Mereka sudah mendarat kembali di lapangan yang sama dengan saat mereka pertama ke Balorop. Bangunan gedung berkelap-kelip memantulkan cahaya dari balik air di bawahnya. Di aula utama tersebut sudah berdiri Edvard dengan langkah kikuk. Dia terus menunduk tak berani menatap Fibrela.
“Prof….” Edvard tak diacuhkan seperti biasanya.
Dia tak menyerah. Dia kembali mengikuti langkah Fibrela.
“Sungguh maafkan saya, Profesor Greinthlen.”
“Kau tahu apa yang sudah diperbuat oleh benda rongsokan rekomendasimu, Edvard?” Wajah Fibrela membara. Dia memelotot ke arah Edvard penuh kekesalan.
“Maafkan, saya, Profesor,” ucap Edvard berulang kali. “Sungguh maafkan saya.”
“Jadi, hukuman apa yang bisa kujatuhkan padamu?” tanya Fibrela kembali tenang.
Langkah mereka terhenti ke kuntum bunga terakhir di aula tadi.
“Saya… saya akan membuat rokern baru untuk Anda.” Edvard tersenyum tipis setengah memelas.
“Oh ya? Kau kira rokern buatanmu bisa menyaingi Louie?”
“Tidak, Profesor Greinthlen. Tentu saja tidak. Rokern ini bisa membantu Anda mengerjakan pekerjaan rumah. Sementara Louie tetap akan menjadi pengawalmu,” timpal Edvard dengan cepat.
Fibrela menghela napasnya. “Kau tidak akan lepas dariku, Edvard. Enyahlah. Jangan membuatku makin kesal.”
Edvard melangkah mundur. Nod melirik seraya mengangguk kecil. Walau dia orang yang paling dirugikan dari ransel terbang pemberiannya, melihatnya dimaki oleh Fibrela sedemikian keras membuatnya jadi kasihan pada anak itu.
“Mengapa kau memarahinya begitu keras?”
“Louie, antar Nod ke ruang kerjaku. Aku harus menghadiri rapat.” Fibrela masuk ke salah satu kuntum bunga dan tubuhnya hilang dalam dua detik dari hadapan Nod. Dia tidak berminat menjawab teguran Nod barusan.
Louie mengantar Nod memasuki kuntum bunga yang lain di samping kuntum bunga yang dimasuki Fibrela. Nod menggaruk daun telinganya saat mendengar suara Louie yang nyaris membengkokkan garis khatulistiwa itu. Walau begitu, pintunya segera terbuka.
Ruang kerja Fibrela berada di lantai paling atas dari bangunan tersebut. Ada lapangan dan taman yang sangat luas di bagian paling atas bangunan tersebut. Nod tak bisa ke sana karena tidak ada pintu yang mengarah ke sana.
“Silakan Tuan Nod.” Louie membuka ruang kerja Fibrela yang nyaris tak berisi apa pun. Hanya sofa putih dengan batang bambu di pot kacanya. Ini terlihat seperti penjara ketimbang ruang kerja.
“Anda bisa mandi dengan menekan tombol di samping pintu ini. Selamat bersenang-senang, Tuan Nod.”
“Tunggu, Louie,” cegat Nod saat Louie terlihat hendak menutup pintu ruangan tersebut.
“Ada yang bisa dibantu lagi, Tuan Nod?”
“Bisakah kau mengatur airnya menjadi berbusa?” Hanya itu permintaan yang diajukan Nod walau dia sendiri tidak yakin apakah mandi busa salah satu kebiasaan di tempat ini.
Louie menaikkan alisnya yang tebal. Dia memiliki fitur angkat alis yang justru membuat semua orang yang melihatnya semakin yakin dia bukan sebuah rokern.
“Ayolah, masak di tempat serba canggih seperti ini tidak ada busa?” desak Nod.
“Baiklah, Tuan Nod.”
Louie berjalan masuk mendekati tombol yang ada tak jauh dari pintu ruang kerja tersebut. Sebelum Louie sempat menekannya, Nod sudah memelesat keluar dan menutup pintu tadi.
