Menikah dengan Abang (Abang Angkat), sesuatu hal yang tak terbayangkan oleh gadis yang bernama lengkap Ayu Jelita. Abang yang selama ini sudah dianggap sebagai Kakaknya sendiri justru diam-diam jatuh cinta padanya. Lantas, apakah Ayu menikah dengan Abang karena unsur terpaksa? Atau justru Ayu juga memiliki rasa yang sama?Baca cerita ini, dijamin ngakak, baper, dan menguras emosi.
View MoreMenikah Dengan Abang
Lagi, dan lagi Abangku berulah. Hanya karena tidak mau aku nikah terlebih dahulu, dia kerap kali mengaku-ngaku jadi suamiku. Cih, Abang macam apa itu? Sudah empat kali, pacarku kabur karena ulahnya."Bang, sampe kapan sih kayak gini?""Sampe abang nikahlah," sahutnya dengan enteng sambil memantik korek api di sebatang rokok."Ya kalo gitu cepetan nikah!" Jawabku ketus seraya mengambil rokok yang terselip dibibirnya, lalu mematikan rokok tersebut ke atas asbak."Songong! Lagian lo aneh, pacaran ama cowok F*. Eh, gimana kalo cowok itu tua bangka, mau emang lo?""Idiiihh sok tau! Pokoknya Abang harus jelasin ke Raka kalo Abang --""Ogah!" Sahutnya berlalu.Dasar Abang Bewoookkk ... Awas aja, kalau ketauan dia punya pacar. Aku kerjain balik!***Seharian cek F******k, berharap Raka mau buka blokir akun aku. Tapi nyatanya nihil. Aku masih tak bisa menghubunginya lewat messenger. Bukan cuma F******k, media sosial lainnya pun diblokir oleh Raka. Ah, semua ini gara-gara Bang Bewok!"Eh, beliin Abang nasi goreng gih!" Tiba-tiba Abang rese datang, duduk di sebelahku."Ogah!""Kembaliannya buat lo." Aku tak menanggapi. Tetap bersikap cuek. Bodo amat!"Gue perhatiin, makin hari lo makin cantik deh! Apalagi kalau mau beliin gue nasi goreng. Pasti makin cantik! Beliin gih!" Rayuannya kali ini tidak mempan.Aku tak memperdulikannya, memilih tetap fokus membaca cerita di salah satu grup F*. Cerita bersambung salah satu penulis favoritku."Elah masih ngambek aja. Gini deh, Minggu besok Abang traktir nonton." Rayunya lagi sembari memamerkan senyuman. Mataku beralih menghadapnya. Menatap tajam bola mata kecoklatan milik lelaki yang bulan Juni besok berusia 27 tahun."O-GAH!!!" Teriakku tepat di sisi kanan telinganya, kemudian beranjak ke kamar, menutup pintu.Braakkk"Buseeettt!" Makian si Bewok masih kudengar.Dendi Hanggara, itu nama lengkapnya. Memiliki badan atletis, rambut gondrong, kumis tipis dan berjambang. Intinya Brewokan!Teman-temanku bilang sih tampan, keren. Tapi anehnya sampai saat ini tetap JOMBLO. Padahal cewek yang suka banyak. Apalagi kalau hari Valentine, banyak banget paket cokelat atau bunga yang terkirim buatnya. Mungkin selera cewek Bang Dendi terlalu tinggi. Bukannya cari pacar, dia malah sibuk kerja dan kerja. Yah, memang aku dan Bunda semenjak kepergian Ayah, dia menjadi tulang punggung.Setengah jam berkutat di kamar, akhirnya aku keluar, memastikan kalau si Bewok sudah enyah dari rumah.Tujuanku hari ini, hendak mengobrak-abrik kamar Bang Dendi. Pembalasan dari tingkah konyolnya.Klek!Untunglah, pintu tidak dikunci. Sejujurnya, ini kali pertama aku masuk kamarnya.Ternyata kamar Bang Dendi rapi juga, bersih lagi. Berbeda dengan tampangnya yang urak-urakkan.Sedetik, aku ragu untuk memporak-porandakkan kamarnya.Sebentar ... Sepertinya tidak perlu repot-repot bikin kamar ini berantakan. Lebih baik aku ambil saja beberapa barang berharga