Beranda / Fantasi / Selubung Memori / 518. KAKAK ADIK #4

Share

518. KAKAK ADIK #4

last update Terakhir Diperbarui: 2024-07-15 14:00:18

Dua jam berikutnya, Reila sudah menopang satu tangannya ke bahuku saat kami tanpa henti menaiki jalur naik yang dipenuhi rerumputan licin.

“Aku heran bagaimana kau bisa selelah ini saat naik gunung padahal selama ini kau latihan sampai brutal,” kataku. “Kau merasa tidak enak badan?”

“Energi dan stamina itu dua hal berbeda,” keluhnya.

“Itu konsep yang benar, tapi bukan itu yang kupertanyakan.”

“Masih jauh?”

“Lima menit lagi.”

“AKH!” Dia jengkel, tetapi tidak ingin membuang tenaga untuk marah.

Pada akhirnya, kami terus berjalan dan Reila semakin lambat. Sebenarnya Lavi memakaikan salah satu jam tangannya padaku—yang agak aneh karena model jam tangan ini untuk cewek—tetapi aku merasa bersalah karena talinya putus sejak pertempuran puing-puing. Kabar baiknya, jarum jamnya masih berdetak. Itu cukup membantuku mengetahui estimasi perjalanan kami.

Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Selubung Memori   519. KAKAK ADIK #5

    Aku membangunkan Reila ketika kami tiba di titik dua.Begitu matanya terbuka, dia langsung panik seolah tidak sadar sudah tidur sepanjang sisa perjalanan. Dia bereaksi sangat persis sepertiku.“M-Maaf. Aku tidak sengaja ketiduran.” Dia langsung melompat turun dari punggung, sempoyongan, jadi aku menangkapnya lagi, memberinya waktu.“Kau membuatku pegal sepanjang perjalanan, jadi sewaktu kita di Padang Anushka nanti, kau harus memijatku,” kataku. “Dan lupakan semua rasa bersalah itu karena kita sudah tiba. Apa aku perlu menyirammu dengan air tanah bersih?”Reila menggeleng, belum bisa diajak bercanda.Aku juga tidak mau menyalahkannya karena sebagian besar alasan dia bisa tidur sepulas itu karena aku membuatnya tertidur—aku bukan berniat membuat dia tidur, tetapi karena dia tidur, aku membuatnya semakin lelap. Dia tidur sepanjang siang. Sekarang sudah lumayan sore.Dan tidak bisa dipungkiri bahwa lang

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-17
  • Selubung Memori   520. KAKAK ADIK #6

    Profesor Merla dan Reila naik, melihat bagian dalam candi.Benar-benar persis sama dengan apa yang kulihat—tentu saja. Memangnya mereka akan lihat hal berbeda? Aku sempat berharap tempat ini punya hal aneh yang disembunyikan. Sejak memasuki titik dua, firasatku tidak tenang.Reila mengelilingi bagian dalam candi yang sempit itu, sementara aku dan Profesor Merla menatap tiang yang mirip untuk persembahan.“Jadi, tidak ada markas musuh di titik dua?” tanya Reila, tiba-tiba.“Tidak ada. Benar-benar hanya hutan biasa,” kataku.“Lalu kenapa mereka mengarah ke sini?”“Itu pertanyaannya. Aku berharap candi ini jawabannya. Tapi tak ada siapa-siapa di sini. Benar-benar hanya candi yang kosong, tapi aneh.”“Tapi aneh,” ulang Reila. “Sebenarnya apa yang aneh?”“Itu yang kucari. Apa, ya, yang aneh?”Reila menatapku tidak yakin. Profesor Merla j

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-19
  • Selubung Memori   521. KAKAK ADIK #7

    Darahku membeku ketika kami menemukan pondok di gunung itu.Benar-benar sama dengan pondok tempatku dibesarkan—mulai dari bentuk, tata letak sekitarnya—sungguh di bawah pondok itu terdapat sungai jernih dengan jembatan kecil, lalu ada pekarangan luas yang tertutup pohon di sisi barat pondok, ada suara sapi di selatan pondok, agak jauh, yang itu artinya ada peternakan kecil di sana, dan yang membuatku membeku: nuansa Aza membekas di sana.Meskipun begitu, aku tahu ini berbeda dengan pondok tempatku dibesarkan. Di sini tidak ada jalur khusus air yang dibuat olehku dan Aza yang kami buat saat hujan deras hampir membanjiri pondok. Jalur air itu memiliki bunga-bunga cantik yang tumbuh di setiap sisi jalur, lalu terhubung langsung dengan sungai. Jembatan kecil di tempat kami juga bukan lagi sekadar jembatan kecil yang rapuh, jembatan kami sudah diperbarui dan sedikit lebih tinggi, memiliki pegangan, dan memiliki tali yang terhubung dari satu ujung ke ujung yang l

