Cahaya putih kekuningan memenuhi pandangan Nod. Sekujur tubuhnya terasa sangat kaku. Mungkin sudah seminggu atau sebulan dia tidak sadarkan diri. Tulang belulangnya seakan baru dicopot lalu disambungkan kembali. Jiwa dan raganya bagaikan bereinkarnasi ke dalam siklus hidup yang baru. Dia tak tahu sekarang berada di mana dan pada masa apa. Pakaiannya telah diganti. Semua yang ada di tangannya telah di buang—sepertinya.
Di mana ini? Secercah cahaya hangat dan menyilaukan menerpa wajahnya. Sumber terang tadi berasal dari langit-langit di atas tempat tidur Nod. Dia mengerjap penuh tanya. Kebingungan merasuki benaknya. Matanya menjelajahi setiap sisi ruangan yang tak bersudut tersebut. Ranjang yang tengah ditempatinya hanya berupa mangkok dengan kasur empuk bundar melapisi sisi dalamnya.
Tempat ini sangat asing bagi Nod. Seluruh benda yang ada di dekatnya belum pernah dilihat Nod di belahan dunia mana pun. Nod tak berani berspekulasi. Dia mencoba mencari tahu dengan mengingat ulang tempat yang berbentuk seperti ini, tapi ingatannya malah membawanya kepada kejadian mengerikan yang baru dialaminya saat di kapal kemarin.
Langit-langit ruangan ini berpijar menciptakan cahaya yang sanggup menerangi setiap sudut kamar. Lantainya berwarna putih kebiruan berlapis kaca. Suara gemericik air terdengar lembut menyambut Nod dari mimpi panjangnya. Dia tak menemukan asal suara tersebut. Mungkin berada di luar. Nod juga gagal menebak di mana jalan keluarnya. Tidak ada hal yang mengindikasikan sebuah ‘pintu’ di ruangan ini.
Ruang yang ditempati Nod putih bersih dan lengang. Ada jendela yang menghadap ke pemandangan di luar. Tirai dari serat kain yang licin menutupi sebagian kaca jendela tadi. Nod berdiri berusaha mengamati pemandangan yang terhampar di luar sana. Mungkin dia bisa menemukan jawaban tentang keberadaannya saat ini.
Dari arah luar terlihat segunduk gunung berwarna hijau kebiruan. Bunga-bunga kecil berbentuk lonceng memenuhi nyaris keseluruhan gunung tersebut. Awan berwarna merah muda mengepul di langit-langitnya yang lebih biru dari yang pernah dilihat Nod sebelumnya. Ada hewan yang berbentuk seperti burung layang beterbangan ke arah puncak gunung. Bulunya berwarna-warni dan memakai hiasan mutiara di bagian kepalanya.
Belum sempat dia menerka tempat yang tengah dilihatnya, kaca jendela tadi langsung tertutup. Dinding tak tembus pandang menggantikan kaca dan tirai jendela tadi. Tiba-tiba langit-langit ruangan mengeluarkan ilusi berupa cahaya. Hologram yang muncul entah dari mana itu berbentuk seorang gadis kecil.
Gadis itu memandang Nod datar. Nod berusaha menggapai sosok itu, tapi dia bahkan tak merasakan apa pun. Bayangan itu muncul, tapi tak dapat disentuh. Anak tadi melangkah mundur dari Nod. Dia berjalan ke tengah ruangan tanpa menghiraukan tatapan Nod yang keheranan itu.
“Kau sudah sadar?” tanya gadis dalam hologram tersebut.
Nod menoleh ke kanan kirinya untuk memastikan siapa orang yang diajak bicara gadis itu.
“Aku di mana? Kau siapa?” tanya Nod nanar.
“Kau akan mengetahuinya nanti. Louie akan membantumu berbenah dan aku akan datang dalam waktu 7 menit lagi,” kata sosok tadi.
Sebelum Nod sempat mencegah anak tadi menghilang, kepala Nod sudah dibanjiri ribuan pertanyaan.
“Louie?” tanya Nod.
Sosok yang sama mendadak muncul di belakang Nod. Kali ini berbentuk laki-laki tua dengan tampang garang. Nod terbelalak mendapati sosok itu tiba-tiba menjawab, “Apa yang Anda butuhkan, Tuan Pender?”
“Ah, panggil aku Nod saja,” ucap Nod. “Di mana aku sekarang?”
