Anti duduk di kursi dan menjatuhkan kepala di samping tubuh Laila. Mencium telapak tangan wanita yang terbaring lemah berkali-kali.
"Terima kasih, La. Terima kasih untuk semuanya. Kamu wanita yang sangat baik. Bilal sangat pantas mendapatkan ibu seperti kamu. Dia sangat beruntung. Aku mungkin, memang hanya ditakdirkan untuk mengandung dan melahirkan dia untuk kamu," ujar Anti sesenggukan.
Beruntungnya pasien yang ada di bed sebelah sudah pulang. Sehingga, tidak ada ketakutan pembicaraan mereka diketahui orang lain.
"Laila itu mandul, Mbak Anti. Dia tidak bisa hamil. Dulu, dia pernah menikah dan tidak direstui. Suaminya meninggal. Dan Laila selalu jadi sasaran kemarahan keluarga mantan mertua. Tidak sekali dua kali mereka datang memaki-maki Laila. Bahkan pernah Laila dihajar oleh ibu dari almarhum suaminya. Anak saya selalu dikatakan wanita pembawa sial yang menyebabkan suaminya meninggal. Sehingga dia depresi dan akhirnya saya masukkan pesantren. Jujur memang be
Puas menumpahkan rasa haru, Anti pamit.“Cepat sembuh ya, La? Kalau kamu sudah keluar dari rumah sakit, aku akan mengajak kamu ke suatu tempat. Kita berdua, ya?” janji Anti.“Benarkah, Mbak?” Laila bertanya dengan binar bahagia.“Iya, makanya, kamu lekas sembuh, ya?” ujar Anti lagi.“Iya, Mbak,” jawab Laila senang.Anti berpamitan pada ibu Laila.“Terima kasih, Mbak Anti, sudah berkunjung ke sini. Terima kasih bila Mbak Anti berkenan menganggap kami keluarga,” ujar ibu Laila terlihat tidak kalah senang. Jari jemarinya menggenggam erat telapak angan Anti.“Sama-sama, Bu. Jangan sungkan main ke rumah, ya? Besok kalau Laila sudah sembuh, mampirlah ke rumah saya, Bu,” jawab Anti lembut.“Iya, Mbak Anti,”Mereka akhirnya berpisah. Langkah Anti terasa lebih ringan. Meskipun tetap saja ada sebuah rasa sedih yang singgah. Karena bagaimanapu
“Masuk, Mas. Ini, aku sedang makan buah yang dibawakan Mbak Anti,” jawab Laila sumringah. “Kamu sudah baikan?” tanya Agam. “Iya, sudah. Aku harus sembuh. Kata Mba Anti, kalau aku sembuh mau diajak jalan ke suatu tempat.” Laila mengadu layaknya anak kecil. “Anti bilang begitu sama kamu tadi?” Agam bertanya heran Laila menjawab dengan anggukan. “Mbak Anti sebenarnya baik kok, Mas. Jangan larang dia untuk bertemu Bilal lagi, ya? Mbak Anti bilang tidak akan meminta Bilal dari kita,” ucap Laila dengan penuh kegembiraan. “Iya, terserah kamu, ya? Kamu yang berhak menentukan. Kalau kamu memang merasa itu tidak apa-apa, aku nurut,” “Iya, Mas. Aku tidak akan takut lagi sekarang.” Agam mendekati istrinya dan mengusap rambutnya. Dalam kaca mata Agam, Laila terkadang masih seperti anak kecil. Menikah dengannya membuat Agam seperti memiliki seorang adik. “Cepat sembuh. Bilal menunggumu,” ujar Agam. “Iya, Mas,”
Saat sampai di pintu perbatasan pengunjung bisa masuk, Anti sudah menunggu di sana. Bilal tengah diajak bermain Nadia di arena permainan yang disediakan pihak rumah sakit.“Ilal,” panggil Agam.“Ayah, Ibu,” teriak Bilal sambil berlari. Tubuh kecilnya langsung menubruk pangkuan Laila.Anti yang duduk di kursi tunggu menyaksikan pemandangan yang menyakitkan di hadapannya. Namun, berusaha tersenyum. Bagaimanapun, ia selalu menegaskan bahwa, kebersamaannya dengan Bilal adalah laksana barang pinjaman. Yang harus ia kembalikan kepada pemiliknya.“Bu atit?” tanya Bilal masih merebahkan kepala di atas pangkuan Laila.“Iya, Bu atit,” jawab Laial dengan tangan mengusap rambut anak tirinya itu.“Bu udah sembuh?” Bilal mendongakkan kepalanya.“Iya, Ibu sudah sembuh.”“Ulang ya, Bu? Ilal anis ga ada Ibu.” Hati Anti teramat sakit mendengar anaknya berbicara s