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-21
  • Selubung Memori   522. KAKAK ADIK #8

    Aku sedang duduk di beranda depan menghabiskan penghujung malam.Suasananya begitu menghanyutkan. Suara hutan tengah malam, ditambah suara aliran air sungai—aku bisa saja terlelap sekarang, tetapi kuputuskan duduk di beranda depan tanpa kursi. Hanya duduk di atas lantai dan merasakan angin yang berembus di area yang hampir puncak gunung. Dingin.Profesor Merla dan Reila tertidur di lokasi yang mirip dengan ruangan Aza. Semata-mata aku ingin tidur di letak yang sama seperti ruanganku dulu. Profesor Merla sudah berjalan lebih dari setengah hari dan terus berjaga, mungkin dia sudah terlelap lebih dulu. Lagi pula, nuansa pondok Aza cocok untuk tidur. Kasur yang ada pun entah bagaimana terasa empuk seperti bisa menyerap rasa lelah. Aku bisa langsung terlelap bila berbaring di sana, tetapi benakku tidak tenang.Aku menatap kegelapan malam hutan. Sangat beda dari Padang Anushka. Lebih asing, liar, dan hampa, tetapi tidak mengancam.“Yang sudah mengge

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-23
  • Selubung Memori   523. KAKAK ADIK #9

    Aku membangunkan Profesor Merla dan Reila.Kami punya rencana untuk pergi pagi-pagi buta, bahkan sebelum matahari terbit—semalam kami membicarakan itu penuh semangat, tetapi kini, bahkan dua jam setelah matahari terbit, mereka masih terlelap. Aku tidak berniat membiarkan banyak makanan itu terdiam terlalu lama, jadi aku membangunkan mereka.Profesor Merla berhasil terbangun. Awalnya dia panik, terkejut karena tidak sadar sudah tidur terlalu lama. Namun, entah bagaimana tiba-tiba dia menganggap itu wajar. Bahkan dia berkata dengan suara yang masih agak sumbang. “Sungguh, ini pertama kali aku bisa tidur senyenyak ini di tengah misi. Rasanya seperti sudah di Padang Anushka. Jam berapa sekarang?”“Tujuh lebih,” kataku. “Kau kelihatan segar.”“Sudah mandi. Airnya segar sekali. Ada baju di lemari. Dan ada makanan di luar. Dan masih ada banyak lagi. Sebaiknya Bibi bersiap—dan kau.” Aku ter

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-25
  • Selubung Memori   524. TIM KOMBAT #!

    Padang Anushka berhasil terlihat lagi saat hari sudah gelap.Sungguh, rasanya lebih melelahkan dari apa pun. Reila bahkan sudah begitu kepayahan sampai dia berhasil mengerahkan sisa tenaganya untuk menghela napas lega mendapati kabut tipis yang menyembunyikan wujud jembatan perbatasan. Dan perlu kuakui kalau aku juga sangat lega bisa mendapati jembatan ini. Mengarungi alam liar lebih dari setengah hari membuatku terus berhalusinasi kalau kami tidak akan bisa bertemu Padang Anushka lagi. Untuk ukuran Profesor Merla yang tidak khawatir di alam liar untuk semalam lagi saja juga menyuarakan kelegaan.Kalau harus menggambarkan seberapa kejam jalur yang kami lalui—jalur kembali kami adalah jalur yang berhasil membuat Reila percaya pada kata, “Lima menit lagi, sungguh, sudah di depan,” dan sebagai orang yang mengatakannya, aku juga ingin percaya kalau kami akan tiba dalam lima menit. Sayangnya, titik Padang Anushka tidak kunjung terlihat sampai aku telah men

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-27
  • Selubung Memori   525. TIM KOMBAT #2