“Pertanyaan tidak diterima,” jawab Louie. “Anda bisa mandi. Xefle ini dilengkapi seluruh kebutuhan Anda.”
“Aku sedang tidak mau mandi,” tukas Nod. “Aku butuh jawaban.”
Louie terlihat tidak tertarik mendengar ocehan Nod. Tanpa aba-aba, lantai yang ditempati Nod tiba-tiba bergerak. Nod beringsut dari posisinya ke sudut ruangan untuk menyeimbangkan diri atas pergerakan tadi. Sekejap semua berubah. Ranjang empuk tadi menyusut, lalu masuk ke lantai. Dekorasi dinding berwarna putih berubah menjadi marmer cokelat. Kamar yang tadinya berupa tempat tidur berganti menjadi ruang perendaman air hangat. Uap dan busa bercucuran dari bagian dasar bak pemandian tersebut.
“Air di Prapalia sangat baik untuk menyegarkan tubuh Anda, Tuan Nod,” ucap Louie.
Nod memandang takjub setengah ngeri. Dia masih berlutut di lantai akibat getaran tadi. Louie mengulurkan tangannya membantunya bangkit dari lantai. Nod kembali tergelincir saat tahu Louie hanya berupa gelombang cahaya yang tak berwujud.
Dengan penuh keraguan, Nod melangkah ke arah kolam pemandian tadi. Benar kata Louie. Air yang menggelitik kulit kakinya terasa sangat lembut. Nod nyaris curiga itu bukan air biasa. Dia mencium baunya dan aroma manis terendus olehnya. Dia menoleh ke arah Louie yang masih tersenyum ramah.
“Baiklah, lihat sebagus apa air yang katamu menyegarkan ini,” kata Nod seraya membuka pakaiannya dan mulai menikmati fasilitas super mewah yang belum pernah dia rasakan seumur hidupnya.
Louie masih berdiri menunggu perintah yang hendak diajukan oleh Nod.
“Kau boleh pergi, Louie,” ucap Nod. “Aku bisa melakukannya sendiri.”
Louie bergeming.
Akhirnya Nod melanjutkan aktivitas mandi yang penuh kecanggungan itu.
“Bisakah kau berbalik saja?” tanya Nod. “Kau membuatku tidak nyaman, Louie.”
“Saya bisa mempersiapkan pakaian dan pengering untuk Anda, Tuan Nod.”
“Terima kasih, Louie, tapi aku sudah selesai. Kau boleh keluar.”
Belum sempat Nod selesai membereskan dirinya, air yang mengisi bak tersebut seketika surut. Meninggalkan dirinya yang kini sudah telanjang bulat di hadapan laki-laki tua bermuka datar tersebut. Udara hangat berembus mengeringkan sekujur tubuhnya. Pakaian kering muncul dari rak di salah satu dinding.
“Kuharap Anda bisa mengenakan pakaiannya sendiri,” kata Louie.
Tanpa perlu diberitahu, Nod sudah merebut pakaian kering tertata di atas rak. Memakai sesuai dengan perkiraannya saja. Paling tidak, pakaian di sini masih dikenalnya.
“Saya di luar kapasitas untuk membantu Anda berpakaian,” lanjut Louie
“Apa kau selalu memakaikan baju tuanmu?” tanya Nod heran.
“Saya ditugaskan untuk berbagai hal yang telah diperintahkan Profesor,” jawab Louie diplomatis.
“Hmm, kau pasti pelayan yang sangat setia,” puji Nod.
“Kami memiliki fitur lain jika cara ini belum memuaskan Anda,” jawab Louie.
“Aku puas, Louie. Aku sangat puas,” tandas Nod bergidik. “Sekarang tubuhku lebih segar dari sayur di pagi hari, Louie.”
Dia tersenyum tipis pada Louie yang masih berdiri tegap itu.
“Profesor Greinthlen akan terlambat sampai ke sini karena suatu kejadian,” kata Louie. “Sambil menunggu, silakan Anda menikmati santapan makan siang spesial yang dikirim langsung dari Balorop.”
Nod yakin belum pernah mendengar hal-hal yang baru saja diutarakan Louie padanya. Dia bahkan yakin tempat aneh itu tidak pernah ada di dalam peta dunia mana pun.