Dia berlari mendekati kuntum bunga yang ada di ujung jalan. Dengan cepat dia melompat ke dalamnya. Dari balik kelopak bunga yang bergerak, Nod bisa melihat Louie yang berlari mengejarnya.
Kelopak bunga tadi mengatub dan mulai bergerak sedikit memutar. Nod terdiam pasrah. Dia lupa dengan kata sandinya. Dia ingat nyanyian aneh tersebut, tapi tidak bisa mengingat liriknya. Berulang kali dia mencoba mendengungkan lagu tersebut, tetap saja tidak bisa diterima benda itu.
“Sial, bagaimana aku bisa ingat nyanyian jelek robot tua bangka itu?” umpat Nod.
Nod berdiri di dalam mahkota bunga itu membisu. Jika suara umpatannya bermakna, dia tidak tahu benda ini akan membawanya ke mana. Kelopaknya merekah. Sinar cahaya terang menerobos masuk melalui celah kuntum bunga. Nod tak bisa menebak apa yang akan muncul di depannya.
Sedetik… dua detik… tiga detik… Nod memberanikan matanya untuk tetap terbuka melawan cahaya terang di tempat tersebut. Ada pembatas kaca yang melingkupi dua elevator tersebut. Di balik kaca ada ruangan dengan deretan meja dan mesin-mesin pengolah bibit tanaman. Setiap kisi mesin terdapat tabung-tabung yang berisi segunduk tanah. Sebagian sudah berbibit dan tumbuh daun kecil.
Para pekerja berdiri di masing-masing kisi mesin. Mengamati setiap tabung dan mengatur mesin tadi bekerja sesuai dengan perintah. Tidak ada yang dikenal Nod di tempat ini. Tempat ini seperti sebuah laboratorium. Hanya ada satu hal yang aneh. Seluruh petugas yang bekerja di tempat ini bukanlah anak-anak, orang dewasa, atau robot. Mereka adalah makhluk berukuran lebih kecil dari manusia, berbulu, tak berdagu, dan hampir seluruhnya memiliki ekor. Mereka adalah para kera!
Semuanya mengenakan seragam yang sama. Nod sendiri termangu saat mengamati makhluk yang seharusnya hanya bisa memanjat pohon itu kini tengah sibuk mengutak-atik cawan yang berisi bibit tanaman. Nod menoleh sambil menggaruk kepalanya canggung. Tempat ini sangat asing dengan makhluk yang juga asing.
“Kau juga terjebak di sini?”
Seseorang menyapanya dari samping. Penampakan anak berusia sekitar delapan tahun muncul dari kuntum bunga yang lain di lantai ini. Rambutnya yang berwarna merah dan terlihat selalu basah itu sempat dimaki oleh Fibrela di herboriumnya tadi.
“Kau pasti salah mengucapkan kata kuncinya,” terkanya seraya menyusuri jalan yang terbentuk oleh dinding kaca itu.
“Di mana ini?” tanya Nod.
Anak tadi mendengus, “Ini Lantai Pengayaan. Kalau kau terjatuh ke sini kau tidak akan keluar kecuali melalui nemish itu.”
“Nemish?”
“Kenapa terkejut? Kau tidak tahu itu sebutan baru untuk mereka. Lebih mudah merayu mereka dengan sebutan itu.”
Atlic tadi mengiring Nod melewati jalan yang dibatasi dinding kaca tersebut. Ada pintu yang terarah ke ujung lab. Mereka berhenti untuk membaca jenis pelanggaran serta sanksi yang harus mereka jalankan di tempat ini.
RUFUS ORTOSTA
Maklumat 31.1
Jenis pelanggaran : Kesalahan kombinasi kode hibrida
Ujian pengayaan : Tes Genomika Agronomi Terapan
“Fuhh… untung saja,” desah atlic bernama Rufus itu riang. Dia masuk ke pintu kaca dan segera mengambil material yang dibutuhkannya untuk melakukan ujian.