“Ati-ati di jalan, Ilal,” ujar Anti membuang rasa sedih.“Ilal turun dulu, Ibu mau naik,” ucap agam.“Ilal mau cama Ibu,” teriak Bilal tidak mau jauh dari Laila.“Gak papa, Mas, aku bisa mengangkat tubuh Bilal.” Laila turun dari kursi roda sambil mengangkat anaknya. Mereka duduk di jok depan samping supir. Sementara Agam dan mertuanya masih sibuk memasukkan barang ke dalam bagasi.Ingin rasanya Anti memeluk tubuh anaknya untuk yang terakhir kali. Namun, ia tidak berani mengganggu kebhagiaan Bilal yang bertemu Laila setelah berpisah beberapa hari.“Ini baju Bilal, Mas. Itu juga ada susu dan makanan ringan untuk dia kalau nanti di perjalanan minta jajan.” Anti berujar saat tinggal Agam sendirian di luar mobil. Diulurkannya tas yang sejak tadi ia tenteng. Nadia berada di dekat pintu dimana adiknya duduk.“Ilal, ati-ati, ya?” ujar Nadia.“Ayo, salim dulu sama Mb
Hari yang Anti dan Nadia jalani seakan terasa lebih hampa dari sebelumnya. Kehilangan sosok Bilal terasa mereka rasakan.Sepulangnya dari sumah sakit, seharian bahkan keduanya tidak makan sama sekali. Bayangan deretan giginya saat tersenyum. Tawa renyahnya dan teriakan kala memanggil Nadia, seakan seperti hal yang terus menerus menghantui pikiran mereka.Malam harinya, mereka masih menginap di rumah pemberian Tohir. Nti dan Nadia saling diam. Di beranda story Nadia bahkan isinya Bilal semua. Sementara Anti, duduk terdiam sibuk menentramkan rasanya sendiri. Ada sebuah keinginan untuk menghubungi Agam, tapi ia tepis karena takut akan mengganggu mereka.Hingga jam sepuluh malam, Anti masih terjaga di sebuah kursi yang sudah ia tata rapi. Jari jemarinya sibuk memainkan ponsel. Diputarnya berulang-ulang video Bilal sebagai obat rindu.Denting ponsel berbunyi, membuatnya kaget. Nama Agam tertera di layar memanggil. Dengan perasaan cemas akan terjadi sesuatu ter
“Suatu saat nanti, aku akan mengatakan pada Bilal kalau kamu adalah ibu kandungnya. Suatu hari nanti, bila aku sudah bisa mengkondisikan Laila. Dan bila dia sudah mengerti siapa itu ibu.” Mendengar Agam berjanji demikian, hati Anti merasa senang. Setidaknya, mantan suaminya itu memiliki sebuah i’tikad baik untuk mengatakan sebuah kebenaran meskipun dirinya yang melakukan kesalahan. “Bila memang aku tidak pantas untuk disebut ibu, aku tidak apa-apa, Mas. Aku ikhlas. Aku merasa malu, aku tidak layak untuk menyandang gelar itu,” “Tidak, Anti. Bagaimanapun, ini adalah sebuah kebenaran. Justru harus aku katakan agar kelak Bilal dewasa tahu, pasti ia akan kecewa. Jangan khawatir, aku akan menyembunyikan alasan dia jauh dari kamu. Hanya saja, kamu harus bersabar, ya? Kamu tahu ‘kan, keadaan Laila?” “Iya, Mas. Aku paham. Terima kasih untuk ini. Terima kasih sudah memaafkanku,” sahut Anti dengan suara bergetar. “Kamu layak mendapatkan itu atas usaha kamu untuk
”An, gabung lagi ya, sama kami?” Ucapan Risa membuyarkan ingatan Anti tentang Agung.“Gabung gimana maksudnya?” Anti bertanya tidak paham.“Ya itu tadi, ngumpul-ngumpul bersama lagi kayak dulu. Kita melakukan banyak hal yang menyenangkan lagi. Erina udah jarang ikut kok, soalnya udah punya anak kecil,” terang Risa membuat Anti mendelik heran.“Erina? Maksudnya? Aku tidak paham.”“Maksudnya, kali aja kamu sekarang jadi sungkan kumpul bareng dia,” Anti tergelak mendengarnya.“Aku tidak pernah merasa seperti itu, Risa. Aku dan Erina, kami sudah biasa bertemu, berbincang bersama.”“Wah, bagus dong, ya, kalau begitu, kita bisa kembali bersama seperti dulu. Bagaimana?”“Gimana ya?” Anti menjawab bingung. Dalam hatinya kini sudah tidak ada keinginan untuk melakukan hal semacam itu lagi.“Ayolah, gak jenuh di rumah terus?”