Nod menunggu keajaiban baru yang hendak ditunjukkan sosok bernama Louie itu. Ruangan yang ditempatinya kembali bergerak. Seluruh alat mandi seperti lenyap ditelan dinding. Meja kayu berpelitur mengkilap bergerak dari arah langit-langit. Setelah sampai di posisi yang sesuai, meja tadi berhenti. Tak lama setelahnya, baki besar bergerak tepat mengenai bagian atas meja. Kursi dengan warna senada juga beriringan muncul mengelilingi meja persegi itu.
Dinding marmer berwarna kecokelatan turut berganti menjadi dinding kayu putih dengan ukiran di sisi bawahnya. Nod tak sempat memperhatikan setiap perubahan dengan saksama. Tatapannya teralihkan oleh sebuah lukisan besar di salah satu sisi dinding. Pemandangan desa tersebut tampak asing di mata Nod. Dia jelas bukan berada di dunianya saat ini.
Makanan sekarang telah tersaji rapi di meja itu. Lengkap dengan hiasan pita dan lampu mainannya. Nod belum pernah melihat makanan seperti itu sebelumnya. Warnanya tidak wajar walaupun beraroma makanan. Ada beberapa makanan yang begitu mengiurkan. Semua makanan berada dalam baki yang bersekat. Ada sekitar delapan jenis makanan di dalam baki persegi tersebut.
Nod menelan ludah menunggu perintah. Louie mengangguk seakan mempersilakan Nod untuk mulai menyantap makanannya. Dia sedikit ragu apakah makanan itu akan meracuninya, atau sebaliknya menyumpal perutnya yang dari tadi bersenandung. Akhirnya, tanpa menunggu lebih lama, dia pun melahap makanan yang tersaji tersebut. Ada beberapa jenis makanan yang sangat aneh di atas meja. Nod meraih sesuatu yang terlihat seperti roti. Setidaknya dia kenal benda tersebut dan berharap itu memang roti.
Namun benda tadi bukan roti biasa seperti yang dia kira. Perpaduan asam dan asin menempel di permukaan roti tersebut. Ada isi berupa cairan kental berwarna kehijauan di dalamnya. Meski begitu, Nod berusaha bertanggung jawab dengan makanannya. Separuh menahan napas, Nod menelan potongan roti tadi.
Dia kembali mengeksplorasi makanan yang tersaji pada sekat yang lain. Ada puding yang ternyata bertekstur sangat keras seperti gula batu. Salah satu wadah bersekat berisi cairan beraroma cokelat yang bahkan bukan cokelat seperti yang dibayangkannya. Itu hanya cairan berisi kuah dari sejenis rumput-rumputan. Sekali lagi Nod terpedaya.
Hingga pada suapan terakhir, Nod meraih benda seperti lembaran karton tebal pada wadah paling sudut di baki tersebut. Dia mengunyahnya dan bisa merasakan rasa manis dengan lelehan cairan putih yang gurih memenuhi lidahnya. Nod tak berhenti menyantap makanan tersebut walau perutnya sudah tersiksa akibat makanan aneh yang sudah dikunyahnya dari tadi.
“Louie? Apa nama makanan ini?” tanya Nod.
“Itu namanya Regurson,” jawab Louie masih berdiri kaku di tempatnya yang sama. “Makanan ini perlu pengolahan yang tepat untuk menghasilkan tekstur seperti ini. Rasa manisnya adalah hasil ekstraksi biji Thibautania. Butuh bertahun-tahun hingga bunganya merekah.”
“Sepertinya perjuangan kalian sangat berat, ya,” desah Nod sambil tetap menghabiskan lembar terakhir yang tergeletak di sudut baki itu. Satu-satunya wadah yang akan kosong di meja itu.
Setelah menghabiskan hidangan pembuka, baki tadi terangkat ke atas digantikan oleh baki persegi yang kedua. Porsi dalam wadah bersekat itu lebih besar sehingga sekatnya lebih sedikit. Kali ini Nod mulai dari paling ujung. Makanan sejenis daging panggang saos yang berasa tawar di mulut membuat Nod ingin cepat menelannya. Dan yang membuat Nod lebih ingin mengeluarkan isi perutnya adalah dia meneguk secangkir cairan asam yang dikiranya adalah air putih. Ia berusaha meraih apa pun untuk bisa mengumpat kerongkongannya. Tapi yang didapatnya malah permen pedas yang bermerek Lowve. Sungguh suatu pengalaman makan yang melelahkan!