Nod melangkah mengikuti atlic tadi kebingungan.
NOD PENDER
Maklumat 09.30
Jenis pelanggaran : Gagal mengucapkan kata sandi
Ujian Pengayaan : Tes Verbal 37 kitab pseudonim
Kedua alis Nod terangkat tinggi. Dia masih belum bisa menerka peraturan apa yang tengah dihadapinya di sini.
“Rufus,” panggilnya. “Aku tidak melanggarnya. Mereka tidak bisa menghukumku.”
Rufus terlihat acuh tak acuh. “Sebaiknya kau tanyakan pada Paerovy. Dia yang akan memutuskan hukumanmu.”
“Hukuman?” Nod kembali mengernyit bingung. “Peraturan macam apa ini?”
Anak laki-laki kecil tadi mengangkat kedua bahunya. “Sebaiknya kau cepat mencari tahu karena kau akan terjebak di sini seumur hidupmu jika gagal melewati tes tersebut.”
“Siapa itu Paerovy? Kenapa semua orang membicarakannya?”
Kali ini anak tadi berkacak pinggang. Tabung-tabung yang baru separuh diisinya tergeletak di meja. Dia menatap Nod dalam-dalam. Walau dia tidak pernah menyangka asal-usul manusia daratan itu, perlahan-lahan dia curiga Nod bukanlah atlic seperti yang dikatakan Profesor Greinthlen.
“Maksudku, Fibrela terus menyebutkan dia. Kau tahu, aku sudah lama tidak ke tempat ini, sudah banyak hal berubah di Balorop,” timpal Nod.
Anak tadi kembali mengerjakan aktivitasnya dengan tabung-tabung tersebut. Dengan perlahan dia menuang sejumput pasir dan setetes cairan kecokelatan dari salah satu wadah di rak bagian bawah.
“Ah… tentu saja kau tidak tahu. Profesor Greinthlen sering menyembunyikan atlic senior di xeflenya. Kurasa dia penyuka pria yang berusia lanjut sepertimu.”
“Hei, aku tidak setua itu.” Nod bersungut tak rela. Dia nyaris menggertak bocah tadi kalau saja dia tidak segera menyadari statusnya di tempat asing ini. Semua terdengar sangat absurd di sini.
“Kau tidak tahu kan? Greinthlen juga suka melakukan eksperimen terhadap mereka. Aku rasa sebentar lagi kau jadi salah satu objek penelitiannya.”
Nod menelan ludahnya terdiam. Anak tadi segera kembali mengaduk spesimen yang ada berlabel ‘Humus’ di depannya. Seseorang, atau lebih tepatnya seekor nemish, melangkah mendekati mereka. Makhluk itu tidak semenyeramkan yang terlihat. Malah sedikit lebih manis dari hewan sejenisnya. Ekornya terjuntai lemah di belakangnya. Warna kuning keemasan memenuhi sebagian wajah dan kepalanya. Bulu matanya dibuat lebih lentik dari para nemish yang lain.
Nod diam saat dia melangkah ke arah Nod. Menyelidikinya dengan saksama dan menyipitkan kedua matanya yang lentik itu ke arah Nod.
Oh, bangunlah, jangan lanjutkan mimpi ini! Nod berdesah dalam hati. Dia sadar bahwa tempat ini sama sekali tidak menyenangkan seperti yang dia sangka.
“Kau Tuan Pender?” tanya kera perempuan tersebut.
“Aku? Ya,” jawab Nod terbata.
“Perkenalkan, aku Engliver.” Kera tadi menjulurkan salah satu tangannya. Nod menyambutnya bingung. Rufus yang berdiri di sampingnya tersenyum nakal padanya.
“Engliver salah satu murid kesayangan Paerovy,” bisiknya.
“Bisa ikut denganku, Tuan Nod,” kata Engliver.
Dia menyikut Nod untuk segera ikut dengan arahan Engliver. Nod mengabaikan hal aneh tersebut dan segera mengangguk.
“Selamat bersenang-senang.” Rufus melambaikan tangannya, menyoraki tanpa suara.
