang itu bahkan tak bisa menyembunyikan kemurkaannya. “Nod!” bentak Fibrela. “Hentikan semua ini!” Nod membungkam dan menoleh ke arah Fibrela. “Urvi tidak akan bisa menjawab pertanyaanmu. Dia hanya menunjukkan sejarah yang pernah dialami Luxavar padamu. Kau bisa tidak mempercayainya. Namun kami mengalami semua itu. Apaka
Nod tertegun. Likos masih belum menyadari keberadaannya di dalam ruang tersebut. Urvi membuat tempat ini tidak terlihat dari luar. “Urvi, kau harus memperbaiki aksesku. Entah mengapa aku jadi tidak bisa menggunakannya untuk masuk ke xefleku.” Likos berjalan tanpa melihat ke arah mereka. Dia sibuk mengutak-atik punggung tangannya dengan kesal. Nod ingat dengan jelas bentuk wajah Likos walau di daratan dia terlihat lebih berantakan lagi. Likos sudah berteman dengannya lebih dari dua puluh tahun dan mengenali wajahnya yang berkumis tebal itu bukan hal yang sulit. Urvi yang tadinya bersama Nod langsung keluar menengok permasalahan yang dikeluhkan Likos. Disusul oleh Nod yang masih terpegun dengan kedatangan manusia daratan di tempat asing ini. Otaknya berdesing cepat mencerna alasan-alasan yang mungkin akan dijelaskan Likos padanya. Ketika Likos melangkah dan mendapati Nod sudah berdiri tepat di hadapannya, Likos langsung mundur selangkah. “Nod? K
Pagi cerah Nod disambut dengan tidak begitu baik. Seperti yang dikatakan Fibrela, burung nasar itu berkicau riang di depan jendela. Yang kalau bisa dibilang lebih mirip suara gonggongan. Likos sentak bangkit akibat teriakan burung raksasa itu. Paruhnya besar dengan sorotan mata seperti serigala. Sama sekali bukan burung nasar seperti yang dibayangkan Nod. “Hentikan!” pekik Likos. “Bagaimana burung keparat itu bisa begitu berisik?” Nod ikut memandang sekeliling ruangan heran. Beginikah cara para Atlic ini bangun? Benar-benar cara yang barbar. Fibrela sudah berdiri dengan rapi tak jauh dari mereka. Tubuhnya terbalut kain dengan kilatan mutiara menyebar di sepanjang lengannya. Warnanya putih seperti yang biasa dipakainya. Nod masih sibuk menutup jendela yang sudah penuh liur burung nasar itu. Hewan itu belum mau menyingkir. Dia mematuki bingkai jendela hingga bagian luar jendela itu dipenuhi dengan guratan. Fibrela yang melihat kakacauan
Tiga atlic berlarian melewati koridor Egarus yang panjang dengan terengah-engah. Mereka tidak tahu apa yang baru saja terjadi pada tubuh mereka. Salah satu dari mereka menyemburkan darah dari mulutnya. Keduanya juga mengalami hal yang sama. Petugas kesehatan di Egarus dan beberapa rokern mengungsikan mereka ke salah satu brankar kosong. Melakukan pemeriksaan dan memindai seluruh pemeriksaan tersebut ke komputer pusat. Tiga rokern segera membawa mereka ke salah satu atlic. Mereka terbaring berdampingan. Wajah mereka pucat dan kedua lubang hidungnya sesekali masih mengeluarkan darah. Salah satu atlic mendekati mereka. “Apa yang terjadi?” tanya atlic dengan pakaian serba biru. Atlic yang masih menyumbat lubang hidungnya dengan kapas menggeleng lemah. Diikuti para pengunjung yang lainnya. “Kami tidak tahu,” jawab salah satu dari mereka dengan suara sengau. “Darahnya tidak berhenti. Kami tidak bisa menahannya.”
