”An, gabung lagi ya, sama kami?” Ucapan Risa membuyarkan ingatan Anti tentang Agung.
“Gabung gimana maksudnya?” Anti bertanya tidak paham.
“Ya itu tadi, ngumpul-ngumpul bersama lagi kayak dulu. Kita melakukan banyak hal yang menyenangkan lagi. Erina udah jarang ikut kok, soalnya udah punya anak kecil,” terang Risa membuat Anti mendelik heran.
“Erina? Maksudnya? Aku tidak paham.”
“Maksudnya, kali aja kamu sekarang jadi sungkan kumpul bareng dia,” Anti tergelak mendengarnya.
“Aku tidak pernah merasa seperti itu, Risa. Aku dan Erina, kami sudah biasa bertemu, berbincang bersama.”
“Wah, bagus dong, ya, kalau begitu, kita bisa kembali bersama seperti dulu. Bagaimana?”
“Gimana ya?” Anti menjawab bingung. Dalam hatinya kini sudah tidak ada keinginan untuk melakukan hal semacam itu lagi.
“Ayolah, gak jenuh di rumah terus?”
Hari Minggu, seperti biasa, Anti telah bersiap untuk mengikuti kajian. Wanita itu telah membagi waktu, di hari Sabtu jadwalnya mengunjungi Bilal, dan Minggu waktunya ia menyiram batinnya dengan materi agama yang disampaikan Ustadz.Semalam, grup sahabbatnya telah ramai mengadakan rencana berkumpul bersama sekalian rekreasi ke pantai. Sejak masuk dalam grup itu, dirinya jarang sekali ikut berkomentar kecuali bila ada salah satu yang menyebut namanya. Risa mengajaknya ikut serta. Akan tetapi Anti menolak dengan alasan ada kepentinga. Tidak ingin disebut sok alim, dirinya memilih untuk berbohong.Nadia sudah berangkat olah raga sejak pagi buta, dan anaknya itu sudah tahu kalau hari ini Anti ada kajian.Hari itu, Anti tidak duduk bersama Umi. Karena Umi belum datang saat dirinya sampai. Dan karena duduk di barisan depan untuk kaum hawa, Anti harus keluar paling akhir. Hal yang jarang ia lakukan semenjak Agung sudah pergi dari hidupnya. Entah kenapa, wanita itu meras
“Sudah siap, Nad?” tanya Anti pada anaknya yang hendak berangkat ke Semarang untuk mengikuti seleksi kesehatan calon polwan.“Sudah, Bu,” jawab Nadia sembari memakai ransel di punggung.“Baiklah, ayo keluar! Ayahmu sudah menunggu,” ajak Anti.Nadia tersenyum manis dan melangkah keluar kamar. Sebelum pergi, dia berhenti di ruang keluarga. Memandangi foto besar yang terpampang di sana.“Adek, Ilal, doakan Mbak, ya? Semoga Mbak lolos,” ucapnya pada sebuah gambar mati yang menampakkan senyum polos.Anti mengusap pundak Nadia berkali-kali. Anak sulungnya itu sudah memiliki tinggi badan di atasnya.“Ayo, Ayah sudah menunggu,” ajak Anti.Nadia berpaling dan tersenyum seraya berkata, “Doakan ya, Bu, aku lolos tes kesehatan tahap pertama ini.”“Pasti, Nad, Ibu pasti mendoakan kamu,” jawab Anti dengan netra berkaca-kaca.Nadia berangkat ke Semarang
Anti mendongak, yang ia lihat seorang anak perempuan berusia dua tahun. Dan benar saja, tak lama kemudian balita cantik itu terjatuh. Anti segera bangun dan membantunya berdiri. Saat tubuhnya beridiri tegak, betapa kagetnya ia. Berdiri di hadapan sesosok lelaki yang sangat ia kenal.“Kamu?” sapa Anti. Seumur mereka kenal, Anti memang belum pernah memanggil Agung dengan sebutan apapun.“Anti?” seru Agung tak kalah kaget.“Jadi, ini? Ini anak kamu?” Anti bertanya sambil masih menggendong anak manis yang memakai jaket warna pink.“Iya,” jawab Agung. Tangannya terulur mengambil anak yang ada dalam gendongan Anti.Entah kenapa, ada sisi hati Anti yang merasa sedih.“Ayo, kita duduk di sini dulu, Ayah capek,” ujar Agung pada anaknya. Tubuhnya menepi dan ia daratkan di trotoar yang sama dengan Anti duduk tadi.Mau tidak mau, ibu Nadia ikut duduk. Agung memangku anaknya sementara Ant
