Reila berniat mengejar Erick, tetapi tiba-tiba si topeng di dekat kami—entah bagaimana caranya—lalu berkata dengan suara sangat tinggi dan aneh. “Tidak perlu dikejar. Biarkan dia. Ada yang lebih penting.”
Reila langsung terhenti. Aku juga terhenti. Kami menatapnya tidak yakin.
Suaranya aneh, seperti diubah oleh alat.
Dan itu topeng karakter yang sama seperti orang yang pernah membantuku di laboratorium musuh. Terlepas dari wujudnya yang lebih mengerikan—dipenuhi bercak darah—entah bagaimana aku merasa lebih bisa mempercayainya.
Lalu muncul dengan cara yang sama seperti si topeng ini: Profesor Merla, mengacungkan pedangnya ke si topeng. Sorotnya sangat tajam.
“Siapa?” tanya Profesor Merla.
Monster ada di sekeliling kami, sudah bersiap menyerang. Aku ingin bilang kalau konflik ini sebenarnya bisa dihindari. Terlepas betapa si topeng ini sungguh mencurigakan, dia sudah menghabisi musuh terberat ka
Bertempur bersama Profesor Merla saja sebenarnya sudah curang, tetapi ini ditambah kesadaran bertempur Reila yang luar biasa—plus, si topeng lucu.Si topeng lucu sudah menghabisi dua monster raksasa saat kami menyerang.Profesor Merla memutuskan menyerang satu monster raksasa. Kupikir akan lama, ternyata tidak. Hanya beberapa detik. Profesor Merla melayang, menghindari satu ayunan keras monster itu, lalu dalam sekejap memunculkan pusaran angin ke arah rongga dada monster itu. Kutinggal berkedip, rongga dada monster itu lubang, memancarkan darah monster ke segala arah. Hujan darah lagi.Reila tidak mau kalah. Dia melayang, mengarahkan bongkahan batu begitu bertubi-tubi pada monster raksasa. Monster itu sampai tak punya kesempatan untuk balas menyerang. Begitu dia sadar, kepalanya sudah pecah karena ditabrak batu.Hanya aku yang belum membasmi monster raksasa.Namun, kupikirkan ucapan si topeng itu. Tak ada artinya kami membunuh monster sebanya
Situasi sekitar agaknya berubah janggal dalam sekejap.Bukan karena keberadaan monster dan hal mengerikan seperti sebelumnya, tetap kusadari ada begitu banyak mayat bergelimpangan di antara puing-puing batu. Sebagian besar dari mereka blasteran. Wujud monsternya telah lenyap, menyisakan fisik manusia normal, dan—sungguh, banyak bagian tubuh mereka yang sudah tak lagi utuh. Pertama, karena infeksi monster. Kedua, karena serangan kami.Aku juga mendekati dua mayat: Koba dan si kulit terbakar. Entah mengapa aku memeriksa keadaan mereka meski sudah mampu merasakannya dari kehadiran. Keduanya tidak selamat. Jantungnya tidak lagi berdetak. Mereka telah tiada. Koba kehilangan satu tangan dan meninggalkan sayatan lebar di dadanya. Topinya sudah terlepas dan meski tiada, aku masih bisa merasakan ekspresi jahat dari rautnya. Si kulit terbakar juga begitu. Dia tidak kehilangan anggota tubuh, tetapi lukanya begitu banyak. Seberapa kuat darah murni, pendarahan bukanlah hal ya
Kondisi sudah terlalu gelap untuk memutuskan lanjut perjalanan. Mau tak mau kami harus beristirahat, yang masalahnya: lanjut misi atau pulang.Jadi, kami berunding. Kami sudah cukup jauh dari puing-puing lokasi utama pertempuran. Ketika kami memutuskan berjalan, aku bilang kalau bisa merasakan keberadaan gua yang cukup aman—setidaknya, berjarak delapan ratus meter dari lokasi utama pertempuran. Itu membuat Reila mengerutkan kening, heran mengapa aku bisa melacak area sampai sejauh itu, dan kubilang kalau aku memusatkannya ke satu tempat. Aku tidak bilang kalau arah yang kutuju sebagai area pelacakan itu dengan asumsi kami melanjutkan misi.Kami berunding melanjutkan misi atau tidak di gua itu. Ketika kami tiba di sana, langit sudah sangat gelap dan tidak ada pilihan selain beristirahat. Medannya tidak terlalu curam, tetapi kami tahu ada di dekat ketinggian. Gua ini ada di dekat tebing. Profesor Merla merasa tempat itu cukup aman untuk istirahat. Ketinggian langit
