Aku sedang duduk di beranda depan menghabiskan penghujung malam.
Suasananya begitu menghanyutkan. Suara hutan tengah malam, ditambah suara aliran air sungai—aku bisa saja terlelap sekarang, tetapi kuputuskan duduk di beranda depan tanpa kursi. Hanya duduk di atas lantai dan merasakan angin yang berembus di area yang hampir puncak gunung. Dingin.
Profesor Merla dan Reila tertidur di lokasi yang mirip dengan ruangan Aza. Semata-mata aku ingin tidur di letak yang sama seperti ruanganku dulu. Profesor Merla sudah berjalan lebih dari setengah hari dan terus berjaga, mungkin dia sudah terlelap lebih dulu. Lagi pula, nuansa pondok Aza cocok untuk tidur. Kasur yang ada pun entah bagaimana terasa empuk seperti bisa menyerap rasa lelah. Aku bisa langsung terlelap bila berbaring di sana, tetapi benakku tidak tenang.
Aku menatap kegelapan malam hutan. Sangat beda dari Padang Anushka. Lebih asing, liar, dan hampa, tetapi tidak mengancam.
“Yang sudah mengge
Aku membangunkan Profesor Merla dan Reila.Kami punya rencana untuk pergi pagi-pagi buta, bahkan sebelum matahari terbit—semalam kami membicarakan itu penuh semangat, tetapi kini, bahkan dua jam setelah matahari terbit, mereka masih terlelap. Aku tidak berniat membiarkan banyak makanan itu terdiam terlalu lama, jadi aku membangunkan mereka.Profesor Merla berhasil terbangun. Awalnya dia panik, terkejut karena tidak sadar sudah tidur terlalu lama. Namun, entah bagaimana tiba-tiba dia menganggap itu wajar. Bahkan dia berkata dengan suara yang masih agak sumbang. “Sungguh, ini pertama kali aku bisa tidur senyenyak ini di tengah misi. Rasanya seperti sudah di Padang Anushka. Jam berapa sekarang?”“Tujuh lebih,” kataku. “Kau kelihatan segar.”“Sudah mandi. Airnya segar sekali. Ada baju di lemari. Dan ada makanan di luar. Dan masih ada banyak lagi. Sebaiknya Bibi bersiap—dan kau.” Aku ter
Padang Anushka berhasil terlihat lagi saat hari sudah gelap.Sungguh, rasanya lebih melelahkan dari apa pun. Reila bahkan sudah begitu kepayahan sampai dia berhasil mengerahkan sisa tenaganya untuk menghela napas lega mendapati kabut tipis yang menyembunyikan wujud jembatan perbatasan. Dan perlu kuakui kalau aku juga sangat lega bisa mendapati jembatan ini. Mengarungi alam liar lebih dari setengah hari membuatku terus berhalusinasi kalau kami tidak akan bisa bertemu Padang Anushka lagi. Untuk ukuran Profesor Merla yang tidak khawatir di alam liar untuk semalam lagi saja juga menyuarakan kelegaan.Kalau harus menggambarkan seberapa kejam jalur yang kami lalui—jalur kembali kami adalah jalur yang berhasil membuat Reila percaya pada kata, “Lima menit lagi, sungguh, sudah di depan,” dan sebagai orang yang mengatakannya, aku juga ingin percaya kalau kami akan tiba dalam lima menit. Sayangnya, titik Padang Anushka tidak kunjung terlihat sampai aku telah men
Malam itu, aku sedang berusaha terlelap di gerha Lavi.Sebenarnya aku sudah berusaha terlelap di gerhaku sendiri. Setelah semua yang terjadi—kelelahan yang menumpuk, harusnya aku bisa segera tidur. Namun, sekuat dan sedalam apa pun aku memejamkan mata, kesadaranku tidak bisa pergi. Aku terus terjaga. Jarum jam sudah melewati tengah malam dan aku bisa merasakan tubuhku pegal dan lelah. Harusnya aku terlelap. Maka karena aku kesulitan tidur, kuputuskan menghampiri orang yang bisa membuatku nyaman.Sebenarnya ketika diam-diam aku menembus pekarangan gerha, aku sudah bisa merasakan bahwa hawa kehadiran Lavi tidak ada di gerhanya. Hanya saja, aku tetap lanjut, masuk gerhanya, dan benar. Lavi tidak ada di mana-mana. Kurasakan kehadirannya ke seluruh penjuru Padang Anushka, dia agak terasa berada di Balai Dewan. Tampaknya masih di tempat Jesse. Kuakui benakku agak kecewa, tetapi aku tidak ingin kembali begitu saja ke gerha. Jadi, di antara semua pilihan yang ada, kuputu
