Home / Fantasi / Selubung Memori / Chapter 511 - Chapter 520

All Chapters of Selubung Memori: Chapter 511 - Chapter 520

594 Chapters

510. REMINISENSI #9

Pertempuran masih berlanjut, tidak lagi terhindarkan.Profesor Merla fokus menghadapi bos Erick itu. Dia benar-benar punya tipe kekuatan aneh. Dia menggerakkan tangannya, dan entah bagaimana bisa membelah apa pun yang ada di sekitarnya. Dia juga bisa menarik apa pun, seperti bongkahan batu, lalu melemparnya tanpa menyentuh seperti Reila. Dia sangat merepotkan—yang membuatku dan Reila tiba-tiba harus membantu Profesor Merla.Profesor Merla punya trik untuk menahan serangan itu: tahan pakai pedang, lalu melompat menghindar sebelum serangan itu memotong pedang kami.“Anggap saja satu hal, sekali kau menyentuhnya, kau mati,” katanya.Masalahnya: si bos ini benar-benar gila. Dan tidak cukup dengan itu, entah dari mana asalnya, dua blasteran datang mengurusku. Berbeda dengan mereka yang kuhadapi sebelumnya. Mereka lebih lincah. Pendek. Mirip kakek cebol, tetapi tidak sekecil mereka. Aku sempat terkena mentah-mentah tonjokannya, dan kurasakan i
last updateLast Updated : 2024-06-29
Read more

511. REMINISENSI #10

Reila berniat mengejar Erick, tetapi tiba-tiba si topeng di dekat kami—entah bagaimana caranya—lalu berkata dengan suara sangat tinggi dan aneh. “Tidak perlu dikejar. Biarkan dia. Ada yang lebih penting.”Reila langsung terhenti. Aku juga terhenti. Kami menatapnya tidak yakin.Suaranya aneh, seperti diubah oleh alat.Dan itu topeng karakter yang sama seperti orang yang pernah membantuku di laboratorium musuh. Terlepas dari wujudnya yang lebih mengerikan—dipenuhi bercak darah—entah bagaimana aku merasa lebih bisa mempercayainya.Lalu muncul dengan cara yang sama seperti si topeng ini: Profesor Merla, mengacungkan pedangnya ke si topeng. Sorotnya sangat tajam.“Siapa?” tanya Profesor Merla.Monster ada di sekeliling kami, sudah bersiap menyerang. Aku ingin bilang kalau konflik ini sebenarnya bisa dihindari. Terlepas betapa si topeng ini sungguh mencurigakan, dia sudah menghabisi musuh terberat ka
last updateLast Updated : 2024-07-01
Read more

512. REMINISENSI #11

Bertempur bersama Profesor Merla saja sebenarnya sudah curang, tetapi ini ditambah kesadaran bertempur Reila yang luar biasa—plus, si topeng lucu.Si topeng lucu sudah menghabisi dua monster raksasa saat kami menyerang.Profesor Merla memutuskan menyerang satu monster raksasa. Kupikir akan lama, ternyata tidak. Hanya beberapa detik. Profesor Merla melayang, menghindari satu ayunan keras monster itu, lalu dalam sekejap memunculkan pusaran angin ke arah rongga dada monster itu. Kutinggal berkedip, rongga dada monster itu lubang, memancarkan darah monster ke segala arah. Hujan darah lagi.Reila tidak mau kalah. Dia melayang, mengarahkan bongkahan batu begitu bertubi-tubi pada monster raksasa. Monster itu sampai tak punya kesempatan untuk balas menyerang. Begitu dia sadar, kepalanya sudah pecah karena ditabrak batu.Hanya aku yang belum membasmi monster raksasa.Namun, kupikirkan ucapan si topeng itu. Tak ada artinya kami membunuh monster sebanya
last updateLast Updated : 2024-07-03
Read more