“Kau belum tidur?” tanya Nod. “Nod?” tanya Fibrela. “Aku masih mau membereskan pekerjaan di Balorop. Kau istirahat saja dulu.” “Fibrela, aku hanya ingin menyampaikan satu hal padamu,” kata Nod duduk di samping Fibrela. Fibrela terlihat tidak begitu mengacuhkan ucapan Nod. Dia memandang gambaran grafik pada layar di hadapannya. Salah satu jemarinya menggeser gambar-gambar yang tampil di layar itu. “Aku akan pindah ke Luxavar,” kata Nod tanpa menunggu respons dari Fibrela. Fibrela sentak menghentikan pekerjaannya. Dia memandang Nod seraya mengangkat kedua alisnya. Nod membalas tatapan tidak percaya tadi dengan cengiran kecil. “Kau serius?” tanya Fibrela. “Presiden Trufer memberiku pekerjaan yang lumayan bagus di Luxavar. Jadi kupikir kapan lagi aku bisa hidup senyaman di sini,” jawab Nod. “Dan aku akan kembali menjadi putrimu?” tanya Fibrela. “Jika kau tidak mau, aku bisa mengadopsi atlic lain,” kata Nod santai.
Dalam suatu ruangan remang di suatu tempat di Luxavar, duduk seorang laki-laki paruh baya dengan seorang remaja muda di dekatnya. Seorang anak yang lebih muda berada di hadapan mereka dalam posisi bersujud.“Maaf, aku tidak menjalankan misi ini dengan baik,” kata anak itu. Wajahnya yang tirus dan pucat menunduk tak berani memandang pria itu secara langsung.“Sudahlah… kemarilah,” pinta pria tadi.Anak itu berdiri dan duduk di dekat pria paruh baya itu. Dia meraih tangan anak itu sambil berbicara, “Kuberikan lagi kau kesempatan. Aku harap kau tidak mengecewakanku kali ini.”Anak tadi memandang pria itu seakan mendapat harapan baru. Pemuda di sampingnya menatap tajam.“Bagaimana bisa kau menyia-nyiakan kesempatan yang begitu besar, Edvard?” tukas pemuda itu.“Jibethus, diamlah!” hardik pria itu sekejap membungkam keluhan Jibethus. “Kau juga sudah gagal menjalankan misi in
Di pagi hari keesokan harinya Fibrela mulai kembali membaik. Demam sudah turun. Sesaknya perlahan berkurang. Jemari yang tergenggam dalam cengkeraman Nod sesekali dieratkan.“Fibrela? Kau dengar aku?” tanya Nod mengamati wajah Fibrela lekat-lekat.Fibrela mengerlipkan pelupuk matanya, berusaha mengumpulkan semua tenaga untuk bangun. Dia menggerakkan kedua tangannya dan mencoba menyingkirkan semua benda asing yang berada di tubuhnya. Matanya menyipit ke arah cahaya terang yang terpancar dari jendela kaca di sampingnya.“Fibrela, Tidak apa-apa. Kau di sini. Kau bersamaku,” ucap Nod pelan saat Fibrela menoleh ke arahnya.Fibrela kemudian mengamati sekelilingnya bertanya-tanya. Dia langsung memberontak saat menyadari sekujur tubuhnya dipenuhi kabel dan selang. Tangannya sentak menyingkirkan benda-benda asing tersebut. Para perawat mendekatinya berusaha mencegah tindakan melukai dirinya tersebut. Fibrela berhasil menarik selang makan ya
“Sesungguhnya kau tidak perlu memercayai Edvard jika dalam hatimu saja kau sudah percaya pada Fibi,” kata Brevis ketika rekaman yang disaksikan Nod berakhir.“Apakah semua ini benar?” tanya Nod pada Louie.Louie mengangguk.Nod mengusap air matanya yang sudah bergulir lagi. Sebuah bongkahan es telah membeku dan menyedat kerongkongannya, membuat dirinya begitu kesusahan bernapas.Semestinya dari dulu Nod tahu kalau Fibrela bukan pembunuh seperti yang dikatakan Edvard dan orang-orang. Bukan itu saja. Fibrela adalah Atlic yang mencoba menyelamatkan istri dan anaknya, meski gagal. Semua menyayangkan hal tersebut. Seharusnya Nod tidak menganggap Fibrela sebagai pembunuh. Dia sudah berusaha. Itu yang semestinya dipikirkan Nod. Fibrela hanya mencoba menebus penyesalannya dengan melakukan perbuatan baik itu.Istrinya tidak mati sia-sia. Begitu pun putrinya. Mereka tidak mati percuma. Ada gadis kecil di Luxavar yang memperjuang