Aku terbangun di dekapan Lavi. Dia terlelap sembari menenggelamkanku padanya. Jadi, di momen saat mataku terbuka, dadaku langsung menghangat lagi.Dan tampaknya aku terlalu banyak bergerak, sehingga Lavi mulai tergugah.Aku langsung menempelkan keningku padanya. Perlahan, matanya terbuka dan dia langsung tersenyum di detik pertamanya berhasil meraih kesadaran.“Aku berhasil tidur,” kataku, mengumumkan.“Iya. Aku punya kata-kata untukmu.”“Aku bakal senang dengarnya.”“Aku tidak merestuimu berangkat di rangkaian misi berikutnya.”Itu hal paling mencengangkan yang pernah kudengar sehabis bangun tidur.Kupikirkan bahwa Lavi sudah memikirkan itu sejak menemukanku kembali dalam pertempuran melawan jumlah yang tidak imbang—dia pasti sudah berulang kali mempertimbangkan itu sejak mendengar semua laporan. Karena itulah, ketika aku sulit tidur dan dia membicarakan betapa kesal diriny
Begitu menyelesaikan sarapan, Lavi bergegas pergi.“Aku perlu bertemu Profesor Merla. Ada Kara, Jenderal, Jesse dan mungkin Haswin. Kami perlu membicarakan banyak hal soal semua informasi dari misimu. Bakal merepotkan, tapi aku senang melanjutkan apa yang sudah kau dapat.”“Aku tidak diundang?” tanyaku.“Memangnya mau?”“Tidak juga.”“Aku sudah tahu kau bakal bilang begitu.”Maka ketika Lavi memasuki Balai Dewan, aku kembali ke gerha, mendapati Fal sedang mengusap Pita yang menyantap makan paginya. Meski semalam sudah melihatnya terlelap, mendapati senyum Fal lebar nan polos yang disertai lengkingan suaranya membuatku begitu rindu seolah sudah seribu tahun tidak melihatnya.“FORLAN!” Dia menjerit—seperti biasa—melompat padaku.“Aku pulang, Fal!” Aku menangkapnya, menggendong dan memutar-mutar kami selagi dia tertawa di pelukanku. &ld
Aku ingin periksa ke klinik. Yasha dan Dalton memutuskan ikut.Kupikir Lavi juga di klinik karena sekilas kurasakan kehadirannya di sana, tetapi saat kami masuk, di ruang tunggu hanya ada Isha dan Tara. Mereka juga sibuk di tempat masing-masing yang membuat ruang utama itu begitu sunyi.“Kalian bertengkar?” tanyaku, saat kami masuk.“Kami bekerja,” koreksi Isha. “Kalau cari Lavi, tadi baru saja keluar. Tidak berpapasan di jalan? Kalian bertengkar, ya?”“Aku tidak kejar-kejaran dengannya.” Kami bertiga duduk di kursi panjang klinik, yang kurang lebih membuat Isha menutup buku seolah mengerti tiga cowok ini tidak akan keluar dalam waktu singkat. “Aku mau periksa,” kataku.“Ada keluhan?”“Aku teringat sesuatu penting.”“Ingatanmu?” sahut Tara, tiba-tiba tertarik. Dia memakai kacamata.“Bukan. Aku baru ingat kalau mengalami sesuatu
