Kondisi sudah terlalu gelap untuk memutuskan lanjut perjalanan. Mau tak mau kami harus beristirahat, yang masalahnya: lanjut misi atau pulang.
Jadi, kami berunding. Kami sudah cukup jauh dari puing-puing lokasi utama pertempuran. Ketika kami memutuskan berjalan, aku bilang kalau bisa merasakan keberadaan gua yang cukup aman—setidaknya, berjarak delapan ratus meter dari lokasi utama pertempuran. Itu membuat Reila mengerutkan kening, heran mengapa aku bisa melacak area sampai sejauh itu, dan kubilang kalau aku memusatkannya ke satu tempat. Aku tidak bilang kalau arah yang kutuju sebagai area pelacakan itu dengan asumsi kami melanjutkan misi.
Kami berunding melanjutkan misi atau tidak di gua itu. Ketika kami tiba di sana, langit sudah sangat gelap dan tidak ada pilihan selain beristirahat. Medannya tidak terlalu curam, tetapi kami tahu ada di dekat ketinggian. Gua ini ada di dekat tebing. Profesor Merla merasa tempat itu cukup aman untuk istirahat. Ketinggian langit
Keesokan harinya, misi masih berlanjut.Kami berangkat lebih terlambat dari jam yang sudah direncanakan—pelaku utamanya: aku. Aku tertidur lagi setelah berjaga tiga jam. Profesor Merla tidak mau membangunkanku, jadi kami baru berdiskusi sekitar jam sepuluh.“Kurasa tidak ada masalah melanjutkan misi,” kataku.“Merasa bersalah, ya?” sahut Reila.“Tidak, kok.”“Kemarin siapa, ya, yang paling menentang lanjut misi gara-gara waktunya mepet? Kalau pakai asumsi kemarin, harusnya kita sedang di jalan, kan? Biar tidak mepet waktu untuk pulang? Gara-gara siapa, ya, kita tidak jadi berangkat?”“Aku tidak sengaja ketiduran,” belaku. “Kau sendiri tidurnya meninjuku.”“Kok, menyalahkanku?”“Aku jadi bangun terus gara-gara ditinju.”“Sebagai pembelaan, aku tidak pernah sebrutal itu kalau tidur.”“Mana ada oran
Kami berhenti ketika area sekitar hanya ada pepohonan dan tanaman yang rimbun. Sulit melihat apa yang ada di depan karena vegetasi menutupi sekitar, tetapi kami berhenti, dan aku berjongkok, lebih memusatkan kemampuan deteksi.Aku merasakan keberadaan manusia. Tidak jauh.“Empat ratus meter,” kataku, pelan. “Mereka beriringan seperti kita.”“Berapa orang?” tanya Profesor Merla.“Enam—tidak, tujuh. Auranya aneh. Mereka blasteran.”“Ada yang pemilik keganjilan biasa?” tanya Reila.“Sejauh yang kurasakan tidak ada.”Reila menatap Profesor Merla. “Mungkin itu bekas pasukan Sendi Enam. Atau bisa jadi Sendi Sepuluh yang terpisah.”Aku menatap mereka.“Bagaimana?”Profesor Merla yang mengatakannya: “Sergap satu. Habisi sisanya.”Aku selalu merasakan pertentangan ketika akan menghadapi pertempuran. Pada
Dua monster raksasa bukan masalah besar bagi kami.Kami menghindar bersama ketika monster itu meninju tanah, membuatnya bergetar dan meretakkannya. Pohon-pohon tumbang, getarannya semakin besar.Aku melayang. Reila di sebelahku. Reila membuatku melayang.Kami menghadapi satu monster. Profesor Merla satu.Jadi, Reila mengangkat pohon-pohon yang tumbang, mengarahkannya tepat ke monster itu—dan bukan main, dia mengarahkannya ke mata. Kena telak. Dengan segera, raungan menyakitkan monster terdengar. Dia kehilangan keseimbangan—limbung, menjatuhkan lutut, lalu dari bawah, aku menumbuhkan pohon.Kupikirkan dia akan tertusuk di rongga dada, tetapi tidak.Itu membuatnya seperti dipukul di rongga dada.“Kurang runcing,” komentar Reila.“Aku tidak memperhitungkan itu,” kataku, mengganti serangan.Aku memakai serangan angin dari atas, membentuk tekanan angin lumayan kuat, dan berhasil: menyayat p
Dua jam berikutnya, Reila sudah menopang satu tangannya ke bahuku saat kami tanpa henti menaiki jalur naik yang dipenuhi rerumputan licin.“Aku heran bagaimana kau bisa selelah ini saat naik gunung padahal selama ini kau latihan sampai brutal,” kataku. “Kau merasa tidak enak badan?”“Energi dan stamina itu dua hal berbeda,” keluhnya.“Itu konsep yang benar, tapi bukan itu yang kupertanyakan.”“Masih jauh?”“Lima menit lagi.”“AKH!” Dia jengkel, tetapi tidak ingin membuang tenaga untuk marah.Pada akhirnya, kami terus berjalan dan Reila semakin lambat. Sebenarnya Lavi memakaikan salah satu jam tangannya padaku—yang agak aneh karena model jam tangan ini untuk cewek—tetapi aku merasa bersalah karena talinya putus sejak pertempuran puing-puing. Kabar baiknya, jarum jamnya masih berdetak. Itu cukup membantuku mengetahui estimasi perjalanan kami.
Aku membangunkan Reila ketika kami tiba di titik dua.Begitu matanya terbuka, dia langsung panik seolah tidak sadar sudah tidur sepanjang sisa perjalanan. Dia bereaksi sangat persis sepertiku.“M-Maaf. Aku tidak sengaja ketiduran.” Dia langsung melompat turun dari punggung, sempoyongan, jadi aku menangkapnya lagi, memberinya waktu.“Kau membuatku pegal sepanjang perjalanan, jadi sewaktu kita di Padang Anushka nanti, kau harus memijatku,” kataku. “Dan lupakan semua rasa bersalah itu karena kita sudah tiba. Apa aku perlu menyirammu dengan air tanah bersih?”Reila menggeleng, belum bisa diajak bercanda.Aku juga tidak mau menyalahkannya karena sebagian besar alasan dia bisa tidur sepulas itu karena aku membuatnya tertidur—aku bukan berniat membuat dia tidur, tetapi karena dia tidur, aku membuatnya semakin lelap. Dia tidur sepanjang siang. Sekarang sudah lumayan sore.Dan tidak bisa dipungkiri bahwa lang
Profesor Merla dan Reila naik, melihat bagian dalam candi.Benar-benar persis sama dengan apa yang kulihat—tentu saja. Memangnya mereka akan lihat hal berbeda? Aku sempat berharap tempat ini punya hal aneh yang disembunyikan. Sejak memasuki titik dua, firasatku tidak tenang.Reila mengelilingi bagian dalam candi yang sempit itu, sementara aku dan Profesor Merla menatap tiang yang mirip untuk persembahan.“Jadi, tidak ada markas musuh di titik dua?” tanya Reila, tiba-tiba.“Tidak ada. Benar-benar hanya hutan biasa,” kataku.“Lalu kenapa mereka mengarah ke sini?”“Itu pertanyaannya. Aku berharap candi ini jawabannya. Tapi tak ada siapa-siapa di sini. Benar-benar hanya candi yang kosong, tapi aneh.”“Tapi aneh,” ulang Reila. “Sebenarnya apa yang aneh?”“Itu yang kucari. Apa, ya, yang aneh?”Reila menatapku tidak yakin. Profesor Merla j
Darahku membeku ketika kami menemukan pondok di gunung itu.Benar-benar sama dengan pondok tempatku dibesarkan—mulai dari bentuk, tata letak sekitarnya—sungguh di bawah pondok itu terdapat sungai jernih dengan jembatan kecil, lalu ada pekarangan luas yang tertutup pohon di sisi barat pondok, ada suara sapi di selatan pondok, agak jauh, yang itu artinya ada peternakan kecil di sana, dan yang membuatku membeku: nuansa Aza membekas di sana.Meskipun begitu, aku tahu ini berbeda dengan pondok tempatku dibesarkan. Di sini tidak ada jalur khusus air yang dibuat olehku dan Aza yang kami buat saat hujan deras hampir membanjiri pondok. Jalur air itu memiliki bunga-bunga cantik yang tumbuh di setiap sisi jalur, lalu terhubung langsung dengan sungai. Jembatan kecil di tempat kami juga bukan lagi sekadar jembatan kecil yang rapuh, jembatan kami sudah diperbarui dan sedikit lebih tinggi, memiliki pegangan, dan memiliki tali yang terhubung dari satu ujung ke ujung yang l
Aku sedang duduk di beranda depan menghabiskan penghujung malam.Suasananya begitu menghanyutkan. Suara hutan tengah malam, ditambah suara aliran air sungai—aku bisa saja terlelap sekarang, tetapi kuputuskan duduk di beranda depan tanpa kursi. Hanya duduk di atas lantai dan merasakan angin yang berembus di area yang hampir puncak gunung. Dingin.Profesor Merla dan Reila tertidur di lokasi yang mirip dengan ruangan Aza. Semata-mata aku ingin tidur di letak yang sama seperti ruanganku dulu. Profesor Merla sudah berjalan lebih dari setengah hari dan terus berjaga, mungkin dia sudah terlelap lebih dulu. Lagi pula, nuansa pondok Aza cocok untuk tidur. Kasur yang ada pun entah bagaimana terasa empuk seperti bisa menyerap rasa lelah. Aku bisa langsung terlelap bila berbaring di sana, tetapi benakku tidak tenang.Aku menatap kegelapan malam hutan. Sangat beda dari Padang Anushka. Lebih asing, liar, dan hampa, tetapi tidak mengancam.“Yang sudah mengge