Nod menyerah saat hidangan penutup datang. Dia sudah berhenti percaya pada semua makanan itu. Dia berdiri dan meminta Louie mengganti pemandangan kamar tadi.
“Ada yang Anda butuhkan lagi, Tuan Nod?” tanya Louie.
“Aku ingin sesuatu yang bisa menjawab pertanyaanku tadi,” kata Nod.
Dia tahu Louie tidak akan menjawab karena dia sepenuhnya dikendalikan seseorang. Nod harus mencari tahu sendiri. Dia tak ingin terkurung selamanya di tempat ini. Fasilitas mewah ini tak akan pernah memenuhi rasa ingin tahu dan kebebasan yang dia miliki.
“Apa kalian memiliki perpustakaan?” tanya Nod. Hanya itu yang terlintas di kepalanya sekarang. “Sejenis ruang baca yang berisi buku-buku. Aku butuh sesuatu yang bisa kubaca.”
Louie terlihat mencerna perintah yang dilontarkan Nod. Lima detik kemudian ruangan yang mereka tempati kembali bergerak.
Kini dinding kosong yang mengelilingi ruangan tersebut berubah menjadi rak-rak buku. Ribuan punggung-punggung buku tertata rapi. Dan di bagian tengah ruangan ada sebuah meja dan kursi. Di satu sisi dinding terdapat sofa. Hanya lukisan pedesaan ajaib yang tetap di posisi yang sama.
Nod berkeliling memandangi judul-judul buku. Aneh! Dia dapat mengerti bahasa pada sebagian buku itu. Setidaknya Nod yakin kalau dia masih dekat dengan daerah tempat tinggalnya. Hanya saja semua judul buku yang tertera di sana tidak ada satu pun pernah dibacanya.
Sebuah buku berhasil mencuri ketertarikannya. Mulutnya ternganga saat mencabut buku berjudul ‘Sejarah Negeri di Dasar Samudera, LUXAVAR’.
“Luxavar? Apa aku berada di negerinya sekarang?” tanyanya pada diri sendiri.
“Iya.”
Nod hampir melempar buku itu dari tangannya. Dia menoleh ke arah asal suara. Seorang gadis kecil yang samar-samar diingat Nod saat dia tenggelam kemarin berdiri tak jauh darinya. Anak perempuan berusia sekitar delapan tahun itu mengenakan kemeja putih dengan celana panjang yang juga berwarna putih. Kontras dengan bajunya, sepatu boot hitam setinggi lutut menutupi sebagian kaki kecilnya itu. Kerah tebal membungkus lehernya yang pendek. Rambutnya yang hitam kecokelatan tergerai ke belakang.“Siapa kau?” “Fibrela Greinthlen,” jawab anak perempuan itu. Nama yang agak asing di telinga Nod.“Di mana orang tuamu, Nak?” tanya Nod lagi.“Kurasa kau tidak perlu tahu.” Anak itu menjawab singkat.Nod tergelak. Dia tahu bahwa pasti ada seseorang yang membawanya kemari. Halusinasinya yang kemarin tampaknya belum usai. Dia mencoba mencubit lagi lengannya untuk memastikan ini bukan mimpi.“Oh ya,
Nod diam tak berkutik. Makhluk yang terlihat berterbangan di langit merupakan robot berukuran dua kali lipat tubuhnya. Dia menunggangi motor tak beroda yang membuatnya tetap melayang rendah di depan Nod.Fibrela nyaris tak bernapas, sementara Nod hanya bisa menatap robot tadi memelas. Cerecza menjulurkan kepalanya lebih lekat ke hidung Nod. Kelihatannya dia tengah membaca setiap lekukan dan gerak-gerik Nod dengan saksama. Fibrela memberinya isyarat untuk tetap tenang. Jemarinya masih menggenggam erat pergelangan tangan Nod.Jantung Nod berdegub kencang. Dia berharap robot mengerikan di depannya tidak bisa mengendus identitasnya. Walau dia tidak pernah tahu apa yang bisa dilakukan robot semacam ini terhadapnya, penampakan wajah yang berlapis logam dengan mata bercahaya merah tanpa mimik itu sudah cukup membuat Nod menyimpulkan dia bukan rokern ramah seperti Louie. Belum lagi sekujur tubuh robot itu tak lain adalah senjata yang bisa melepaskan berbagai macam tembakan. No