“Kau tidak kelihatan bermasalah,” kata Isha, setelah memerhatikan mataku lebih lama dari biasanya. Dia kelihatan benar-benar menelusuri sampai dalam.Aku berusaha untuk tidak tampak kecewa karena itu mampu membuat Isha berasumsi aku kecewa tidak kena pengaruh musuh. Barangkali Aza yang memberi sesuatu itu hanya perasaanku. Dan untuk bagian itu aku mengatakannya. “Kalau begitu, mungkin hanya perasaanku. Aku bisa lega.”“Memangnya kau merasakan sesuatu yang aneh?”“Dibilang merasakan sesuatu, lebih tepatnya, aku takut merasakannya.”“Dia pakai prinsip periksa sebelum kejadian,” komentar Yasha.Secara teknis, kami masih di ruang tunggu klinik, tetapi dengan pintu kaca yang terbuka lebar. Perbedaan lainnya: sudah bersih. Pintu utama klinik sebenarnya memang kaca dua arah. Mau bagaimana pun juga, bila tidak ditutup tirai, orang dari luar juga bisa melihat bagian dalam—begitu juga sebalikn
Begitu kembali dari ruangan Layla, aku tidak ingin terburu-buru. Ternyata Yasha juga masih di tempat—dan juga tidak terburu-buru. Kata Isha, “Itu cara yang bagus buat bilang kalian tidak punya pekerjaan.”Jadi, Yasha belajar meramu empon-empon dari Isha saat aku bercerita apa yang terjadi di misiku pada Tara. Sebenarnya Tara tidak berniat penasaran, tetapi aku ingin dia penasaran, jadi dia mendengarku. Kurang lebih dia takjub pada setiap hal yang kulakukan dalam pertempuran. “Profesor Merla sudah sedikit cerita,” kata Tara. “Isha juga dengar. Aku sudah takjub, tapi sekarang lebih takjub.”Kemudian Tara bertanya-tanya tentang blasteran yang kuhadapi—apakah mereka bisa melakukan hal-hal mustahil seperti menghilang, memanjangkan tubuh, memutus dan menyambungnya lagi—banyak sekali fantasinya soal itu, dan kuakui cukup menarik dan menegangkan karena aku belum pernah bertemu blasteran yang seperti itu—dan bukan bera
Aku bersumpah pada Lavi tidak akan bersedih lagi sampai selesai misi. Itu membuat Lavi tersenyum lebar. “Kalau begitu, sekarang kau yang temani aku.”Lavi ingin menghabiskan waktu di Rumah Pohon hingga jam misi tiba. Saat itu kurang dari enam jam lagi hingga kami berangkat misi. Jadi, Lavi beranjak ke Rumah Pohon saat aku membuat cokelat hangat di dapur. Dalton tidak ingin berada di markas. Dia ingin duduk di danau. Aku tidak ingin mengganggunya. Sepertinya dia ingin menenangkan pikiran. Kupikir Elton ikut dengannya, ternyata Elton ingin mempersiapkan perlengkapannya. Maka kami berpisah.Dua cangkir cokelat hangat siap, aku naik ke Rumah Pohon. Rumah Pohon ketika Lavi berada di dalam sungguh bisa terasa berbeda hanya dari aromanya. Lavi membuat semuanya terasa lebih hidup. Kehadirannya lebih besar dari sekadar apa pun. Ketika kehadirannya terasa sangat kuat seperti ini, biasanya Lavi sedang duduk di depan pintu beranda Rumah Pohon—di tempat favoritku&
Jesse dan Nuel membubarkan diri lebih dulu. Lavi menatap tajam Jesse bak singa marah menatap musuh yang bahkan tidak menoleh padanya sampai Jesse dan Nuel keluar ruangan. Aku membiarkan Lavi menatap seperti itu karena aku juga lumayan takut kalau dia sudah mendesis semakin kesal.Dokter Gelda meminta Leo kembali ke klinik, yang kusadari kalau Leo juga belum benar-benar dapat restu—tetapi Leo meminta sedikit waktu untuk menetap di markas ini lebih lama. “Sumpah, Ibu. Mika bakal menyeretku, jadi tunggu aku di klinik. Percayalah padaku dan Mika.” Dan dengan gagasan itu, Dokter Gelda dan Isha kembali lebih dulu ke klinik. Isha berkata padaku dan Lavi. “Nanti kuletakkan perlengkapan misi kalian di depan.” Lavi hanya mengangguk. Aku juga.Kara tampaknya berniat menghampiri kami, tetapi tiba-tiba Hela datang ke tempatnya, meminta saran soal misi. Itu membuat Kara akhirnya mau tak mau ikut keluar ruangan. Biasanya Hela bertanya pada Profesor Merla