Hari Minggu, seperti biasa, Anti telah bersiap untuk mengikuti kajian. Wanita itu telah membagi waktu, di hari Sabtu jadwalnya mengunjungi Bilal, dan Minggu waktunya ia menyiram batinnya dengan materi agama yang disampaikan Ustadz.Semalam, grup sahabbatnya telah ramai mengadakan rencana berkumpul bersama sekalian rekreasi ke pantai. Sejak masuk dalam grup itu, dirinya jarang sekali ikut berkomentar kecuali bila ada salah satu yang menyebut namanya. Risa mengajaknya ikut serta. Akan tetapi Anti menolak dengan alasan ada kepentinga. Tidak ingin disebut sok alim, dirinya memilih untuk berbohong.Nadia sudah berangkat olah raga sejak pagi buta, dan anaknya itu sudah tahu kalau hari ini Anti ada kajian.Hari itu, Anti tidak duduk bersama Umi. Karena Umi belum datang saat dirinya sampai. Dan karena duduk di barisan depan untuk kaum hawa, Anti harus keluar paling akhir. Hal yang jarang ia lakukan semenjak Agung sudah pergi dari hidupnya. Entah kenapa, wanita itu meras
Part 11 POV Dania (Ending) Lelah hati tatkala harus menghadapi banyak hal. Akhirnya aku menyerah pada keadaan. Aku tidak akan memaksakan takdir apapun sekarang. Selalu bertemu dengan orang-orang yang membuat hati ini sakit hati, membuatku semakin sadar kalau hanya keluarga Laura saja yang baik padaku. Melihat penghianatan Nindi dan juga sikap Cika yang masih dingin dan membenciku, membuat hati ini sudah memutuskan. Aku akan menghilang dari hidup orang-orang yang mengenalku. Untuk apa mempedulikan Cika yang sangat membenciku? Baginya, Ines adalah ibunya. Setelah Nindi keluar dari rumah, Laura menelpon malam-malam dan menangis. Ia mengatakan kalau pacarnya ternyata selingkuh dan dia seorang diri. Laura menanyakan perkembangan hubunganku dengan Cika, dan aku menjawab apa adanya. “Cika tidak akan pernah bisa menerimaku. Itu kenyataannya,” jawabku sudah pasrah dengan keadaan. “Dania, aku minta maaf, bisakah kamu kembali kesini? Hidup bersamaku dan aku menarik semua ucapanku kemarin,” p
Part 10Tiga hari tinggal bersama, dia tetap masih diam. Makananku tetap disiapkan, tetapi menunggu aku keluar untuk makan sendiri. Dia sama sekali tidak seperti dulu yang memanggilku, menyiapkan baju ganti dan segala keperluanku. Akhirnya, pagi ini kuberanikan diri untuk mengajaknya berbicara.“Apa aku akan diusir seperti Nindi?” tanyaku pelan. Dia yang lagi-lagi berkutat dengan laptop--mengangkat wajah.“Pilihlah mana dari milikku yang akan kamu ambil, Cika! Sisanya, bila kamu tidak mau, maka akan kujual. Kamu bisa gunakan untuk keperluan hidupmu. Itu jika kamu mau,” jawabnya tanpa ekspresi ramah.Aku memainkan jari jemariku. Bingung hendak menjawab apa. Ponselnya berdering dan dia langsung mengangkatnya. Aku masih berdiri mendengarkan dia berbicara dengan orang yang kukira ada di luar negeri.Meski sudah lama tidak pernah belajar bahasa asing lagi, tetapi aku tahu apa arti dari ucapan yang disampaikan seseorang dari seberang telepon sana. Speaker ponsel yang dihidupkan membuatku bi