Nod mengikuti langkah Engliver yang mengarah ke ruangan yang berbeda di lantai itu.
“Berdasarkan maklumat kesembilan tentang kesalahan penyebutan kata sandi Balorop, kau harus menerima sanksi berupa melafalkan tiga puluh tujuh kitab pseudonim Luxavar.”Nod terbelalak saat Engliver meletakkan setumpuk buku dengan ketebalan hampir lima sentimeter itu di atas meja di depannya. Buku-buku itu harus dibacanya agar dapat keluar dari tempat ini. Nod menggeleng tidak terima.“Tidak bisa, kalian tidak bisa menahanku dengan membaca semua buku itu,” kata Nod. “Aku hanya salah masuk, aku tidak benar-benar lupa. Kau tahu kan? Kadang-kadang kita bisa silap mengatakan sesuatu.”“Maaf, Tuan Nod. Yang memutuskan Anda berada di sini bukan saya. Lebih baik Anda baca semua buku ini dan mengikuti tes kelulusan nanti.”Engliver berjalan meninggalkan Nod dengan setumpuk buku di meja yang terlihat sangat asing. Berbagai jenis kata-kata bisa dibaca, hanya Nod tidak bisa mengerti apa maksud dan isinya. Buku itu
Suaranya seperti teredam. Wanita yang berjalan tersebut tak juga menoleh ke arahnya. Hingga pada akhirnya, seseorang muncul dari ujung belokan lorong. “Vabian, ternyata kau di sini,” ujar Edvard. “Nod?” Nod mendekati wanita yang dipanggil Edvard dengan Vabian itu. “Sudah kubilang, kau tidak boleh berkeliaran keluar dari bilikku.” Edvard menoleh ke arah Nod dengan kening tergurat. “Nod? Mengapa kau bisa di sini?” “Regan?” Nod sekali lagi mengelukan nama mendiang istrinya. “Maaf, Nod. Tapi dia adalah rokern,” imbuh Edvard seraya menarik rokern berwujud wanita cantik tersebut dari hadapan Nod. “Vabian, kembali ke Bilik Komputasi. Atau aku tidak akan memperbaiki sensor vibrasimu!” ancam Edvard. “Tidak, jangan,” cekal Nod. “Bagaimana bisa dia memiliki rupa seperti Regan?” Nod termangu mengelilingi Vabian. Setiap bentuk, warna, dan bahkan suaranya seperti Regan. Bagaimana bisa Edvard membuat rokern menyerupainya? Ini kebetula
Perjalanan mereka berakhir ketika yunish berhenti pada landasan di depan gerbang sebuah bangunan bundar yang terbingkai oleh pilar-pilar. Jalur masuk berada tak jauh dari halaman parkir tempat mereka mendarat. Potongan mozaik melapisi keseluruhan teras bangunan. Lampu sorot menerangi garis jalan yang mengantar mereka memasuki pintu utama Museum Paranis.Fibrela langsung mengarahkan langkah mereka memasuki pintu utama di tengah gedung tersebut. Tempat ini terbuka untuk umum selama seharian penuh. Tidak ada lagi pendatang yang masuk di jam-jam seperti ini. Waktu yang juga sangat tepat bagi mereka untuk mengunjungi tempat tersebut.Pada sisi dalam gedung, tergantung banyak lukisan-lukisan kuno yang mirip dengan di daratan. Hanya saja tidak ada satu lukisan pun yang pernah dilihat Nod. Tepat di tengah aula tadi terdapat sebuah kapal pesiar besar. Ada ukiran nama tulisan ‘FELIZ CARLOTA 1818’ di lambung kapal tersebut. Nod tidak bisa mengingat apa pun te