Keesokan harinya, misi masih berlanjut.Kami berangkat lebih terlambat dari jam yang sudah direncanakan—pelaku utamanya: aku. Aku tertidur lagi setelah berjaga tiga jam. Profesor Merla tidak mau membangunkanku, jadi kami baru berdiskusi sekitar jam sepuluh.“Kurasa tidak ada masalah melanjutkan misi,” kataku.“Merasa bersalah, ya?” sahut Reila.“Tidak, kok.”“Kemarin siapa, ya, yang paling menentang lanjut misi gara-gara waktunya mepet? Kalau pakai asumsi kemarin, harusnya kita sedang di jalan, kan? Biar tidak mepet waktu untuk pulang? Gara-gara siapa, ya, kita tidak jadi berangkat?”“Aku tidak sengaja ketiduran,” belaku. “Kau sendiri tidurnya meninjuku.”“Kok, menyalahkanku?”“Aku jadi bangun terus gara-gara ditinju.”“Sebagai pembelaan, aku tidak pernah sebrutal itu kalau tidur.”“Mana ada oran
Kami berhenti ketika area sekitar hanya ada pepohonan dan tanaman yang rimbun. Sulit melihat apa yang ada di depan karena vegetasi menutupi sekitar, tetapi kami berhenti, dan aku berjongkok, lebih memusatkan kemampuan deteksi.Aku merasakan keberadaan manusia. Tidak jauh.“Empat ratus meter,” kataku, pelan. “Mereka beriringan seperti kita.”“Berapa orang?” tanya Profesor Merla.“Enam—tidak, tujuh. Auranya aneh. Mereka blasteran.”“Ada yang pemilik keganjilan biasa?” tanya Reila.“Sejauh yang kurasakan tidak ada.”Reila menatap Profesor Merla. “Mungkin itu bekas pasukan Sendi Enam. Atau bisa jadi Sendi Sepuluh yang terpisah.”Aku menatap mereka.“Bagaimana?”Profesor Merla yang mengatakannya: “Sergap satu. Habisi sisanya.”Aku selalu merasakan pertentangan ketika akan menghadapi pertempuran. Pada
Dua monster raksasa bukan masalah besar bagi kami.Kami menghindar bersama ketika monster itu meninju tanah, membuatnya bergetar dan meretakkannya. Pohon-pohon tumbang, getarannya semakin besar.Aku melayang. Reila di sebelahku. Reila membuatku melayang.Kami menghadapi satu monster. Profesor Merla satu.Jadi, Reila mengangkat pohon-pohon yang tumbang, mengarahkannya tepat ke monster itu—dan bukan main, dia mengarahkannya ke mata. Kena telak. Dengan segera, raungan menyakitkan monster terdengar. Dia kehilangan keseimbangan—limbung, menjatuhkan lutut, lalu dari bawah, aku menumbuhkan pohon.Kupikirkan dia akan tertusuk di rongga dada, tetapi tidak.Itu membuatnya seperti dipukul di rongga dada.“Kurang runcing,” komentar Reila.“Aku tidak memperhitungkan itu,” kataku, mengganti serangan.Aku memakai serangan angin dari atas, membentuk tekanan angin lumayan kuat, dan berhasil: menyayat p
Dua jam berikutnya, Reila sudah menopang satu tangannya ke bahuku saat kami tanpa henti menaiki jalur naik yang dipenuhi rerumputan licin.“Aku heran bagaimana kau bisa selelah ini saat naik gunung padahal selama ini kau latihan sampai brutal,” kataku. “Kau merasa tidak enak badan?”“Energi dan stamina itu dua hal berbeda,” keluhnya.“Itu konsep yang benar, tapi bukan itu yang kupertanyakan.”“Masih jauh?”“Lima menit lagi.”“AKH!” Dia jengkel, tetapi tidak ingin membuang tenaga untuk marah.Pada akhirnya, kami terus berjalan dan Reila semakin lambat. Sebenarnya Lavi memakaikan salah satu jam tangannya padaku—yang agak aneh karena model jam tangan ini untuk cewek—tetapi aku merasa bersalah karena talinya putus sejak pertempuran puing-puing. Kabar baiknya, jarum jamnya masih berdetak. Itu cukup membantuku mengetahui estimasi perjalanan kami.