Udara dingin menggesek wajah Nod dengan kuat. Gravitasi di tempat ini menarik dirinya kian mendekati atap menara besar di bawah sana. Tubuhnya terpental masuk melalui cerobong asap yang menjunjung tinggi di atmosfir Luxavar. Udara berwarna jingga mengepul dari cerobong yang sama. “Oh! Tidaaak!” Teriakan Nod bergema sepanjang lorong panjang yang mengantarnya masuk kian dalam. Asap kuning lebih pekat di tempat yang lebih dalam, tapi dia sama sekali tak merasa kepanasan. Malah sebaliknya, dia merasakan hawa yang sejuk menerpa kulitnya. Kedua tangan Nod sibuk meraih apa pun untuk mencegahnya terperosok semakin dalam ke cerobong itu. Baru kali ini dia begitu membenci gravitasi. Cerobong itu mengantar tubuhnya ke sebuah wadah besar yang di dalamnya berisi cairan kental. Tubuhnya kandas seumpama permen yang tercelup ke dalam susu berwarna jingga. Dalam keadaan panik ia berusaha berenang menuju tepian wadah. “Cairan apa ini?” Nod menggapai tangannya ke penyan
Mereka sudah mendarat kembali di lapangan yang sama dengan saat mereka pertama ke Balorop. Bangunan gedung berkelap-kelip memantulkan cahaya dari balik air di bawahnya. Di aula utama tersebut sudah berdiri Edvard dengan langkah kikuk. Dia terus menunduk tak berani menatap Fibrela. “Prof….” Edvard tak diacuhkan seperti biasanya. Dia tak menyerah. Dia kembali mengikuti langkah Fibrela. “Sungguh maafkan saya, Profesor Greinthlen.” “Kau tahu apa yang sudah diperbuat oleh benda rongsokan rekomendasimu, Edvard?” Wajah Fibrela membara. Dia memelotot ke arah Edvard penuh kekesalan. “Maafkan, saya, Profesor,” ucap Edvard berulang kali. “Sungguh maafkan saya.” “Jadi, hukuman apa yang bisa kujatuhkan padamu?” tanya Fibrela kembali tenang. Langkah mereka terhenti ke kuntum bunga terakhir di aula tadi. “Saya… saya akan membuat rokern baru untuk Anda.” Edvard tersenyum tipis setengah memelas. “Oh ya? Kau kira rokern buatanmu
“Berdasarkan maklumat kesembilan tentang kesalahan penyebutan kata sandi Balorop, kau harus menerima sanksi berupa melafalkan tiga puluh tujuh kitab pseudonim Luxavar.”Nod terbelalak saat Engliver meletakkan setumpuk buku dengan ketebalan hampir lima sentimeter itu di atas meja di depannya. Buku-buku itu harus dibacanya agar dapat keluar dari tempat ini. Nod menggeleng tidak terima.“Tidak bisa, kalian tidak bisa menahanku dengan membaca semua buku itu,” kata Nod. “Aku hanya salah masuk, aku tidak benar-benar lupa. Kau tahu kan? Kadang-kadang kita bisa silap mengatakan sesuatu.”“Maaf, Tuan Nod. Yang memutuskan Anda berada di sini bukan saya. Lebih baik Anda baca semua buku ini dan mengikuti tes kelulusan nanti.”Engliver berjalan meninggalkan Nod dengan setumpuk buku di meja yang terlihat sangat asing. Berbagai jenis kata-kata bisa dibaca, hanya Nod tidak bisa mengerti apa maksud dan isinya. Buku itu
