“Suatu saat nanti, aku akan mengatakan pada Bilal kalau kamu adalah ibu kandungnya. Suatu hari nanti, bila aku sudah bisa mengkondisikan Laila. Dan bila dia sudah mengerti siapa itu ibu.” Mendengar Agam berjanji demikian, hati Anti merasa senang. Setidaknya, mantan suaminya itu memiliki sebuah i’tikad baik untuk mengatakan sebuah kebenaran meskipun dirinya yang melakukan kesalahan.
“Bila memang aku tidak pantas untuk disebut ibu, aku tidak apa-apa, Mas. Aku ikhlas. Aku merasa malu, aku tidak layak untuk menyandang gelar itu,”
“Tidak, Anti. Bagaimanapun, ini adalah sebuah kebenaran. Justru harus aku katakan agar kelak Bilal dewasa tahu, pasti ia akan kecewa. Jangan khawatir, aku akan menyembunyikan alasan dia jauh dari kamu. Hanya saja, kamu harus bersabar, ya? Kamu tahu ‘kan, keadaan Laila?”
“Iya, Mas. Aku paham. Terima kasih untuk ini. Terima kasih sudah memaafkanku,” sahut Anti dengan suara bergetar.
“Kamu layak mendapatkan itu atas usaha kamu untuk
Ayo, yang mau ikutan GA dengan hadiah novel cetak dan uang tunai, silakan follow dulu ig saya. Hehe, buat seru-seruan, yuk, ramaikan ....
”An, gabung lagi ya, sama kami?” Ucapan Risa membuyarkan ingatan Anti tentang Agung.“Gabung gimana maksudnya?” Anti bertanya tidak paham.“Ya itu tadi, ngumpul-ngumpul bersama lagi kayak dulu. Kita melakukan banyak hal yang menyenangkan lagi. Erina udah jarang ikut kok, soalnya udah punya anak kecil,” terang Risa membuat Anti mendelik heran.“Erina? Maksudnya? Aku tidak paham.”“Maksudnya, kali aja kamu sekarang jadi sungkan kumpul bareng dia,” Anti tergelak mendengarnya.“Aku tidak pernah merasa seperti itu, Risa. Aku dan Erina, kami sudah biasa bertemu, berbincang bersama.”“Wah, bagus dong, ya, kalau begitu, kita bisa kembali bersama seperti dulu. Bagaimana?”“Gimana ya?” Anti menjawab bingung. Dalam hatinya kini sudah tidak ada keinginan untuk melakukan hal semacam itu lagi.“Ayolah, gak jenuh di rumah terus?”
Hari Minggu, seperti biasa, Anti telah bersiap untuk mengikuti kajian. Wanita itu telah membagi waktu, di hari Sabtu jadwalnya mengunjungi Bilal, dan Minggu waktunya ia menyiram batinnya dengan materi agama yang disampaikan Ustadz.Semalam, grup sahabbatnya telah ramai mengadakan rencana berkumpul bersama sekalian rekreasi ke pantai. Sejak masuk dalam grup itu, dirinya jarang sekali ikut berkomentar kecuali bila ada salah satu yang menyebut namanya. Risa mengajaknya ikut serta. Akan tetapi Anti menolak dengan alasan ada kepentinga. Tidak ingin disebut sok alim, dirinya memilih untuk berbohong.Nadia sudah berangkat olah raga sejak pagi buta, dan anaknya itu sudah tahu kalau hari ini Anti ada kajian.Hari itu, Anti tidak duduk bersama Umi. Karena Umi belum datang saat dirinya sampai. Dan karena duduk di barisan depan untuk kaum hawa, Anti harus keluar paling akhir. Hal yang jarang ia lakukan semenjak Agung sudah pergi dari hidupnya. Entah kenapa, wanita itu meras
“Sudah siap, Nad?” tanya Anti pada anaknya yang hendak berangkat ke Semarang untuk mengikuti seleksi kesehatan calon polwan.“Sudah, Bu,” jawab Nadia sembari memakai ransel di punggung.“Baiklah, ayo keluar! Ayahmu sudah menunggu,” ajak Anti.Nadia tersenyum manis dan melangkah keluar kamar. Sebelum pergi, dia berhenti di ruang keluarga. Memandangi foto besar yang terpampang di sana.“Adek, Ilal, doakan Mbak, ya? Semoga Mbak lolos,” ucapnya pada sebuah gambar mati yang menampakkan senyum polos.Anti mengusap pundak Nadia berkali-kali. Anak sulungnya itu sudah memiliki tinggi badan di atasnya.“Ayo, Ayah sudah menunggu,” ajak Anti.Nadia berpaling dan tersenyum seraya berkata, “Doakan ya, Bu, aku lolos tes kesehatan tahap pertama ini.”“Pasti, Nad, Ibu pasti mendoakan kamu,” jawab Anti dengan netra berkaca-kaca.Nadia berangkat ke Semarang
Anti mendongak, yang ia lihat seorang anak perempuan berusia dua tahun. Dan benar saja, tak lama kemudian balita cantik itu terjatuh. Anti segera bangun dan membantunya berdiri. Saat tubuhnya beridiri tegak, betapa kagetnya ia. Berdiri di hadapan sesosok lelaki yang sangat ia kenal.“Kamu?” sapa Anti. Seumur mereka kenal, Anti memang belum pernah memanggil Agung dengan sebutan apapun.“Anti?” seru Agung tak kalah kaget.“Jadi, ini? Ini anak kamu?” Anti bertanya sambil masih menggendong anak manis yang memakai jaket warna pink.“Iya,” jawab Agung. Tangannya terulur mengambil anak yang ada dalam gendongan Anti.Entah kenapa, ada sisi hati Anti yang merasa sedih.“Ayo, kita duduk di sini dulu, Ayah capek,” ujar Agung pada anaknya. Tubuhnya menepi dan ia daratkan di trotoar yang sama dengan Anti duduk tadi.Mau tidak mau, ibu Nadia ikut duduk. Agung memangku anaknya sementara Ant