“Karena inikah kalian begitu membenci kami?” gumam Nod. Kurator Urvi muncul dari balik pintu yang berbeda. Nod sentak berdiri hendak menudingnya lagi dengan pertanyaan. “Apa yang kalian lakukan pada kami di Luxavar?” tandas Nod mulai berapi-api. Fibrela langsung menahannya. Tangannya menarik Nod agar tidak lebih lanjut mencecar Urvi. “Tuan Nod, saya tidak mengerti perkataan Anda.” Urvi beringsut dari tempatnya berdiri sambil mengernyit heran. “Berhentilah membohongiku. Aku tahu istriku ada di Luxavar. Aku melihat lukisan itu di depan sana. Di mana kalian menyembunyikannya?” Wajah Nod merah padam. Ruangan yang remang itu bahkan tak bisa menyembunyikan kemurkaannya. “Nod!” bentak Fibrela. “Hentikan semua ini!” Nod membungkam dan menoleh ke arah Fibrela. “Urvi tidak akan bisa menjawab pertanyaanmu. Dia hanya menunjukkan sejarah yang pernah dialami Luxavar padamu. Kau bisa tidak mempercayainya. Namun kami mengalami semua itu. Apaka
Nod tertegun. Likos masih belum menyadari keberadaannya di dalam ruang tersebut. Urvi membuat tempat ini tidak terlihat dari luar. “Urvi, kau harus memperbaiki aksesku. Entah mengapa aku jadi tidak bisa menggunakannya untuk masuk ke xefleku.” Likos berjalan tanpa melihat ke arah mereka. Dia sibuk mengutak-atik punggung tangannya dengan kesal. Nod ingat dengan jelas bentuk wajah Likos walau di daratan dia terlihat lebih berantakan lagi. Likos sudah berteman dengannya lebih dari dua puluh tahun dan mengenali wajahnya yang berkumis tebal itu bukan hal yang sulit. Urvi yang tadinya bersama Nod langsung keluar menengok permasalahan yang dikeluhkan Likos. Disusul oleh Nod yang masih terpegun dengan kedatangan manusia daratan di tempat asing ini. Otaknya berdesing cepat mencerna alasan-alasan yang mungkin akan dijelaskan Likos padanya. Ketika Likos melangkah dan mendapati Nod sudah berdiri tepat di hadapannya, Likos langsung mundur selangkah. “Nod? K
Pagi cerah Nod disambut dengan tidak begitu baik. Seperti yang dikatakan Fibrela, burung nasar itu berkicau riang di depan jendela. Yang kalau bisa dibilang lebih mirip suara gonggongan. Likos sentak bangkit akibat teriakan burung raksasa itu. Paruhnya besar dengan sorotan mata seperti serigala. Sama sekali bukan burung nasar seperti yang dibayangkan Nod. “Hentikan!” pekik Likos. “Bagaimana burung keparat itu bisa begitu berisik?” Nod ikut memandang sekeliling ruangan heran. Beginikah cara para Atlic ini bangun? Benar-benar cara yang barbar. Fibrela sudah berdiri dengan rapi tak jauh dari mereka. Tubuhnya terbalut kain dengan kilatan mutiara menyebar di sepanjang lengannya. Warnanya putih seperti yang biasa dipakainya. Nod masih sibuk menutup jendela yang sudah penuh liur burung nasar itu. Hewan itu belum mau menyingkir. Dia mematuki bingkai jendela hingga bagian luar jendela itu dipenuhi dengan guratan. Fibrela yang melihat kakacauan
“Aku ingin menyampaikan beberapa hal mengenai jadwal kegiatan kita selama berada di Luxavar,” ucap Fibrela setelah mereka sampai di dalam sebuah gedung yang sepertinya sebuah rumah makan. Rumah makan yang mereka datangi bukan bangunan luas seperti bangunan lainnya. Tempat itu berbentuk seperti potongan dinding. Ada berlapis-lapis dinding dengan lingkaran-lingkaran yang melubangi dinding tersebut. Tempat duduk dan meja disusun memadai hingga enam orang. Untuk menuju ke tempat tersebut mereka bisa melalui tangga berjalan yang mengelilingi tiap tempat duduk yang ada di lapisan dinding tadi. Tulisan “Krustum” besar berpendar terang di bagian atas dindingnya. Setiap lapis dinding dapat dilewati melalui jembatan kaca yang berada di tengah-tengah bangunan tersebut. Fibrela membawa mereka menaiki ruangan paling atas dan tersudut dari rumah makan itu. Di tempat itu mereka bisa berdiskusi dengan lebih aman. Setelah memasukkan pesanannya melalui layar di meja, Fibrela l
