Puas menumpahkan rasa haru, Anti pamit.
“Cepat sembuh ya, La? Kalau kamu sudah keluar dari rumah sakit, aku akan mengajak kamu ke suatu tempat. Kita berdua, ya?” janji Anti.
“Benarkah, Mbak?” Laila bertanya dengan binar bahagia.
“Iya, makanya, kamu lekas sembuh, ya?” ujar Anti lagi.
“Iya, Mbak,” jawab Laila senang.
Anti berpamitan pada ibu Laila.
“Terima kasih, Mbak Anti, sudah berkunjung ke sini. Terima kasih bila Mbak Anti berkenan menganggap kami keluarga,” ujar ibu Laila terlihat tidak kalah senang. Jari jemarinya menggenggam erat telapak angan Anti.
“Sama-sama, Bu. Jangan sungkan main ke rumah, ya? Besok kalau Laila sudah sembuh, mampirlah ke rumah saya, Bu,” jawab Anti lembut.
“Iya, Mbak Anti,”
Mereka akhirnya berpisah. Langkah Anti terasa lebih ringan. Meskipun tetap saja ada sebuah rasa sedih yang singgah. Karena bagaimanapu
“Masuk, Mas. Ini, aku sedang makan buah yang dibawakan Mbak Anti,” jawab Laila sumringah. “Kamu sudah baikan?” tanya Agam. “Iya, sudah. Aku harus sembuh. Kata Mba Anti, kalau aku sembuh mau diajak jalan ke suatu tempat.” Laila mengadu layaknya anak kecil. “Anti bilang begitu sama kamu tadi?” Agam bertanya heran Laila menjawab dengan anggukan. “Mbak Anti sebenarnya baik kok, Mas. Jangan larang dia untuk bertemu Bilal lagi, ya? Mbak Anti bilang tidak akan meminta Bilal dari kita,” ucap Laila dengan penuh kegembiraan. “Iya, terserah kamu, ya? Kamu yang berhak menentukan. Kalau kamu memang merasa itu tidak apa-apa, aku nurut,” “Iya, Mas. Aku tidak akan takut lagi sekarang.” Agam mendekati istrinya dan mengusap rambutnya. Dalam kaca mata Agam, Laila terkadang masih seperti anak kecil. Menikah dengannya membuat Agam seperti memiliki seorang adik. “Cepat sembuh. Bilal menunggumu,” ujar Agam. “Iya, Mas,”
Saat sampai di pintu perbatasan pengunjung bisa masuk, Anti sudah menunggu di sana. Bilal tengah diajak bermain Nadia di arena permainan yang disediakan pihak rumah sakit.“Ilal,” panggil Agam.“Ayah, Ibu,” teriak Bilal sambil berlari. Tubuh kecilnya langsung menubruk pangkuan Laila.Anti yang duduk di kursi tunggu menyaksikan pemandangan yang menyakitkan di hadapannya. Namun, berusaha tersenyum. Bagaimanapun, ia selalu menegaskan bahwa, kebersamaannya dengan Bilal adalah laksana barang pinjaman. Yang harus ia kembalikan kepada pemiliknya.“Bu atit?” tanya Bilal masih merebahkan kepala di atas pangkuan Laila.“Iya, Bu atit,” jawab Laial dengan tangan mengusap rambut anak tirinya itu.“Bu udah sembuh?” Bilal mendongakkan kepalanya.“Iya, Ibu sudah sembuh.”“Ulang ya, Bu? Ilal anis ga ada Ibu.” Hati Anti teramat sakit mendengar anaknya berbicara s
“Ati-ati di jalan, Ilal,” ujar Anti membuang rasa sedih.“Ilal turun dulu, Ibu mau naik,” ucap agam.“Ilal mau cama Ibu,” teriak Bilal tidak mau jauh dari Laila.“Gak papa, Mas, aku bisa mengangkat tubuh Bilal.” Laila turun dari kursi roda sambil mengangkat anaknya. Mereka duduk di jok depan samping supir. Sementara Agam dan mertuanya masih sibuk memasukkan barang ke dalam bagasi.Ingin rasanya Anti memeluk tubuh anaknya untuk yang terakhir kali. Namun, ia tidak berani mengganggu kebhagiaan Bilal yang bertemu Laila setelah berpisah beberapa hari.“Ini baju Bilal, Mas. Itu juga ada susu dan makanan ringan untuk dia kalau nanti di perjalanan minta jajan.” Anti berujar saat tinggal Agam sendirian di luar mobil. Diulurkannya tas yang sejak tadi ia tenteng. Nadia berada di dekat pintu dimana adiknya duduk.“Ilal, ati-ati, ya?” ujar Nadia.“Ayo, salim dulu sama Mb
Hari yang Anti dan Nadia jalani seakan terasa lebih hampa dari sebelumnya. Kehilangan sosok Bilal terasa mereka rasakan.Sepulangnya dari sumah sakit, seharian bahkan keduanya tidak makan sama sekali. Bayangan deretan giginya saat tersenyum. Tawa renyahnya dan teriakan kala memanggil Nadia, seakan seperti hal yang terus menerus menghantui pikiran mereka.Malam harinya, mereka masih menginap di rumah pemberian Tohir. Nti dan Nadia saling diam. Di beranda story Nadia bahkan isinya Bilal semua. Sementara Anti, duduk terdiam sibuk menentramkan rasanya sendiri. Ada sebuah keinginan untuk menghubungi Agam, tapi ia tepis karena takut akan mengganggu mereka.Hingga jam sepuluh malam, Anti masih terjaga di sebuah kursi yang sudah ia tata rapi. Jari jemarinya sibuk memainkan ponsel. Diputarnya berulang-ulang video Bilal sebagai obat rindu.Denting ponsel berbunyi, membuatnya kaget. Nama Agam tertera di layar memanggil. Dengan perasaan cemas akan terjadi sesuatu ter