“Kenapa?” Agung bertanya lagi.“Belum bertemu jodoh.” Kali ini, entah mengapa Anti menjawab hal yang berbeda.“Karena kamu tidak berusaha membuka hati kamu. Makanya belum bertemu,” kelakar Agung.“Karena belum bertemu jodoh sehingga Allah tidak membukakan hati aku,”Agung diam. Menikmati seplastik teh hangat yang dibelikan Anti. Pun dengan Anti, dirinya sibuk menyuapi Felish martabak manis yang ie beli bersama teh tadi.“Kalau pulang, kamu nginep di rumah orang tua Sesil?” Anti bertanya memecah diam diantara mereka.“Enggak. Aku masih merasa malu pada mereka. Karena aku merasa, yang menyebabkan anaknya meninggal adalah aku. Jadi, aku bawa Felish ke rumahku dulu. Kami menginap di sana. Karena aku selalu pulang setiap akhir pecan, dia masih mengenal aku,” jawab Agung.Anti kembali diam. Tatapannya nanar, jauh memandang pohon yang beridri kokoh di seberang jalan.
Jadilah setelah itu, Felish benar-benar diajak bermain ke rumah ibu Nadia dan Bilal. Selama beberapa minggu hal itu berlangsung, membuat hubungan mereka semakin dekat. Pun dengan Nadia. Gadis yang menyukai anak kecil itu cepat akrab dengan Felish.“Maaf, selalu mengganggu waktumu,” ujar Agung merasa tidak enak.“Oh, tidak apa-apa. Bawalah dia ke sini kalau meminta.”“Aku mau dipindah lagi ke sini. Itu artinya, akan sering berjumpa Felish. Tapi, itu juga berarti kami akan sering datang ke sini. Bila kamu keberatan, aku bisa membujuk Felish.”“Jangan! Jangan bujuk dia. Biarlah, bila dia memang senang bertemu aku,” larang Anti. “Apa itu artinya Felish akan tinggal bersamamu?” lanjut Anti lagi.“Tidak akan. Neneknya pasti tidak mengijinkan. Aku hanya boleh menemuinya sesekali waktu. Tapi tidak dengan membawanya benar-benar pergi dari mereka. Aku sudah cukup memberikan penderitaan pada Se
Lama tidak mendapat jawaban dari Anti, Agung mulai resah dan menyesali keputusannya untuk bertanya hal tersebut pada Anti.“Maafkan aku bila aku lancang. Kamu tidak usah menjawabnya. Aku sudah tahu jawabannya. Sekali lagi, aku minta maaf karena telah membuatmu tidak nyaman. Tolong, setelah ini, lupakan saja apa yang aku katakana tadi. Dan bersikaplah biasa terhadap Felish. Aku mohon. Aku akan perlahan membujuknya dan menjauhkannya dari kamu,” ucap Agung lirih. Pandangannya ia tundukkan. Terlihat dari sikapnya kalau pria itu merasa malu dengan apa yang barusan ia katakan.“Aku belum menjawab, kenapa kamu sudah berbicara seperti itu?” Ucapan yang baru saja Agung dengar, membuatnya mendongakkan kepala.“Maksudnya?” Agung bertanya bingung.“Aku akan menjawab setelah aku berbicara hal ini pada Nadia. Bagaimanapun, dia pemegang keputusan terbesar dalam hidupku,” ujar Anti lagi.“Apa itu artinya, bila Nadia setuju, kamu akan menerima? Aku mau tahu dulu perasaan dan jawaban kamu, Anti. Apa ya
Ketukan pada pintu membuat jantung Anti berdegup kencang. Sebelum keluar untuk membukanya, wanita itu menghadap cermin. Berkali-kali melihat penampilannya dan membenarkan posisi khimar yang sudah rapi.Nadia seperti biasa, bila akhir pekan pasti menginap di rumah Tohir. Sehingga nantinya, Anti akan bebas berbicara dengan Agung."Masuk," ucap Anti mempersilakan tamunya. Terdengar kegugupan dari suara yang keluar.Agung menatap Anti sejenak lalu masuk. Duduk dengan tidak tenang. Anti masuk ke dalam untuk mengambilkan minum. Lebih tepatnya, mengatur debar dalam dada.Terlihat orang tuanya tengah menonton televisi di rumah belakang. Mereka memang jarang bersama karena rumah orang tua Anti besar dan bisa dijadikan dia bagian, sehingga seolah-olah mereka seperti hidup di dua rumah.Bau parfum Agung menguar di ruang tamu kalau Anti kembali dengan membawa sebuah nampan berisi teh hangat juga sepiring pisang goreng."Silakan diminum," ucap Anti mepersilakan."Terima kasih." Agung menjawab sera