Malam itu, aku sedang berusaha terlelap di gerha Lavi.
Sebenarnya aku sudah berusaha terlelap di gerhaku sendiri. Setelah semua yang terjadi—kelelahan yang menumpuk, harusnya aku bisa segera tidur. Namun, sekuat dan sedalam apa pun aku memejamkan mata, kesadaranku tidak bisa pergi. Aku terus terjaga. Jarum jam sudah melewati tengah malam dan aku bisa merasakan tubuhku pegal dan lelah. Harusnya aku terlelap. Maka karena aku kesulitan tidur, kuputuskan menghampiri orang yang bisa membuatku nyaman.
Sebenarnya ketika diam-diam aku menembus pekarangan gerha, aku sudah bisa merasakan bahwa hawa kehadiran Lavi tidak ada di gerhanya. Hanya saja, aku tetap lanjut, masuk gerhanya, dan benar. Lavi tidak ada di mana-mana. Kurasakan kehadirannya ke seluruh penjuru Padang Anushka, dia agak terasa berada di Balai Dewan. Tampaknya masih di tempat Jesse. Kuakui benakku agak kecewa, tetapi aku tidak ingin kembali begitu saja ke gerha. Jadi, di antara semua pilihan yang ada, kuputu
Aku terbangun di dekapan Lavi. Dia terlelap sembari menenggelamkanku padanya. Jadi, di momen saat mataku terbuka, dadaku langsung menghangat lagi.Dan tampaknya aku terlalu banyak bergerak, sehingga Lavi mulai tergugah.Aku langsung menempelkan keningku padanya. Perlahan, matanya terbuka dan dia langsung tersenyum di detik pertamanya berhasil meraih kesadaran.“Aku berhasil tidur,” kataku, mengumumkan.“Iya. Aku punya kata-kata untukmu.”“Aku bakal senang dengarnya.”“Aku tidak merestuimu berangkat di rangkaian misi berikutnya.”Itu hal paling mencengangkan yang pernah kudengar sehabis bangun tidur.Kupikirkan bahwa Lavi sudah memikirkan itu sejak menemukanku kembali dalam pertempuran melawan jumlah yang tidak imbang—dia pasti sudah berulang kali mempertimbangkan itu sejak mendengar semua laporan. Karena itulah, ketika aku sulit tidur dan dia membicarakan betapa kesal diriny
Begitu menyelesaikan sarapan, Lavi bergegas pergi.“Aku perlu bertemu Profesor Merla. Ada Kara, Jenderal, Jesse dan mungkin Haswin. Kami perlu membicarakan banyak hal soal semua informasi dari misimu. Bakal merepotkan, tapi aku senang melanjutkan apa yang sudah kau dapat.”“Aku tidak diundang?” tanyaku.“Memangnya mau?”“Tidak juga.”“Aku sudah tahu kau bakal bilang begitu.”Maka ketika Lavi memasuki Balai Dewan, aku kembali ke gerha, mendapati Fal sedang mengusap Pita yang menyantap makan paginya. Meski semalam sudah melihatnya terlelap, mendapati senyum Fal lebar nan polos yang disertai lengkingan suaranya membuatku begitu rindu seolah sudah seribu tahun tidak melihatnya.“FORLAN!” Dia menjerit—seperti biasa—melompat padaku.“Aku pulang, Fal!” Aku menangkapnya, menggendong dan memutar-mutar kami selagi dia tertawa di pelukanku. &ld
Aku ingin periksa ke klinik. Yasha dan Dalton memutuskan ikut.Kupikir Lavi juga di klinik karena sekilas kurasakan kehadirannya di sana, tetapi saat kami masuk, di ruang tunggu hanya ada Isha dan Tara. Mereka juga sibuk di tempat masing-masing yang membuat ruang utama itu begitu sunyi.“Kalian bertengkar?” tanyaku, saat kami masuk.“Kami bekerja,” koreksi Isha. “Kalau cari Lavi, tadi baru saja keluar. Tidak berpapasan di jalan? Kalian bertengkar, ya?”“Aku tidak kejar-kejaran dengannya.” Kami bertiga duduk di kursi panjang klinik, yang kurang lebih membuat Isha menutup buku seolah mengerti tiga cowok ini tidak akan keluar dalam waktu singkat. “Aku mau periksa,” kataku.“Ada keluhan?”“Aku teringat sesuatu penting.”“Ingatanmu?” sahut Tara, tiba-tiba tertarik. Dia memakai kacamata.“Bukan. Aku baru ingat kalau mengalami sesuatu
“Kau tidak kelihatan bermasalah,” kata Isha, setelah memerhatikan mataku lebih lama dari biasanya. Dia kelihatan benar-benar menelusuri sampai dalam.Aku berusaha untuk tidak tampak kecewa karena itu mampu membuat Isha berasumsi aku kecewa tidak kena pengaruh musuh. Barangkali Aza yang memberi sesuatu itu hanya perasaanku. Dan untuk bagian itu aku mengatakannya. “Kalau begitu, mungkin hanya perasaanku. Aku bisa lega.”“Memangnya kau merasakan sesuatu yang aneh?”“Dibilang merasakan sesuatu, lebih tepatnya, aku takut merasakannya.”“Dia pakai prinsip periksa sebelum kejadian,” komentar Yasha.Secara teknis, kami masih di ruang tunggu klinik, tetapi dengan pintu kaca yang terbuka lebar. Perbedaan lainnya: sudah bersih. Pintu utama klinik sebenarnya memang kaca dua arah. Mau bagaimana pun juga, bila tidak ditutup tirai, orang dari luar juga bisa melihat bagian dalam—begitu juga sebalikn