Yunish memelesat cepat di antara lereng pegunungan dan desa-desa—meskipun tidak bisa disebut desa. Tidak ada sesuatu apa pun yang mencirikan desa di sana. Hanya kandang hewan saja. Tapi meski ciri perkotaan lebih mendominasi di Luxavar, tetap saja ada desanya. Sementara pegunungan yang dimaksud hanyalah deretan bukit-bukit. Tidak ada bukit yang benar-benar menjulang tinggi melebihi gunung tertinggi Luxavar tentu saja. Puncaknya pun hampir menyentuh selubung tertinggi Luxavar dan agak sempit di bagian atasnya. Mereka melaju lebih pelan saat melewati sabana dengan pepohonan yang memuncak nyaris menyentuh awan. Sebenarnya tampilan asli Juracfa itu sendiri hanya terdiri dari rimbunan hutan dan padang rumput. Lebih mirip dengan kawasan suaka alam. Tempat itu sengaja dilestarikan dan tak tersentuh oleh piruk pikuk perkotaan di Mercendia. Aliran sungai membelah kawasan perhutanan itu dari puncak gunung di bagian paling timur hingga ke barat. “Jadi temanmu yang kata
Tiga atlic berlarian melewati koridor Egarus yang panjang dengan terengah-engah. Mereka tidak tahu apa yang baru saja terjadi pada tubuh mereka. Salah satu dari mereka menyemburkan darah dari mulutnya. Keduanya juga mengalami hal yang sama. Petugas kesehatan di Egarus dan beberapa rokern mengungsikan mereka ke salah satu brankar kosong. Melakukan pemeriksaan dan memindai seluruh pemeriksaan tersebut ke komputer pusat. Tiga rokern segera membawa mereka ke salah satu atlic. Mereka terbaring berdampingan. Wajah mereka pucat dan kedua lubang hidungnya sesekali masih mengeluarkan darah. Salah satu atlic mendekati mereka. “Apa yang terjadi?” tanya atlic dengan pakaian serba biru. Atlic yang masih menyumbat lubang hidungnya dengan kapas menggeleng lemah. Diikuti para pengunjung yang lainnya. “Kami tidak tahu,” jawab salah satu dari mereka dengan suara sengau. “Darahnya tidak berhenti. Kami tidak bisa menahannya.”
“Kau belum tidur?” tanya Nod. “Nod?” tanya Fibrela. “Aku masih mau membereskan pekerjaan di Balorop. Kau istirahat saja dulu.” “Fibrela, aku hanya ingin menyampaikan satu hal padamu,” kata Nod duduk di samping Fibrela. Fibrela terlihat tidak begitu mengacuhkan ucapan Nod. Dia memandang gambaran grafik pada layar di hadapannya. Salah satu jemarinya menggeser gambar-gambar yang tampil di layar itu. “Aku akan pindah ke Luxavar,” kata Nod tanpa menunggu respons dari Fibrela. Fibrela sentak menghentikan pekerjaannya. Dia memandang Nod seraya mengangkat kedua alisnya. Nod membalas tatapan tidak percaya tadi dengan cengiran kecil. “Kau serius?” tanya Fibrela. “Presiden Trufer memberiku pekerjaan yang lumayan bagus di Luxavar. Jadi kupikir kapan lagi aku bisa hidup senyaman di sini,” jawab Nod. “Dan aku akan kembali menjadi putrimu?” tanya Fibrela. “Jika kau tidak mau, aku bisa mengadopsi atlic lain,” kata Nod santai.