miliknya supaya dia kelimpungan mencarinya.Kira-kira barang apa ya? Oh aku ingat, Si Bewok rese itu paling gak mau buku agendanya disentuh apalagi dilihat orang lain. Bahkan buku agenda yang sudah copot sampulnya sering dibawa kemana-mana. Hem, mudah-mudahan buku sedang tidak dibawa.Aku menengok ke arah pintu. Memastikan tidak ada yang melihat.Setelah merasa aman, aku mulai menggeledah isi kamar bercat biru langit.Selang beberapa menit, akhirnya buku itu kutemukan. Pantesan bukunya gak dibawa, disimpan di bawah bantal. Sepertinya sifat pikun Abang sedang kumat.Bukunya benar-benar terlihat usang. Tapi lumayan tebal. Tanpa pikir panjang, kubuka lembaran pertama.Setelah membaca tiga lembar, dapat kupastikan ini buku catatan harian. Aku terkikik geli, ternyata Bang Dendi suka curhat di buku.Haduh ... hari gini gitu lho! Disaat orang lain sibuk curhat di sosmed, Abang masih setia menulis dibuku harian.Aku senyum sendiri saat membaca tulisan dia yang menceritakan awal mula orang tuanya mengangkatku sebagai anak.Membosankan! Kenapa si Bewok lebih banyak menceritakan tentang kejahilannya padaku sih? Ish!Jariku menpercepat lembaran berikutnya, hampir berada di lembar terakhir.Dahiku mengernyit saat membaca kalimat terakhir dari tulisannya."Love you, Ayu. Forever."Hah? Maksudnya apa? Ayu siapa?Aku membaca ulang tulisannya dari atas. Dari lembaran sebelumnya dengan teliti."Ya Tuhan," pekikku menutup mulut tak percaya. Abang yang selama ini aku anggap Kakak sendiri ternyata ....Ingatanku seketika melayang kejadian-kejadian yang telah kami lalui. Jadi, alasan Bang Dendi tidak memiliki pacar dan sering ngerecokin hubungan aku dengan laki-laki lain karena diam-diam mencintaiku?Ya Tuhan ... Ini tidak mungkin! Tidak mungkin Abang jatuh cinta padaku. Dia sering jahil, jutek bahkan terkadang galak. Masa iya cinta kayak gitu?Seketika kudengar pintu terbuka, lalu muncullah sosok laki-laki brewokan yang amat kukenali. Kami sama-sama terkejut. Aku berdiri, menjatuhkan buku agenda harian Abang ke atas kasur."Ayu?"***PoV Abang Setelah acara peresmian selesai, aku segera meninggalkan tempat acara. Ingin cepat-cepat menemui Ayu. Tadi Bunda menelepon, katanya Ayu sudah dibawa ke rumah sakit. Dokter bilang, Ayu sudah mulai pembukaan dua. “Bang, tunggu!” seru Sabrina yang memang ikut datang bersama Sudira. Aku menghentikkan langkah, membalikkan badan. Sabrina dan Dira mendekati. “Ada apa?” sabrina mengatur napas. “Papa gimana kabarnya?” Aku menghela napas. “Udah nemuin belum?” Aku balik tanya. Kali ini Sabrina harus mau menemui Papanya. Kasihan Om Rahmat, kesepian. Aku tidak akan membiarkan salah satu amggota keluarga hidup sebatang kara lagi. Sabrina menggeleng. “Kamu temui dulu. Sorry, gue lagi buru-buru.” Aku melanjutkan langkah dengan cepat menuju parkiran. tapi pasangan itu terus mengikuti. “Bang, aku serius. Papa gimana keadaannya?” Sabrina berusaha mensejajarkan langkah. “Nanti aku kirim alamat apartemennya.” Ucapku masuk ke dalam mobil. “Ada apa sih buru-buru?” Rina tidak sabaran. “Ay