Aku membangunkan Reila ketika kami tiba di titik dua.Begitu matanya terbuka, dia langsung panik seolah tidak sadar sudah tidur sepanjang sisa perjalanan. Dia bereaksi sangat persis sepertiku.“M-Maaf. Aku tidak sengaja ketiduran.” Dia langsung melompat turun dari punggung, sempoyongan, jadi aku menangkapnya lagi, memberinya waktu.“Kau membuatku pegal sepanjang perjalanan, jadi sewaktu kita di Padang Anushka nanti, kau harus memijatku,” kataku. “Dan lupakan semua rasa bersalah itu karena kita sudah tiba. Apa aku perlu menyirammu dengan air tanah bersih?”Reila menggeleng, belum bisa diajak bercanda.Aku juga tidak mau menyalahkannya karena sebagian besar alasan dia bisa tidur sepulas itu karena aku membuatnya tertidur—aku bukan berniat membuat dia tidur, tetapi karena dia tidur, aku membuatnya semakin lelap. Dia tidur sepanjang siang. Sekarang sudah lumayan sore.Dan tidak bisa dipungkiri bahwa lang
Pencarian tetap dilanjutkan. Timnya tetap. Jadi, Lavi bertahan denganku di ruangan itu sampai setidaknya aku bisa bergerak lancar lagi. Semua orang percaya Lavi tidak akan membuatku melakukan hal aneh-aneh, dan kuakui itu benar. Hanya dengan melihat Lavi yang kacau saja, aku tahu tidak akan bisa aneh-aneh—meski hal yang kulakukan tadi tidak kurencanakan untuk berakhir seaneh itu.Aku hanya menyandarkan punggung di gundukan tanah, dan Lavi duduk di sisiku. Kurang lebih, kami hening beberapa saat.“Aku,” kata Lavi, “tahu kau takkan kenapa-kenapa.”“Ya,” kataku.“Tapi tadi... aku merasa bakal kehilanganmu. Aku takut.”“Ya.”“Jangan membuatku jantungan lagi. Aku tidak suka melihatnya.”“Ya,” kali ini aku berjanji.Tubuhku sudah lumayan ringan. Setidaknya, kembali seperti sebelum aku melakukan rangkaian pelepasan energi besar. Jadi, alih-alih L
Reila berniat menyergahku dengan beragam pertanyaan—sudah kelihatan dari wajahnya, tetapi kubilang, “Lavi.”Aku hanya menyebut namanya, tetapi Lavi mengerti. Dia mendekat ke Reila yang membuat Reila heran, tetapi Lavi tidak menunggu tuntutan Reila karena sudah meminta Reila menjauh dan berkata, “Jangan terlalu banyak menuntut pada orang yang berusaha menggapai informasi. Aku bisa mengerti kau ingin bertemu ibumu, tapi sebagai tim dan sebagai orang yang dipercaya, aku harus menahanmu.”Reila semakin ingin menuntut, tetapi aura Lavi mendadak menajam.Kurang lebih itu dirasakan Profesor Merla dan Leo juga.“Lavi, jangan terlalu menekannya,” kataku.“Maaf,” kata Lavi.Aku mengulurkan lengan seperti berusaha menggapai sesuatu. Di depanku hanya ada dinding tanah, tetapi aku tetap di posisi itu dan mulai memejamkan mata. Kurasakan aliran energi di sekitar. Kurasakan aura Ibu. Kurasakan juga aura