Likos melangkah ke arah Nod dan Louie dari ujung lorong rumah sakit dengan membawa sekantung makanan. Tidak ada kursi di depan ruang rawat intensif karena tempat duduk sudah disediakan di tempat yang lebih jauh. Jadi mereka hanya bisa menunggu di lorong itu dalam keresahan. Lampu rumah sakit mencetak bayangannya ke arah yang lebih gelap. Nod masih merundukkan kepala memeluk kedua kakinya yang masih basah. Tidak membiarkan secercah cahaya pun menyentuh wajahnya. Pakaiannya hampir kering, tapi masih lembap.“Makanlah, sedikit,” ucapnya sambil menyodorkan bungkus makanan yang dibawanya ke hadapan Nod yang masih termenung dalam.Sapaan Likos seperti angin yang menerpa puing-puing kesedihan yang telah diluluhlantakkan akal sehat itu. Kekalutan memperkeruh pikirannya hingga dia hampir tak menyadari keberadaan Likos yang beberapa menit lalu muncul di sampingnya. Apa yang telah terjadi atau apa yang semestinya dilakukannya? Dia berharap ingatan ini bisa sejenak saj
Nod kembali menelusuri lorong yang sama, memasuki ruang kerja Edvard yang sudah terbuka. Ruangan dan lorong itu sudah dipenuhi air. Nod menghirup udara terakhir yang masih tersisa dari langit-langit dan berenang melintasi bingkai pintu yang melengkung. Dia bisa melihat Brevis di samping Fibrela berusaha membuka ikatan yang mengerat kedua tangan Fibrela.Gelembung udara keluar dari mulut Fibrela. Matanya masih terbuka mencoba menyelamatkan diri dengan sisa-sisa udara di parunya. Entah sudah berapa lama dia terendam air. Nod meraih pisau yang dilemparnya ke sudut ruangan itu. Dia bisa melihat Louie dan Brevis masih mencoba menarik kawat itu.Pisau tadi segera diarahkan ke kawat yang mengerat tangan dan kaki Fibrela. Nod memberi isyarat pada Brevis untuk keluar lebih dulu sebelum dia mati lemas di dalam air. Brevis segera berenang keluar setelah semua kawat yang mengikat Fibrela lepas, disusul Nod dengan tubuh Fibrela yang sudah tak meronta.Nod tahu dia sudah tak
Sandaran kursi yang menindih Fibrela kini hampir mencekiknya. Dudukan yang keras itu menimpa sebelah tungkainya, menggeseknya dengan keras hingga jemari kakinya membiru sekarang. Posisi tubuhnya tampak begitu menyedihkan. Fibrela mencoba mengerang dengan hembusan panjangnya. Giginya gemeretak hebat.Nod membenarkan kursi Fibrela dan memposisikan duduknya seperti semula. Dia merasa sedikit iba melihat sekujur tubuhnya kini bersimbah darah. Namun dia juga tidak berdaya memutuskan mengakhiri penderitaannya.Meski begitu, Fibrela membalas ucapan Nod dengan tawa. Nod mengernyit heran. Fibrela tak berhenti tertawa. Mengapa dia masih tertawa walau dalam keadaan mengenaskan seperti ini? Apakah Fibrela menganggap urusan kematian ini hanya permainan belaka? Dia sangat kesal berada dalam situasi seperti ini.Edvard di sampingnya tersenyum ringan. Dia terlihat tidak mau kalah dengan menimpal perkataan, “Kau tidak perlu menunggu dia menjelaskannya padamu, Nod. Kau hany
Nod mendapati dirinya terbangun di atas kursi besar. Kawat tipis melingkari pergelangan tangan dan kakinya, membuat tubuhnya tak berdaya berkutik. Nod berusaha memandang ke segala arah untuk menerka keberadaannya. Lagi-lagi dia mengutuki dirinya yang begitu sial sampai tertangkap berulang kali.Suasana seperti ini tampak tak asing. Ini ruangan yang pernah ditunjukkan Fibrela padanya. Bau wewangian yang khas mengingatkannya pada saat-saat dia bertemu dengan rokern cantik buatan Edvard. Ini bau pelembap kulit rokern. Dia ingat betul bau ini.Kepalanya terasa nyeri setelah menghantam tanah tadi. Nod sadar kalau mereka mereka tidak memiliki banyak waktu untuk menyelamatkan diri. Sudah berapa lama dia tidak sadar. Matanya menatap ke segala arah.“Fibrela?” panggil Nod.Nod melihat Fibrela di sampingnya juga sudah sadar. Dia diikat di kursi dengan jenis yang sama dengan Nod. Pandangan Fibrela datar tanpa mimik. Benturan keras saat di yunish menyorak