Part 9“Mbak Dania, aku minta maaf, Mbak, aku akui memang salah dan aku akan meminta dia untuk keluar dari rumah Mbak Dania asalkan Mbak Dania masih mengizinkan aku untuk tetap di sini. Aku akan menjaga Cika, Mbak, aku janji,” kata Nindi sambil bersimpuh dan memegang kaki dia.“Aku sudah tidak butuh siapapun lagi, Nindi. Aku akan membiarkan orang-orang yang hanya memanfaatkanku dan juga orang-orang yang tidak menyukaiku untuk pergi dari hidupku. Aku tidak akan memaksakan takdir bahagia bersamaku, jadi, kamu tidak perlu bersimpuh meminta, karena aku sudah akan menghapusmu dari daftar orang-orang yang kukenal,” jawab dia santai.Seketika aku memandang wajah cantik itu. Ada sebuah perasaan terluka di sana. Jika dia benar-benar tidak mau lagi mengurusku, maka, siapa yang akan mengurusku lagi? Tiba-tiba saja ketakutan besar menguasai hati.Wajah itu, dia tidak mau melihat padaku. Padahal, aku berharap itu.Nindi masih bersimpuh sambil menangis.“Dimana mobilku, Nindi?” tanya dia datar.“Ee
Part 8POV CikaAku memilih masuk dan duduk di atas hamparan pasir meski terik matahari terasa sangat menyengat di kulit. Benar-benar bingung hendak minta tolong dan mengadu pada siapa, maka kuputuskan untuk menangis seorang diri.“Ya Allah, kirimkan bantuan untukku. Ya Allah, ampuni aku jika aku selama ini nakal dan banyak dosa. Ya Allah, aku janji, jika aku mendapatkan pertolongan untuk masalahku ini, aku akan kembali sholat seperti saat di pondok dulu. Jika ada orang yang menolongku, maka aku akan menjadikannya sahabat,” ucapku sambil menangis.Lama aku berada dalam posisi ini, hingga leher terasa pegal, lalu aku mengangkat kepala. Saat menoleh, ternyata ada seseorang yang duduk di sebelahku dan dia melakukan hal yang sama.Menatapku.Deg.Jantungku berpacu lebih cepat tatkala mendengar orang itu memanggil namaku. Dia sosok yang kurindu, tetapi juga kubenci.“Kenapa kamu berpanas-panasan sendirian di sini?” ucapnya sambil berteriak.Aku diam, enggan menjawab. Teringat olehku Nindi
Part 7POV DaniaAku menatap tubuh Nyonya dan Tuan yang terbujur kaku di rumah sakit dengan darah bersimbah di sekujur tubuh mereka–dengan hati yang sangat hancur.Baru sebentar kembali bekerja bersama mereka yang sudah kuanggap seperti keluarga sendiri, tetapi harus merasakan sakitnya kehilangan. Nyonya dan Tuan tewas dalam kecelakaan tunggal. Mobil yang mereka tumpangi menabrak sebuah pohon dan nyawa mereka langsung hilang di tempat itu juga.Tak tahu lagi harus berusaha tegar seperti apa. Karena mereka berdua adalah keluarga yang kumiliki saat ini dan kenapa takdir selalu tidak berpihak padaku?Mayat Nyonya dan Tuan dimakamkan dua hari kemudian setelah berbagai prosesi keagamaan mereka berdua berlangsung. Kini, saat semua pelayat pergi, aku hanya berdua saja dengan anak semata wayang Nyonya yang berusia dua puluh tahun.“Aku akan melanjutkan kuliah di negara sebelah. Kamu jika masih mau di sini, maka harus mencari pekerjaan lain. Karena aku sudah tidak bisa membayarmu. Rumahku aka
Part 6POV CIKAAku menatap rumah besar itu, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Meski keberadaanku tidak diakui di sini, tetapi nyatanya, belasan tahun diriku hidup di sana.Walaupun tanpa kenangan indah, tetapi aku bisa melakukan apapun di rumah itu. Kini, aku harus melangkah pergi untuk yang terakhir kalinya. Hati benar-benar sadar, jika memang diri ini tiada lagi diharapkan oleh mereka. Kehadiranku di rumah itu hanya untuk mengukir kisah sedih.Hari ini aku pergi dengan naik taksi. Pulangnya, memilih berjalan menyusuri jalanan komplek perumahan elit yang semuanya memiliki pagar yang tinggi. Sengaja memilih berjalan kaki, hanya sekadar ingin menikmati rasa yang sangat menyesakkan dalam dada ini. Rencananya, nanti akan pulang dengan naik bus. Di dekat gerbang perumahan ini ada sebuah halte.Langkah kaki ini berjalan lambat. Aku sadar kini aku sudah benar-benar sendiri, dan sebentar lagi, bisa saja harus tiba-tiba hidup dengan sosok yangtidak kukenal sama sekali. Aku Cika, harus ber