PoV Abang“Om gak nyangka secepat ini ditinggalkan Cindy. Padahal Om mulai yakin, kalau dia benar-benar sayang Om. Tidak hanya menginginkan uang Om.” Tutur Om Rahmat di tengah isak tangisnya. Aku menghela napas sebelum menanggapi.“Jodoh, rejeki, kematian, itu semua rahasia Tuhan. Om harus sabar dan ikhlas, biar Cindy tenang di sana.” Kucoba menghibur Papanya Sabrina. Ia terlihat sedih sekali. Kepalanya merunduk. Sesekali menyeka cairan yang keluar dari hidung dan mata. Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang kita sayangi. Saat kehilangan Ayah, berbulan-bulan kehilangan gairah hidup. Murung di kamar, enggan berbicara, bahkan kebiasaanku menjahili Ayu pun hilang dalam beberapa waktu.“Iya, Den. Om akan berusaha untuk ikhlas. Terima kasih.”Aku melongok ke atas, melihat keadaan apartemen yang sebagiannya sudah hangus terbakar. Api sudah tidak lagi berkobar.&
PoV Abang Pukul delapan pagi, tiba di kantor. Bertepatan dengan kedatangan Dion. Kami bertemu di area parkir. “Dira udah datang dari jam tujuh katanya,” ujar Dion mensejajari langkahku. “Wah tumben? Ada apa?” “Ada yang mau dibicarain soal perumahan itu. Dia mau langsung ke sana hari ini.” Saat melewati lobby, terlihat Dira sedang berbincang dengan seorang wanita. Aku dan Dion menghampiri Dira seketika pembicaraan mereka terhenti. “Pagi, Pak Dendi, Pak Dion.” Sapa Dira berdiri. Wanita di sampingnya membuang muka, menyeka air mata. “Pagi. Eh, bukannya itu Rina ya?” tanyaku melongok wanita yang kini berdiri di samping Dira. “Iya, Bang. Aku Rina,” sahut anak kedua Om Rahmat. “Ya udah, Ayo kita naik ke atas.” Ajakku pada mereka. Dion sudah lebih dahulu naik ke atas. Mungkin mempersiapkan beberapa berkas terkait proyek perumahan yang ditangani Dira. “Aku nunggu di sini aja,” ucap Rina. “Kamu ikut. Ada yang mau saya bicarakan.” Kataku berjalan lebih dulu dari Sabrina dan Sudira. M
PoV BundaAku hanya menghela napas. Bingung, harus bersikap bagaimana. Kakak kandungku menikah dengan wanita yang pernah dekat dengan Mas Bram. Haruskah berdiam diri, membiarkan Bang Yadi dikuras uangnya perlahan-lahan?“Riana, aku berani sumpah. Aku tidak pernah lagi menghubungi dia. Aku juga gak tahu, kalau dokter punya hubungan dengannya? Riana aku minta maaf.” Menoleh, menatap kedua netra laki-laki yang telah bertahun-tahun aku cintai. Kupaksakan bibir ini untuk tersenyum.“Aku percaya sama kamu, Mas.” Mas Bram terlihat lega. Ia menggenggam telapak tanganku lalu mengecupnya berkali-kali.“Aku janji! Gak akan mendekati wanita lain lagi. Apalagi mendekati Cindy atau Sari. Tidak akan, Riana!”“Sari? Maksud Mas apa?” Aku heran, kenapa Mas Bram menyebut nama Sari? Sikap suamiku salah tingkah kembali. Ia sekarang tampak gusar. Melepas
PoV BundaTak kusangka, dokter Rahmat yang tak lain adalah Kakak kandungku bertandang ke rumah lagi. Mas Bram yang kebetulan sedang ada di rumah menyambutnya cukup ramah, seolah kejadian malam tempo hari itu tidak terjadi. Bang Yadi dan Mas Bram duduk di kursi teras, mereka berbincang seolah tidak terjadi apa-apa. Aku ke dalam membawa dua cangkir kopi, menyuguhkannya pada suamiku dan Bang Yadi.“Jadi, kau juga sudah menemui Ibu?”Degh!Pertanyaan Mas Bram yang dilontarkan untuk Bang Yadi membuatku tersentak. Maksud Mas Bram Ibu siapa ya? Aku menarik kursi satunya, duduk di sebelah Mas Bram.“Sudah. Aku yakin, kalau beliau memang wanita yang telah melahirkanku dan Tari.”Jawaban Bang Yadi membuatku salah tingkah. Mas Bram dan Bang Yadi sudah bertemu dengan wanita itu, dan mereka sangat yakin kalau wanita yang tinggal di rumah Dendi adalah Ibuku dan B