Dalam suatu ruangan remang di suatu tempat di Luxavar, duduk seorang laki-laki paruh baya dengan seorang remaja muda di dekatnya. Seorang anak yang lebih muda berada di hadapan mereka dalam posisi bersujud.“Maaf, aku tidak menjalankan misi ini dengan baik,” kata anak itu. Wajahnya yang tirus dan pucat menunduk tak berani memandang pria itu secara langsung.“Sudahlah… kemarilah,” pinta pria tadi.Anak itu berdiri dan duduk di dekat pria paruh baya itu. Dia meraih tangan anak itu sambil berbicara, “Kuberikan lagi kau kesempatan. Aku harap kau tidak mengecewakanku kali ini.”Anak tadi memandang pria itu seakan mendapat harapan baru. Pemuda di sampingnya menatap tajam.“Bagaimana bisa kau menyia-nyiakan kesempatan yang begitu besar, Edvard?” tukas pemuda itu.“Jibethus, diamlah!” hardik pria itu sekejap membungkam keluhan Jibethus. “Kau juga sudah gagal menjalankan misi in
Di pagi hari keesokan harinya Fibrela mulai kembali membaik. Demam sudah turun. Sesaknya perlahan berkurang. Jemari yang tergenggam dalam cengkeraman Nod sesekali dieratkan.“Fibrela? Kau dengar aku?” tanya Nod mengamati wajah Fibrela lekat-lekat.Fibrela mengerlipkan pelupuk matanya, berusaha mengumpulkan semua tenaga untuk bangun. Dia menggerakkan kedua tangannya dan mencoba menyingkirkan semua benda asing yang berada di tubuhnya. Matanya menyipit ke arah cahaya terang yang terpancar dari jendela kaca di sampingnya.“Fibrela, Tidak apa-apa. Kau di sini. Kau bersamaku,” ucap Nod pelan saat Fibrela menoleh ke arahnya.Fibrela kemudian mengamati sekelilingnya bertanya-tanya. Dia langsung memberontak saat menyadari sekujur tubuhnya dipenuhi kabel dan selang. Tangannya sentak menyingkirkan benda-benda asing tersebut. Para perawat mendekatinya berusaha mencegah tindakan melukai dirinya tersebut. Fibrela berhasil menarik selang makan ya
“Sesungguhnya kau tidak perlu memercayai Edvard jika dalam hatimu saja kau sudah percaya pada Fibi,” kata Brevis ketika rekaman yang disaksikan Nod berakhir.“Apakah semua ini benar?” tanya Nod pada Louie.Louie mengangguk.Nod mengusap air matanya yang sudah bergulir lagi. Sebuah bongkahan es telah membeku dan menyedat kerongkongannya, membuat dirinya begitu kesusahan bernapas.Semestinya dari dulu Nod tahu kalau Fibrela bukan pembunuh seperti yang dikatakan Edvard dan orang-orang. Bukan itu saja. Fibrela adalah Atlic yang mencoba menyelamatkan istri dan anaknya, meski gagal. Semua menyayangkan hal tersebut. Seharusnya Nod tidak menganggap Fibrela sebagai pembunuh. Dia sudah berusaha. Itu yang semestinya dipikirkan Nod. Fibrela hanya mencoba menebus penyesalannya dengan melakukan perbuatan baik itu.Istrinya tidak mati sia-sia. Begitu pun putrinya. Mereka tidak mati percuma. Ada gadis kecil di Luxavar yang memperjuang
Likos melangkah ke arah Nod dan Louie dari ujung lorong rumah sakit dengan membawa sekantung makanan. Tidak ada kursi di depan ruang rawat intensif karena tempat duduk sudah disediakan di tempat yang lebih jauh. Jadi mereka hanya bisa menunggu di lorong itu dalam keresahan. Lampu rumah sakit mencetak bayangannya ke arah yang lebih gelap. Nod masih merundukkan kepala memeluk kedua kakinya yang masih basah. Tidak membiarkan secercah cahaya pun menyentuh wajahnya. Pakaiannya hampir kering, tapi masih lembap.“Makanlah, sedikit,” ucapnya sambil menyodorkan bungkus makanan yang dibawanya ke hadapan Nod yang masih termenung dalam.Sapaan Likos seperti angin yang menerpa puing-puing kesedihan yang telah diluluhlantakkan akal sehat itu. Kekalutan memperkeruh pikirannya hingga dia hampir tak menyadari keberadaan Likos yang beberapa menit lalu muncul di sampingnya. Apa yang telah terjadi atau apa yang semestinya dilakukannya? Dia berharap ingatan ini bisa sejenak saj