Secara teknis, aku duduk di samping Lavi—yang juga di dekat Dalton. Dia yang paling dekat di antara semua orang. Leo bersama empat pendahulu berada di area yang sama. Mika setia duduk di sampingnya ketika Haswin dan Yasha mencuri perhatian sebagian orang karena terus berpindah tempat duduk—entah apa tujuan mereka. Dokter Gelda dan Isha selalu satu paket, berada di dekat Kara yang duduk di dekat Jesse dan Nuel. Mereka ada di dekat papan, dan kami duduk menghadap ke arah Jesse. Aku dan Lavi yang paling dekat pintu keluar, sementara Dokter Gelda dan Isha paling dekat dengan pekarangan belakang. Aslan berada di tempat cukup belakang bersama Elton dan Reila. Mereka ada di dekat kursi paling nyaman—yang diduduki oleh Reila dan Elton. Aslan setia memerhatikan, duduk di dekat mereka.Hela ada di dekat Dalton. Dia duduk di antara Lavi dan Dalton, jadi Dalton yang bertanya padanya, “Kau oke? Kau bisa mengikuti, kan?”“Eh, iya, bisa,” jaw
Ruang berkumpul markas tim penyerang pada dasarnya didesain untuk rapat tim dan apa pun yang melibatkan semua anggota. Ide kasarnya datang dari Dalton, lalu disempurnakan Lavi. Namun, dibilang model dibuat Dalton sebenarnya juga tidak. Hampir semua model milik Dalton diperbaiki Lavi. Ide ruang berkumpul ini datang dari Dalton, tetapi dirombak habis-habisan oleh Lavi. Ide ruang depan juga datang dari Dalton—dia memikirkan ruangan itu menjadi sejenis gudang senjata, tetapi oleh Lavi dirombak habis-habisan menjadi ruangan yang memamerkan tim penyerang—foto tim, dan loker anggota untuk persiapan perlengkapan misi. Loker itu biasanya diisi langsung oleh tim medis—biasanya mereka secara rutin memberi perlengkapan misi ke loker itu, jadi kami tidak perlu repot-repot ke tim medis untuk mengambil perlengkapan yang sebenarnya juga hanya perlu melangkah ke gedung sebelah. Namun, itu ide Isha karena sekarang tidak ada jaminan tim medis selalu di klinik. Mereka selalu berpencar
Lavi perlu memastikan keadaan lenganku yang cedera sebelum kami benar-benar berangkat misi. Jadi, mumpung tak ada siapa-siapa di gerha selain kami, Lavi membiarkanku panahan. Sebenarnya aku sudah yakin lenganku baik-baik saja. Tak ada lagi keluhan yang kurasakan. Aku juga sudah berhenti mengonsumsi obat dari Dokter Gelda—aku hanya terus menyantap madu Tara. Sungguh, madu Tara terasa beda dari yang lain. Lavi bahkan mengakuinya. Lebih enak dan membekas.Jadi, aku memanah. Lavi mengamatiku.Kurang lebih, dia puas. Dari lima puluh lima percobaan, tiga panah meleset dari titik pusat target. Aku kurang puas, tetapi Lavi memuji. “Impresif. Lenganmu pulih! Aku senang sekali!” Dia memelukku. “Angkat aku.”Aku mengangkatnya dengan lengan kiri seperti menggendong Fal, dan Lavi menjerit penuh tawa. Kuputuskan berputar-putar dan Lavi semakin brutal tertawa, tangannya melilit leherku terlalu kuat, jadi kami sama-sama menjerit meski dengan maksud