513. REMINISENSI #12

Situasi sekitar agaknya berubah janggal dalam sekejap.Bukan karena keberadaan monster dan hal mengerikan seperti sebelumnya, tetap kusadari ada begitu banyak mayat bergelimpangan di antara puing-puing batu. Sebagian besar dari mereka blasteran. Wujud monsternya telah lenyap, menyisakan fisik manusia normal, dan—sungguh, banyak bagian tubuh mereka yang sudah tak lagi utuh. Pertama, karena infeksi monster. Kedua, karena serangan kami.Aku juga mendekati dua mayat: Koba dan si kulit terbakar. Entah mengapa aku memeriksa keadaan mereka meski sudah mampu merasakannya dari kehadiran. Keduanya tidak selamat. Jantungnya tidak lagi berdetak. Mereka telah tiada. Koba kehilangan satu tangan dan meninggalkan sayatan lebar di dadanya. Topinya sudah terlepas dan meski tiada, aku masih bisa merasakan ekspresi jahat dari rautnya. Si kulit terbakar juga begitu. Dia tidak kehilangan anggota tubuh, tetapi lukanya begitu banyak. Seberapa kuat darah murni, pendarahan bukanlah hal ya
last updateLast Updated : 2024-07-05
Read more

514. REMINISENSI #13

Kondisi sudah terlalu gelap untuk memutuskan lanjut perjalanan. Mau tak mau kami harus beristirahat, yang masalahnya: lanjut misi atau pulang.Jadi, kami berunding. Kami sudah cukup jauh dari puing-puing lokasi utama pertempuran. Ketika kami memutuskan berjalan, aku bilang kalau bisa merasakan keberadaan gua yang cukup aman—setidaknya, berjarak delapan ratus meter dari lokasi utama pertempuran. Itu membuat Reila mengerutkan kening, heran mengapa aku bisa melacak area sampai sejauh itu, dan kubilang kalau aku memusatkannya ke satu tempat. Aku tidak bilang kalau arah yang kutuju sebagai area pelacakan itu dengan asumsi kami melanjutkan misi.Kami berunding melanjutkan misi atau tidak di gua itu. Ketika kami tiba di sana, langit sudah sangat gelap dan tidak ada pilihan selain beristirahat. Medannya tidak terlalu curam, tetapi kami tahu ada di dekat ketinggian. Gua ini ada di dekat tebing. Profesor Merla merasa tempat itu cukup aman untuk istirahat. Ketinggian langit
last updateLast Updated : 2024-07-07
Read more

515. KAKAK ADIK #1

Keesokan harinya, misi masih berlanjut.Kami berangkat lebih terlambat dari jam yang sudah direncanakan—pelaku utamanya: aku. Aku tertidur lagi setelah berjaga tiga jam. Profesor Merla tidak mau membangunkanku, jadi kami baru berdiskusi sekitar jam sepuluh.“Kurasa tidak ada masalah melanjutkan misi,” kataku.“Merasa bersalah, ya?” sahut Reila.“Tidak, kok.”“Kemarin siapa, ya, yang paling menentang lanjut misi gara-gara waktunya mepet? Kalau pakai asumsi kemarin, harusnya kita sedang di jalan, kan? Biar tidak mepet waktu untuk pulang? Gara-gara siapa, ya, kita tidak jadi berangkat?”“Aku tidak sengaja ketiduran,” belaku. “Kau sendiri tidurnya meninjuku.”“Kok, menyalahkanku?”“Aku jadi bangun terus gara-gara ditinju.”“Sebagai pembelaan, aku tidak pernah sebrutal itu kalau tidur.”“Mana ada oran
last updateLast Updated : 2024-07-09
Read more

516. KAKAK ADIK #2

Kami berhenti ketika area sekitar hanya ada pepohonan dan tanaman yang rimbun. Sulit melihat apa yang ada di depan karena vegetasi menutupi sekitar, tetapi kami berhenti, dan aku berjongkok, lebih memusatkan kemampuan deteksi.Aku merasakan keberadaan manusia. Tidak jauh.“Empat ratus meter,” kataku, pelan. “Mereka beriringan seperti kita.”“Berapa orang?” tanya Profesor Merla.“Enam—tidak, tujuh. Auranya aneh. Mereka blasteran.”“Ada yang pemilik keganjilan biasa?” tanya Reila.“Sejauh yang kurasakan tidak ada.”Reila menatap Profesor Merla. “Mungkin itu bekas pasukan Sendi Enam. Atau bisa jadi Sendi Sepuluh yang terpisah.”Aku menatap mereka.“Bagaimana?”Profesor Merla yang mengatakannya: “Sergap satu. Habisi sisanya.”Aku selalu merasakan pertentangan ketika akan menghadapi pertempuran. Pada
last updateLast Updated : 2024-07-11
Read more