Suaranya seperti teredam. Wanita yang berjalan tersebut tak juga menoleh ke arahnya. Hingga pada akhirnya, seseorang muncul dari ujung belokan lorong. “Vabian, ternyata kau di sini,” ujar Edvard. “Nod?” Nod mendekati wanita yang dipanggil Edvard dengan Vabian itu. “Sudah kubilang, kau tidak boleh berkeliaran keluar dari bilikku.” Edvard menoleh ke arah Nod dengan kening tergurat. “Nod? Mengapa kau bisa di sini?” “Regan?” Nod sekali lagi mengelukan nama mendiang istrinya. “Maaf, Nod. Tapi dia adalah rokern,” imbuh Edvard seraya menarik rokern berwujud wanita cantik tersebut dari hadapan Nod. “Vabian, kembali ke Bilik Komputasi. Atau aku tidak akan memperbaiki sensor vibrasimu!” ancam Edvard. “Tidak, jangan,” cekal Nod. “Bagaimana bisa dia memiliki rupa seperti Regan?” Nod termangu mengelilingi Vabian. Setiap bentuk, warna, dan bahkan suaranya seperti Regan. Bagaimana bisa Edvard membuat rokern menyerupainya? Ini kebetula
Perjalanan mereka berakhir ketika yunish berhenti pada landasan di depan gerbang sebuah bangunan bundar yang terbingkai oleh pilar-pilar. Jalur masuk berada tak jauh dari halaman parkir tempat mereka mendarat. Potongan mozaik melapisi keseluruhan teras bangunan. Lampu sorot menerangi garis jalan yang mengantar mereka memasuki pintu utama Museum Paranis.Fibrela langsung mengarahkan langkah mereka memasuki pintu utama di tengah gedung tersebut. Tempat ini terbuka untuk umum selama seharian penuh. Tidak ada lagi pendatang yang masuk di jam-jam seperti ini. Waktu yang juga sangat tepat bagi mereka untuk mengunjungi tempat tersebut.Pada sisi dalam gedung, tergantung banyak lukisan-lukisan kuno yang mirip dengan di daratan. Hanya saja tidak ada satu lukisan pun yang pernah dilihat Nod. Tepat di tengah aula tadi terdapat sebuah kapal pesiar besar. Ada ukiran nama tulisan ‘FELIZ CARLOTA 1818’ di lambung kapal tersebut. Nod tidak bisa mengingat apa pun te
“Karena inikah kalian begitu membenci kami?” gumam Nod. Kurator Urvi muncul dari balik pintu yang berbeda. Nod sentak berdiri hendak menudingnya lagi dengan pertanyaan. “Apa yang kalian lakukan pada kami di Luxavar?” tandas Nod mulai berapi-api. Fibrela langsung menahannya. Tangannya menarik Nod agar tidak lebih lanjut mencecar Urvi. “Tuan Nod, saya tidak mengerti perkataan Anda.” Urvi beringsut dari tempatnya berdiri sambil mengernyit heran. “Berhentilah membohongiku. Aku tahu istriku ada di Luxavar. Aku melihat lukisan itu di depan sana. Di mana kalian menyembunyikannya?” Wajah Nod merah padam. Ruangan yang remang itu bahkan tak bisa menyembunyikan kemurkaannya. “Nod!” bentak Fibrela. “Hentikan semua ini!” Nod membungkam dan menoleh ke arah Fibrela. “Urvi tidak akan bisa menjawab pertanyaanmu. Dia hanya menunjukkan sejarah yang pernah dialami Luxavar padamu. Kau bisa tidak mempercayainya. Namun kami mengalami semua itu. Apaka
Tiga atlic berlarian melewati koridor Egarus yang panjang dengan terengah-engah. Mereka tidak tahu apa yang baru saja terjadi pada tubuh mereka. Salah satu dari mereka menyemburkan darah dari mulutnya. Keduanya juga mengalami hal yang sama. Petugas kesehatan di Egarus dan beberapa rokern mengungsikan mereka ke salah satu brankar kosong. Melakukan pemeriksaan dan memindai seluruh pemeriksaan tersebut ke komputer pusat. Tiga rokern segera membawa mereka ke salah satu atlic. Mereka terbaring berdampingan. Wajah mereka pucat dan kedua lubang hidungnya sesekali masih mengeluarkan darah. Salah satu atlic mendekati mereka. “Apa yang terjadi?” tanya atlic dengan pakaian serba biru. Atlic yang masih menyumbat lubang hidungnya dengan kapas menggeleng lemah. Diikuti para pengunjung yang lainnya. “Kami tidak tahu,” jawab salah satu dari mereka dengan suara sengau. “Darahnya tidak berhenti. Kami tidak bisa menahannya.”