Aku terbangun ketika mendengar suara pintu dibuka. Mataku segera terbuka dan melihat sumber suara. Lavi berjalan membawa cangkir.“Oh, maaf, aku tidak bermaksud membangunkan,” katanya.Mataku silau—bukan karena Lavi, tetapi karena dari jendela kamar, cahaya seperti menerobos dari celah tirai. Di luar sudah sangat cerah. Aku tidak memasang jam di kamarku. Aku tidak terlalu tahu waktu. Lavi meletakkan cangkir minum, lalu duduk di sisi ranjang. “Istirahatlah selama kau bisa istirahat,” katanya.Aku menggeleng. “Jam berapa sekarang?”“Sebelas.”“Berapa lama aku tidur? Hari apa sekarang?”“Hampir sembilan jam,” jawabnya, lancar. “Jam tidur normal, sebenarnya. Aku membawakan minum. Hangat. Minumlah.” Dia menyodorkan cangkir itu. Aku bangun, meneguknya. Hanya air mineral biasa.“Aku... seperti terdisorientasi,” ungkapku, setelah meletakkan c
Saat itu siang bolong. Cuacanya lumayan panas, suara jangkrik terdengar di tengah hari, angin jarang berembus, tetapi itu tidak menghentikan anak kecil berlari penuh semangat, sangat kencang dengan wajah gembira. Dia keluar Balai Dewan—yang saat itu masih disebut asrama—berlari melewati jalur penghubung, terus lari meski ada orang yang menyapanya, di tangannya ada buku tulis dan dia melaju kian kencang setelah memasuki kompleks gerha. Dia berbelok dengan kecepatan tinggi ke gerha pertama di sebelah kanan, membuka pintu, dan menjerit, “IBU! IBU!”Dia masih berlari sampai menemukan Ibu di ruang tengah.Cuaca panas di luar semestinya juga membuat ruangan itu panas. Namun, itu tidak terjadi. Ruangan tengah gerha Ibu justru sangat sejuk. Ibu membuka pintu belakang, membuat pemandangan langsung terbuka. Ibu menanam banyak tanaman dan bunga di halaman belakangnya. Halamannya juga berdekatan dengan pohon di pinggir air terjun. Itu membuat angin segar da
Sorenya, untuk pertama kali sejak tahu air terjun belakang gerhaku adalah wilayah Aza, aku memasukinya. Aku tak pernah memasukinya lagi sejak mengerti identitas asli kemampuanku. Namun, kini, aku tidak bisa menahannya lagi. Tak ada bukti kalau Aza terlibat di kejadian ibuku, tetapi dia pasti tahu sesuatu. Aza selama ini seperti itu. Dia menyembunyikan banyak kebenaran.Jadi, dengan impulsif aku menembus pepohonan. Suara air terjun semakin besar. Nuansanya semakin segar. Lavi tidak tahu. Dia masih di gerha bersama Reila dan Fal. Aku bergegas, dalam sekejap langsung menemukan air terjun dengan mata air asli. Suaranya keras, tetapi juga menenangkan. Kepalaku langsung didesak oleh nuansa segar dan aku melihat bunga berkilau biru bermekaran di tempat yang bisa membuatnya semakin indah. Dalam sekejap, ketika aku berdiri di dekat air terjun dan merasakan cipratan air, aku bisa merasakan keberadaan Aza di mana-mana.“Aza!” seruku.Suaraku agak tertutup air t
Aku pergi ke makam Ibu karena di sanalah satu-satunya bagian Ibu tersisa. Reila tidak ingin ikut. Dia ingin menjemput Fal. “Makam membuatku merasa aneh. Rasanya Ibu benar-benar sudah meninggal,” katanya.“Jangan melakukan hal tidak perlu saat aku tidak ada,” kataku.“Selama ini kita juga sering terpisah,” erangnya, “jangan cemas berlebih.”Jadi, aku tetap bergerak. Lavi tidak membiarkanku sendiri. Dia tidak bilang apa alasannya tetap menempel, tetapi kubilang padanya, “Aku tidak apa-apa. Tidak ada yang perlu kau cemaskan. Percayalah padaku. Kau boleh meninggalkanku.”“Jangan salah,” balasnya. “Berhenti berpikiran buruk. Sebelum tahu kabar ini pun, aku sudah bersamamu sepanjang waktu. Ini hal normal. Kalau kau berpikir ini bukan hal normal dan kau pikir aku bersamamu karena mencemaskanmu, berarti memang ada hal yang kau tidak ingin aku tahu.”Logika berpikirnya kadan