517. KAKAK ADIK #3

Dua monster raksasa bukan masalah besar bagi kami.Kami menghindar bersama ketika monster itu meninju tanah, membuatnya bergetar dan meretakkannya. Pohon-pohon tumbang, getarannya semakin besar.Aku melayang. Reila di sebelahku. Reila membuatku melayang.Kami menghadapi satu monster. Profesor Merla satu.Jadi, Reila mengangkat pohon-pohon yang tumbang, mengarahkannya tepat ke monster itu—dan bukan main, dia mengarahkannya ke mata. Kena telak. Dengan segera, raungan menyakitkan monster terdengar. Dia kehilangan keseimbangan—limbung, menjatuhkan lutut, lalu dari bawah, aku menumbuhkan pohon.Kupikirkan dia akan tertusuk di rongga dada, tetapi tidak.Itu membuatnya seperti dipukul di rongga dada.“Kurang runcing,” komentar Reila.“Aku tidak memperhitungkan itu,” kataku, mengganti serangan.Aku memakai serangan angin dari atas, membentuk tekanan angin lumayan kuat, dan berhasil: menyayat p
last updateLast Updated : 2024-07-13
Read more

518. KAKAK ADIK #4

Dua jam berikutnya, Reila sudah menopang satu tangannya ke bahuku saat kami tanpa henti menaiki jalur naik yang dipenuhi rerumputan licin.“Aku heran bagaimana kau bisa selelah ini saat naik gunung padahal selama ini kau latihan sampai brutal,” kataku. “Kau merasa tidak enak badan?”“Energi dan stamina itu dua hal berbeda,” keluhnya.“Itu konsep yang benar, tapi bukan itu yang kupertanyakan.”“Masih jauh?”“Lima menit lagi.”“AKH!” Dia jengkel, tetapi tidak ingin membuang tenaga untuk marah.Pada akhirnya, kami terus berjalan dan Reila semakin lambat. Sebenarnya Lavi memakaikan salah satu jam tangannya padaku—yang agak aneh karena model jam tangan ini untuk cewek—tetapi aku merasa bersalah karena talinya putus sejak pertempuran puing-puing. Kabar baiknya, jarum jamnya masih berdetak. Itu cukup membantuku mengetahui estimasi perjalanan kami.
last updateLast Updated : 2024-07-15
Read more

519. KAKAK ADIK #5

Aku membangunkan Reila ketika kami tiba di titik dua.Begitu matanya terbuka, dia langsung panik seolah tidak sadar sudah tidur sepanjang sisa perjalanan. Dia bereaksi sangat persis sepertiku.“M-Maaf. Aku tidak sengaja ketiduran.” Dia langsung melompat turun dari punggung, sempoyongan, jadi aku menangkapnya lagi, memberinya waktu.“Kau membuatku pegal sepanjang perjalanan, jadi sewaktu kita di Padang Anushka nanti, kau harus memijatku,” kataku. “Dan lupakan semua rasa bersalah itu karena kita sudah tiba. Apa aku perlu menyirammu dengan air tanah bersih?”Reila menggeleng, belum bisa diajak bercanda.Aku juga tidak mau menyalahkannya karena sebagian besar alasan dia bisa tidur sepulas itu karena aku membuatnya tertidur—aku bukan berniat membuat dia tidur, tetapi karena dia tidur, aku membuatnya semakin lelap. Dia tidur sepanjang siang. Sekarang sudah lumayan sore.Dan tidak bisa dipungkiri bahwa lang
last updateLast Updated : 2024-07-17
Read more
PREV
1
...
5051525354
...
60
DMCA.com Protection Status