“Suatu saat nanti, aku akan mengatakan pada Bilal kalau kamu adalah ibu kandungnya. Suatu hari nanti, bila aku sudah bisa mengkondisikan Laila. Dan bila dia sudah mengerti siapa itu ibu.” Mendengar Agam berjanji demikian, hati Anti merasa senang. Setidaknya, mantan suaminya itu memiliki sebuah i’tikad baik untuk mengatakan sebuah kebenaran meskipun dirinya yang melakukan kesalahan. “Bila memang aku tidak pantas untuk disebut ibu, aku tidak apa-apa, Mas. Aku ikhlas. Aku merasa malu, aku tidak layak untuk menyandang gelar itu,” “Tidak, Anti. Bagaimanapun, ini adalah sebuah kebenaran. Justru harus aku katakan agar kelak Bilal dewasa tahu, pasti ia akan kecewa. Jangan khawatir, aku akan menyembunyikan alasan dia jauh dari kamu. Hanya saja, kamu harus bersabar, ya? Kamu tahu ‘kan, keadaan Laila?” “Iya, Mas. Aku paham. Terima kasih untuk ini. Terima kasih sudah memaafkanku,” sahut Anti dengan suara bergetar. “Kamu layak mendapatkan itu atas usaha kamu untuk
”An, gabung lagi ya, sama kami?” Ucapan Risa membuyarkan ingatan Anti tentang Agung.“Gabung gimana maksudnya?” Anti bertanya tidak paham.“Ya itu tadi, ngumpul-ngumpul bersama lagi kayak dulu. Kita melakukan banyak hal yang menyenangkan lagi. Erina udah jarang ikut kok, soalnya udah punya anak kecil,” terang Risa membuat Anti mendelik heran.“Erina? Maksudnya? Aku tidak paham.”“Maksudnya, kali aja kamu sekarang jadi sungkan kumpul bareng dia,” Anti tergelak mendengarnya.“Aku tidak pernah merasa seperti itu, Risa. Aku dan Erina, kami sudah biasa bertemu, berbincang bersama.”“Wah, bagus dong, ya, kalau begitu, kita bisa kembali bersama seperti dulu. Bagaimana?”“Gimana ya?” Anti menjawab bingung. Dalam hatinya kini sudah tidak ada keinginan untuk melakukan hal semacam itu lagi.“Ayolah, gak jenuh di rumah terus?”
Hari Minggu, seperti biasa, Anti telah bersiap untuk mengikuti kajian. Wanita itu telah membagi waktu, di hari Sabtu jadwalnya mengunjungi Bilal, dan Minggu waktunya ia menyiram batinnya dengan materi agama yang disampaikan Ustadz.Semalam, grup sahabbatnya telah ramai mengadakan rencana berkumpul bersama sekalian rekreasi ke pantai. Sejak masuk dalam grup itu, dirinya jarang sekali ikut berkomentar kecuali bila ada salah satu yang menyebut namanya. Risa mengajaknya ikut serta. Akan tetapi Anti menolak dengan alasan ada kepentinga. Tidak ingin disebut sok alim, dirinya memilih untuk berbohong.Nadia sudah berangkat olah raga sejak pagi buta, dan anaknya itu sudah tahu kalau hari ini Anti ada kajian.Hari itu, Anti tidak duduk bersama Umi. Karena Umi belum datang saat dirinya sampai. Dan karena duduk di barisan depan untuk kaum hawa, Anti harus keluar paling akhir. Hal yang jarang ia lakukan semenjak Agung sudah pergi dari hidupnya. Entah kenapa, wanita itu meras
“Sudah siap, Nad?” tanya Anti pada anaknya yang hendak berangkat ke Semarang untuk mengikuti seleksi kesehatan calon polwan.“Sudah, Bu,” jawab Nadia sembari memakai ransel di punggung.“Baiklah, ayo keluar! Ayahmu sudah menunggu,” ajak Anti.Nadia tersenyum manis dan melangkah keluar kamar. Sebelum pergi, dia berhenti di ruang keluarga. Memandangi foto besar yang terpampang di sana.“Adek, Ilal, doakan Mbak, ya? Semoga Mbak lolos,” ucapnya pada sebuah gambar mati yang menampakkan senyum polos.Anti mengusap pundak Nadia berkali-kali. Anak sulungnya itu sudah memiliki tinggi badan di atasnya.“Ayo, Ayah sudah menunggu,” ajak Anti.Nadia berpaling dan tersenyum seraya berkata, “Doakan ya, Bu, aku lolos tes kesehatan tahap pertama ini.”“Pasti, Nad, Ibu pasti mendoakan kamu,” jawab Anti dengan netra berkaca-kaca.Nadia berangkat ke Semarang