Tidak lama kemudian, Leo dan Jenderal muncul dari kegelapan gua.Aku sudah duduk bersama Reila di tumpukan batu. Begitu menyadari Leo dan Jenderal yang kembali, Reila langsung mengangkat kepala. Namun, mendapati ekspresi yang dibuat Leo, kami semua tahu jawabannya.“Tidak ada,” Leo tetap menjelaskan.“Tidak ada petunjuk juga?” tanya Nadir.“Kami belum sedetail itu mencarinya. Hanya memasuki ruangan terdekat. Bagian dalamnya benar-benar gelap. Tidak ada penerangan. Tapi udara masih ada. Kita masih bisa bernapas normal. Kemampuan Helvin tidak sepenuhnya hilang—dan... ya, masih ada kemungkinan Bibi Meri ada di bagian dalam. Bibi Meri mampu merasakan ujung lain gua. Mungkin dia berjalan menelusuri itu.”Aku tahu Leo bermaksud menenangkan kami dengan gagasan itu.Namun, aku juga tahu apa yang sudah kupikirkan. Kemungkinannya sangat kecil Ibu bisa menelusuri gua gelap yang bahkan belum pernah dia kunjungi&
Pintu gua itu lebih mirip seperti cekungan tanah raksasa yang menjorok ke dalam. Bebatuan raksasa menutupi sebagian besar pintu masuk, jadi kesimpulan itu tepat: pintu gua ini tertutup. Dan sangat rapi seolah bukan dengan bebatuan, tetapi dengan tanah yang berbentuk sama seperti pola dinding tebing sekitarnya.Bagian dalamnya gelap. Sangat gelap. Aku seperti melihat kegelapan yang berniat menelanku. Pintu masuk gua hanya terbuka sebagian. Itu artinya, cahayanya juga sangat minim. Hanya bisa masuk sekitar setengah pintu masuk gua. Cahayanya hanya bisa mencapai beberapa meter dari mulut gua.Lavi sedang duduk di bagian dalam gua, tidak jauh dari bebatuan yang jatuh bersama Nadir. Jenderal dan Leo tidak ada batang hidungnya. Lavi melihat kami yang tiba di mulut gua, dan dia langsung berdiri, mengulurkan tangan padaku yang berdiri di mulut gua. Aku tidak bergerak, hanya menatap kegelapan di dalam gua. Lavi langsung memelukku.“Bersabarlah, jangan berpikir aneh
[“Forlan, darurat. Turunlah saat kau sudah bisa lihat tebing.”]Aku sudah bisa melihat keberadaan tebing di kejauhan. Hanya saja, belum sempat aku bertanya mengapa Lavi meminta seperti itu, kurasakan Lavi memudar. Semakin sering kami terhubung, aku juga semakin mengerti seperti apa rasanya saat Lavi tak lagi memusatkan fokusnya untuk terhubung. Ketika kami terhubung, Lavi rasanya seperti melekat di kepalaku. Namun, saat komunikasi telah terputus, Lavi seperti meleleh. Aku tahu dia tidak akan menyahut.Tebing itu terlihat tidak terlalu tinggi hingga aku melihat bawah. Kusadari permukaan tanah sudah turun jauh. Tebing itu masih buram karena jarak, dan ketika sudah mulai terlihat wujudnya, suara Fin menggema di kepalaku.[“Aku tidak bisa lebih dekat lagi.”]Itu sudah membuatku terkejut. Jadi, tiba-tiba aku menghentikan gerakan—aku hanya melayang di udara. Falcon mendadak berhenti, yang juga ikut membuat P
Semestinya kami meneruskan perjalanan, tetapi Profesor Merla menyebut gagasan bagus: “Lebih baik kita tunggu koordinat. Rasanya sia-sia kalau kita sudah berjalan jauh, tapi akhirnya juga akan lewat jalur udara.”“Kita setuju pakai jalur udara?” tanyaku.“Aku setuju,” kata Reila, langsung.“Itu lebih efisien,” kata Profesor Merla.“Baiklah, aku juga setuju,” kataku.Maka kami beristirahat melebihi waktu yang direncanakan. Wilayah sekitar kami tampaknya bukan pedalaman hutan. Pepohonan memang banyak, tetapi tidak terlalu seperti kedalaman hutan. Pohon-pohonnya cenderung lebih pendek dan tak terlalu lebat. Batangnya barangkali besar, tetapi jarak antar pohon lumayan lengang. Kurasa aku mengerti mengapa tim Lavi bisa sampai berpikir sedang mengitari area gunung. Wilayah ini memang tidak seperti jalur memasuki gunung.Kami duduk di bebatuan yang tertutup semak tinggi. Bebatuan besar juga