Nod kembali menelusuri lorong yang sama, memasuki ruang kerja Edvard yang sudah terbuka. Ruangan dan lorong itu sudah dipenuhi air. Nod menghirup udara terakhir yang masih tersisa dari langit-langit dan berenang melintasi bingkai pintu yang melengkung. Dia bisa melihat Brevis di samping Fibrela berusaha membuka ikatan yang mengerat kedua tangan Fibrela.Gelembung udara keluar dari mulut Fibrela. Matanya masih terbuka mencoba menyelamatkan diri dengan sisa-sisa udara di parunya. Entah sudah berapa lama dia terendam air. Nod meraih pisau yang dilemparnya ke sudut ruangan itu. Dia bisa melihat Louie dan Brevis masih mencoba menarik kawat itu.Pisau tadi segera diarahkan ke kawat yang mengerat tangan dan kaki Fibrela. Nod memberi isyarat pada Brevis untuk keluar lebih dulu sebelum dia mati lemas di dalam air. Brevis segera berenang keluar setelah semua kawat yang mengikat Fibrela lepas, disusul Nod dengan tubuh Fibrela yang sudah tak meronta.Nod tahu dia sudah tak
Sandaran kursi yang menindih Fibrela kini hampir mencekiknya. Dudukan yang keras itu menimpa sebelah tungkainya, menggeseknya dengan keras hingga jemari kakinya membiru sekarang. Posisi tubuhnya tampak begitu menyedihkan. Fibrela mencoba mengerang dengan hembusan panjangnya. Giginya gemeretak hebat.Nod membenarkan kursi Fibrela dan memposisikan duduknya seperti semula. Dia merasa sedikit iba melihat sekujur tubuhnya kini bersimbah darah. Namun dia juga tidak berdaya memutuskan mengakhiri penderitaannya.Meski begitu, Fibrela membalas ucapan Nod dengan tawa. Nod mengernyit heran. Fibrela tak berhenti tertawa. Mengapa dia masih tertawa walau dalam keadaan mengenaskan seperti ini? Apakah Fibrela menganggap urusan kematian ini hanya permainan belaka? Dia sangat kesal berada dalam situasi seperti ini.Edvard di sampingnya tersenyum ringan. Dia terlihat tidak mau kalah dengan menimpal perkataan, “Kau tidak perlu menunggu dia menjelaskannya padamu, Nod. Kau hany
Nod mendapati dirinya terbangun di atas kursi besar. Kawat tipis melingkari pergelangan tangan dan kakinya, membuat tubuhnya tak berdaya berkutik. Nod berusaha memandang ke segala arah untuk menerka keberadaannya. Lagi-lagi dia mengutuki dirinya yang begitu sial sampai tertangkap berulang kali.Suasana seperti ini tampak tak asing. Ini ruangan yang pernah ditunjukkan Fibrela padanya. Bau wewangian yang khas mengingatkannya pada saat-saat dia bertemu dengan rokern cantik buatan Edvard. Ini bau pelembap kulit rokern. Dia ingat betul bau ini.Kepalanya terasa nyeri setelah menghantam tanah tadi. Nod sadar kalau mereka mereka tidak memiliki banyak waktu untuk menyelamatkan diri. Sudah berapa lama dia tidak sadar. Matanya menatap ke segala arah.“Fibrela?” panggil Nod.Nod melihat Fibrela di sampingnya juga sudah sadar. Dia diikat di kursi dengan jenis yang sama dengan Nod. Pandangan Fibrela datar tanpa mimik. Benturan keras saat di yunish menyorak