    Malam itu, aku sedang berusaha terlelap di gerha Lavi.Sebenarnya aku sudah berusaha terlelap di gerhaku sendiri. Setelah semua yang terjadi—kelelahan yang menumpuk, harusnya aku bisa segera tidur. Namun, sekuat dan sedalam apa pun aku memejamkan mata, kesadaranku tidak bisa pergi. Aku terus terjaga. Jarum jam sudah melewati tengah malam dan aku bisa merasakan tubuhku pegal dan lelah. Harusnya aku terlelap. Maka karena aku kesulitan tidur, kuputuskan menghampiri orang yang bisa membuatku nyaman.Sebenarnya ketika diam-diam aku menembus pekarangan gerha, aku sudah bisa merasakan bahwa hawa kehadiran Lavi tidak ada di gerhanya. Hanya saja, aku tetap lanjut, masuk gerhanya, dan benar. Lavi tidak ada di mana-mana. Kurasakan kehadirannya ke seluruh penjuru Padang Anushka, dia agak terasa berada di Balai Dewan. Tampaknya masih di tempat Jesse. Kuakui benakku agak kecewa, tetapi aku tidak ingin kembali begitu saja ke gerha. Jadi, di antara semua pilihan yang ada, kuputu

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-29
  • Selubung Memori   526. TIM KOMBAT #3

    Aku terbangun di dekapan Lavi. Dia terlelap sembari menenggelamkanku padanya. Jadi, di momen saat mataku terbuka, dadaku langsung menghangat lagi.Dan tampaknya aku terlalu banyak bergerak, sehingga Lavi mulai tergugah.Aku langsung menempelkan keningku padanya. Perlahan, matanya terbuka dan dia langsung tersenyum di detik pertamanya berhasil meraih kesadaran.“Aku berhasil tidur,” kataku, mengumumkan.“Iya. Aku punya kata-kata untukmu.”“Aku bakal senang dengarnya.”“Aku tidak merestuimu berangkat di rangkaian misi berikutnya.”Itu hal paling mencengangkan yang pernah kudengar sehabis bangun tidur.Kupikirkan bahwa Lavi sudah memikirkan itu sejak menemukanku kembali dalam pertempuran melawan jumlah yang tidak imbang—dia pasti sudah berulang kali mempertimbangkan itu sejak mendengar semua laporan. Karena itulah, ketika aku sulit tidur dan dia membicarakan betapa kesal diriny

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-31

Bab terbaru

  • Selubung Memori   613. HUTAN BEKU #1

    Pencarian tetap dilanjutkan. Timnya tetap. Jadi, Lavi bertahan denganku di ruangan itu sampai setidaknya aku bisa bergerak lancar lagi. Semua orang percaya Lavi tidak akan membuatku melakukan hal aneh-aneh, dan kuakui itu benar. Hanya dengan melihat Lavi yang kacau saja, aku tahu tidak akan bisa aneh-aneh—meski hal yang kulakukan tadi tidak kurencanakan untuk berakhir seaneh itu.Aku hanya menyandarkan punggung di gundukan tanah, dan Lavi duduk di sisiku. Kurang lebih, kami hening beberapa saat.“Aku,” kata Lavi, “tahu kau takkan kenapa-kenapa.”“Ya,” kataku.“Tapi tadi... aku merasa bakal kehilanganmu. Aku takut.”“Ya.”“Jangan membuatku jantungan lagi. Aku tidak suka melihatnya.”“Ya,” kali ini aku berjanji.Tubuhku sudah lumayan ringan. Setidaknya, kembali seperti sebelum aku melakukan rangkaian pelepasan energi besar. Jadi, alih-alih L

  • Selubung Memori   612. GUA TEBING #9

    Reila berniat menyergahku dengan beragam pertanyaan—sudah kelihatan dari wajahnya, tetapi kubilang, “Lavi.”Aku hanya menyebut namanya, tetapi Lavi mengerti. Dia mendekat ke Reila yang membuat Reila heran, tetapi Lavi tidak menunggu tuntutan Reila karena sudah meminta Reila menjauh dan berkata, “Jangan terlalu banyak menuntut pada orang yang berusaha menggapai informasi. Aku bisa mengerti kau ingin bertemu ibumu, tapi sebagai tim dan sebagai orang yang dipercaya, aku harus menahanmu.”Reila semakin ingin menuntut, tetapi aura Lavi mendadak menajam.Kurang lebih itu dirasakan Profesor Merla dan Leo juga.“Lavi, jangan terlalu menekannya,” kataku.“Maaf,” kata Lavi.Aku mengulurkan lengan seperti berusaha menggapai sesuatu. Di depanku hanya ada dinding tanah, tetapi aku tetap di posisi itu dan mulai memejamkan mata. Kurasakan aliran energi di sekitar. Kurasakan aura Ibu. Kurasakan juga aura

