Semua Bab Istri Lima Belas Ribu: Bab 381 - Bab 390

608 Bab

Bagian 84

Sesampainya di rumah sakit, ibu Laila hanya diperbolehkan menunggu di luar karena membawa anak kecil. Jadilah Agam menemani istrinya seorang diri. “Pasien harus masuk ICU,” ujar dokter membuat persendian Agam terasa lemas. Dia meras tidak dapat menunggu Laila seorang diri. Sembari menunggu dokter dan petugas medis menyiapkan Laila untuk dipindahkan ke ruang ICU, Agam melangkah gontai ke luar. Menemui mertuanya yang tengah mengajak Bilal bermain. Memberitahukan kabar yang sangat tidak menyenangkan itu. “Terus bagaimana?” Wanita yang berpakaian sederhana itu bertanya dengan diiringi isakan. “Aku akan menghubungi seseorang untuk menjaga Bilal,” ujar Agam mantap. Dirogohnya ponsel yang ada dalam saku dan menekan nomer seseorang. Terdengar salam dari ujung telepon. “Waalaikumsalam,” jawab Agam. “Tolong, datanglah ke rumah sakit, sekarang. Aku butuh bantuan kamu,” ujarnya lagi. “Ini Mas Agam?” Wanita di seberang telepon bertanya.
Baca selengkapnya

Bagian 85

“Anti, titip Bilal. Aku harus menjaga Laila,” ujar Agam memecah keharuan yang Anti rasa.“Iya, Mas. Akan aku jagakan dia,” jawab Anti terlihat bahagia.“Aku akan mengambilnya bila keadaan ibunya sudah membaik.” Ucapan Agam dengan menyebut Laila adalah ibunya Bilal, membuat Anti seakan tersisih. Terlihat di sana, dirinya hanya dibutuhkan untuk sementara waktu. Namun, hati wanita itu sangat menerima, apapun yang Agam pikirkan.Tujuan menitipkan Bilal untuk apa, dirasa tidak penting. Karena yang ia butuhkan adalah waktu dan kesempatan untuk dapat bersama dengan anak yang pernah ia kandung.“Iya, Mas. Aku akan merawat dia sementara waktu. Jemputlah  Bilal bila semua  keadaan kamu telah membaik,” jawab Anti bijaksana.“Aku ke dalam. Takut bila ada sesuatu hal yang harus diurus atau keadaan Laila ….” Ucapan Agam terhenti.“Masuklah! Dia sangat membutuhkan kamu. Aku
Baca selengkapnya

Bagian 86

Motor Anti memasuki halaman rumah. Terlihat ibunya sedang menjemur baju di sana. Terpana kala melihat anak dan cucunya datang dengan membawa seorang balita. “Siapa itu, Nad?” tanya Ibu Anti. Meskipun fotonya terpampang besar, tetap saja belum tahu sosok yang didendong Nadia. Karena memang dalam hati wanita itu, tidak pernah mengingat Bilal. “Ajak masuk, Nad!” perintah Anti. Dia lalu mengangkat belanja yang ada di depannya. “Bu,” panggil Anti pada ibunya yang masih terpana dengan tatapan mengikuti tubuh Nadia masuk ke dalam. Tangannya masih memegang sehelai baju yang akan ia jemur. “An, dia siapa?” Ibunya bertanya dengan tatapan menyelidik. “Dia Bilal. Anakku,” jawab Anti. “Eh, kok bisa ada sama kamu?” “Istri Mas Agam masuk ICU. Dia tidak ada yang menjaga.” Selepas berkata demikian, Anti masuk begitu saja tanpa mempedulikan ibunya yang masih berdiri mematung. “Baaaak … itu poto atu, ya?” Bilal bertanya begitu mel
Baca selengkapnya