Part 5Sebuah ketukan di luar pintu kamar membuat Cika beranjak dari tempat tidurnya. Ia yang sudah setengah mengantuk terpaksa bangun untuk menemui orang yang sudah pasti itu Nindi. Dengan memicingkan mata, Cika menatap perempuan yang masih lajang itu yang sudah siap dengan koper besar.“Mbak Nindi mau pergi?” Seketika mata Cika yang semula setengah mengantuk terbuka sempurna.“Iya,” jawab Nindi singkat dan ragu.Napas Cika mulai narik turun. Antara takut dan kaget.“Mbak Nindi, aku sama siapa di sini?” tanya Cika mulai menampakkan ketakutannya.“Sudah saatnya kamu belajar hidup mandiri , Cika. Tidak mungkin aku akan terus bersama dengan kamu. Ibu kamu saja sudah pergi. Dan keluarga kamu saja sudah tidak memperdulikan keberadaanmu lagi. Masa aku yang bukan siapa-siapa kamu harus bertahan di sini? Aku punya impian untuk menikah, aku punya keluarga yang harus aku rawat. Jadi, aku akan pergi sekarang dan mulai saat ini, kamu hidup di sini sendiri,” jelas Cika.“Mbak Nindi, tidak bisakah
Part 4 Cika merasa sangat kesepian dengan hidup yang dijalani saat ini. Bingung karena setiap hari yang dilakukan hanyalah makan dan tidur saja. Hendak keluar untuk sekadar mencari kesenangan bersama teman-temannya pun susah dilakukan karena rumah yang ditempatinya saat ini cukup jauh dengan rumah kawan semasa ia sekolah. Bermain ponsel juga membuat kepalanya pusing. Nindi juga lebih banyak menghabiskan waktu di kantor. Jika malam minggu tiba, gadis yang sudah dewasa itu akan keluar bersama dengan sang kekasih dan pulang jika sudah dini hari saat Cika sudah terlelap dalam mimpi. Dua bulan sudah dilalui Cika hidup seorang diri di rumah besar peninggalan Dania. Di suatu pagi, Cika yang baru saja bangun menemui Nindi yang tengah sarapan pagi. Dengan langkah berat dan kepala tertunduk berjalan pelan menghampiri Nindi yang sedang sarapan. “Kenapa?” tanya Nindi saat Cika sudah sampai di hadapannya. “Pembantu yang katanya mau datang itu, apa tidak ada kabarnya?” tanya Cika ragu. Sikap ke
Part 3Langit mulai gelap. Tidak ada bintang satupun di sana. Aku mulai menoleh ke kanan dan kiri mencari sebuah tumpangan yang bisa membawaku pulang. Entah pulang kemana. Dalam keadaan bimbang, aku membuka ponsel. Ternyata Rindi menelpon banyak ke nomorku. Ia juga berkirim pesan. Aku membukanya, tetapi hanya di bagian akhir yang kubaca.[Kamu kemana saja?][Kenapa belum pulang?][Cika, balas pesanku!][Cika, kamu kemana? Cepat pulang]Aku takut, tetapi tidak mungkin aku mengatakan kalau saat ini sedang di bandara. Akhirnya, aku memilih mencari taksi dengan berjalan keluar bandara. Tidak ada tempat lagi untuk pulang selain rumah Dania dan aku berharap Rindi sedang menungguku di sana. Aku sangat takut.Seketika bernapas lega saat kulihat Rindi tengah menungguku dengan cemas. “Dari mana saja kamu?” tanyanya cemas dengan wajah marah.Kali ini aku tidak akan melawannya. Dia satu-satunya orang yang masih peduli berada di sisiku. Aku diam sambil memainkan ujung kuku.“Cika, kamu dari mana?”