  • Selubung Memori   611. GUA TEBING #8

    Tidak lama kemudian, Leo dan Jenderal muncul dari kegelapan gua.Aku sudah duduk bersama Reila di tumpukan batu. Begitu menyadari Leo dan Jenderal yang kembali, Reila langsung mengangkat kepala. Namun, mendapati ekspresi yang dibuat Leo, kami semua tahu jawabannya.“Tidak ada,” Leo tetap menjelaskan.“Tidak ada petunjuk juga?” tanya Nadir.“Kami belum sedetail itu mencarinya. Hanya memasuki ruangan terdekat. Bagian dalamnya benar-benar gelap. Tidak ada penerangan. Tapi udara masih ada. Kita masih bisa bernapas normal. Kemampuan Helvin tidak sepenuhnya hilang—dan... ya, masih ada kemungkinan Bibi Meri ada di bagian dalam. Bibi Meri mampu merasakan ujung lain gua. Mungkin dia berjalan menelusuri itu.”Aku tahu Leo bermaksud menenangkan kami dengan gagasan itu.Namun, aku juga tahu apa yang sudah kupikirkan. Kemungkinannya sangat kecil Ibu bisa menelusuri gua gelap yang bahkan belum pernah dia kunjungi&

  • Selubung Memori   610. GUA TEBING #7

    Pintu gua itu lebih mirip seperti cekungan tanah raksasa yang menjorok ke dalam. Bebatuan raksasa menutupi sebagian besar pintu masuk, jadi kesimpulan itu tepat: pintu gua ini tertutup. Dan sangat rapi seolah bukan dengan bebatuan, tetapi dengan tanah yang berbentuk sama seperti pola dinding tebing sekitarnya.Bagian dalamnya gelap. Sangat gelap. Aku seperti melihat kegelapan yang berniat menelanku. Pintu masuk gua hanya terbuka sebagian. Itu artinya, cahayanya juga sangat minim. Hanya bisa masuk sekitar setengah pintu masuk gua. Cahayanya hanya bisa mencapai beberapa meter dari mulut gua.Lavi sedang duduk di bagian dalam gua, tidak jauh dari bebatuan yang jatuh bersama Nadir. Jenderal dan Leo tidak ada batang hidungnya. Lavi melihat kami yang tiba di mulut gua, dan dia langsung berdiri, mengulurkan tangan padaku yang berdiri di mulut gua. Aku tidak bergerak, hanya menatap kegelapan di dalam gua. Lavi langsung memelukku.“Bersabarlah, jangan berpikir aneh

  • Selubung Memori   609. GUA TEBING #6

    [“Forlan, darurat. Turunlah saat kau sudah bisa lihat tebing.”]Aku sudah bisa melihat keberadaan tebing di kejauhan. Hanya saja, belum sempat aku bertanya mengapa Lavi meminta seperti itu, kurasakan Lavi memudar. Semakin sering kami terhubung, aku juga semakin mengerti seperti apa rasanya saat Lavi tak lagi memusatkan fokusnya untuk terhubung. Ketika kami terhubung, Lavi rasanya seperti melekat di kepalaku. Namun, saat komunikasi telah terputus, Lavi seperti meleleh. Aku tahu dia tidak akan menyahut.Tebing itu terlihat tidak terlalu tinggi hingga aku melihat bawah. Kusadari permukaan tanah sudah turun jauh. Tebing itu masih buram karena jarak, dan ketika sudah mulai terlihat wujudnya, suara Fin menggema di kepalaku.[“Aku tidak bisa lebih dekat lagi.”]Itu sudah membuatku terkejut. Jadi, tiba-tiba aku menghentikan gerakan—aku hanya melayang di udara. Falcon mendadak berhenti, yang juga ikut membuat P

  • Selubung Memori   608. GUA TEBING #5

    Semestinya kami meneruskan perjalanan, tetapi Profesor Merla menyebut gagasan bagus: “Lebih baik kita tunggu koordinat. Rasanya sia-sia kalau kita sudah berjalan jauh, tapi akhirnya juga akan lewat jalur udara.”“Kita setuju pakai jalur udara?” tanyaku.“Aku setuju,” kata Reila, langsung.“Itu lebih efisien,” kata Profesor Merla.“Baiklah, aku juga setuju,” kataku.Maka kami beristirahat melebihi waktu yang direncanakan. Wilayah sekitar kami tampaknya bukan pedalaman hutan. Pepohonan memang banyak, tetapi tidak terlalu seperti kedalaman hutan. Pohon-pohonnya cenderung lebih pendek dan tak terlalu lebat. Batangnya barangkali besar, tetapi jarak antar pohon lumayan lengang. Kurasa aku mengerti mengapa tim Lavi bisa sampai berpikir sedang mengitari area gunung. Wilayah ini memang tidak seperti jalur memasuki gunung.Kami duduk di bebatuan yang tertutup semak tinggi. Bebatuan besar juga

  • Selubung Memori   607. GUA TEBING #4

    Sekitar setengah jam kami berjalan, ketika kami menelusuri hutan belantara yang kiri kanannya hanya semak tinggi, Reila terbangun sepenuhnya.Dia bergumam di bahuku. “Kak?”Aku menoleh, melihat matanya terbuka. Profesor Merla juga melihat. Kami berjalan beriringan. Begitu Reila membuka mata, kami langsung tahu. Lagi-lagi di antara semua yang bisa Reila ucapkan sebagai kata-kata sambutan, dia memutuskan berkata hal menyedihkan, “Maaf. Aku pasti menghambat.”“Bicara apa kau ini?” balasku.“Karena aku tidur, Kakak berangkat belakangan.”“Kau bermimpi soal itu?”“...tidak.”“Berarti kau tidak tahu apa yang terjadi. Jangan menyimpulkan sendiri.”Dia terdiam. Profesor Merla tidak bicara. Aku masih menggendong Reila.Lalu setelah beberapa waktu, setelah Profesor Merla menghalau rerumputan tinggi yang menghalangi jalur kami—dan aku memberit

  • Selubung Memori   606. GUA TEBING #3

    Profesor Merla bilang aku juga perlu istirahat, jadi aku memejamkan mata sejenak—berharap tidak tertidur, dan ternyata aku tertidur. Aku yakin tidak tertidur. Kesadaranku masih tersisa ketika mataku terpejam. Apa yang kulihat hanya gelap, tetapi ketika aku membuka mata lagi, Profesor Merla bilang, “Cepat sekali tidurmu. Kupikir kau bakal tidur sampai jam sembilan.”“Apa?” Aku langsung bangkit. “Sekarang jam berapa?”“Hampir delapan.”Kesadaranku benar-benar langsung kembali. Entah bagaimana caranya aku sudah berbaring di pangkuan Profesor Merla di sisi kiri—dan aku mendapati Reila di sisi kanan. Profesor Merla tersenyum.“Tenang,” katanya. “Selama kau bisa tahu posisi Lavi, kita bisa menyusul dengan cara apa pun. Kita bisa lewat udara seperti kalian. Istirahatlah.”Itu memang benar. Aku mengendurkan kesiapanku lagi.Profesor Merla masih belum berhenti terseny

  • Selubung Memori   605. GUA TEBING #2

    Tim Lavi berangkat sekitar sepuluh menit sejak keputusan keluar. Mereka berangkat dengan empat orang: Jenderal, Nadir, Lavi, Leo. Mereka akan berjelajah sesuai ingatan Leo dan melaporkannya secara berkala ke kepalaku. Lavi kali ini tak kelihatan cemas atau dihantui ketakutan, dia hanya tersenyum seperti biasa, bahkan sempat berkata, “Jangan merindukanku. Jangan mencemaskanku.”“Tutup mulutmu, beri aku jimat,” kataku.“Tidak mau. Kalau terlalu sering nanti tidak istimewa lagi.”Aku cemberut. Dia tertawa. Lalu dengan gerakan tak terduga, dia mendekat dan mengecupku. Kejadian itu berlalu sangat cepat sampai aku hanya bisa bereaksi dengan mengangkat alis. Dan dia tidak berniat menegaskannya lagi karena sudah bangkit dan melambaikan tangan. “Dadah, Kuda Putih.”Lavi melakukan hal sama—menoleh ke belakang dan melambaikan tangan hingga lenyap ditelan barisan pohon. Bedanya, kini dia tersenyum lebar.Ak

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status