“Kenapa?” Agung bertanya lagi.“Belum bertemu jodoh.” Kali ini, entah mengapa Anti menjawab hal yang berbeda.“Karena kamu tidak berusaha membuka hati kamu. Makanya belum bertemu,” kelakar Agung.“Karena belum bertemu jodoh sehingga Allah tidak membukakan hati aku,”Agung diam. Menikmati seplastik teh hangat yang dibelikan Anti. Pun dengan Anti, dirinya sibuk menyuapi Felish martabak manis yang ie beli bersama teh tadi.“Kalau pulang, kamu nginep di rumah orang tua Sesil?” Anti bertanya memecah diam diantara mereka.“Enggak. Aku masih merasa malu pada mereka. Karena aku merasa, yang menyebabkan anaknya meninggal adalah aku. Jadi, aku bawa Felish ke rumahku dulu. Kami menginap di sana. Karena aku selalu pulang setiap akhir pecan, dia masih mengenal aku,” jawab Agung.Anti kembali diam. Tatapannya nanar, jauh memandang pohon yang beridri kokoh di seberang jalan.
Jadilah setelah itu, Felish benar-benar diajak bermain ke rumah ibu Nadia dan Bilal. Selama beberapa minggu hal itu berlangsung, membuat hubungan mereka semakin dekat. Pun dengan Nadia. Gadis yang menyukai anak kecil itu cepat akrab dengan Felish.“Maaf, selalu mengganggu waktumu,” ujar Agung merasa tidak enak.“Oh, tidak apa-apa. Bawalah dia ke sini kalau meminta.”“Aku mau dipindah lagi ke sini. Itu artinya, akan sering berjumpa Felish. Tapi, itu juga berarti kami akan sering datang ke sini. Bila kamu keberatan, aku bisa membujuk Felish.”“Jangan! Jangan bujuk dia. Biarlah, bila dia memang senang bertemu aku,” larang Anti. “Apa itu artinya Felish akan tinggal bersamamu?” lanjut Anti lagi.“Tidak akan. Neneknya pasti tidak mengijinkan. Aku hanya boleh menemuinya sesekali waktu. Tapi tidak dengan membawanya benar-benar pergi dari mereka. Aku sudah cukup memberikan penderitaan pada Se
Lama tidak mendapat jawaban dari Anti, Agung mulai resah dan menyesali keputusannya untuk bertanya hal tersebut pada Anti.“Maafkan aku bila aku lancang. Kamu tidak usah menjawabnya. Aku sudah tahu jawabannya. Sekali lagi, aku minta maaf karena telah membuatmu tidak nyaman. Tolong, setelah ini, lupakan saja apa yang aku katakana tadi. Dan bersikaplah biasa terhadap Felish. Aku mohon. Aku akan perlahan membujuknya dan menjauhkannya dari kamu,” ucap Agung lirih. Pandangannya ia tundukkan. Terlihat dari sikapnya kalau pria itu merasa malu dengan apa yang barusan ia katakan.“Aku belum menjawab, kenapa kamu sudah berbicara seperti itu?” Ucapan yang baru saja Agung dengar, membuatnya mendongakkan kepala.“Maksudnya?” Agung bertanya bingung.“Aku akan menjawab setelah aku berbicara hal ini pada Nadia. Bagaimanapun, dia pemegang keputusan terbesar dalam hidupku,” ujar Anti lagi.“Apa itu artinya, bila Nadia setuju, kamu akan menerima? Aku mau tahu dulu perasaan dan jawaban kamu, Anti. Apa ya
Ketukan pada pintu membuat jantung Anti berdegup kencang. Sebelum keluar untuk membukanya, wanita itu menghadap cermin. Berkali-kali melihat penampilannya dan membenarkan posisi khimar yang sudah rapi.Nadia seperti biasa, bila akhir pekan pasti menginap di rumah Tohir. Sehingga nantinya, Anti akan bebas berbicara dengan Agung."Masuk," ucap Anti mempersilakan tamunya. Terdengar kegugupan dari suara yang keluar.Agung menatap Anti sejenak lalu masuk. Duduk dengan tidak tenang. Anti masuk ke dalam untuk mengambilkan minum. Lebih tepatnya, mengatur debar dalam dada.Terlihat orang tuanya tengah menonton televisi di rumah belakang. Mereka memang jarang bersama karena rumah orang tua Anti besar dan bisa dijadikan dia bagian, sehingga seolah-olah mereka seperti hidup di dua rumah.Bau parfum Agung menguar di ruang tamu kalau Anti kembali dengan membawa sebuah nampan berisi teh hangat juga sepiring pisang goreng."Silakan diminum," ucap Anti mepersilakan."Terima kasih." Agung menjawab sera