Begitu kembali dari ruangan Layla, aku tidak ingin terburu-buru. Ternyata Yasha juga masih di tempat—dan juga tidak terburu-buru. Kata Isha, “Itu cara yang bagus buat bilang kalian tidak punya pekerjaan.”Jadi, Yasha belajar meramu empon-empon dari Isha saat aku bercerita apa yang terjadi di misiku pada Tara. Sebenarnya Tara tidak berniat penasaran, tetapi aku ingin dia penasaran, jadi dia mendengarku. Kurang lebih dia takjub pada setiap hal yang kulakukan dalam pertempuran. “Profesor Merla sudah sedikit cerita,” kata Tara. “Isha juga dengar. Aku sudah takjub, tapi sekarang lebih takjub.”Kemudian Tara bertanya-tanya tentang blasteran yang kuhadapi—apakah mereka bisa melakukan hal-hal mustahil seperti menghilang, memanjangkan tubuh, memutus dan menyambungnya lagi—banyak sekali fantasinya soal itu, dan kuakui cukup menarik dan menegangkan karena aku belum pernah bertemu blasteran yang seperti itu—dan bukan bera
Perundingan itu masih terus berlanjut—yang semakin kusadari ini bukanlah perundingan. Ini hanya ajang untuk menjelaskan semua hal tentang musuh pada tim bertahan yang cukup jauh dari garis depan.Jadi, tim penyerang kebanyakan hanya hening. Aku juga tidak bicara sejak kami keluar dari obrolan pimpinan musuh. Kami mulai membicarakan sistem yang ada pada pasukan musuh—yang berhasil disimpulkan dari semua laporan misi sejak perang besar terakhir meletus. Pasukan musuh punya tiga hierarki utama—empat bila pimpinan tertinggi dihitung. Tangan kanan pimpinan musuh yang terdiri dari tiga orang tepat di bawahnya, kami menyebutnya: pasukan khusus, lalu menurun ke para komandan tempur, baru turun lagi ke sistem Sendi.“Kebanyakan musuh yang kita hadapi di alam liar selalu bagian dari Sendi,” ungkap Lavi. “Jarang sekali pasukan kita bertemu yang lebih tinggi dari itu.”“Ralat,” sergah Jesse, “kemungkinan besar pasu
Aku menyelesaikan pintu kaca klinik di hari yang sama saat kaca itu pecah, dan Lavi menemaniku ketika memasangnya. Dia bahkan membantu—tidak seperti Dalton yang lenyap tak bersisa. Pada saat itulah Dokter Gelda memberitahu Lavi kalau, “Besok kita mulai dari pagi sampai istirahat makan siang.”“Profesor Merla juga ikut?” tanya Lavi.“Begitu juga Asva. Cukup ramai. Jangan terlambat.”Aku baru tahu kalau Asva juga ikut dalam penelitian blasteran. Lavi bilang, “Asva sudah ikut sejak... misimu? Ya, saat aku terlibat lagi. Tim peneliti sekarang sudah terbagi-bagi. Jesse mulai membuat banyak perubahan. Belakangan aku sering ke ruangan mereka dan, yah, sesibuk apa pun itu mereka, ruangannya tidak sempit seperti dulu. Koordinasi mereka sangat bagus.”Kurasakan bahwa kedatangan kandidat baru generasi Hela benar-benar bisa mengubah struktur beberapa tim yang sejak lama membutuhkan personil.Besoknya, itu s
Biasanya saat aku berlatih dengan kemampuan khususku di hutan belakang tidak ada orang yang perhatiannya tertarik dan menengok. Namun, itu tidak berlaku untuk saat ini. Saat aku tengah mencoba teknik baru, Reila muncul dengan sapaan, “Gila. Tempat ini bisa hancur. Mending lawan aku saja sekarang.”Maka begitulah. Barangkali ini pertengkaran kakak adik paling mengerikan.Kami tidak berlatih seharian, hanya beberapa jam—Reila bukan tipe yang suka meladeni pertempuran kemampuan khusus terlalu lama, Reila biasanya bakal langsung menyerang membabi-buta, tipe yang senang mengakhiri dengan cepat. Itu membuat latihanku semakin terpusat dan tiba-tiba Reila sudah bilang, “Aku capek. Sampai sini dulu, deh. Tapi aku punya saran buat Kakak.”Karena dia memutuskan selesai, kuputuskan aku juga selesai.“Mau berkuda, tidak?” tawarku.“Siang-siang begini enaknya bersantai,” tolaknya.Aku tidak ingin bersa