PoV Abang“On, telepon Pak Heru. Kita nunggu di rumah Firman aja. Sekalian bilang ke Pak Heru, jenazah Herlina langsung urus di sana. Dari mulai dimandiin, dikafanin, dan juga dishalatin. Biar nanti di daerah kediaman Firman, kita persiapkan pemakamannya aja.” Kataku sambil menyetir.“Oke.” Dion langsung menghubungi komandan Heru Rudhiat.Sekian menit Dion berbicara dengan Komandan Heru. Sesekali aku menoleh, memastikan segala yang aku usulkan disanggupi.“Gimana, On?” tanyaku, begitu Dion mengakhiri sambungan telepon.“Iya. Jenazah Herlina diurus di sana. Tadi Pak Heru bilang, jam dua siang, Herlina dibawa ke rumah sakit. Sempat mengalami perawatan. Nah jam tiga, dia meninggal.”“Oh begitu. Sekarang udah dikafani belum?”“Tadi katanya lagi dimandiin sama pihak pemandi mayat rumah sakit
PoV AbangSetelah dua hari istirahat di rumah, akhirnya aku bisa keluar juga. Menghadiri acara pernikahan Mama Dahlia dan Pak Supriyatna. Acaranya dilaksanakan di kediaman baru Pak Supriyatna yang berlokasi tidak jauh dari rumah Ibu.“Kalau kata Ibu, Pak Supri sengaja beli rumah dekat rumah Ibu supaya Mama Dahlia ada temannya. Udah gitu kan, ibu sama Mama Dahlia lagi produksi usaha kue kering.” Jelas Ayu saat aku bertanya alasan Pak Supri membeli rumah di daerah situ.Tidak hanya aku dan Ayu yang datang di acara pernikahan orang tua Silvi itu, Nenek, Bi Sumi dan Bang Parto pun ikut datang.Setelah semuanya siap, kami meluncur ke lokasi acara tersebut. Bang Parto yang mengemudikan mobil.Tidak memerlukan waktu lama, kami telah sampai di tempat. Suasana sudah mulai ramai. Aku memapah dan memperkenalkan Nenek pada Ibu dan yang lainnya. Alhamdulillah mereka menerima dan percaya kalau N
PoV AbangAku membiarkan Nenek dan Om Rahmat hanyut dalam isak tangis kerinduan. Meninggalkan mereka dan Masuk ke dalam kamar, air mataku turut mengalir. Ayu yang sedang berselonjor di atas pembaringan terhenyak.“Bang, Abang kenapa?” Bergegas Ayu menghampiriku, duduk di tepi ranjang. Menyeka air mata.“Om Rahmat mengakui Nenek sebagai Ibunya?” Aku menoleh, menganggukkan kepala.“Alhamdulillah ....” Ayu memeluk pinggangku. Aku membelai kepalanya, mengecup cukup lama.“Abang terharu ya?”“Iya. Tapi sayang, Abang gagal bikin Bunda mau menemui Nenek.” Ayu mengembuskan napas. Mengusap punggung tanganku.“Gak apa-apa. Insya Allah, Bunda juga sebentar lagi mau mengakui Nenek.”“Sebentar lagi kan, Ayu mau lahiran. Abang pengen semua keluarga berkum
PoV dokter RahmatApa benar begitu? Perasaan sayang yang aku rasakan pada Tari, karena kami ada hubungan darah?Memang, kerap kali Tari merasa tersakiti, hatiku ikut tersakiti. Melihatnya bahagia, hatiku pun ikut bahagia. Apalagi jika mengingat kejadian malam itu. Di mana sebelumnya kami tertawa bersama, namun sikap kasar yang dilakukan oleh Bram terhadap Tari membuatku sangat amat marah.“Om, kalau ingin mendengar cerita lebih jelasnya, Om bisa ikut saya untuk ketemu Nenek. Kasihan Nenek, Om. Apakah Om tidak merindukan sosok wanita yang telah mengandung dan melahirkan Om?”“Kau ... telah bertemu dengan dia?” Bergetar aku melempar tanya.“Iya.”“Apa kau yakin, kalau dia wanita yang telah melahirkan Om dan Bundamu?”“Yakin. Walaupun kami belum melakukan tes DNA, tapi saya yakin kalau be
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments