Hari Minggu, seperti biasa, Anti telah bersiap untuk mengikuti kajian. Wanita itu telah membagi waktu, di hari Sabtu jadwalnya mengunjungi Bilal, dan Minggu waktunya ia menyiram batinnya dengan materi agama yang disampaikan Ustadz.
Semalam, grup sahabbatnya telah ramai mengadakan rencana berkumpul bersama sekalian rekreasi ke pantai. Sejak masuk dalam grup itu, dirinya jarang sekali ikut berkomentar kecuali bila ada salah satu yang menyebut namanya. Risa mengajaknya ikut serta. Akan tetapi Anti menolak dengan alasan ada kepentinga. Tidak ingin disebut sok alim, dirinya memilih untuk berbohong.
Nadia sudah berangkat olah raga sejak pagi buta, dan anaknya itu sudah tahu kalau hari ini Anti ada kajian.
Hari itu, Anti tidak duduk bersama Umi. Karena Umi belum datang saat dirinya sampai. Dan karena duduk di barisan depan untuk kaum hawa, Anti harus keluar paling akhir. Hal yang jarang ia lakukan semenjak Agung sudah pergi dari hidupnya. Entah kenapa, wanita itu meras
“Sudah siap, Nad?” tanya Anti pada anaknya yang hendak berangkat ke Semarang untuk mengikuti seleksi kesehatan calon polwan.“Sudah, Bu,” jawab Nadia sembari memakai ransel di punggung.“Baiklah, ayo keluar! Ayahmu sudah menunggu,” ajak Anti.Nadia tersenyum manis dan melangkah keluar kamar. Sebelum pergi, dia berhenti di ruang keluarga. Memandangi foto besar yang terpampang di sana.“Adek, Ilal, doakan Mbak, ya? Semoga Mbak lolos,” ucapnya pada sebuah gambar mati yang menampakkan senyum polos.Anti mengusap pundak Nadia berkali-kali. Anak sulungnya itu sudah memiliki tinggi badan di atasnya.“Ayo, Ayah sudah menunggu,” ajak Anti.Nadia berpaling dan tersenyum seraya berkata, “Doakan ya, Bu, aku lolos tes kesehatan tahap pertama ini.”“Pasti, Nad, Ibu pasti mendoakan kamu,” jawab Anti dengan netra berkaca-kaca.Nadia berangkat ke Semarang
Anti mendongak, yang ia lihat seorang anak perempuan berusia dua tahun. Dan benar saja, tak lama kemudian balita cantik itu terjatuh. Anti segera bangun dan membantunya berdiri. Saat tubuhnya beridiri tegak, betapa kagetnya ia. Berdiri di hadapan sesosok lelaki yang sangat ia kenal.“Kamu?” sapa Anti. Seumur mereka kenal, Anti memang belum pernah memanggil Agung dengan sebutan apapun.“Anti?” seru Agung tak kalah kaget.“Jadi, ini? Ini anak kamu?” Anti bertanya sambil masih menggendong anak manis yang memakai jaket warna pink.“Iya,” jawab Agung. Tangannya terulur mengambil anak yang ada dalam gendongan Anti.Entah kenapa, ada sisi hati Anti yang merasa sedih.“Ayo, kita duduk di sini dulu, Ayah capek,” ujar Agung pada anaknya. Tubuhnya menepi dan ia daratkan di trotoar yang sama dengan Anti duduk tadi.Mau tidak mau, ibu Nadia ikut duduk. Agung memangku anaknya sementara Ant
“Kenapa?” Agung bertanya lagi.“Belum bertemu jodoh.” Kali ini, entah mengapa Anti menjawab hal yang berbeda.“Karena kamu tidak berusaha membuka hati kamu. Makanya belum bertemu,” kelakar Agung.“Karena belum bertemu jodoh sehingga Allah tidak membukakan hati aku,”Agung diam. Menikmati seplastik teh hangat yang dibelikan Anti. Pun dengan Anti, dirinya sibuk menyuapi Felish martabak manis yang ie beli bersama teh tadi.“Kalau pulang, kamu nginep di rumah orang tua Sesil?” Anti bertanya memecah diam diantara mereka.“Enggak. Aku masih merasa malu pada mereka. Karena aku merasa, yang menyebabkan anaknya meninggal adalah aku. Jadi, aku bawa Felish ke rumahku dulu. Kami menginap di sana. Karena aku selalu pulang setiap akhir pecan, dia masih mengenal aku,” jawab Agung.Anti kembali diam. Tatapannya nanar, jauh memandang pohon yang beridri kokoh di seberang jalan.
Jadilah setelah itu, Felish benar-benar diajak bermain ke rumah ibu Nadia dan Bilal. Selama beberapa minggu hal itu berlangsung, membuat hubungan mereka semakin dekat. Pun dengan Nadia. Gadis yang menyukai anak kecil itu cepat akrab dengan Felish.“Maaf, selalu mengganggu waktumu,” ujar Agung merasa tidak enak.“Oh, tidak apa-apa. Bawalah dia ke sini kalau meminta.”“Aku mau dipindah lagi ke sini. Itu artinya, akan sering berjumpa Felish. Tapi, itu juga berarti kami akan sering datang ke sini. Bila kamu keberatan, aku bisa membujuk Felish.”“Jangan! Jangan bujuk dia. Biarlah, bila dia memang senang bertemu aku,” larang Anti. “Apa itu artinya Felish akan tinggal bersamamu?” lanjut Anti lagi.“Tidak akan. Neneknya pasti tidak mengijinkan. Aku hanya boleh menemuinya sesekali waktu. Tapi tidak dengan membawanya benar-benar pergi dari mereka. Aku sudah cukup memberikan penderitaan pada Se
Lama tidak mendapat jawaban dari Anti, Agung mulai resah dan menyesali keputusannya untuk bertanya hal tersebut pada Anti.“Maafkan aku bila aku lancang. Kamu tidak usah menjawabnya. Aku sudah tahu jawabannya. Sekali lagi, aku minta maaf karena telah membuatmu tidak nyaman. Tolong, setelah ini, lupakan saja apa yang aku katakana tadi. Dan bersikaplah biasa terhadap Felish. Aku mohon. Aku akan perlahan membujuknya dan menjauhkannya dari kamu,” ucap Agung lirih. Pandangannya ia tundukkan. Terlihat dari sikapnya kalau pria itu merasa malu dengan apa yang barusan ia katakan.“Aku belum menjawab, kenapa kamu sudah berbicara seperti itu?” Ucapan yang baru saja Agung dengar, membuatnya mendongakkan kepala.“Maksudnya?” Agung bertanya bingung.“Aku akan menjawab setelah aku berbicara hal ini pada Nadia. Bagaimanapun, dia pemegang keputusan terbesar dalam hidupku,” ujar Anti lagi.“Apa itu artinya, bila Nadia setuju, kamu akan menerima? Aku mau tahu dulu perasaan dan jawaban kamu, Anti. Apa ya
Ketukan pada pintu membuat jantung Anti berdegup kencang. Sebelum keluar untuk membukanya, wanita itu menghadap cermin. Berkali-kali melihat penampilannya dan membenarkan posisi khimar yang sudah rapi.Nadia seperti biasa, bila akhir pekan pasti menginap di rumah Tohir. Sehingga nantinya, Anti akan bebas berbicara dengan Agung."Masuk," ucap Anti mempersilakan tamunya. Terdengar kegugupan dari suara yang keluar.Agung menatap Anti sejenak lalu masuk. Duduk dengan tidak tenang. Anti masuk ke dalam untuk mengambilkan minum. Lebih tepatnya, mengatur debar dalam dada.Terlihat orang tuanya tengah menonton televisi di rumah belakang. Mereka memang jarang bersama karena rumah orang tua Anti besar dan bisa dijadikan dia bagian, sehingga seolah-olah mereka seperti hidup di dua rumah.Bau parfum Agung menguar di ruang tamu kalau Anti kembali dengan membawa sebuah nampan berisi teh hangat juga sepiring pisang goreng."Silakan diminum," ucap Anti mepersilakan."Terima kasih." Agung menjawab sera
Mereka larut dalam. pikiran masing-masing. Menciptakan hening di ruangan berukuran empat kali delapan meter itu."Anti," panggil Agung."Ya," Anti mendongakkan kepala."Terima kasih sudah menerima akun yang tidak sempurna ini," ujar Agung pelan"Kita sama-sama tidak sempurna. Tidak ada manusia yang sempurna. Hanya saja, kita harus berusaha menjadi lebih baik," jawab Anti."Aku pernah bersalah sama kamu. Aku pernah melakukan dosa sama kamu,""Dan itu menjadi jalan hijrah kamu. Dan bisa serta membawa Sesil mengenal Allah sebelum dia meninggal.""Apa kamu akan memberitahu ini pada mantan suami kamu? Kalau iya, aku antar kamu ke sana,"Tiba-tiba Anti seperti mengingat satu hal."Aku sudah baik dengan mantan suamiku. Dan juga anakku yang ada padanya. Maksudnya, Mas Agam," jawab Anti merasa malu kar3na memiliki banyak mantan suami."Alhamdulillah, syukurlah. Kapan kamu mau ke sana? Aku antar." Agung menawarkan."Bisakah kita naik mobil? Mengajak Nadia turut serta. Bukan kenapa. Maaf, kita b
Ada debar bahagia, dalam hati mereka. Namun, kedua insan yang telah memegang teguh ajaran agama itu tidak mau larut ke dalam suasana yang dapat menimbulkan sebuah dosa."Salam buat Felish," ucap Anti."Ok. Akan aku sampaikan, dia dapat salam dari Ibu Anti." Mendengar itu, Anti tersipu malu. "Kita ke rumah mantan suami kamu jika waktu pernikahan sudah dekat. Sementara ini, rahasiakan saja, ya?" ucap Agung memberi saran."Apapun yang menurut kamu baik, aku akan menuruti," jawab Anti pasrah."Kamu istri idaman," ujar Agung."Kita sudah tua," tukas Anti."Siapapun berhak bahagia. Berhak juga untuk merasakan jatuh cinta lagi." Pipi Anti bersemu merah. Senyum malu tergambar di sana. "Anti,""Ya,""Apakah kamu akan selalu memanggil aku dengan sebutan kamu?" tanya Agung penasaran."Em, itu, akan aku pikirkan. Panggilan yang tepat. Maaf kalau selama ini kurang sopan," jawab Anti merasa tidak nyaman."Baiklah. Terserah kamu, kamu mau panggil apapun sama aku, asal kamu nyaman. Tapi sepertinya, j