Bagian 87

Beberapa hari di rumah Anti, Bilal mulai bisa menyesuaikan diri. Sesekali, anak itu sudah mau memanggil dengan sebutan Ibu. Hal tersebut berkat Nadia yang selalu mengajari adiknya.Karena melihat ibunya yang kurang bersahabat terhadap Bilal, Anti terpaksa membaa anaknya ke kantor. Namun, wanita itu tidak pernah merasa repot. Justru seperti mendapat pengalaman baru baginya. Pun dengn Bilal, anak itu merasa bahagia bila diajak ibu kandungnya menaiki motor. Apalagi, yang ia lihatdi jalan, banyak sekali kendaraan besar. Hal yang jarang sekali ia saksikan di sekitar tempat tinggalnya yang terletak di daerah sepi.“Bu, tu apa?” tanya Bilal saat pertama kali melihat mobil tangki.“Itu mobil tangki,” jawab Anti.“Ilal mau beli obing tangki,” teriaknya girang.“Iya, nanti ya, sepulang Ibu bekerja, kita beli mobil tangki,” jawab Anti lagi.Jadilah setiap hal baru yang dilihat anaknya, dan anaknya ingin m
Baca selengkapnya

Bagian 88

Agam termenung di atas kursi depan kamar rawat Laila pada suatu malam. Dia kemudian menelpon Anti untuk menanyakan anaknya. “Baik, Mas. Kemarin-kemarin sih, sering nangis panggil ibunya. Maklum, ‘kan lingkungan baru buat dia. Tapi sekarang sudah tidak lagi. Sudah agak bisa menyesuaikan diri. Dia juga sesekali masih Tanya ibunya di mana. Aku jawab saja, sedang sakit. Nanti kalau sudah sembuh, bakal jemput dia ke sini.” Jawaban yang disampaikan Anti membuat Agam tertegun. Selama ini, istrinya telah takut pada sesuatu yang salah. Nyatanya, Anti begitu legowo menyebut Laila sebagai ibu Bilal. “Terima kasih, ya? Maaf merepotkan kamu,” ujar Agam lagi. “Tidak apa-apa, Mas, sebagai orang yang pernah melahirkan Bilal, aku harus siap dimintai bantuan. Aku yang berterima kasih, sudah diberikan kesempatan untuk merawat dia.” “Anti, apa kamu tidak ingin tinggal selamanya dengan Bilal?” Entah bisikan dari mana, Agam bertanya demikian. Terdengar helaan napas panjang
Baca selengkapnya

Bagian 89

Anti menyalami ibu Laila yang duduk di tikar yang digelar di bawah tempat tidur anaknya."Apa kabar, La?" tanya Anti ramah pada ibu sambung Bilal."Baik, Mbak." Laila memaksakan tersenyum."Masih sakit atau lemas saja?" Anti bertanya lagi."Masih agak pusing ini, Mbak,""Makan yang banyak, ya? Minum obatnya dengan rutin. Cepat sembuh. Bilal menanyakan kamu terus. Kasihan. Dia tanya ibunya terus," ujar Anti membuat mata Laila berkaca-kaca."Mbak Anti," panggil Laila lirih."Ya, La?" jawab Anti sambil tersenyum. Satu tangannya mengusap dahi Laila yang penuh keringat.Diperlakukan sedemikian baik oleh orang yang ia khawatirkan mengambil Bilal darinya, membuat Laila merasa bersalah."Kamu mau bilang apa?" tanya Anti lembut."Mbak Anti tidak marah, karena Bilal lebih menganggap aku ibunya?" tanya Laila jujur.Sebenarnya, pertanyaan itu terlalu menyakitkan. Namun, memahami bahwa Laila teramat takut kehilangan ana
Baca selengkapnya

Bagian 90

Anti duduk di kursi dan menjatuhkan kepala di samping tubuh Laila. Mencium telapak tangan wanita yang terbaring lemah berkali-kali."Terima kasih, La. Terima kasih untuk semuanya. Kamu wanita yang sangat baik. Bilal sangat pantas mendapatkan ibu seperti kamu. Dia sangat beruntung. Aku mungkin, memang hanya ditakdirkan untuk mengandung dan melahirkan dia untuk kamu," ujar Anti sesenggukan.Beruntungnya pasien yang ada di bed sebelah sudah pulang. Sehingga, tidak ada ketakutan pembicaraan mereka diketahui orang lain."Laila itu mandul, Mbak Anti. Dia tidak bisa hamil. Dulu, dia pernah menikah dan tidak direstui. Suaminya meninggal. Dan Laila selalu jadi sasaran kemarahan keluarga mantan mertua. Tidak sekali dua kali mereka datang memaki-maki Laila. Bahkan pernah Laila dihajar oleh ibu dari almarhum suaminya. Anak saya selalu dikatakan wanita pembawa sial yang menyebabkan suaminya meninggal. Sehingga dia depresi dan akhirnya saya masukkan pesantren. Jujur memang be
Baca selengkapnya