“Kau belum tidur?” tanya Nod. “Nod?” tanya Fibrela. “Aku masih mau membereskan pekerjaan di Balorop. Kau istirahat saja dulu.” “Fibrela, aku hanya ingin menyampaikan satu hal padamu,” kata Nod duduk di samping Fibrela. Fibrela terlihat tidak begitu mengacuhkan ucapan Nod. Dia memandang gambaran grafik pada layar di hadapannya. Salah satu jemarinya menggeser gambar-gambar yang tampil di layar itu. “Aku akan pindah ke Luxavar,” kata Nod tanpa menunggu respons dari Fibrela. Fibrela sentak menghentikan pekerjaannya. Dia memandang Nod seraya mengangkat kedua alisnya. Nod membalas tatapan tidak percaya tadi dengan cengiran kecil. “Kau serius?” tanya Fibrela. “Presiden Trufer memberiku pekerjaan yang lumayan bagus di Luxavar. Jadi kupikir kapan lagi aku bisa hidup senyaman di sini,” jawab Nod. “Dan aku akan kembali menjadi putrimu?” tanya Fibrela. “Jika kau tidak mau, aku bisa mengadopsi atlic lain,” kata Nod santai.
Dalam suatu ruangan remang di suatu tempat di Luxavar, duduk seorang laki-laki paruh baya dengan seorang remaja muda di dekatnya. Seorang anak yang lebih muda berada di hadapan mereka dalam posisi bersujud.“Maaf, aku tidak menjalankan misi ini dengan baik,” kata anak itu. Wajahnya yang tirus dan pucat menunduk tak berani memandang pria itu secara langsung.“Sudahlah… kemarilah,” pinta pria tadi.Anak itu berdiri dan duduk di dekat pria paruh baya itu. Dia meraih tangan anak itu sambil berbicara, “Kuberikan lagi kau kesempatan. Aku harap kau tidak mengecewakanku kali ini.”Anak tadi memandang pria itu seakan mendapat harapan baru. Pemuda di sampingnya menatap tajam.“Bagaimana bisa kau menyia-nyiakan kesempatan yang begitu besar, Edvard?” tukas pemuda itu.“Jibethus, diamlah!” hardik pria itu sekejap membungkam keluhan Jibethus. “Kau juga sudah gagal menjalankan misi in
Di pagi hari keesokan harinya Fibrela mulai kembali membaik. Demam sudah turun. Sesaknya perlahan berkurang. Jemari yang tergenggam dalam cengkeraman Nod sesekali dieratkan.“Fibrela? Kau dengar aku?” tanya Nod mengamati wajah Fibrela lekat-lekat.Fibrela mengerlipkan pelupuk matanya, berusaha mengumpulkan semua tenaga untuk bangun. Dia menggerakkan kedua tangannya dan mencoba menyingkirkan semua benda asing yang berada di tubuhnya. Matanya menyipit ke arah cahaya terang yang terpancar dari jendela kaca di sampingnya.“Fibrela, Tidak apa-apa. Kau di sini. Kau bersamaku,” ucap Nod pelan saat Fibrela menoleh ke arahnya.Fibrela kemudian mengamati sekelilingnya bertanya-tanya. Dia langsung memberontak saat menyadari sekujur tubuhnya dipenuhi kabel dan selang. Tangannya sentak menyingkirkan benda-benda asing tersebut. Para perawat mendekatinya berusaha mencegah tindakan melukai dirinya tersebut. Fibrela berhasil menarik selang makan ya
“Sesungguhnya kau tidak perlu memercayai Edvard jika dalam hatimu saja kau sudah percaya pada Fibi,” kata Brevis ketika rekaman yang disaksikan Nod berakhir.“Apakah semua ini benar?” tanya Nod pada Louie.Louie mengangguk.Nod mengusap air matanya yang sudah bergulir lagi. Sebuah bongkahan es telah membeku dan menyedat kerongkongannya, membuat dirinya begitu kesusahan bernapas.Semestinya dari dulu Nod tahu kalau Fibrela bukan pembunuh seperti yang dikatakan Edvard dan orang-orang. Bukan itu saja. Fibrela adalah Atlic yang mencoba menyelamatkan istri dan anaknya, meski gagal. Semua menyayangkan hal tersebut. Seharusnya Nod tidak menganggap Fibrela sebagai pembunuh. Dia sudah berusaha. Itu yang semestinya dipikirkan Nod. Fibrela hanya mencoba menebus penyesalannya dengan melakukan perbuatan baik itu.Istrinya tidak mati sia-sia. Begitu pun putrinya. Mereka tidak mati percuma. Ada gadis kecil di Luxavar yang memperjuang