Sekitar setengah jam kami berjalan, ketika kami menelusuri hutan belantara yang kiri kanannya hanya semak tinggi, Reila terbangun sepenuhnya.Dia bergumam di bahuku. “Kak?”Aku menoleh, melihat matanya terbuka. Profesor Merla juga melihat. Kami berjalan beriringan. Begitu Reila membuka mata, kami langsung tahu. Lagi-lagi di antara semua yang bisa Reila ucapkan sebagai kata-kata sambutan, dia memutuskan berkata hal menyedihkan, “Maaf. Aku pasti menghambat.”“Bicara apa kau ini?” balasku.“Karena aku tidur, Kakak berangkat belakangan.”“Kau bermimpi soal itu?”“...tidak.”“Berarti kau tidak tahu apa yang terjadi. Jangan menyimpulkan sendiri.”Dia terdiam. Profesor Merla tidak bicara. Aku masih menggendong Reila.Lalu setelah beberapa waktu, setelah Profesor Merla menghalau rerumputan tinggi yang menghalangi jalur kami—dan aku memberit
Profesor Merla bilang aku juga perlu istirahat, jadi aku memejamkan mata sejenak—berharap tidak tertidur, dan ternyata aku tertidur. Aku yakin tidak tertidur. Kesadaranku masih tersisa ketika mataku terpejam. Apa yang kulihat hanya gelap, tetapi ketika aku membuka mata lagi, Profesor Merla bilang, “Cepat sekali tidurmu. Kupikir kau bakal tidur sampai jam sembilan.”“Apa?” Aku langsung bangkit. “Sekarang jam berapa?”“Hampir delapan.”Kesadaranku benar-benar langsung kembali. Entah bagaimana caranya aku sudah berbaring di pangkuan Profesor Merla di sisi kiri—dan aku mendapati Reila di sisi kanan. Profesor Merla tersenyum.“Tenang,” katanya. “Selama kau bisa tahu posisi Lavi, kita bisa menyusul dengan cara apa pun. Kita bisa lewat udara seperti kalian. Istirahatlah.”Itu memang benar. Aku mengendurkan kesiapanku lagi.Profesor Merla masih belum berhenti terseny
Tim Lavi berangkat sekitar sepuluh menit sejak keputusan keluar. Mereka berangkat dengan empat orang: Jenderal, Nadir, Lavi, Leo. Mereka akan berjelajah sesuai ingatan Leo dan melaporkannya secara berkala ke kepalaku. Lavi kali ini tak kelihatan cemas atau dihantui ketakutan, dia hanya tersenyum seperti biasa, bahkan sempat berkata, “Jangan merindukanku. Jangan mencemaskanku.”“Tutup mulutmu, beri aku jimat,” kataku.“Tidak mau. Kalau terlalu sering nanti tidak istimewa lagi.”Aku cemberut. Dia tertawa. Lalu dengan gerakan tak terduga, dia mendekat dan mengecupku. Kejadian itu berlalu sangat cepat sampai aku hanya bisa bereaksi dengan mengangkat alis. Dan dia tidak berniat menegaskannya lagi karena sudah bangkit dan melambaikan tangan. “Dadah, Kuda Putih.”Lavi melakukan hal sama—menoleh ke belakang dan melambaikan tangan hingga lenyap ditelan barisan pohon. Bedanya, kini dia tersenyum lebar.Ak