Bagian 91

Puas menumpahkan rasa haru, Anti pamit.“Cepat sembuh ya, La? Kalau kamu sudah keluar dari rumah sakit, aku akan mengajak kamu ke suatu tempat. Kita berdua, ya?” janji Anti.“Benarkah, Mbak?” Laila bertanya dengan binar bahagia.“Iya, makanya, kamu lekas sembuh, ya?” ujar Anti lagi.“Iya, Mbak,” jawab Laila senang.Anti berpamitan pada ibu Laila.“Terima kasih, Mbak Anti, sudah berkunjung ke sini. Terima kasih bila Mbak Anti berkenan menganggap kami keluarga,” ujar ibu Laila terlihat tidak kalah senang. Jari jemarinya menggenggam erat telapak angan Anti.“Sama-sama, Bu. Jangan sungkan main ke rumah, ya? Besok kalau Laila sudah sembuh, mampirlah ke rumah saya, Bu,” jawab Anti lembut.“Iya, Mbak Anti,”Mereka akhirnya berpisah.  Langkah Anti terasa lebih ringan. Meskipun tetap saja ada sebuah rasa sedih yang singgah. Karena bagaimanapu
Baca selengkapnya

Bab 92

“Masuk, Mas. Ini, aku sedang makan buah yang dibawakan Mbak Anti,” jawab Laila sumringah. “Kamu sudah baikan?” tanya Agam. “Iya, sudah. Aku harus sembuh. Kata Mba Anti, kalau aku sembuh mau diajak jalan ke suatu tempat.” Laila mengadu layaknya anak kecil. “Anti bilang begitu sama kamu tadi?” Agam bertanya heran  Laila menjawab dengan anggukan. “Mbak Anti sebenarnya baik kok, Mas. Jangan larang dia untuk bertemu Bilal lagi, ya? Mbak Anti bilang tidak akan meminta Bilal dari kita,” ucap Laila dengan penuh kegembiraan. “Iya, terserah kamu, ya? Kamu yang berhak menentukan. Kalau kamu memang merasa itu tidak apa-apa, aku nurut,” “Iya, Mas. Aku tidak akan takut lagi sekarang.” Agam mendekati istrinya dan mengusap rambutnya. Dalam kaca mata Agam, Laila terkadang masih seperti anak kecil. Menikah dengannya membuat Agam seperti memiliki seorang adik. “Cepat sembuh. Bilal menunggumu,” ujar Agam. “Iya, Mas,”
Baca selengkapnya

Bagian 93

Saat sampai di pintu perbatasan pengunjung bisa masuk, Anti sudah menunggu di sana. Bilal tengah diajak bermain Nadia di arena permainan yang disediakan pihak rumah sakit.“Ilal,” panggil Agam.“Ayah, Ibu,” teriak Bilal sambil berlari. Tubuh kecilnya langsung menubruk pangkuan Laila.Anti yang duduk di kursi tunggu menyaksikan pemandangan yang menyakitkan di hadapannya. Namun, berusaha tersenyum. Bagaimanapun, ia selalu menegaskan bahwa, kebersamaannya dengan Bilal adalah laksana barang pinjaman. Yang harus ia kembalikan kepada pemiliknya.“Bu atit?” tanya Bilal masih merebahkan kepala di atas pangkuan Laila.“Iya, Bu atit,” jawab Laial dengan tangan mengusap rambut anak tirinya itu.“Bu udah sembuh?” Bilal mendongakkan kepalanya.“Iya, Ibu sudah sembuh.”“Ulang ya, Bu? Ilal anis ga ada Ibu.” Hati Anti teramat sakit mendengar anaknya berbicara s
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
3738394041
...
61
DMCA.com Protection Status