Mereka larut dalam. pikiran masing-masing. Menciptakan hening di ruangan berukuran empat kali delapan meter itu."Anti," panggil Agung."Ya," Anti mendongakkan kepala."Terima kasih sudah menerima akun yang tidak sempurna ini," ujar Agung pelan"Kita sama-sama tidak sempurna. Tidak ada manusia yang sempurna. Hanya saja, kita harus berusaha menjadi lebih baik," jawab Anti."Aku pernah bersalah sama kamu. Aku pernah melakukan dosa sama kamu,""Dan itu menjadi jalan hijrah kamu. Dan bisa serta membawa Sesil mengenal Allah sebelum dia meninggal.""Apa kamu akan memberitahu ini pada mantan suami kamu? Kalau iya, aku antar kamu ke sana,"Tiba-tiba Anti seperti mengingat satu hal."Aku sudah baik dengan mantan suamiku. Dan juga anakku yang ada padanya. Maksudnya, Mas Agam," jawab Anti merasa malu kar3na memiliki banyak mantan suami."Alhamdulillah, syukurlah. Kapan kamu mau ke sana? Aku antar." Agung menawarkan."Bisakah kita naik mobil? Mengajak Nadia turut serta. Bukan kenapa. Maaf, kita b
Part 11 POV Dania (Ending) Lelah hati tatkala harus menghadapi banyak hal. Akhirnya aku menyerah pada keadaan. Aku tidak akan memaksakan takdir apapun sekarang. Selalu bertemu dengan orang-orang yang membuat hati ini sakit hati, membuatku semakin sadar kalau hanya keluarga Laura saja yang baik padaku. Melihat penghianatan Nindi dan juga sikap Cika yang masih dingin dan membenciku, membuat hati ini sudah memutuskan. Aku akan menghilang dari hidup orang-orang yang mengenalku. Untuk apa mempedulikan Cika yang sangat membenciku? Baginya, Ines adalah ibunya. Setelah Nindi keluar dari rumah, Laura menelpon malam-malam dan menangis. Ia mengatakan kalau pacarnya ternyata selingkuh dan dia seorang diri. Laura menanyakan perkembangan hubunganku dengan Cika, dan aku menjawab apa adanya. “Cika tidak akan pernah bisa menerimaku. Itu kenyataannya,” jawabku sudah pasrah dengan keadaan. “Dania, aku minta maaf, bisakah kamu kembali kesini? Hidup bersamaku dan aku menarik semua ucapanku kemarin,” p
Part 10Tiga hari tinggal bersama, dia tetap masih diam. Makananku tetap disiapkan, tetapi menunggu aku keluar untuk makan sendiri. Dia sama sekali tidak seperti dulu yang memanggilku, menyiapkan baju ganti dan segala keperluanku. Akhirnya, pagi ini kuberanikan diri untuk mengajaknya berbicara.“Apa aku akan diusir seperti Nindi?” tanyaku pelan. Dia yang lagi-lagi berkutat dengan laptop--mengangkat wajah.“Pilihlah mana dari milikku yang akan kamu ambil, Cika! Sisanya, bila kamu tidak mau, maka akan kujual. Kamu bisa gunakan untuk keperluan hidupmu. Itu jika kamu mau,” jawabnya tanpa ekspresi ramah.Aku memainkan jari jemariku. Bingung hendak menjawab apa. Ponselnya berdering dan dia langsung mengangkatnya. Aku masih berdiri mendengarkan dia berbicara dengan orang yang kukira ada di luar negeri.Meski sudah lama tidak pernah belajar bahasa asing lagi, tetapi aku tahu apa arti dari ucapan yang disampaikan seseorang dari seberang telepon sana. Speaker ponsel yang dihidupkan membuatku bi
Part 9“Mbak Dania, aku minta maaf, Mbak, aku akui memang salah dan aku akan meminta dia untuk keluar dari rumah Mbak Dania asalkan Mbak Dania masih mengizinkan aku untuk tetap di sini. Aku akan menjaga Cika, Mbak, aku janji,” kata Nindi sambil bersimpuh dan memegang kaki dia.“Aku sudah tidak butuh siapapun lagi, Nindi. Aku akan membiarkan orang-orang yang hanya memanfaatkanku dan juga orang-orang yang tidak menyukaiku untuk pergi dari hidupku. Aku tidak akan memaksakan takdir bahagia bersamaku, jadi, kamu tidak perlu bersimpuh meminta, karena aku sudah akan menghapusmu dari daftar orang-orang yang kukenal,” jawab dia santai.Seketika aku memandang wajah cantik itu. Ada sebuah perasaan terluka di sana. Jika dia benar-benar tidak mau lagi mengurusku, maka, siapa yang akan mengurusku lagi? Tiba-tiba saja ketakutan besar menguasai hati.Wajah itu, dia tidak mau melihat padaku. Padahal, aku berharap itu.Nindi masih bersimpuh sambil menangis.“Dimana mobilku, Nindi?” tanya dia datar.“Ee
Part 8POV CikaAku memilih masuk dan duduk di atas hamparan pasir meski terik matahari terasa sangat menyengat di kulit. Benar-benar bingung hendak minta tolong dan mengadu pada siapa, maka kuputuskan untuk menangis seorang diri.“Ya Allah, kirimkan bantuan untukku. Ya Allah, ampuni aku jika aku selama ini nakal dan banyak dosa. Ya Allah, aku janji, jika aku mendapatkan pertolongan untuk masalahku ini, aku akan kembali sholat seperti saat di pondok dulu. Jika ada orang yang menolongku, maka aku akan menjadikannya sahabat,” ucapku sambil menangis.Lama aku berada dalam posisi ini, hingga leher terasa pegal, lalu aku mengangkat kepala. Saat menoleh, ternyata ada seseorang yang duduk di sebelahku dan dia melakukan hal yang sama.Menatapku.Deg.Jantungku berpacu lebih cepat tatkala mendengar orang itu memanggil namaku. Dia sosok yang kurindu, tetapi juga kubenci.“Kenapa kamu berpanas-panasan sendirian di sini?” ucapnya sambil berteriak.Aku diam, enggan menjawab. Teringat olehku Nindi
Part 7POV DaniaAku menatap tubuh Nyonya dan Tuan yang terbujur kaku di rumah sakit dengan darah bersimbah di sekujur tubuh mereka–dengan hati yang sangat hancur.Baru sebentar kembali bekerja bersama mereka yang sudah kuanggap seperti keluarga sendiri, tetapi harus merasakan sakitnya kehilangan. Nyonya dan Tuan tewas dalam kecelakaan tunggal. Mobil yang mereka tumpangi menabrak sebuah pohon dan nyawa mereka langsung hilang di tempat itu juga.Tak tahu lagi harus berusaha tegar seperti apa. Karena mereka berdua adalah keluarga yang kumiliki saat ini dan kenapa takdir selalu tidak berpihak padaku?Mayat Nyonya dan Tuan dimakamkan dua hari kemudian setelah berbagai prosesi keagamaan mereka berdua berlangsung. Kini, saat semua pelayat pergi, aku hanya berdua saja dengan anak semata wayang Nyonya yang berusia dua puluh tahun.“Aku akan melanjutkan kuliah di negara sebelah. Kamu jika masih mau di sini, maka harus mencari pekerjaan lain. Karena aku sudah tidak bisa membayarmu. Rumahku aka
Part 6POV CIKAAku menatap rumah besar itu, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Meski keberadaanku tidak diakui di sini, tetapi nyatanya, belasan tahun diriku hidup di sana.Walaupun tanpa kenangan indah, tetapi aku bisa melakukan apapun di rumah itu. Kini, aku harus melangkah pergi untuk yang terakhir kalinya. Hati benar-benar sadar, jika memang diri ini tiada lagi diharapkan oleh mereka. Kehadiranku di rumah itu hanya untuk mengukir kisah sedih.Hari ini aku pergi dengan naik taksi. Pulangnya, memilih berjalan menyusuri jalanan komplek perumahan elit yang semuanya memiliki pagar yang tinggi. Sengaja memilih berjalan kaki, hanya sekadar ingin menikmati rasa yang sangat menyesakkan dalam dada ini. Rencananya, nanti akan pulang dengan naik bus. Di dekat gerbang perumahan ini ada sebuah halte.Langkah kaki ini berjalan lambat. Aku sadar kini aku sudah benar-benar sendiri, dan sebentar lagi, bisa saja harus tiba-tiba hidup dengan sosok yangtidak kukenal sama sekali. Aku Cika, harus ber
Part 5Sebuah ketukan di luar pintu kamar membuat Cika beranjak dari tempat tidurnya. Ia yang sudah setengah mengantuk terpaksa bangun untuk menemui orang yang sudah pasti itu Nindi. Dengan memicingkan mata, Cika menatap perempuan yang masih lajang itu yang sudah siap dengan koper besar.“Mbak Nindi mau pergi?” Seketika mata Cika yang semula setengah mengantuk terbuka sempurna.“Iya,” jawab Nindi singkat dan ragu.Napas Cika mulai narik turun. Antara takut dan kaget.“Mbak Nindi, aku sama siapa di sini?” tanya Cika mulai menampakkan ketakutannya.“Sudah saatnya kamu belajar hidup mandiri , Cika. Tidak mungkin aku akan terus bersama dengan kamu. Ibu kamu saja sudah pergi. Dan keluarga kamu saja sudah tidak memperdulikan keberadaanmu lagi. Masa aku yang bukan siapa-siapa kamu harus bertahan di sini? Aku punya impian untuk menikah, aku punya keluarga yang harus aku rawat. Jadi, aku akan pergi sekarang dan mulai saat ini, kamu hidup di sini sendiri,” jelas Cika.“Mbak Nindi, tidak bisakah
Part 4 Cika merasa sangat kesepian dengan hidup yang dijalani saat ini. Bingung karena setiap hari yang dilakukan hanyalah makan dan tidur saja. Hendak keluar untuk sekadar mencari kesenangan bersama teman-temannya pun susah dilakukan karena rumah yang ditempatinya saat ini cukup jauh dengan rumah kawan semasa ia sekolah. Bermain ponsel juga membuat kepalanya pusing. Nindi juga lebih banyak menghabiskan waktu di kantor. Jika malam minggu tiba, gadis yang sudah dewasa itu akan keluar bersama dengan sang kekasih dan pulang jika sudah dini hari saat Cika sudah terlelap dalam mimpi. Dua bulan sudah dilalui Cika hidup seorang diri di rumah besar peninggalan Dania. Di suatu pagi, Cika yang baru saja bangun menemui Nindi yang tengah sarapan pagi. Dengan langkah berat dan kepala tertunduk berjalan pelan menghampiri Nindi yang sedang sarapan. “Kenapa?” tanya Nindi saat Cika sudah sampai di hadapannya. “Pembantu yang katanya mau datang itu, apa tidak ada kabarnya?” tanya Cika ragu. Sikap ke
Part 3Langit mulai gelap. Tidak ada bintang satupun di sana. Aku mulai menoleh ke kanan dan kiri mencari sebuah tumpangan yang bisa membawaku pulang. Entah pulang kemana. Dalam keadaan bimbang, aku membuka ponsel. Ternyata Rindi menelpon banyak ke nomorku. Ia juga berkirim pesan. Aku membukanya, tetapi hanya di bagian akhir yang kubaca.[Kamu kemana saja?][Kenapa belum pulang?][Cika, balas pesanku!][Cika, kamu kemana? Cepat pulang]Aku takut, tetapi tidak mungkin aku mengatakan kalau saat ini sedang di bandara. Akhirnya, aku memilih mencari taksi dengan berjalan keluar bandara. Tidak ada tempat lagi untuk pulang selain rumah Dania dan aku berharap Rindi sedang menungguku di sana. Aku sangat takut.Seketika bernapas lega saat kulihat Rindi tengah menungguku dengan cemas. “Dari mana saja kamu?” tanyanya cemas dengan wajah marah.Kali ini aku tidak akan melawannya. Dia satu-satunya orang yang masih peduli berada di sisiku. Aku diam sambil memainkan ujung kuku.“Cika, kamu dari mana?”