Likos melangkah ke arah Nod dan Louie dari ujung lorong rumah sakit dengan membawa sekantung makanan. Tidak ada kursi di depan ruang rawat intensif karena tempat duduk sudah disediakan di tempat yang lebih jauh. Jadi mereka hanya bisa menunggu di lorong itu dalam keresahan. Lampu rumah sakit mencetak bayangannya ke arah yang lebih gelap. Nod masih merundukkan kepala memeluk kedua kakinya yang masih basah. Tidak membiarkan secercah cahaya pun menyentuh wajahnya. Pakaiannya hampir kering, tapi masih lembap.“Makanlah, sedikit,” ucapnya sambil menyodorkan bungkus makanan yang dibawanya ke hadapan Nod yang masih termenung dalam.Sapaan Likos seperti angin yang menerpa puing-puing kesedihan yang telah diluluhlantakkan akal sehat itu. Kekalutan memperkeruh pikirannya hingga dia hampir tak menyadari keberadaan Likos yang beberapa menit lalu muncul di sampingnya. Apa yang telah terjadi atau apa yang semestinya dilakukannya? Dia berharap ingatan ini bisa sejenak saj
Nod kembali menelusuri lorong yang sama, memasuki ruang kerja Edvard yang sudah terbuka. Ruangan dan lorong itu sudah dipenuhi air. Nod menghirup udara terakhir yang masih tersisa dari langit-langit dan berenang melintasi bingkai pintu yang melengkung. Dia bisa melihat Brevis di samping Fibrela berusaha membuka ikatan yang mengerat kedua tangan Fibrela.Gelembung udara keluar dari mulut Fibrela. Matanya masih terbuka mencoba menyelamatkan diri dengan sisa-sisa udara di parunya. Entah sudah berapa lama dia terendam air. Nod meraih pisau yang dilemparnya ke sudut ruangan itu. Dia bisa melihat Louie dan Brevis masih mencoba menarik kawat itu.Pisau tadi segera diarahkan ke kawat yang mengerat tangan dan kaki Fibrela. Nod memberi isyarat pada Brevis untuk keluar lebih dulu sebelum dia mati lemas di dalam air. Brevis segera berenang keluar setelah semua kawat yang mengikat Fibrela lepas, disusul Nod dengan tubuh Fibrela yang sudah tak meronta.Nod tahu dia sudah tak
Sandaran kursi yang menindih Fibrela kini hampir mencekiknya. Dudukan yang keras itu menimpa sebelah tungkainya, menggeseknya dengan keras hingga jemari kakinya membiru sekarang. Posisi tubuhnya tampak begitu menyedihkan. Fibrela mencoba mengerang dengan hembusan panjangnya. Giginya gemeretak hebat.Nod membenarkan kursi Fibrela dan memposisikan duduknya seperti semula. Dia merasa sedikit iba melihat sekujur tubuhnya kini bersimbah darah. Namun dia juga tidak berdaya memutuskan mengakhiri penderitaannya.Meski begitu, Fibrela membalas ucapan Nod dengan tawa. Nod mengernyit heran. Fibrela tak berhenti tertawa. Mengapa dia masih tertawa walau dalam keadaan mengenaskan seperti ini? Apakah Fibrela menganggap urusan kematian ini hanya permainan belaka? Dia sangat kesal berada dalam situasi seperti ini.Edvard di sampingnya tersenyum ringan. Dia terlihat tidak mau kalah dengan menimpal perkataan, “Kau tidak perlu menunggu dia menjelaskannya padamu, Nod. Kau hany
Nod mendapati dirinya terbangun di atas kursi besar. Kawat tipis melingkari pergelangan tangan dan kakinya, membuat tubuhnya tak berdaya berkutik. Nod berusaha memandang ke segala arah untuk menerka keberadaannya. Lagi-lagi dia mengutuki dirinya yang begitu sial sampai tertangkap berulang kali.Suasana seperti ini tampak tak asing. Ini ruangan yang pernah ditunjukkan Fibrela padanya. Bau wewangian yang khas mengingatkannya pada saat-saat dia bertemu dengan rokern cantik buatan Edvard. Ini bau pelembap kulit rokern. Dia ingat betul bau ini.Kepalanya terasa nyeri setelah menghantam tanah tadi. Nod sadar kalau mereka mereka tidak memiliki banyak waktu untuk menyelamatkan diri. Sudah berapa lama dia tidak sadar. Matanya menatap ke segala arah.“Fibrela?” panggil Nod.Nod melihat Fibrela di sampingnya juga sudah sadar. Dia diikat di kursi dengan jenis yang sama dengan Nod. Pandangan Fibrela datar tanpa mimik. Benturan keras saat di yunish menyorak